Tanya Umar ke Nabi Muhammad: Kenapa Shalat di Maqam Ibrahim?

Suatu ketika, Umar bin Khattab masuk ke Masjidil Haram bersama Nabi Muhammad. Kemudian, mereka sampai di maqam Nabi Ibrahim, tempat beliau berpijak ketika membangun Ka’bah.

Umar bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa kita mesti shalat di Maqam Ibrahim ini?

Nabi Muhammad menjawab, “Wahai Umar, belum turun perintah Allah tentang itu.”

Sebelum matahari terbenam pada hari itu, Jibril turun menyampaikan wahyu Allah yang berbunyi, “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (QS: Al-Baqarah: 125).

IHRAM

Mengapa Rasulullah SAW tak Suka Ungkapan “Seandainya”

Ungkapan seandainya sangat rentan dengan bisikin malas setan.

Seringkali kita mengatakan seandainya dalam kehidupan sehar-hari. Kita pun gemar berandai-andai tentang segala sesuatu. 

Nabi Muhammad SAW ternyata tak menyukai umatnya mengumbar kata-kata ”seandainya”. Bahkan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya, kalimat lauw (seandainya) membawa kepada perbuatan setan.” 

Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami, menjelaskan, kata ”seandainya” tidak membawa manfaat sama sekali. Menurutnya, meskipun seseorang mengucapkan ungkapan itu, ia tidak akan mampu mengembalikan apa yang telah berlalu, dan menggagalkan kekeliruan yang telah terjadi.

Dalam bukunya bertajuk Berakhlak dan Beradab Mulia, Syekh asy-Syaami mewanti-wanti bahwa ungkapan ‘seandainya’ bisa berkonotasi sebagai angan-angan semu, dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. ”Sikap seperti ini adalah sikap yang lemah dan malas,” ujarnya.

Bahkan, kata dia, Allah SWT pun membenci sikap lemah, tidak mampu, dan malas. Dalam hadis dinyatakan, ”Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap ‘cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung.” (HR Abu Dawud)

Sikap tangkas dan cerdas yang dimaksud, tutur dia, melakukan usaha dan tindakan-tindakan yang bisa membawa pada keberhasilan meraih sesuatu yang bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat. Ini, sambung Syekh asy-Syaami,  merupakan bentuk aplikasi terhadap hukum kausalitas yang telah Allah tetapkan.

Keutaman dari sikap tangkas dan cerdas yakni bisa menjadi pembuka amal kebaikan.  Sebaliknya,  sikap lemah dan malas, seperti telah diingatkan Rasulullah SAW, hanya akan mendekatkan diri kepada setan.

”Sebab, jika seseorang tidak mampu atau malas melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya dan masyarakat sekitar, maka dia akan selalu menjadi seseorang yang kerap berangan-angan,”  paparnya. 

Perbuatan dan sikap semacam itu,  selain kontraproduktif serta tidak akan membawa pada keberhasilan, juga sama saja dengan membuka amal perbuatan setan karena pintu amal setan tidak lain adalah sikap malas dan lemah. Merekalah, tegas as-Syaami, adalah orang yang paling merugi.  

Mengapa dikatakan orang yang paling merugi? Sebab, sifat malas dan lemah merupakan kunci segala bencana. Seperti misalnya, perbuatan maksiat sudah pasti terjadi karena lemahnya keimanan dan ketakwaan seseorang sehingga berani melanggar larangan agama. 

Jadi, dia menambahkan, seorang hamba yang memiliki dua sifat tercela tadi, berarti ia tidak mampu melaksanakan amal perbuatan ketaatan serta tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa membentengi dirinya dari godaan perbuatan jahat maupun maksiat.

Imam Ibnu Hajar dalam kitab /Fathul Barri/ jilid XI menggarisbawahi, apabila penyakit hati  itu telah menjangkiti manusia, maka ia akan mulai mendekati larangan Allah. Dia pun menjadi enggan untuk bertobat.

Untuk itu,  Nabi SAW memberikan tuntunan doa bagi umatnya agar terhindar dari dua jenis sifat tercela tadi. Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.”

Cemas dan sedih, keduanya juga bersumber dari malas dan lemah. Karena, apa yang telah terjadi, tidak mungkin diubah atau dihapus hanya dengan kesedihan, namun yang perlu dilakukan adalah menerimanya dengan kerelaan, sabar dan iman.

Demikian pula sesuatu yang mungkin terjadi di waktu mendatang, juga tidak mungkin dapat diubah atau dihapus hanya dengan kecemasan atau kekhawatiran. Maka itu, seseorang harus selalu siap membekali diri dengan sikap-sikap yang baik untuk menghadapi segala kemungkinan.

Oleh karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi optimisme, kerja keras, dan berusaha sekuat tenaga. Jiwa seorang Muslim sejati adalah yang meyakini bahwa rezeki Allah SWT sangatlah berlimpah, dan disediakan bagi siapapun yang mampu menggapainya dengan semangat dan etos kuat.

