Jintan Hitam dan Pembuktian Medis Sabda Nabi Muhammad SAW

Jintan hitam merupakan salah satu obat yang dianjurkan Nabi Muhammad.

Jintan hitam (habbatassauda’) dengan nama ilmiahnya nigella sativa. Tanaman ini ditemukan di seluruh India dalam bentuk semak-semak, dengan bunga biru dengan tinggi sekitar setengah meter.

Dilansir di aboutislam.net awalnya tanaman ini berasal dari Turki dan Italia, dan dibawa ke India oleh dokter untuk dibudidayakan. Bijinya berwarna hitam dan berbentuk segitiga, memiliki bau menyengat yang kuat, dan mengandung banyak minyak.

Tidak benar bahwa orang Arab belajar tentang manfaatnya dari orang Yunani karena, sebelum kedatangan Islam, tidak ada catatan penggunaannya. Penggunaan untuk pengobatan dimulai setelah Nabi Muhammad SAW menyebutkan kemanjurannya dan fungsinya untuk penyembuhan.

Abu Hurairah menyatakan, “Saya telah mendengar Rasulullah mengatakan bahwa ada obat untuk setiap penyakit dalam biji hitam kecuali kematian.”

Khalid Ibn Sa’ad menyatakan bahwa dia bepergian dengan Ghalib bin Jabr ketika dia (Ghalib) jatuh sakit selama perjalanan. Ibn Abi Ateeq (keponakan Aisyah) datang untuk menemui kami. Saat melihat yang tertekan, dia mengambil lima atau tujuh biji hitam, menumbuknya, mencampurkannya dalam minyak zaitun, dan menjatuhkannya ke lubang hidungnya (Ghalib). Ghalib Ibn Jabr menjadi sehat dengan perawatan ini.

Aisyah mengatakan kepada kami bahwa Nabi Muhammad menyatakan bahwa ada obat dalam biji hitam untuk semua penyakit kecuali sam. Saya bertanya kepadanya, “Apa itu sam?” Dia berkata, “Kematian.”

Jintan hitam mengandung 1,5 persen minyak atsiri dan 37,5 persen non minyak atsiri. Selain albumen, gula, asam organik, glukosida, melanthin, metarbin, dan zat pahit juga ditemukan. Glukosida bersifat toksik karena itu dalam dosis besar dan untuk waktu yang lama dapat berbahaya.

Tanaman ini dapat menghilangkan penyumbatan bagian tubuh mana pun, mengeluarkan gas dan memperkuat perut. Selain anti cacing, jika dikonsumsi dengan cuka dan bermanfaat untuk masuk angin kronis.

Inhalasi bermanfaat dalam pengobatan flu biasa. Minyaknya efektif dengan alopecia (rambut rontok). Jika direbus dalam air, sangat membantu untuk asma dan mengurangi efek racun sengatan lebah dan tawon.

Penggunaan benih secara terus-menerus efektif untuk gigitan anjing gila. Paralisis, kelumpuhan wajah, migrain, amnesia, dan jantung berdebar juga merupakan penyakit yang mendapat manfaat darinya.

Ini juga dapat digunakan sebagai ekspektoran dan antipiretik, menormalkan sekresi lambung dan pankreas. 

Ini sangat efektif dalam pengobatan Diabetes Mellitus. Dapat menghilangkan batu di ginjal dan kandung kemih jika ditambah dengan madu.

Efektif untuk penyakit kuning ketika dikonsumsi bersama susu. Bubuknya, ketika diminum dengan air, bagus untuk wasir. 

Jika biji direbus dalam cuka dan kemudian dioleskan ke gigi dan gusi, itu mengurangi peradangan dan rasa sakit pada gusi.

Hal ini juga dilaporkan bahwa bubuk halusnya efektif jika diterapkan pada tahap awal katarak. Juga digunakan untuk gangguan kulit, minyak juga efektif untuk sakit telinga. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Nabi Mengenali Umatnya Di Akhirat

Assalamu’alaikum..ada pertanyaan ustdz:

Ustadz bagaimana cara Nabi Muhammad mengenali umatnya nanti di akhirat, apalagi nanti manusia akan bekumpul bermilyaran-milyaran?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah atas keagungan sifat-sifat-Nya dan kemurahan anugerah-Nya, Shalawat dan Salam bagi Nabi Muhammad, berserta keluarga dan seluruh para sahabatnya.

Amma Ba’du:

Ketika hari kiamat terjadi seluruh manusia berkumpul dari awal penciptaan sampai akhir masa kehidupan dunia. Mereka yang mukmin atau kafir di padang Mahsyar akan dihitung amalan-amalannya. Diantara manusia yang begitu banyak itu, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam akan mengenal umatnya ketika datang ke Telaga dengan ciri-ciri khusus.

Bagaimana Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam mengenal umatnya?

Allah Taala berfirman:

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya (QS. Al Israa’: 71)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu berkata, “Pemimpin kebaikan dan pemimpin kesesatan”

Anas bin Malik berkata, “(arti pemimpin) adalah Nabi setiap umat” (Tafsir Ibnu Abi Hatim, 7/2339)

Ayat ini menjelaskan bahwa umat manusia pada Hari Kiamat dipanggil secara berkelompok, dan umat Islam dipanggil pada kelompok yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Dengan ini kita bisa memahami, bahwa Nabi mengenal umatnya ketika umatnya berada pada kelompok yang bersama dengannya.

Disisi lain, bahwa umat Islam memiliki ciri tersendiri yang dengannya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam mengenal mereka. Nabi shalallahu alaihi wasallam menjelaskan dalam sebuah hadits yang berbunyi:

وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا. قَالُوا : أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : أَنْتُمْ أَصْحَابِي ، وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ . فَقَالُوا : كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ؟ قَالُوا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ

Saya berharap bahwa kami sudah bisa melihat saudara-saudara kami”. Mereka (para sahabat) berkata: “Bukankah kami adalah saudara-saudaramu, wahai Rasulullah ?, Beliau menjawab: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kami adalah mereka yang belum datang (lahir) saat ini”. Mereka berkata: “Bagaimana engkau mengetahui orang yang belum ada saat ini dari umatmu, wahai Rasulullah?, Beliau menjawab: “Tidakkah engkau melihat, jika seseorang memiliki kuda bertanda putih pada muka dan kaki-kakinya berada diantara kuda-kuda hitam pekat, tidakkah ia bisa mengenal kudanya ?, Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Mereka akan datang dengan wajah putih bersinar dan kaki tangan bercahaya pada bagian air wudhu, dan saya menunggu mereka di Telaga. (HR. Muslim 249)

Dari ayat dan hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengenal umatnya melalui dua perkara, yang pertama adalah pada hari kiamat umat Islam dipanggil bersama pemimpinnya, yaitu Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam; darinya Nabi Muhammad mengenal umatnya.