”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al Jumu’ah [62] : 10)

Ada perbedaan antara harapan dan angan-angan. Harapan selalu dibarengi dengan usaha, sementara angan-angan atau kemalasan hanyalah angan-angan kosong. Semoga kita dijauhkan dari sifat malas

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalat Jumat Termegah Saat Penaklukan Konstantinopel

Hari Jumat adalah hari yang mulia untuk umat Islam.

Pada 23 Maret 1453, Sultan Mehmet II yang juga dikenal secara luas dengan Muhammad al-Fatih  berangkat dari Edirne dengan penuh kemegahan bersama seluruh pasukannya, prajurit kavaleri, dan prajurit infantri. 

Dalam Buku berjudul “1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim”, Roger Crowley menjelaskan, hari itu adalah hari Jumat, hari yang mulia bagi umat Islam. Hari Jumat memang sengaja dipilih untuk menambah kesakralan penyerangan ke Konstantinopel.

Saat berangkat menuju konstantinopel, Sultan Mehmet II ditemani ulama, syekh dan para habib. Para tokoh agama Islam tersebut membaca doa berulang-ulang, bergerak maju bersama pasukan yang lain, dan berkuda.

Saat hendak melakukan melaklukkan Konstantinopel, puluhan ribu umat Islam pun melaksanakan shalat Jumat yang bisa dikatakan sebagai shalat Jumat termegah dan terpanjang yang pernah terjadi pada 1453.  

Karena, shalat Jumat itu dilakukan di jalan menuju Konstatinopel dengan jamaah yang membentang sepanjang 4 kilometer dari Pantai Marmara hingga Selat Golden Horn di utara. Shalat Jumat tesebut dilakukan di depan benteng Konstantinopel dengan jarak 1,5 kilometer. 

Selama lebih dari seribu tahun, Konstantinopel adalah pusat dunia Barat sekaligus pertahanan Kristen terhadap Islam. Kota ini tak pernah lepas dari ancaman dan selalu selamat dari penyerangan yang rata-rata muncul setiap empat puluh tahun.

Namun, Muhammad Al-Fatih dengan bala tentaranya yang sangat besar akhirnya berhasil melewati tembok pertahanan kota itu. Berbekal pesenjataan baru yang canggih, pada April 1453, sebanyak 80 ribu pasukan Muslim mulai menyerang delapan ribu pasukan Kristen di bawah pimpinan Konstantin XI, Kaisar Byzantium ke-57.  

Hingga akhirnya Konstantinopel jatuh ke tangan umat Islam. Penaklukan yang dipimpin panglima muda berusia 23 tahun tersebut membuktikan hadits nabi yang menyatakan bahwa Konstantinopel nantinya akan jatuh ke tangan umat Islam. 

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR. Ahmad).

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Mandi di Hari Jumat dalam Islam

Dalam Islam, mandi di hari Jumat memiliki sejumlah keutamaan.

Hari Jumat adalah hari utama dan agung di antara hari-hari lainnya. Karena, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad:

“Hari terbaik di mana matahari terbit di dalamnya ialah hari Jumat. Pada hari tersebut, Adam Alaihis-Salam diciptakan, dimasukkan ke surga, dikeluarkan daripadanya, dan kiamat tidak terjadi kecuali di hari Jumat.” (HR Muslim)

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya yang berjudul Minhajul Muslim menyebutkan, karena itu hari Jumat harus diagungkan karena Allah Ta’ala. Selain itu, mengagungkannya dengan memperbanyak amal-amal shaleh di dalamnya dan menjauhkan diri dari seluruh dosa.

Salah satu amalan yang bisa dikerjakan pada hari Jumat dan merupakan sunah Nabi adalah mandi. Nabi Muhammad bersabda, “Mandi pada hari Jumat adalah kewajiban bagi setiap orang yang pernah bermimpi (baligh).” (Muttafaq Alaih).

Selain itu, Nabi Muhammad bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jumat seperti mandi jinabat, kemudian berangkat pada jam pertama, ia seperti berkurban dengan unta. Barangsiapa berangkat pada jam kedua, ia seperti berkurban dengan lembut betina. Barangsiapa berangkat pada jam ketiga, ia seperti berkurban dengan kambing bertanduk. Barang siapa berangkat pada jam keempat, ia seperti berkurban dengan ayam betina. Dan barangsiapa berangkat pada jam kelima, ia seperti berkurban dengan telur. Jika imam telah keluar (Maksudnya masuk ke masjid), maka para malaikat datang untuk mendengarkan zikir.” (HR Malik).

KHAZANAH REPUBLIKA

Fikih Seputar Menebarkan Salam

Umat Islam memiliki ucapan tahiyyah (penghormatan) yaitu ucapan “assalamu’alaikum”. Ucapan ini adalah ucapan yang indah dan penuh keberkahan. Ia juga merupakan syiar Islam yang mulia. Maka Islam menghasung umatnya untuk menebarkan salam dimana pun ia berada.

Keutamaan Menebarkan Salam

Salam yang dimaksud adalah ucapkan ‘assalamu’alaikum‘ atau lebih baik lagi ‘assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh‘. Ucapan ini juga disebut tahiyyatul Islam. Bagi seorang Muslim, sungguh ucapan ini jauh lebih baik dari sapaan-sapaan gaul atau pun greets ala barat. Karena saling mengucapkan salam akan menumbuhkan kecintaan terhadap hati sesama muslim serta dengan sendirinya membuat suasana Islami di tengah kerabat dan keluarga anda. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

لا تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ حتَّى تُؤْمِنُوا، ولا تُؤْمِنُوا حتَّى تَحابُّوا، أوَلا أدُلُّكُمْ علَى شيءٍ إذا فَعَلْتُمُوهُ تَحابَبْتُمْ؟ أفْشُوا السَّلامَ بيْنَكُمْ

“Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian” (HR. Muslim, no.54).

Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Sayyidina Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam, saling mengucapkan salam akan menumbuhkan rasa cinta. Bukan cinta biasa, namun cinta karena iman, cinta karena memiliki aqidah yang sama. Dan yang luar biasa lagi, ternyata dengan kebiasaan menebarkan salam, bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda: 

اعبُدوا الرحمنَ ، و أطعِمُوا الطعامَ ، وأَفشوا السَّلامَ ، تَدخُلوا الجنَّةَ بسَلامٍ

“Sembahlah Ar Rahman semata, berikanlah makan (kepada yang membutuhkan), tebarkanlah salam, maka engkau akan masuk surga dengan selamat” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 981, Ibnu Majah 3694, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2/115).

Wajib Menjawab Salam

Menjawab salam hukumnya wajib. Allah Ta’ala berfirman: 

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyyah (penghormatan), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An Nisa: 86).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

“Hak sesama Muslim ada lima: membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” (HR. Bukhari no.1164, Muslim no.4022). 

Al Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ menjelaskan rinciannya:

وأما جواب السلام فهو فرض بالإجماع، فإن كان السلام على واحد، فالجواب: فرض عين في حقه، وإن كان على جميع فهو فرض كفاية، فإذا أجاب واحد منهم أجزأ عنهم، وسقط الحرج عن جميعهم، وإن أجابوا كلهم كانوا كلهم مؤدين للفرض، سواء ردوا معاً أو متعاقبين، فلو لم يجبه أحد منهم أثموا كلهم، ولو رد غير الذين سلم عليهم لم يسقط الفرض والحرج عن الباقين

“Menjawab salam hukumnya wajib berdasarkan ijma ulama. Jika salamnya kepada satu orang maka menjawab salam fardhu ‘ain bagi dia. Jika salamnya kepada banyak orang, maka fardhu kifayah bagi mereka untuk menjawab. Jika sudah dijawab oleh satu orang diantara mereka, maka sudah cukup, dan gugur kewajiban dari yang lain. Jika mereka semua menjawab salam maka mereka semua dianggap menunaikan kewajiban. Baik mereka menjawab secara berbarengan maupun bergantian. Namun jika diantara mereka tidak ada yang menjawab sama sekali, mereka semua berdosa. Jika mereka menjawab salam dari orang lain selain orang yang pertama tadi, maka tidak mengugurkan kewajiban dan tanggungan mereka” (Al Majmu Syarhul Muhadzab, 4/460).

Ucapan Salam yang Paling Minimal

Secara umum, lafadz yang terdapat dalam Al Qur’an adalah dalam bentuk nakirah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

سَلامٌ عليكم بما صَبَرْتُمْ

“keselamatan atas kalian atas kesabaran kalian” (QS. Ar Ra’du: 24).

إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ

“ketika mereka memasukinya mereka mengatakan: salaam. ia pun mengatakan: salaam” (QS. Adz Dzariyat: 25).

Dalam dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu

خَلَقَ اللهُ  آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ : اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ – وَهُمْ نَفَرٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ جُلُوسٌ – فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ

“Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuknya. Tingginya 60 hasta. Ketika ia diciptakan, Allah berfirman kepada Adam: ‘pergilah dan berilah salam kepada sekelompok makhluk itu (yaitu Malaikat), dan dengarkanlah ucapan tahiyyah dari mereka kepadamu. Karena itu adalah ucapan tahiyyah (yang disyariatkan untuk) engkau dan keturunanmu‘. Lalu Adam pergi dan mengucapkan: Assalamu’alaikum. Para Malaikat menjawab: Wa’alaikumussalam Warahmatullah. Mereka menambahkan kata warahmatullah” (HR. Bukhari no. 6227, Muslim no. 2841)..