Yang kedua adalah tanda putih bercahaya pada wajah, kaki, tangan yang merupakan tempat air wudhu, sehingga tanda tersebut menjadi pembeda dari umat manusia yang lain.

Semoga kita semuanya adalah orang-orang yang dikenali Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan mendapatkan minum dari telaganya… Amiin. Wallahu’alam.

***

Dijawab oleh Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf , Lc. MA. (Dosen Ilmu Hadits STDI Jember)

Read more https://konsultasisyariah.com/36158-cara-nabi-mengenali-umatnya-di-akhirat.html

Para Nabi Hingga Muhammad SAW Bekerja, Ini Profesi Mereka

Para nabi dan rasul juga bekerja untuk mencari nafkah mereka.

Para nabi dan rasul yang diutus Allah SWT adalah sosok pekerja. Meski mereka mengemban risalah kenabian dan risalah kerasulan, mereka tetap mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Direktur Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menukilkan riwayat dari kitab al-Mustadrak karya al-Hakim. Redaksinya sebagaimana berikut:    

ﻓَﻘَﺎﻝَ: اﺩْﻥُ ﻣِﻨِّﻲ ﻓَﺄُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦِ اﻷَْﻧْﺒِﻴَﺎءِ اﻟْﻤَﺬْﻛُﻮﺭِﻳﻦَ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺏِ اﻟﻠَّﻪِ

Ibnu Abbas berkata: Mendekatlah kepadaku. Akan ku ceritakan tentang para Nabi yang terdapat dalam Alquran:

ﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﺁﺩَﻡَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺣَﺮَّاﺛًﺎ

Nabi Adam adalah seorang hamba yang jadi tukang tanam pohon

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﻧُﻮﺡٍ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﻧﺠﺎﺭا

Nabi Nuh adalah seorang hamba tukang kayu

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﺇِﺩْﺭِﻳﺲَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺧَﻴَّﺎﻃًﺎ

Nabi Idris adalah seorang hamba yang menjadi penjahit

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﺩَاﻭُﺩَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺯَﺭَّاﺩًا

Nabi Dawud adalah seorang hamba yang jadi tukang tenun

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺭَاﻋِﻴًﺎ

Nabi Musa adalah seorang hamba yang jadi penggembala

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﺇِﺑْﺮَاﻫِﻴﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺯَﺭَّاﻋًﺎ

Nabi Ibrahim adalah seorang hamba yang jadi petani

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺗَﺎﺟِﺮًا

Nabi Soleh adalah seorang hamba yang jadi pedagang

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦْ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪًا ﺁﺗَﺎﻩُ اﻟﻠَّﻪُ اﻟْﻤُﻠْﻚَ

Nabi Sulaiman adalah seorang hamba yang diberikan kerajaan

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦِ اﺑْﻦِ اﻟْﻌَﺬْﺭَاءِ اﻟْﺒَﺘُﻮﻝِ ﻋِﻴﺴَﻰ اﺑْﻦِ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻻَ ﻳَﺨْﺒَﺄُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻟِﻐَﺪٍ

Nabi Isa adalah seorang hamba yang tidak menyediakan makanan apapun untuk besok

ﻭَﺃُﺣَﺪِّﺛُﻚَ ﻋَﻦِ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ اﻟْﻤُﺼْﻄَﻔَﻰ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺮْﻋَﻰ ﻏَﻨْﻢَ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻪِ ﺑِﺄَﺟْﻴَﺎﺩَ

Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah seorang hamba yang menggembala milik keluarganya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Berguru kepada Orang Bijak dan Zuhud

ADA seorang santri yang tak tega melihat sang guru kelihatan kurus kering kurang gizi karena kelaparan. Sang guru adalah seorang tokoh yang terkenal zuhud, tidak kemaruk dan hidup apa adanya. Nama sang guru ini adalah al-Harits al-Muhasibi.

Singkat cerita, sang murid berkata kepada sang gutu: “Andai engkau berkenan datang ke rumahku, sungguh aku akan jamu engkau dengan makanan lezat.” Guru itu menjawab: “Sungguh?” Si murid menjawab: “Sungguh, perkenanmu ada membahagiakanku dan merupakan kebaikan darimu untukku.”

Singkat cerita, keduanya berjalan menuju rumah. Dihidangkanlah hidangan istimewa pada sangguru. Sang guru mengambil sesuap untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, namun terhenti lama tak masuk mulut, hanya di depan hidung. Lalu dibuanglah dan sang guru keluar, pergi. Sang murid kaget. Esok harinya diberanikannya dia bertanya kepada sang guru perihal peristiwa semalam. Sang guru menjawab: “Anakku, lapang memang tak enak. Ku berusaha mengambil dan memasukkan makanan yang engkau suguhkan. Namun mulutku tak mungkin bisa dimasuki sesuatu yang di dalamnya ada unsur syubhat (tak jelas hukumnya).”

Luar biasa Syekh al-Muhasibi ini. Saya baca kisah ini dalam bukunya “Risalat al-Mustarsyidin.” Terlepas dari beberapa penilaian kontroversial tentang beliau, al-Muhasibi terkenal sebagai orang alim yang zuhud, sederhana, wara’ dan memiliki banyak keahlian. Kalimat-kalimatnya banyak menjadi rujukan mereka yang benar-benar ingin membersihkan hati. Beliau sangat jago dalam mengajari keikhlasan dan keistiqamahan. Tak ada waktu yang terbuang dalam hidupnya yang senantiasa diperuntukkan pada akyifitas ibadah, berdzikir dan menulis kitab. Ada sekitar 200 karya yang ditulisnya. Luar biasa.