Dalam lafadz yang lain:

خَلَقَ اللهُ آدَمَ بِيَدِهِ ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ، وأمرالْمَلَائِكَةِ فَسَجَدُوا لَهُ ،فَجَلَسَ فَعَطَسَ فَقَالَ : الْحَمْدُ للهِ ، فَقَالَ لَهُ رَبُّهُ : يَرْحَمُكَ اللهُ رَبُّكَ ، إيتِ هَؤلَاءِ الْمَلَائِكَةَ فَقُلِ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ ، فَأَتَاهُم فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ ، فَقَالُوا : وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللهِ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى رَبِّهِ تَعَالَى فَقَالَ لَهُ : هَذِهِ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ بَيْنَهُمْ

“Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, lalu meniup ruh untuknya. Lalu Allah memerintahkan Malaikat untuk sujud kepada Adam, lalu merekapun sujud. Lalu Adam duduk, kemudian ia bersih. Allah pun berfirman: yarhamukallahu rabbuka (Rabb-mu telah merahmatimu). Kemudian Allah berfirman: ‘datangilah para Malaikat itu dan ucapkanlah: Assalaamu’alaikum‘. Lalu Adam mendatangi mereka dan mengucapkan: Assalaamu’alaikum. Lalu para Malaikat menjawab: wa’alaikumussalam warahmatullah. Lalu Adam kembali kepada Rabb-nya. Kemudian Allah berfirman kepada Adam: ‘Itu adalah ucapan tahiyyahmu dan anak keturunanmu yang kalian ucapkan sesama kalian‘” (HR. An Nasa’i).

Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (14/140) mengatakan:

أَقَلّ السَّلَام أَنْ يَقُول : السَّلَام عَلَيْكُمْ , فَإِنْ كَانَ الْمُسْلِم عَلَيْهِ وَاحِدًا فَأَقَلّه السَّلَام عَلَيْك , وَالْأَفْضَل أَنْ يَقُول : السَّلَام عَلَيْكُمْ ، لِيَتَنَاوَلهُ وَمَلَكَيْهِ , وَأَكْمَل مِنْهُ أَنْ يَزِيد وَرَحْمَة اللَّه , وَأَيْضًا وَبَرَكَاته , وَلَوْ قَالَ : سَلَام عَلَيْكُمْ أَجْزَأَهُ ؛ وَاسْتَدَلَّ الْعُلَمَاء لِزِيَادَةِ : وَرَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته بِقَوْلِهِ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنْ سَلَام الْمَلَائِكَة بَعْد ذِكْر السَّلَام : ] رَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته عَلَيْكُمْ أَهْل الْبَيْت [ ( هود : 73 ) . وَبِقَوْلِ الْمُسْلِمِينَ كُلّهمْ فِي التَّشَهُّد : السَّلَام عَلَيْك أَيّهَا النَّبِيّ وَرَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته

“Ucapan salam yang paling minimal adalah: Assalamu’alaikum. Kalau hanya ada satu orang Muslim, maka ucapan paling minimal adalah: Assalamu’alaika. Namun yang lebih utama adalah mengucapkan: Assalamu’alaikum, agar salam tersebut tersampaikan kepadanya dan dua Malaikatnya. Dan yang lebih sempurna lagi adalah dengan menambahkan warahmatullah, dan juga menambahkan wabarakatuh. Kalau seseorang mengucapkan: salam ‘alaikum, itu sudah mencukupi. Para ulama menganjurkan penambahan warahmatullah dan wabarakatuh dengan firman Allah Ta’ala yang mengabarkan ucapan salam Malaikat (yang artinya): ‘rahmat Allah dan keberkahan-Nya semoga dilimpahkan atas kalian, wahai ahlul bait‘ (QS. Hud: 73). Dan juga berdalil dengan ucapan dalam tasyahud:Assalamu’alaika ayyuhannabiy warahmatullah wabarakatuh“.

Batasan Suara Salam yang Ideal

Batasan volume suara salam yang ideal adalah yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan. Dari Al Miqdad bin Al Aswad radhiallahu’anhu, ia berkata: 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِيءُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيُسَلِّمُ تَسْلِيمًا لَا يُوقِظُ نَائِمًا، وَيُسْمِعُ اليقظان

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah datang (ke suatu rumah) di malam hari. Beliau bersalam dengan salam yang tidak membangunkan orang yang tidur namun bisa didengar orang yang masih terjaga” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no.784, dishahihkan oleh Al Albani).

Salam yang Tidak Dibalas akan Dibalas oleh Malaikat

Jangan lupa, bahwa ucapan salam adalah doa. Kita mengucapkan salam kepada seseorang, berarti kita mendoakan keselamatan baginya. Dan doa ini akan dibalas oleh doa Malaikat untuk orang yang mengucapkan salam, walaupun orang yang tidak memberi salam tidak membalas. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:

تَسْلِيمُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ إِذَا لَقِيتَهُمْ ، فَإِنْ رَدُّوا عَلَيْكَ رَدَّتْ عَلَيْكَ وَعَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَرُدُّوا عَلَيْكَ رَدَّتْ عَلَيْكَ الْمَلائِكَةُ ، وَلَعَنَتْهُمْ أَوْ سَكَتَتْ عَنْهُمْ

“Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu mereka, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka. Namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu malah melaknat mereka atau mendiamkan mereka” (HR. Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin 423, Al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalah, 359. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 333).

Jadi sama sekali tidak ada ruginya mengucapkan salam kepada seseorang walaupun tidak dibalas, karena Malaikat yang akan membalas salam kita. Hadits ini juga menunjukkan tercelanya sikap enggan menjawab salam. Karena menjawab salam itu hukumnya wajib sebagaimana sudah dijelaskan. 

Dianjurkan Mengulang Salam Walaupun Baru Berpisah Sebentar

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا لقِيَ أحدُكم أخاه [ فلْيُسلِّمْ عليه فإن حالت بينهما شجرةٌ أو جدارٌ أو حجرٌ ولقِيَهُ فلْيُسلِّمْ عليه

“Jika seseorang dari kalian bertemu dengan saudaranya (sesama Muslim) maka ucapkanlah salam. Jika kemudian keduanya terhalang oleh pohon atau tembok atau batu, kemudian bertemu lagi, maka ucapkanlah salam lagi” (HR. Abu Daud no.5200, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أن النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم دخل المسجد، فدخل رجلٌ فصلَّى، ثم جاء فسلم على النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فرد النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عليه السلام، فقال : ارجع فصل، فإنك لم تصل . فصلَّى، ثم جاء فسلم على النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال : ارجع فصل، فإنك لم تصل . ثلاثا، فقال : والذي بعثك بالحق فما أحسن غيره، فعلمني

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk masjid. Kemudian datang seorang lelaki kemudian ia shalat. Kemudian ia mendatangi Nabi dan mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun menjawab salamnya. 

Nabi berkata: ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat. Orang tersebut shalat lagi. Kemudian ia mendatangi Nabi lagi dan mengucapkan salam lagi kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun menjawab salamnya. Nabi berkata: ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat. Ini terjadi sampai 3 kali.

Kemudian orang tersebut berkata: demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak tahu shalat kecuali ini, maka ajarkanlah aku shalat” (HR. Bukhari no.793, Muslim no.397).

Dari dua hadits ini kita ambil faedah bahwa dianjurkan untuk memperbanyak salam kepada saudara Muslim, bahkan walaupun baru berpisah sebentar, atau masih dalam satu tempat yang sama, kemudian bertemu lagi maka dianjurkan mengucapkan salam kembali.

Dan salam adalah doa, semakin banyak salam, semakin banyak doa kebaikan yang terucap.

Salam Ketika Masuk Rumah

Jangan lupa juga untuk mengucapkan salam ketika masuk ke sebuah rumah, karena Allah Ta’ala akan menimbulkan keberkahan dan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: 

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkahi lagi merupakan kebaikan” (QS. An Nur: 61)

Dengan mengucapkan salam ketika masuk rumah, setan tidak akan menginap di sana. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ، وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ، فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ

“Jika seseorang memasuki rumahnya, maka hendaknya berdzikir kepada Allah ketika masuk rumah dan juga ketika ia makan (di rumah). Maka setan akan berkata (kepada teman-temannya) : tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makanan bagi kalian. Jika seseorang memasuki rumahnya, tanpa berdzikir kepada Allah ketika masuk rumah, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya) : ada tempat menginap bagi kalian. Dan jika ia tidak berdzikir ketika mau makan, maka setan akan berkata (kepada teman-temannya) : ada tempat menginap dan ada makanan untuk kalian” (HR. Muslim no.2018).

Ucapan dzikir yang bisa mencegah masuknya setan ketika masuk rumah bisa berupa ucapan salam “assalamu ‘alaikum” atau “bismillah” atau dzikir lainnya. Wallahu a’lam.

Orang yang Naik Kendaraan Lebih Utama untuk Memulai Salam

Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ علَى الماشِي، والماشِي علَى القاعِدِ، والقَلِيلُ علَى الكَثِيرِ

“Orang yang naik kendaraan hendaknya memulai salam kepada yang berjalan kaki. Orang yang berjalan kaki hendaknya memulai salam kepada yang sedang duduk. Rombongan orang yang sedikit hendaknya memulai salam kepada orang yang banyak” (HR. Bukhari no. 6233, Muslim no. 2160).