Salah satu dawuh beliau yang selalu saya baca dan saya ingat adalah: “Orang dzalim itu pasti celaka (bernasib sial) walau dipuja banyak orang. Orang yang didzalimi pasti selamat, walau dihina banyak orang. Orang yang qana’ah (mau menerima apa adanya) pasti merasa kaya walau tak punya apa-apa. Orang yang tamak pastilah merasa fakir (miskin) walau telah memiliki banyak hal.”

Kalimatnya tak cukup panjang namun maknanya sungguh begitu mendalam. Ingin selalu selamat dan bahagia, janganlah menganiaya orang lain, jangan sakiti orang lain, jangan ambil hak orang lain. Ingin terus merasa kaya, janganlah tamak dan rakus. Syukuri apa yang ada. Jika isi kepala kita hanyalah rencana dan upaya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya walau dengan cara tak pantas dan tak wajar, jangan salahkan kalau kehidupan hatinya senantiasa mengeluh dan menderita. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Belajar Dahulu Fikih Haji, Semoga Dimudahkan Segera

Sebagian orang sangat ingin bisa segera naik haji, akan tetapi sebagian lagi berpikir “nanti saja” belajar fikh haji yaitu setelah sudah mendaftar haji atau menjelang keberangkatan haji saja. Hendaknya seorang muslim segera belajar fikh haji, tidak harus menunggu sudah mendaftar dulu haji dahulu atau menjelang keberangkatan. 

Haji dan umrah adalah salah satu dari rukun Islam yang mana seorang muslim harus mengetahuinya dan mempelajarinya. Ini termasuk ilmu yang hendaknya dipelajari sebagaimana hadits tentang menuntut ilmu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah]

Suatu fakta dan tidak sedikit kami temui bahwa orang yang belajar fikh haji terlebih dahulu dengan niat ikhlas menunaikan perintah Allah, lalu diberi kemudahan untuk bersegera naik haji atau umrah. Padahal secara logika saat itu, orang tersebut sulit untuk bisa segera menunaikan ibadah haji dan umrah baik dilihat dari sisi ekonomi, usia, kesehatan dan kesempatan waktu.

Demikianlah Allah lebih tahu apa yang menjadi niat utama dan usaha seorang hamba. Apabila seorang hamba sangat ingin naik haji dan benar-benar tulus dari hati yang paling dalam, tentu ia berusaha dari awal dengan mempelajari fikh ibadah haji meskipun belum mendaftar haji atau umrah.

Allah mengetahui apa yang disembunyikan hati sebagaimana firman Allah,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. [An-Nahl/16: 19]

Allah juga berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [Ghafir: 19]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tahu apa yang ada dalam hatinya, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk segera naik haji, maka bisa jadi Allah memudahkan jalannya menunju baitullah. Ibnu Katsir berkata,

ويعلم ما تنطوي عليه خبايا الصدور من الضمائر والسرائر .

“Allah mengetahui apa yang menjadi keinginan hati dan rahasia serta yang tependam di dalam hati.” [Tafsir Ibnu Katsir 7/137]

Sebagian orang juga memang sengaja menunda haji, mereka berpikir bahwa haji itu adalah ibadah yang bisa ditunda, padahal mereka sudah mampu dan wajib. Mereka menunggu ketika sudah tua dahulu baru berangkat pergi haji. Hal ini tidaklah tepat, ibadah haji itu dilakukan sesegra mungkin apabila telah  mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” [HR.Ahmad, dihasankan oleh Al-Albany]

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. [HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani]

Semoga kita dimudahkan untuk segera mempelajari fikh ibadah haji dan Allah pun memudahkan kita untuk segera naik haji memenuhi panggilan Allah.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47771-belajar-dahulu-fikih-haji-semoga-dimudahkan-segera.html

Sikap Mudarah dan Mudahanah Terhadap Kemaksiatan

Bersikap lembut kepada suatu maksiat dan penyimpangan terkadang adalah sikap yang bijak. Namun juga sikap demikian terkadang adalah sikap yang keliru dalam syari’at. Kedua sikap ini disebut dengan mudarah dan mudahanah. Simak tulisan ringkas ini untuk mengetahui bagaimana sikap lembut yang dibolehkan dan yang terlarang terhadap pelaku maksiat dan penyimpangan, serta apa perbedaan di antara keduanya.

Definisi Mudahanah

Mudahanah secara bahasa adalah mashdar dari داهنَ – يداهن yang artinya: menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hakikatnya. Secara istilah, mudahanah artinya menampakkan keridhaan kepada kemaksiatan tanpa ada pengingkaran, demi kepentingan duniawi. Al Munawi menjelaskan:

المداهنة أن ترى منكراً تقدر على دفعه فلا تدفعه، حفظا لجانب مرتكبه، أو لقلة مبالاة بالدين

“Al mudahanah adalah Anda melihat kemungkaran yang mampu Anda ingkari namun tidak Anda ingkari, karena untuk melindungi pelakunya atau karena kurangnya pembelaan pada agama” (At Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif, hal. 394).

Al Qurthubi mengatakan:

والمداهنة: ترك الدين لصلاح الدنيا

“Mudahanah adalah meninggalkan agama demi kepentingan dunia” (Fathul Bari libni Hajar, 10/454).

Contohnya:

  • Lelaki mencukur jenggotnya demi bisa diterima bekerja padahal ia tahu terlarang mencukur jenggot.
  • Wanita melepas jilbab agar bisa diterima oleh teman-teman kuliahnya padahal ia tahu wanita wajib berjilbab.
  • Menyediakan hidangan minuman keras kepada tamu yang memang gemar minum-minuman keras.
  • Seorang RT menyelenggarakan acara dangdutan padahal ia tahu hal tersebut terlarang.
  • Melakukan kesyirikan agar dikatakan sebagai orang yang memiliki kearifan lokal.
  • Ikut acara yang termasuk kebid’ahan agar dianggap sebagai orang yang berbaur dan suka bersosialisasi.
  • Duduk di majelis yang penuh maksiat.
  • Duduk di majelis ahlul bid’ah.