Dianjurkan Salam Ketika Masuk ke Majelis

Imam An Nawawi rahimahullah berkata:

ويدخل على الشيخ كامل الخصال متصفا بما ذكرناه في المعلم متطهرا مستعملا للسواك فارغ القلب من الأمور الشاغلة وأن لا يدخل بغير استئذان إذا كان الشيخ في مكان يحتاج فيه إلى استئذان وأن يسلم على الحاضرين إذا دخل ويخصه دونهم بالتحية وأن يسلم عليه وعليهم إذا انصرف كما جاء في الحديث فليست الأولى أحق من الثانية ولا يتخطى رقاب الناس بل يجلس حيث ينتهي به المجلس إلا أن يأذن له الشيخ في التقدم أو يعلم من حالهم إيثار ذلك ولا يقيم أحدا في موضعه فإن آثره غيره لم يقبل اقتداء بابن عمر رضي الله عنهما إلا أن يكون في تقديمه مصلحة للحاضرين أو أمره الشيخ بذلك ولا يجلس في وسط الحلقة إلا لضرورة ولا يجلس بين صاحبين بغير إذنهما وإن فسحا له قعد وضم نفسه

Dianjurkan ketika masuk ke majelis ilmu:

* Beradab dengan adab yang terbaik, sama seperti yang kami paparkan tentang adab seorang guru agama.

* Dalam keadaan bersih,

* Sudah bersiwak,

* Membersihkan hati dari hal-hal yang menyibukkan.

* Jangan masuk ke dalam majelis tanpa izin, jika sang guru ngaji berada di tempat yang disyaratkan izin untuk memasukinya.

* Masuk ke majelis sambil memberi salam kepada pada hadirin, serta mengkhususkan salam untuk sang guru. Demikian juga memberi salam ketika hendak keluar dari majelis, sebagaimana dalam hadits: “Tidaklah salam yang pertama itu lebih berhak dari salam yang kedua”

* Janganlah melangkahi pundak-pundak orang lain, namun duduklah di baris yang paling belakang. Kecuali jika memang diizinkan oleh sang guru, atau dari kondisi majelis saat itu memang dibutuhkan untuk menyempil ke depan, asalkan tidak membuat seseorang berdiri dari tempatnya. Jika menyempil ke depan dapat mengganggu orang lain, maka tidak boleh. Hal ini dicontohkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma. Intinya, tidak boleh menyempil, kecuali ada maslahah atau sang guru memerintahkan hal tersebut.

* Janganlah duduk di tengah lingkaran kecuali karena darurat

* Jangan duduk diantara dua orang yang sedang duduk berdua tanpa izin mereka berdua. Jika mereka mengizinkan barulah boleh untuk duduk diantara mereka.

(At Tibyan Fii Adaabi Hamalatil Qur’an, hal 38-39, cetakan Dar Al Haramain).

Ketika Dapat Kiriman Salam, Begini Cara Menjawabnya

Dari kakeknya seorang lelaki dari dari Bani Numair radhiallahu’anhu, ia berkata:

بعثني أبي إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فقال ائتِه فأقرِئهِ السلامَ قال فأتيتُه فقلتُ إنَّ أبي يقرئُك السلامَ فقال عليكَ السلامُ وعلى أبيكَ السلامُ

Ayahku mengutusku untuk menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Nabi bersabda: “datangkan ia”. Lalu aku mengucapkan salam kepada Nabi dan mendatanginya. Lalu aku berkata: “ayahku mengirim salam untukmu wahai Nabi”. Nabi bersabda: “wa’alaikas salaam wa’ala abiikas salaam” (semoga keselamatan untukmu dan untuk ayahmu) (HR. Abu Daud no. 5231, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Ibnu Muflih dalam Adabus Syar’iyyah mengatakan:

ولو سلم الغائب عن العين من وراء جدار أو ستر: السلام عليك يا فلان، أو سلم الغائب عن البلد برسالته أو كتابه وجبت الإجابة عند البلاغ عندنا وعندنا الشافعية لأن تحية الغائب كذلك، ويستحب أن يسلم على الرسول

“Jika orang yang berada balik tembok atau suatu penghalang mengatakan: assalamu’alaikum wahai Fulan. Atau orang yang berada di tempat lain mengirim salam melalui orang lain atau menulisnya melalui surat, wajib menjawabnya menurut madzhab kami (Hambali) dan juga menurut Syafi’iyyah. Karena tahiyyah (salam penghormatan) orang yang tidak di hadapan kita sama dengan tahiyyah orang yang di hadapan kita. Dan disunnahkan memberi salam juga kepada orang yang menyampaikan salamnya” 

Intinya, menjawab salam untuk yang mengirim salam dan yang menyampaikan salam. Bisa dijawab dengan: “wa’alaikassalaam wa’alaihissalaam”, atau: “wa’alaika wa’alaihissalaam”, atau semacamnya. 

Wallahu a’lam.

**

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53926-fikih-seputar-menebarkan-salam.html

Keadaan Tidak Akan Berubah Tanpa Dirimu Yang Memulainya!

Didalam Al-Qur’an banyak kita temukan ayat-ayat yang menjadi kunci untuk membuka berbagai masalah dalam kehidupan kita. Ayat-ayat itu menceritakan tentang Sunnatullah yang apabila manusia berjalan diatasnya maka kehidupannya akan lurus dan apabila tidak mengikutinya maka ia akan melenceng.

Allah swt berfirman :

فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗاۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ ٱللَّهِ تَحۡوِيلًا

“Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu.” (QS.Fathir:43)

Dan salah satu Sunnatullah yang penting untuk selalu kita ingat adalah tentang “Penyebab berubahnya nasib kita.”

Yakni Allah tidak akan merubah keadaan kita bila kita tidak memulai untuk merubahnya. Apakah itu merubah dari keadaan yang baik menjadi buruk, atau dari keadaan buruk menjadi baik.

Allah swt berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمۡ يَكُ مُغَيِّرٗا نِّعۡمَةً أَنۡعَمَهَا عَلَىٰ قَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Al-Anfal:53)

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d:11)

Oleh karena itu ketika kita ingin merubah keadaan, hal itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Karena Allah swt tidak akan merubah keadaan seseorang atau keadaan suatu kaum bila mereka tidak memulai gerakan pertama untuk merubah nasib mereka. Ketika sudah ada niat untuk merubah keadaan dan ada upaya dari diri, maka disitulah Allah akan membantu kita untuk merubah keadaan kita.

Begitupula dalam kasus keadaan yang baik-baik saja kemudian menjadi buruk. Tanpa kesalahan, dosa dan kekejian yang dilakukan manusia, Allah tidak akan merubah kenikmatan menjadi bencana. Semua itu dimulai dari diri manusia sendiri.

Maka bila kita ingin merubah keadaan atau merubah nasib, maka mulai lah dari diri kita sendiri. Disaat kita telah memulai, maka Allah akan menurunkan rahmat-Nya untuk membantu kita mencapai perubahan tersebut.

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Sedekah Yang Segera Kembali!

Dalam salah satu televisi show di Negeri Barat, pembawa acara membuka acara untuk pengumpulan donasi bagi seorang yang sedang sakit parah sementara ia dalam kondisi sangat tidak mampu. Lelaki ini harus ditindak operasi dengan biaya puluhan ribu dolar.

Mulai lah para pemirsa menghubungi nomer yang tertera pada acara ini dan beberapa dari mereka menyumbang dalam jumlah yang tidak sedikit.

Hingga muncul satu telepon dari seseorang muslim yang menyumbang hanya 2 dolar.

Sang pembawa acara heran dan bertanya, “Mengapa engkau menyumbang sangat sedikit?”

Ia pun menjawab, “Ketahuilah bahwa itu adalah separuh dari harta yang kumiliki saat ini. Tapi aku tetap ingin berbagi.”

Baginya berbagi walau sangat sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali !

Fenomena ini membuat acara tersebut semakin heboh. Penelpon selanjutnya menyumbangkan dana yang lumayan besar dan berpesan untuk membagi dana yang ia sumbangkan untuk orang yang sakit dan setengahnya untuk orang yang menyumbang dua dolar tadi.

Setelah itu telepon itu berdering lagi dan ada yang menyumbang ribuan dolar lagi. Ia juga berpesan untuk membaginya setengah untuk yang sakit dan setengah untuk yang menyumbang 2 dolar.

Begitu terus hingga biaya pengobatan bagi lelaki yang sakit itu terpenuhi dan pemuda yang menyumbang dua dolar itu juga mendapatkan uang yang tidak sedikit.

Akhirnya beberapa hari setelah penggalangan dana ini, pemuda muslim itu di undang ke acara yang sama. Ia di wawancarai oleh pembawa acara tentang kehebohan yang ia buat di acara sebelumnya.

Ia pun bercerita, “Aku telah berkeliling dan mendaftar pekerjaan kesana kemari namun aku tidak mendapatkannya. Hari itu aku hanya memiliki 4 dolar dan setengahnya aku berikan kepada lelaki yang membutuhkan dana untuk operasi. Aku pun tidak menyangka akan mendapatkan balasan langsung dari Allah swt dengan jumlah yang tak pernah kubayangkan.”

Setelah acara itu selesai, beberapa perusahaan datang menghampirinya untuk menawari sebuah pekerjaan. Dan akhirnya ia pun memilih salah satu yang sesuai dengan keahliannya dan itulah pekerjaan yang selama ia inginkan.

Jangan heran dengan kisah-kisah semacam ini karena sedekah yang tulus dari hati pasti akan kembali kepada pemiliknya dengan ganti yang lebih indah dan tak terduga-duga.