Dan semisalnya.

Hukum Mudahanah

Mudahanah terlarang dalam Islam. Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka (kaum Musyrikin) menginginkan supaya kamu bersikap lunak (mudahanah) lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” (QS. Al Qalam: 9).

Dalam ayat ini Allah Ta’ala mengatakan bahwa kaum Musyrikin ber-mudahanah kepada kaum Mu’minin agar kaum Mu’minin bermudahanah kepada mereka, yaitu mengorbankan akidah mereka demi agar bisa bersatu dan rukun dengan kaum Musyrikin. Dijelaskan dalam Tafsir Al Qurthubi:

قال ابن عباس وعطية والضحاك والسدي : ودوا لو تكفر فيتمادون على كفرهم . وعن ابن عباس أيضا : ودوا لو ترخص لهم فيرخصون لك . وقال الفراء والكلبي : لو تلين فيلينون لك

“Ibnu Abbas, Athiyyah, Adh Dhahhak dan As Suddi menjelaskan makna ayat ini: mereka menginginkan kalian kafir sehingga mereka bisa terus berada dalam kekufuran mereka. Tafsir Ibnu Abbas yang lainnya: mereka menginginkan kalian memberi kelonggaran kepada mereka (dalam akidah) sehingga mereka nanti akan memberi kelonggaran kepada kaum Muslmiin. Al Farra’ dan Al Kalbi mengatakan: Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak (mudahanah) lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)”.

Maka mudahanah terlarang dalam Islam karena sikap mudahanah berarti melanggar sebagian ajaran agama demi mendapatkan maslahat duniawi. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah (QS. Al Baqarah: 41).

Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi mendapatkan keuntungan dunia. Ibnu Katsir menjelaskan:

لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة

“Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatku dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Barangsiapa mencari ridha Allah ketika orang-orang tidak suka, maka akan Allah cukupkan ia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia, dengan kemurkaan Allah. Akan Allah buat ia terbebani oleh manusia“.

Dalam riwayat lain:

من التمس رِضا اللهِ بسخَطِ الناسِ ؛ رضِيَ اللهُ عنه ، وأرْضى عنه الناسَ ، ومن التَمس رضا الناسِ بسخَطِ اللهِ ، سخِط اللهُ عليه ، وأسخَط عليه الناسَ

Barangsiapa yang mencari ridha Allah walaupun orang-orang murka, maka Allah akan ridha padanya dan Allah akan buat manusia ridha kepadanya. Barangsiapa yang mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga (HR. Tirmidzi no.2414, Ibnu Hibban no.276, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Termasuk mudahanah, ketika seseorang menampakkan keridhaan kepada pelaku kemungkaran tanpa ada pengingkaran sama sekali. Padahal Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان

Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, no. 49).

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

والمداهنةَ محرَّمة ، والفرق أن المداهنة من الدهان وهو الذي يظهر على الشيء ويستر باطنه ، وفسرها العلماء بأنها : معاشرة الفاسق وإظهار الرضا بما هو فيه من غير إنكار عليه

“Mudahanah hukumnya haram. Perbedaan antara mudahanah dan mudarah adalah bahwa mudahanah itu dari ad duhhan, artinya menampakkan sesuatu namun menutupi hakekatnya. Para ulama memaknai mudahanah dengan mengatakan bahwa mudahanah adalah bergaul dengan orang fasiq dan menampakkan keridhaan terhadap maksiat yang ia lakukan tanpa ada pengingkaran” (Fathul Bari, 13/703).

Mudarah

Mudarah secara bahasa adalah mashdar dari دارى – يُداري /daaraa – yudaarii/ yang artinya: bersikap lembut. Secara istilah, mudarah artinya bersikap lembut kepada orang lain dan mengalah darinya agar ia tidak menjauhkan diri sehingga bisa memberi nasehat dan memperbaikinya. Ibnu Manzhur menyebutkan

مُدَارَاةُ الناسِ أَي مُلايَنَتُهُم وحُسنُ صُحْبَتِهِم واحْتِمالُهُم لئَلاَّ يَنْفِروا عَنْكَ

“Mudarah terhadap orang lain artinya bersikap lembut kepadanya dan mempergaulinya dengan baik, mengalah darinya, agar ia tidak menjauhkan diri” (Lisaanul ‘Arab).

Ibnu Bathal mengatakan:

المدَاراة: خفض الجناح للناس، ولين الكلام وترك الإغلاظ لهم في القول

“Al Mudarah adalah merendahkan diri di depan orang lain, melembutkan perkataan dan tidak kasar kepadanya dalam berkata” (Syarah Shahih Al Bukhari, 9/305).

Al Munawi mengatakan:

المدَاراة: الملاينة والملاطفة

“Al mudarah artinya bersikap lemah lembut” (At Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif, 301).

Contoh mudarah:

  • Berkata-kata yang lembut kepada pelaku maksiat agar ia bisa menerima nasehat
  • Bergaul bersama pelaku maksiat dalam perkara yang dibolehkan, dengan harapan bisa mendakwahkannya
  • Tidak langsung mengingkari kemungkaran seseorang, hingga saat yang tepat untuk mengingkarinya
  • Menjaga diri dari keburukan orang fajir dan fasiq
  • Berlaku lembut dan santun ketika mendakwahkan masyarakat yang awam dan pemimpin
  • Bergaul dengan penuh bakti terhadap orang tua yang fasiq.

Dan contoh-contoh yang lain.

Hukum Mudarah

Mudarah dibolehkan atau bahkan terkadang dianjurkan dalam syariat berdasarkan dalil-dalil yang banyak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diantaranya:

Dalil Al Qur’an

Pertama

Ketika Nabi Syu’aib ‘alaihis salam mendapati kaumnya suka mencurangi timbangan, maka beliau tidak ingkari dengan keras, melainkan dengan kata-kata yang lembut agar mereka mau menerima nasehat. Allah sebutkan dalam Al Qur’an:

وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ

Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu“” (QS. Hud: 86).

Perkataan “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman” ini adalah mudarah.

Kedua

Seorang lelaki Mukmin dari penduduk Mesir ketika mendapati kaumnya mengingkari dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam ia mengatakan perkataan yang lemah lembut, sebagaimana yang diceritakan dalam ayat:

وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ يَوْمِ الْأَحْزَابِ

Dan orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu” (QS. Ghafir: 30).

Ketiga

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika mendapati ayahnya bersikeras menjadi penyembah berhala, beliau tetap berbicara dengan ayahnya dengan penuh sopan santun, tidak disikapi dengan keras. Bahkan beliau gunakan panggilan “yaa abati” yang merupakan panggilan yang sangat santun kepada ayahnya.

إذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئاً يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطاً سَوِيّاً

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?”. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” (QS. Maryam: 42-43).

Keempat

Allah Ta’ala perintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam untuk berkata-kata yang lemah lembut kepada Fir’aun. Padahal Fir’aun sangat kufur hingga mengaku tuhan. Allah Ta’ala berfirman:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى قَالا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَن يَطْغَى قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكَ وَالسَّلامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas”. Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”. Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk” (QS. Thaha: 42-47).

Kelima

Allah Ta’ala perintahkan seseorang yang orang tuanya kafir dan mengajak pada kekufuran untuk tetap berbuat baik kepada orang tuanya tersebut. Namun tidak boleh mengikuti kekufuran orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Luqman: 15).

Dalil As Sunnah

Pertama

Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

أنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ ائْذَنُوا لَهُ فَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ أَوْ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلَانَ لَهُ الْكَلَامَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ مَا قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ فِي الْقَوْلِ فَقَالَ أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ .( متفق عليه )

Ada seorang lelaki yang ingin bertemu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka Nabi bersabda (kepada Aisyah): “biarkan ia masuk, namun sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk anak teman kita atau seburuk-buruk teman”. Namun ketika lelaki tersebut masuk, Nabi ternyata berkata-kata dengan perkataan yang lembut kepadanya. Maka Aisyah bertanya: “wahai Rasulullah, engkau tadi mengatakan yang engkau katakan, namun mengapa engkau melembutkan perkataan kepadanya?”. Nabi bersabda: “wahai Aisyah, manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah adalah yang dijauhi orang-orang atau diwaspadai oleh orang-orang karena khawatir akan keburukan sikapnya“” (HR. Bukhari no. 6131, Muslim no.2591).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersikap baik dan melembutkan perkataan kepada orang yang buruk. Ini adalah bentuk mudarah.

Kedua

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

استوصوا بالنساء خيرًا؛ فإنهنَّ خلقن من ضِلع، وإنَّ أعوج شيء في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء خيرًا

Berilah nasehat yang baik kepada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang yang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka jika kalian luruskan dengan keras, ia akan patah. Namun jika dibiarkan ia akan terus bengkok. Maka berilah nasehat yang baik kepada para wanita” (HR. Bukhari no.5186, Muslim no. 1468).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan berbuat baik dalam menyikapi kesalahan wanita, tidak disikapi dengan keras namun juga tidak dibiarkan kesalahannya. Ini adalah bentuk mudarah.

Ketiga

Dari Abu Bisyr Ja’far bin Abi Iyyas, ia berkata, aku mendengar ‘Abbad bin Syurahbil (seorang lelaki dari Bani Ghubar) berkata:

أَصَابَنَا عَامُ مَخْمَصَةٍ، فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ، فَأَتَيْتُ حَائِطًا مِنْ حِيطَانِهَا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ، فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ «مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ جَائِعًا، أَوْ سَاغِبًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ جَاهِلًا» ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ، أَوْ نِصْفِ وَسْقٍ

Dari Abu Bisyr Ja’far bin Abi Iyyas, ia berkata, aku mendengar ‘Abbad bin Syurahbil (seorang lelaki dari Bani Ghubar) berkata:

Aku mengalami masa paceklik. Maka aku pun datang ke kota Madinah. Ketika itu aku sampai di salah satu kebun yang ada di Madinah. Kuraup kurmanya dan kumakan, dan sebagian kusimpan di bajuku. Lalu pemilik kebun datang. Ia memukulku dan mengambil bajuku. Aku pun datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku ceritakan kejadian tersebut. Maka Rasulullah pun berkata kepada pemilik kebun: ‘Mengapa engkau tidak beri makan orang ini jika memang ia kelaparan? Mengapa engkau tidak ajari ia jika memang ia tidak paham?‘ Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan pemilik kebun mengembalikan pakaiannya dan memberikannya setengah atau satu wasaq kurma” (HR. Abu Daud [1/408-409], An Nasaa-i [2/209], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/815).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam justru memperlakukan dengan baik orang yang melakukan pencurian karena jahil dan kelaparan. Ini adalah bentuk mudarah.

Keempat

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنا في غزاة – قال سفيان مرة : في جيش – فكسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال الأنصاري : يا للأنصار ، وقال المهاجري : يا للمهاجرين ، فسمع ذاك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ما بال دعوى جاهلية ) . قالوا : يا رسول الله ، كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال : (دعوها فإنها منتنة) فَسَمِعَ بذلكَ عبدُ اللَّهِ بنُ أُبَيٍّ، فَقالَ: فَعَلُوهَا، أما واللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إلى المَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ منها الأذَلَّ، فَبَلَغَ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَقَامَ عُمَرُ فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ: دَعْنِي أضْرِبْ عُنُقَ هذا المُنَافِقِ، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: دَعْهُ، لا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أصْحَابَهُ

“Suatu ketika di Gaza, (sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku).’ Orang muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (ayo berpihak padaku)’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: ‘Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan sikap yang demikian karena yang demikian adalah perbuatan busuk’.

Abdullah bin Ubay (tokoh munafiqin) pun mendengar peristiwa ini. Ia berkata: “sungguh orang-orang Anshar sengaja melakukannya. Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat (Anshar) akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya (Muhajirin)”. Perkataan Abdullam bin Ubay ini sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka Umar pun berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal leher orang munafik ini!”. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Biarkan dia, jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh kaumnya sendiri”” (HR. Al Bukhari no.4905, Muslim no. 2584).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membiarkan Abdullah bin Ubay, tokoh munafiqin, yang telah melakukan provokasi di tengah kaum Muslimin dan tidak berbuat keras kepadanya. Dalam rangka menjaga maslahat agama, yaitu agar tidak tercipta stigma negatif bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membunuhi sesama Muslim. Ini adalah bentuk mudarah.