Bukankah Allah swt berfirman,

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS.Saba’:39)

Bersedekahlah sekecil apapun, karena nilai sedekah tidak ditentukan oleh jumlahnya tapi nilai itu ditentukan oleh keikhlasan hati kita. Lakukan segala sesuatu untuk Allah, nanti Allah yang akan mengatur bagaimana cara untuk membalas kebaikanmu.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Ciri Istri Saleh Berhias Bagi Suaminya

SAHABAT Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pernah menceritakan, Rasululah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa ciri wanita yang paling saleh?” Jawab beliau, “Yang menyenangkan suami ketika dilihat, dan mentaati suami ketika diperintah.” (HR. Ahmad 9837, Nasai 3244 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Anda bisa memastikan, seorang suami akan merasa nyaman melihat istrinya ketika sang istri berhias, atau bahkan menyebarkan wewangian bagi suami. Hadis ini sangat tegas mengajarkan, jika wanita ingin menjadi istri saleh, hendaknya dia berusaha berhias bagi suaminya. Seorang wanita yang berhias di depan suaminya, bagian dari fitrahnya. Allah berfirman, “Apakah patut orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (az-Zukhruf: 18)

Karena itu, Allah bolehkan wanita untuk menggunakan perhiasan, yang itu diharamkan bagi lelaki, seperti emas atau sutera. Wanita harus berhias di depan suaminya, dan ini bagian dari hak suami yang harus ditunaikan istrinya. Karena merupakan salah satu sebab terbesar mewujudkan kasih sayang.

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan, “Apabila kalian pulang dari bepergian di malam hari, maka janganlah engkau menemui istrimu hingga dia sempat mencukur bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya yang kusut. ” (HR. Bukhari 5246)

An-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa istri tidak boleh membuat suaminya lari darinya, atau melihat sesuatu yang tidak nyaman pada istrinya, sehingga menyebabkan permusuhan di antara keduanya. Hadis ini juga dalil, bahwa selama suami ada di rumah, wanita harus selalu berdandan dan tidak meninggalkan berhias, kecuali jika suaminya tidak ada.” (Syarh Sahih Muslim, 7/81). Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZIK

Cara Allah Memberikan Rezeki pada Makhluknya

BERIKUT ini adalah beberapa cara Allah dalam memberikan rezeki kepada semua makhluknya menurut Alquran:

1. Tingkat rezeki pertama yang dijamin oleh Allah

“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.” (QS Hud: 6)

Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Hal tersebut adalah rezeki dasar yang terendah.

2. Tingkat rezeki kedua yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan.

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS An-Najm: 39)

Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika seseorang bekerja selama dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, seseorang akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu seorang muslim atau kafir.

3. Tingkat rezeki ketiga adalah rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur.

” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Inilah rezeki bagi orang yang disayang oleh Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah dan mendapat rezeki yang lebih banyak.

Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yang dapat hidup bahagia, sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. Tingkat rezeki keempat adalah rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah Ta’ala.

“. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS Ath-Thalaq: 2-3)

Peringkat rezeki yang keempat ini adalah rezeki yang istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Rezeki ini akan Allah berikan dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin pada saat seseorang berada dalam kondisi sangat sangat membutuhkan. []

INILAH MOZAIK

Hukum Gelar Haji

Memberi Gelar Haji

Apa hukum gelar haji bagi mereka yang berhaji? Apakah diperbolehkan menyebut Haji Fulan.. makasih

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Gelar haji atau hajah belum dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun sahabat. Bahkan menurut Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi ulama yang wafat tahun 680an.

Lantas bagaimana hukum memberi gelar haji untuk mereka yang sudah berangkat haji?

Orang yang sedang melakukanhaji, disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan sebutan Haji. Allah berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. at-Taubah: 19).

Dr. Bakr Abu Zaid mengatakan,

وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج . وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون

Kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat islam (qurun mufadhalah).

Selanjutnya beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai gelar ini,

Pendapat pertama, gelar haji hukumnya dilarang.

Karena ini adalah gelar belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan gelar ini dikhawatirkan memicu riya.

Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan,

أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى

Panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384).

Keterangan yang semisal juga pernah disebutkan Imam al-Albani – rahimahullah –, beliau melarangnya karena tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat kedua, gelar semacam ini dibolehkah, terlepas dari kondisi batin jamaah haji.

Dengan beberapa alasan,

a. Alasan keikhlasan itu alasan pribadi, dan berlaku bagi semua ibadah. Dalam arti, kita diperintahkan untuk mengikhlaskan ibadah apapun kondisinya, meskipun ibadah itu diketahui orang banyak.

b. Gelar tertentu untuk ibadah tertentu lebih bersifat urf (bagian tradisi), sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang tradisi di masyarakat.

Terkadang masyarakat memberi gelar untuk mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid. Dulu peserta perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir tahunan, gelar itu tetap melekat.

c. Tidak ada dalil yang melarangnya.

An-Nawawi mengatakan,

يجوز أن يقال لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ، وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم : إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع

Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari a-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus. (al-Majmu’, 8/281).

Alasan bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan,

وأما الحاجي فلغة العجم في النسبة إلى من حج ، يقولون للحاج إلى بيت الله الحرام : حاجِّي

Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji.. (Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro, 4/299)

Karena di Indonesia, bisa haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/30898-hukum-gelar-haji.html