Perkataan Salaf Tentang Mudarah

Abud Darda’ radhiallahu’anhu berkata:

إنا لنكشر في وجوه أقوام ونضحك إليهم، وإنَّ قلوبنا لتلعنهم

“Sungguh kami pernah tersenyum dan tertawa bersama suatu kaum, padahal hati kami melaknat mereka” (Hilyatul Auliya, 1/222).

Maksudnya beliau berlaku baik dan penuh senyuman kepada orang-orang yang buruk sampai-sampai beliau melaknatnya dalam hati. Umar bin Khathab radhiallahu’anhu juga berkata:

خالطوا الناس بالأخلاق، وزايلوهم بالأعمال

Pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik, namun selisihilah mereka dalam amalan” (Mudarasatun Naas libni Abid Dunya, 37).

Semisalnya dengan ini, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu juga berkata:

خالط الناس وزايلهم، ودينك لا تُكْلِمنَّه

Pergaulilah orang-orang namun selisihilah mereka. Agamamu jangan dikompromikan” (Al Uzlah lil Khathabi, 99).

Maksudnya terhadap orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam beragama, hendaknya tetap bergaul dengan mereka dengan akhlak yang baik, namun jangan ikuti penyimpangan mereka dalam beragama.

Al Hasan Al Bashri mengatakan:

كانوا يقولون: المدَاراة نصف العقل، وأنا أقول هي العقل كلُّه

“Para salaf mengatakan: mudarah adalah setengah akal. Adapun aku, aku katakan bahwa mudarah itu berarti menggunakan seluruh akal” (Al Adab Asy Syar’iyyah, 3/468)

Perbedaan Mudarah Dan Mudahanah

Jika diperhatikan, antara mudarah dan mudahanah ada sisi kesamaan, yaitu sama-sama bersikap baik dan lembut kepada orang-orang yang buruk dan mengalah kepada mereka. Namun mudarah dibolehkan sedangkan mudahanah terlarang. Maka bagaimana membedakan keduanya?

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan:

أنَّ المدَاراة: بذل الدنيا لصلاح الدنيا، أو الدين، أو هما معًا، وهي مباحة وربما استحبت. والمداهنة: ترك الدين لصلاح الدنيا

“Mudarah adalah mengorbankan dunia demi kemaslahatan dunia atau kemaslahatan agama atau keduanya sekaligus. Hukumnya mubah dan terkadang bahkan dianjurkan. Sedangkan mudahanah adalah meninggalkan agama demi kepentingan dunia” (Fathul Bari libni Hajar, 10/454).

Abu Bakar Ath Thurthusi rahimahullah mengatakan:

وقال أبو بكر الطرطوشي: (المدَاراة: أن تداري الناس على وجه يسلم لك دينك)

“Mudarah adalah engkau berbuat baik kepada orang lain dalam rangka menyelamatkan agamamu” (Sirajul Muluk, 11/36).

Ibnu Bathal rahimahullah menjelaskan:

المدَاراة مندوب إليها، والمداهنة محرمة، والفرق أنَّ المداهنة من الدهان وهو الذي يظهر على الشيء ويستر باطنه، وفسَّرها العلماء بأنها معاشرة الفاسق، وإظهار الرضا بما هو فيه من غير إنكار عليه، والمدَاراة هي الرفق بالجاهل في التعليم، وبالفاسق في النهي عن فعله، وترك الإغلاظ عليه حيث لا يظهر ما هو فيه، والإنكار عليه بلطف القول والفعل، ولا سيما إذا احتيج إلى تألفه ونحو ذلك)

“Mudarah disunnahkan, sedangkan mudahanah diharamkan. Perbedaannya, mudahanah berasal dari duhhan, artinya menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hakikatnya. Sebagian ulama menafsirkan mudahanah artinya bergaul dengan orang fasik dan menampakkan keridhaan kepada dia tanpa melakukan pengingkaran. Sedangkan mudarah adalah berbuat lemah lembut kepada orang jahil dalam rangka mengajarkannya. Atau berlaku lembut kepada orang fasiq dalam mengingkari perbuatannya, dan tidak berlaku keras kepadanya karena ia tidak menampakkan kesalahannya, serta mengingkarinya dengan kata-kata dan perbuatan yang lembut. Lebih lagi jika orang tersebut butuh untuk didekati (karena baru masuk Islam) atau semisalnya” (Fathul Bari Ibnu Hajar, 10/528).

Maka perbedaannya, mudarah dilakukan tanpa mengorbankan agama, tanpa melakukan perkara yang diharamkan agama serta dilakukan demi kemaslahatan agama. Sedangkan mudahanah dilakukan dengan mengorbankan agama dengan melakukan yang dilarang agama, demi kemaslahatan dunia.

Wallahu a’lam, wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46012-lemah-lembut-dengan-dengan-pelaku-kemaksiatan.html

Kapan Perkara Mubah Bisa Berubah Menjadi Maksiat atau Ketaatan?

Pada asalnya, perkara mubah itu tidak bernilai pahala dan dosa ketika kita mengerjakan atau meninggalkannya.

Hati-Hati dengan Perkara Mubah

Seorang mukallaf (orang yang telah terbebani kewajiban syariat) boleh memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Namun, perkara mubah tersebut bisa berubah menjadi makruh atau bahkan haram, ketika dampak negatif (mafsadah) yang ditimbulkannya lebih dominan daripada dampak positifnya (maslahat). Demikian pula sebaliknya, perkara mubah tersebut bisa berubah menjadi sunnah atau bahkan wajib, ketika dampak positif (maslahat) yang ditimbulkannya lebih dominan daripada dampak negatifnya (mafsadah).

Perkara Mubah yang Berubah Menjadi Makruh atau Haram

Misalnya, hukum asal makan minum adalah mubah, selama yang dimakan adalah perkara halal dan thayyib. Akan tetapi, jika seseorang makan dan minum secara berlebihan sampai di luar batas kewajaran, maka hal ini bisa berubah menjadi makruh, atau bahkan haram. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Dari sahabat Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

“Manusia tidak memenuhi wadah yang buruk melebihi perut. Cukup bagi manusia beberapa suapan yang menegakkan tulang punggungnya, bila tidak bisa maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmizi no. 2380, Ibnu Majah 3349, dan Ahmad no. 16735, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Demikian pula, ketika seseorang memilih tidak makan dan minum, dan hal itu menyebabkan bahaya pada dirinya sendiri atau bahkan bisa meninggal, maka dalam kondisi ini berubah menjadi haram. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ [4]:29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

“Tidak boleh berbuat bahaya atau membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, shahih)

Contoh lain, bermain-main hukum asalnya mubah, selama tidak terjerumus dalam perkara haram. Namun, jika hal itu menyebabkan seseorang melalaikan kewajiban, misalnya seseorang terlewat shalat wajib dan akhirnya belum shalat wajib secara sengaja sampai waktunya habis, maka dalam kondisi seperti ini, bermain-main tersebut berubah hukum menjadi haram. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

Perkara Mubah yang Berubah Menjadi Sunnah atau Wajib

Hukum asal tidur adalah perkara mubah. Namun jika hal itu bisa membantu ketakwaan di jalan Allah, seperti untuk mencari rizki yang halal, atau memperbanyak ibadah di malam hari (dengan tidur siang), maka bisa berubah menjadi sunnah dan berpahala. 

Dari sahabat Sa’id bin Abu Burdah, dari ayahnya, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kakeknya, alias Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman dan beliau berpesan,

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا

“Hendaklah kalian mempermudah, jangan mempersulit, berilah kabar gembira, jangan kalian jadikan manusia lari (dari agama), dan bersatu padulah.” 

Lantas Abu Musa bertanya, “Wahai Nabi Allah, wilayah kami di sana ada minuman dari tepung yang sering diistilahkan dengan al-mizru dan ada minuman dari kurma yang sering diistilahkan dengan al-bit’u? 

Lantas beliau bersabda, 

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Setiap yang memabukkan adalah haram.” 

Keduanya pun berangkat. lalu Mu’adz berkata kepada Abu Musa, “Bagaimana Engkau membaca Al-Qur’an?” 

Abu Musa menjawab, “Baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau saat aku di atas hewan tungganganku, namun terkadang aku masih menambah.”

Sedangkan Mu’adz mengatakan, 

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي

“Jika aku, kadang aku tidur dan shalat malam. Aku berharap pahala dari tidurku, sebagaimana aku berharap pahala dari shalat malamku.” (HR. Bukhari no. 4345 dan Muslim no. 1732)

Perhatikanlah bagaimana jawaban Mu’adz. Di malam hari beliau tidur, namun beliau niatkan agar bisa bangun dan segar untuk shalat malam. Sehingga beliau pun berharap pahala dari tidurnya, sebagaimana beliau berharap pahala dari ibadah shalat malam yang beliau kerjakan. 

Inilah di antara ciri orang yang selalu ingat kepada Allah Ta’ala, selalu ingat tujuan penciptaannya, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. 

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54367-kapan-perkara-mubah-bisa-berubah-menjadi-maksiat-atau-ketaatan.html

Sibuk dan Ambisi dalam Berkarier

APABILA kita lulusan pendidikan Akademi Militer (Akmil), atau Akademi Kepolisian (Akpol), kita tidak perlu sibuk memikirkan atau berambisi pada karier. Kalau terlalu fokus pada karier, kita akan bertemu dengan yang namanya pensiun. Pangkat kita saat itu tidak Iebih dari mayor, Letkolnya awet, atau sampai Brigjen, Irjen, atau Komjen saja. Tidak mungkin semuanya jadi jenderal. itu semua ada garisnya dari Allah Taala.

Orang yang mencapai pangkat jenderal, bukan karena dia hebat dan badannya berotot tegap atau gagah perkasa. Ada jenderal polisi atau TNI yang tidak sampai begitu. Contohnya Jenderal Sudirman. Sepengetahuan saya, mungkin beliau jenderal terkurus sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan, sebagian masa mengabdi beliau harus digotong karena mengidap sakit paru-paru.

Demikian pula bagi kita yang bekerja di kantor sebagai pegawai atau karyawan. Sungguh tidak perlu merintis karier dengan mencari muka maupun menjilat atasan. Juga bagi yang sedang menjabat, tidak usah pusing mempertahankan kedudukan. Ingatlah bahwa mutasi bukan mutilasi. Jadi tidak perlu dipersoalkan, apalagi sampai kasak-kusuk membawa urusan karier sampai ke dukun. Kalau dukun yang dianggap sakti itu memang sakti, pasti dialah yang jadi jenderal atau menjabat pimpinan di kantor.

Saudaraku, teruslah bekerja dengan baik, bagus, dan amanah. Persoalan karier serahkan sepenuhnya kepada Allah Taala. Pangkat, jabatan, dan kedudukan berada dalam kekuasaan-Nya. Suka-suka Allah saja untuk memberikan kekuasaan atau pangkat yang tinggi kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

“Katakanlah (Muhammad), Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Dan Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau berikan rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan.” (05. Ali ‘Imran [3]:26-27).

Siapapun yang dikehendaki Allah menjabat, menjadi jenderal, dan memegang kedudukan Iainnya, pasti akan terjadi.Tidak ada seorang dan sesuatu pun yang mampu menjegal. Begitu sebaliknya,jika AllahTa’ala berkehendak mencabut atau mengambilnya kembali, pasti Iepas, turun, dan lengser, tanpa ada yang sanggup menghalangi sedikit pun.

Semuanya benar-benar ada dalam kekuasaan Allah, siapapun bisa diberi-Nya kedudukan, pangkat dan jabatan. Meski kurus dan sakit, ketika Allah memang berkehendak, dia akan menjadi apa yang diinginkan banyak orang, Jenderal Sudirman misaInya.

Untuk menjadi penguasa, pucuk pimpinan, atau bos besar, tidak harus orang baik, orang yang jahat dan zalim pun bisa memegang kedudukan dengan izin-Nya. Namun demikian, orang zalim kedudukannya hanya sebatas mendapat izin Allah Taala.Tidak seperti orang yang baik dan menjadikan pangkat dan jabatanya untuk kebaikan, atau sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya, yang bisa memperoleh keridhaan Allah.

Jenderal Sudirman adalah contoh yang sangat baik. Walau sudah wafat puluhan tahun ke belakang, kemuliaan akhlaknya, kesalehan, dan keberaniannya terus dikenang.Tidak sedikit juga jenderal yang dikenang dengan keburukan maupun kezalimannya. Artinya, bukan pangkat dan jabatan yang mengangkat derajat seseorang, tetapi kemuliaan akhlaknya yang akan tetap dikenang.

Maka, teruslah bekerja dengan penuh amanah dan profesional. Kita jangan sibuk memikirkan karier, tetap. sibuklah kepada Allah. Sebaiknya,jangan pula berambisi pada karier, karena tiada ambisi yang paling patut selain ambisi untuk mendapatkan keridhaan Allah. Persoalan karier serahkan kepada Allah, Zat Pemilik dan Penguasa seluruh kekuasaan dan rezeki.

Ingatlah akan nasihat Ali bin Abi Thalib ra, Beliau pernah berkata, “Aku tidak peduli kelapangan dan kesempitan. karena keduanya baik.” Dalam kesempitan bisa sabar, dan akan mendapat pahala kesabaran. Dalam kelapangan bisa bersyukur, itu juga menjadi kebaikan.

Apabila di depan kita terbuka sebuah kesempatan menerima suatu jabatan atau kedudukan, istikharahlah. “Ya Allah, kalau saya memang bisa amanah dan semakin dekat kepada-Mu dengan jabatan ini, bermanfaat bagi orang banyak, maka kuatkanlah saya untuk menerimanya. Tapi kalau jabatan ini membuat saya jauh dari-Mu, dan berbuat zalim pada yang Iain, maka saya mohon jangan Engkau berikan kepada saya, ya Allah.”

Dialah Pencipta, Pemilik, Penggenggam, dan Penguasa segaIa-galanya. Dia mengetahui kadar imarh kemampuan dan intelektual kita. Allah Mahatahu segala sesuatu tentang diri kita, termasuk mampu atau tidaknya kita dalam mengemban amanah pangkat, jabatan dan kedudukan.

“Dan Katakanlah Bekerjalah kamu, maka AlIah dan rasuI-Nya beserta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu kamu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah [9]:105). [*]

INILAH MOZAIK

Bimbingan Praktis Umrah (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Bimbingan Praktis Umrah (Bag. 3)

Wajib Umroh

Yang dimaksud dengan “wajib umroh” disini adalah perkara-perkara yang wajib dilakukan dalam ibadah umroh, yaitu:

  1. Ihram dari miqot.
  2. Menggundul atau memendekkan rambut kepala.

Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban dalam ibadah umroh dengan sengaja, maka ia diwajibkan menunaikan denda (dam), berupa menyembelih seekor kambing, atau seekor sapi untuk tujuh orang (sepertujuh sapi perorang), atau seekor onta untuk tujuh orang (sepertujuh onta perorang), dan hewan tersebut disembelih di tanah haram, serta dibagikan semuanya kepada orang-orang fakir miskin di tanah Haram, dan ia tidak boleh memakan sesembelihan tersebut sedikitpun, karena statusnya adalah denda untuk tebusan. Dan hewan-hewan sesembelihan itu haruslah terpenuhi syarat-syarat hewan kurban.

Dalil tentang kewajiban menunaikan denda ini adalah ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang dikelompokkan oleh ulama kedalam hukum marfu’ :

مَن ترك شيئًا من نُسُكه أو نَسِيه، فليُهْرِق دمًا

“Barangsiapa yang meninggalkan suatu (kewajiban) dari ibadah (haji atau umroh)nya, atau ia melupakannya, maka hendaknya ia mengalirkan darah (hewan kurban)”.[Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththo`, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi, semua perowinya terpercaya].

Atau setidaknya -menurut Syaikh Al-‘Utsaimin- hukuman denda ini adalah hasil ijtihad Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang berarti ini adalah ucapan seorang sahabat yang tidak diketahui ada orang (sahabat) yang menyelisihinya. 

Maksudnya : beliau berijtihad mengqiyaskan hukuman bagi orang yang meninggalkan kewajiban dari ibadah umroh/haji atas hukuman bagi orang yang melakukan keharoman dalam ibadah umroh/haji, sebagaimana terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah : 196,

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ 

Dan tunaikanlah sampai selesai ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) hewan kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur rambut kepala kalian, sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau menyembelih hewan kurban. Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hewan kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (hewan kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54362-bimbingan-praktis-umrah-bag-4.html

Ini Doa Rasulullah Agar Miliki Sifat Qanaah

INGATLAH, orang yang memiliki sifat qanaah sungguh terpuji. Makanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam minta dalam doa beliau sifat qanaah (selalu merasa cukup) seperti dalam doa berikut,

“ALLOHUMMA INNI AS-ALUKAL HUDA WAT-TUQO WAL AFAF WAL GHINA”

(Artinya: Ya Allah, aku meminta kepada-Mu petunjuk dalam ilmu dan amal, ketakwaan, sifat afafmenjaga diri dari hal yang haram, dan sifat ghinahati yang selalu merasa cukup atau qanaah).”(HR. Muslim, no. 2721, dari Abdullah).

Afaf artinya menjaga iffah, menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik, termasuk juga menjauhkan diri dari syubhat (hal yang masih samar). Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Afaf adalah menahan diri dari yang haram, juga menjauhkan dari hal-hal yang menjatuhkan kehormatan diri. Ulama lain mengungkapkan iffah (sama dengan afaf) adalah menahan diri dari yang tidak halal.” (Syarh Shahih Muslim, 12:94)

Semoga kita dianugerahi oleh Allah sifat nerimo (qanaah).

[Referensi: Minhah Al-Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram; Taubat dari Utang Riba dan Solusinya/ Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK