Sedekah yang Disukai Rasulullah dan Caranya Ada di Sekitarmu

Begini sedekah yang disukai Rasulullah

Sedekah termasuk amalan yang bersifat sosial (al-muta’ddiyah). Artinya, manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang mengerjakannya, namun juga dirasakan oleh banyak orang lain.  Selama ini sedekah dipahami sebatas pemberian sejumlah uang kepada orang miskin atau mereka yang tidak mampu. Sehingga, seakan-akan sedekah hanya “dimonopoli” oleh orang kaya atau kalangan tertentu yang mumpuni secara finansial semata.

Padahal sedekah bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang yang tak berpunya sekalipun. Sebab sedekah tidak selalu berati pemberian materi. Sedekah juga bisa bermakna pemberian yang bersifat non-materi. Semisal, membantu orang lain, menyingkirkan duri di jalan, berbicara dengan bahasa yang santun dan sopan, dan lain-lain. Pemahaman ini merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah berikut.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم – كل سُلامى من الناس صدقة , كل يوم تطلع فيه الشمس تعدل بين اثنين صدقة , وتعين الرجل في دابته فتحمله عليها أ, ترفع عليها متاعه صدقة , والكلمة الطيبة صدقة , وبكل خطوة تمشيها إلى الصلاة صدقة , وتميط الأذى عن الطريق صدقة ” رواه البخاري ومسلم

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit; kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah; kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah; setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah; dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” HR Bukhari dan Muslim.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sedekah di sini adalah sedekah yang dianjurkan, bukan sedekah wajib. Ibnu Bathal dalam Syarah Shahih al-Bukhari menambahkan bahwa manusia dianjurkan untuk senantiasa menggunakan anggota tubuhnya untuk kebaikan. Hal ini sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah Subhahanu wa Ta’ala.

Penulis kitab ‘Umdatul Qari Badruddin al-Ayni berpendapat bahwa segala amal kebaikan yang dilakukan atas dasar keikhlasan, ganjaran pahalanya sama dengan pahala sedekah. Sebab itu, seluruh bagian dari anggota tubuh kita yang digunakan untuk kebaikan, dinilai oleh Allah SWT sebagai sedekah berdasarkan hadis yang disebutkan di atas.

Bahkan dalam kitab Adab al-Mufrad, al-Bukhari meriwayatkan, apabila seorang tidak mampu untuk melakukan perbuatan yang disebutkan di atas, minimal ia menahan dirinya untuk tidak menganggu orang lain. Karena secara tidak langsung, ia sudah memberi (sedekah) kenyamanan dan menjaga kesalamatan orang banyak.

Selama kita mampu melakukan banyak hal, peluang untuk bersedekah masih terbuka luas. Sedekah tidak hanya berupa uang, tetapi juga memanfaatkan anggota tubuh kita untuk orang banyak.

Para ulama mengatakan, amalan-amalan yang disebutkan dalam hadis di atas hanya sekedar contoh, bukan membatasi. Penafsiran hadis ini masih bisa diperluas cakupannya.

Singkatnya, segala bentuk amalan yang dilakukan anggota tubuh kita, akan dinilai sebagai sedekah oleh Allah SWT bila dilakukan dengan penuh keikhlasan termasuk sembahyang Dhuha. Wallahu a’lam.

ISLAMI.co

Betapa Bijaknya Rasulullah SAW Menutup Aib Sahabatnya

Sejatinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki aib dan kekurangan.

Suatu kali, Rasulullah SAW bersama para sahabatnya menyantap daging unta. Rupanya, salah seorang sahabat lepas angin. Kendati demikian, tak ada di antara para sahabat yang berkomentar terhadap bau tak sedap itu. Masing-masing hanya memperlihatkan wajah tak senang karena ulah seorang sahabat yang tak diketahui itu.

Tak lama setelah itu, azan Maghrib pun berkumandang. Rasulullah SAW pun bersabda, “Siapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Mendengar sabda Beliau SAW, para sahabat yang ikut makan daging unta pun semuanya berwudhu. Tentu saja, sahabat yang lepas angin tadi terselamatkan aibnya. Tak ada yang tahu siapakah sahabat tersebut.

Betapa bijaknya Rasulullah SAW dalam menutupi aib para sahabatnya. Seperti yang disabdakan Beliau SAW, “Siapa yang menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aib orang itu di dunia dan akhirat. Dan, siapa mengumbar aib saudaranya sesama Muslim maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.” (HR Ibnu Majah).

Sejatinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki aib dan kekurangan. Seorang terlihat hebat dan berkharisma hanya karena Allah SWT telah menutupi aibnya sehingga hanya kebaikan saja yang terlihat orang. Bagaimana jadinya jika Allah SWT membukakan aibnya? Tentu, tak ada lagi yang bersimpati kepadanya.

Abu Hurairah RA adalah seorang sahabat yang dikenal sebagai pakar hadis dan paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah SAW. Ke manapun ia pergi, ia selalu diikuti sahabat lain yang ingin belajar hadis kepada beliau. Abu Hurairah RA sadar, begitu banyak orang yang mengidolakannya sebagai pakar hadis hanya lantaran Allah SWT menutupi aibnya. Ia pun pernah berkata, “Kalaulah aib saya tidak ditutup Allah SWT maka tidak akan ada lagi yang mengikuti saya, walau hanya seorang.”

KHAZANAH REPUBLIKA


5 Rahasia Mengapa Rasulullah SAW Sehat dan Jarang Sakit?

Rasulullah SAW dikenal sehat dan jarang terkena penyakit.

Mengapa Rasulullah SAW jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. 

Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan. Jika kita telaah Alquran dan sunah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan. 

Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah SAW sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini. Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dan sebagainya.

Ada beberapa kebiasaan positif yang membuat Rasulullah SAW selalu tampil fit dan jarang sakit, sebagaimana dikutip dari Jejak Sejarah Kedokteran Islam, karya Dr Ja’far Khadem Yamani, di antaranya:

Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan tayib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi.

Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air lir dan pencernaan. Rasul bersabda, “Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran” (HR Ibnu Majah dan Hakim). 

Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas). 

Disabdakan: ”Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). 

Ketiga, makan dengan tenang, tumaninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan. Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar. 

Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua. Biasanya, Rasulullah SAW bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan shalat sampai waktu yang diizinkan Allah. Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan. 

Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur delapan jam sehari memiliki risiko kematian yang lebih cepat. 

Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah SAW biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari delapan jam.  

Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Allah hingga matanya terasa berat. 

Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan. Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien. Pada saat itu makanan bisa berada dalam posisi yang pas dengan lambung sehingga dapat mengendap secara proporsional.

Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke sebelah kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung. Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk shalat malam.

Kelima, istikamah melakukan puasa sunat, di luar puasa Ramadhan. Karena itu, kita mengenal beberpa puasa yang beliau anjurkan, seperti Senin Kamis, ayyamul baidh, puasa Daud, puasa enam hari pada Syawal, dan sebagainya. Puasa adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani.

Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai berbagai ampas makanan, manahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa. Puasa menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Puasa sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.

KHAZANAH REPUBLIKA



Doa Meminta Aafiyah di Dunia dan Akhirat

Doa ini bagus sekali diamalkan karena berisi permintaan mendapatkan aafiyah di dunia dan akhirat. Apa itu aafiyah? Silakan baca dan dalami dalam tulisan ini.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Ad-Da’awaaat (16. Kitab Kumpulan Doa), Bab 250. Keutamaan Doa

Hadits #1488

Abu Al-Fadhl Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib meriwayatkan, “Aku berkata,

يَا رسول الله عَلِّمْني شَيْئاً أسْألُهُ الله تَعَالَى، قَالَ : (( سَلوا الله العَافِيَةَ )) فَمَكَثْتُ أَيَّاماً، ثُمَّ جِئْتُ فَقُلتُ : يَا رسولَ الله عَلِّمْنِي شَيْئاً أسْألُهُ الله تَعَالَى ، قَالَ لي : (( يَا عَبَّاسُ ، يَا عَمَّ رسول اللهِ ، سَلُوا الله العَافِيَةَ في الدُّنيَا والآخِرَةِ )) . رواه الترمذي ، وقال : (( حديث حسن صحيح )) .

‘Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku minta kepada Allah.’ Maka beliau menjawab, ‘Mintalah kepada Allah keselamatan.’ Setelah beberapa hari, aku datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarkanlah sesuatu yang aku bisa minta kepada Allah.’ Beliau menjawab, ‘Wahai ‘Abbas, paman Rasulullah, mintalah kepada Allah keselamatan di dunia dan akhirat.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).

Penilaian hadits

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari berbagi jalur. Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, 726; Tirmidzi, no. 3581; Ahmad, 1:209, dari jalur Yazid bin Abi Ziyad dari ‘Abdullah bin Al-Harits, darinya lalu ia menyebutkannya.

Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. ‘Abdullah adalah Ibnul Harits bin Naufal. Ia telah mendengar dari Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib.

Secara umum, hadits ini sahih kata Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Wallahu a’lam. Lihat Bahjah An-Nazhirin, 2:511-512.

Kosakata hadits

Al-aafiyah adalah bentuk mashdar yang menunjukkan terhapusnya dosa-dosa dan selamat dari kekurangan dan berbagai aib.

Faedah hadits

Allah itu Maha Pemberi maaf, maka  kita diperintahkan untuk memohon  ampunan pada Allah di dunia dan akhirat.

Siapa yang mendapatkan al-‘aafiyah maka ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat. Karena di dunia berarti selamat dari penyakit, ujian, dan fitnah. Sedangkan di akhirat berarti telah terhapuskan berbagai dosa, hilangnya hukuman, dan dekat dengan cinta Allah.

Para sahabat semangat dalam menambah kebaikan dan ilmu.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22468-doa-meminta-aafiyah-di-dunia-dan-akhirat.html

Ini Bukti, Islam Bukan Agama Arab

BELAKANGAN ini banyak sekali muncul pertanyaan dan pernyataan berkaitan dengan Islam dan Arab. Lantas bagaimana seharusnya kita sebagai orang awam mendudukkan perkara ini? Menurut Ustaz Ammi Nur Baits:

Terdapat banyak sekali dalil yang menegaskan bahwa islam adalah agama yang universal. Agama islam untuk semua umat manusia sedunia. Dalam al-Quran Allah menegaskan, T”idaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk semua umat manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba: 28)

Allah juga berfirman, Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua” (QS. al-Araf: 158)

Allah juga berfirman, “Tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadisnya untuk menegaskan demikian. Diantaranya,

Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberi 5 keutamaan yang tidak diberikan kepada para nabi sebelumku, nabi terdahulu diutus untuk kaumnya saja, dan aku diutus untuk semua umat manusia” (HR. Bukhari 335 & Muslim 1191)

Beliau juga mengatakan, “Aku diutus kepada semua yang berkulit merah dan berkulit hitam” (HR. Muslim 1191 & Ahmad 2256).

Anda yang bukan orang arab, tidak perlu merasa gusar. Tidak perlu membuat pernyataan, “Islam bukan agama arab.” Semua sudah tahu bahwa islam bukan agama untuk arab. Membuat status di medsos, “Islam bukan agama arab”, justru menunjukkan bahwa anda terlalu katrok.

Tapi anda perlu mengakui bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam orang arab. Alquran, Allah turunkan dengan berbahasa arab. Hadis-hadis, disampaikan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan bahasa arab. Para sahabat, hampir semua orang arab. Para ulama, kebanyakan berbahasa arab. Dst.

Semua orang perlu mengakui itu, karena itu realita. Allah yang menciptakan, Allah yang memiliki, dan karenanya, Allah yang paling berhak untuk memilih. Dia yang paling berhak menentukan, dimana Allah akan mengutus Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Allah berfirman, “Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-Qashas: 68)

Meskipun, jika Allah berkehendak, Dia mampu untuk mengutus rasul di semua daerah, “Jika Aku menghendaki, Aku akan mengutus seorang rasul di setiap daerah.” (QS. al-Furqan: 51)

Akan tetapi, Allah hanya memilih satu tempat untuk posisi munculnya sang utusan-Nya. Sebenarnya yang menjadi masalah bukan soal tempat dan bahasa, tapi lebih pada soal menggugat agama. Karena bagaimanapun juga, ketika Allah mengutus seorang nabi, pasti mereka akan menggunakan bahasa yang dipahami kaumnya. Sehingga tidak mungkin sang nabi ini diutus dengan membawa bahasa baru, agar tidak memihak ke bahasa manapun yang digunakan manusia.

Allah berfirman, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim: 4).

Andai Alquran diturunkan dengan bahasa jawa, bagi tipe manusia gagal, pasti akan dia kritik. Dia akan buat status, “Islam bukan agama jawa.” Lalu harus pakai bahasa apa agar anda tutup mulut, dan tidak mengkritik bahasanya? Allahu alam. []

INILAH MOZAIK

Sang Istri Shalihah, Istri Teladan

DI bulan Rabi’ul Awal ini, kajian tentang Rasulullah banyak sekali digelar demi untuk menjadikan kita semakin mengenal dan semakin mencintai manusia termulia ini. Orang yang tak mengenal hakikat nilai Rasulullah, tak akan pernah menghormati beliau dengan selayaknya penghormatan.

Kini marilah kita berkisah tentang istri beliau yang perama, yakni Siti Khadijah, yang sangat paham serta mengerti nilai serta derajat beliau. Bagaimanakah sikap Siti Khadijah kepada beliau? Perlu ditiru oleh para wanita shalihah dalam menata sikapnya kepada para suaminya.

“Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu,” ungkap Siti Khadijah di saat sakit untuk kewafatannya kepada Rasulullah Muhammad SAW. Siapa yang tidak tahu kesetiaan dan pengorbanan beliau untuk Rasulullah dan Islam? Rasulullah pun menjawab bahwa beliau adalah istri yang sangat berbakti dan berjuang bersama. Siti Khadijah selalu saja merendah dan merasa belum mempersembahkan yang terbaik.

Tahukah para sahabat dan saudaraku, apa saja permintaan Siti Khadijah sebelum meninggal dunia? Pembagian warisankah? Pembagian harta bendakah Atau apa? Beliau memohon agar Rasulullah selalu mendoakan kebaikan untuk beliau, memohon agar Rasulullah menggalikan kuburan beliau dengan kedua tangan beliau yang mulia, dan agar beliau turun sendiri ke liang kubur beliau sebelum kuburan itu ditutup dengan tanah. Sungguh permintaan seperti ini mengundang tetesan air mata haru kita.

Tidak cukup sampai di situ. Beliau, Siti Khadijah memanggil puterinya, Fathimah, dan membisikinya: “Fathimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.” Subhanallah, pemalunya beliau dan begitu santunnya beliau kepada Rasulullah Muhammad sang suami.

Sekelas beliau imannya masih takut siksa kubur, sementara sekelas kita sudah berani menantang malaikat pencabut nyawa dan malaikat Munkar Nakir. Lalu saya bertanya, apa hubungannya antara takut siksa kubur dengan surban Rasulullah itu? Bagaimanakah jawaban Rasulullah? Lalu kain kafan apa yang digunakan Siti Khadijah? Kapan-kapan kita kaji bersama ya. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 3)

Istri Meminta Izin Suami untuk Puasa Sunnah

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ المَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Seorang wanita (istri) tidak boleh berpuasa, sedangkan suaminya ada di sisinya, kecuali dengan ijinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan hadits ini,

هذا محمول على صوم التطوع والمندوب الذي ليس له زمن معين وهذا النهي للتحريم صرح به أصحابنا وسببه أن الزوج له حق الاستمتاع بها في كل الأيام وحقه فيه واجب على الفور فلا يفوته بتطوع ولا بواجب على التراخي

“(Larangan) ini dimaksudkan untuk puasa sunnah (yang memiliki waktu tertentu, misalnya puasa Senin-Kamis, puasa Arafah) dan juga puasa sunnah yang tidak memiliki waktu tertentu (puasa sunnah mutlak). Larangan ini bermakna haram, sebagaimana yang ditegaskan oleh ulama madzhab Asy-Syafi’i. Sebab larangan ini adalah suami memiliki hak untuk meminta hubungan badan dengan istri di setiap hari. Hak suami ini adalah kewajiban yang wajib segera ditunaikan oleh istri, bukan kewajiban yang bisa ditunda, dan tidak bisa dihalangi oleh puasa sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Kapan Boleh Puasa Sunnah Tanpa Izin Suami?

Karena sebab larangan itu adalah adanya kemungkinan suami meminta hubungan badan di siang hari, maka jika si suami baru sakit sehingga tidak mampu berhubungan badan, maka dzahir hadits di atas menunjukkan bahwa boleh bagi istri untuk berpuasa tanpa ijin suami. 

Demikian pula, jika suami sedang safar (sehingga tidak pulang ke rumah selama beberapa hari), maka istri boleh berpuasa sunnah tanpa ijin suami. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan,

وقوله صلى الله عليه وسلم وزوجها شاهد أي مقيم في البلد أما إذا كان مسافرا فلها الصوم لأنه لا يتأتى منه الاستمتاع إذا لم تكن معه

“Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “sedangkan suaminya ada di sisinya”, maksudnya adalah sang suami tidak safar. Adapun jika suami sedang safar (musafir), maka istri boleh puasa sunnah karena tidak akan mendatangi istri untuk meminta hubungan badan, karena tidak sedang bersama sang istri.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Istri Tidak Boleh Sembarangan Menerima Tamu Lelaki Ajnabi

Seorang istri tidak boleh memasukkan lelaki asing (ajnabi) ke dalam rumah, kecuali atas seijin suami

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa, sementara sementara suaminya ada di rumah, kecuai dengan seizinnya. Dan tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5195)

Istri Meminta Izin Suami untuk Shalat di Masjid

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

“Jika salah seorang dari istri kalian meminta izin pergi ke masjid, maka janganlah dia melarangnya.” (HR. Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)

Apakah makna larangan (“janganlah”) dalam hadits di atas? Jika dimaknai haram, maka suami tidak boleh melarang istri apa pun alasannya. Namun jika dimaknai haram, maka tidak ada artinya istri minta ijin, karena suami tidak boleh melarang (harus diijinkan).

Makna ke dua dari larangan di atas adalah dalam rangka memberikan bimbingan (petunjuk). Artinya, jika suami melihat ada alasan-alasan tertentu, boleh bagi suami untuk tidak mengijinkan istri pergi ke masjid. Misalnya, sang anak yang masih bayi baru rewel, baru sakit, atau alasan-alasan lain yang bisa dibenarkan. 

Jika ke masjid saja perlu minta ijin, bagaimana lagi dengan pergi ke tempat yang lain? Tentu lebih-lebih lagi harus minta ijin. Meskipun demikian, jika sang istri mengetahui bahwa sang suami itu longgar dan ridha dalam hal-hal tertentu berdasarkan pengalaman dan kebiasaan selama ini, maka tidak perlu minta ijin. Misalnya, kalau cuma pergi ke warung sebelah itu tidak masalah, maka istri boleh tidak meminta ijin. 

Wajib Memenuhi Ajakan Jimak Suami, Kecuali Ada Udzur

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu dia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka dia akan dilaknat malaikat hingga pagi.” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1060)

Juga diceritakan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, 

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke ranjang (untuk bersenggama) sedangkan dia enggan, melainkan yang ada di langit murka kepadanya sampai suaminya memaafkannya.” (HR. Muslim no. 1436)

Dikecualikan dalam masalah ini jika sang istri memiliki ‘udzur yang bisa dibenarkan, misalnya baru sakit atau sangat kelelahan setelah mengurus pekerjaan rumah tangga. Sehingga hendaknya suami juga memperhatikan dan bisa memahami kondisi sang istri. 

Inilah Pembagian atau Ketetapan dari Allah Ta’ala

Beberapa perkara di atas menunjukkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Bagi istri, hendaklah menerima hal ini karena inilah pembagaian atau ketetapan dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52605-pemimpin-rumah-tangga-3.html

Dangkalnya Ilmu, Picu Konflik pada Tiap Perbedaan

SEBENARNYA Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menetapkan kepada kita bahwa kalau sudah bertanya kepada si A, maka jangan lagi bertanya kepada si B. Perintah beliau adalah bertanyalah kepada orang yang sesuai dengan keahliannya. Meski orang itu ada banyak, tidak jadi soal. Bahkan semakin banyak alternatif jawabannya, semakin baik. Karena kita bisa melakukan perbandingan atas semua jawaban itu.

Dengan logika hypermart, sangat dibolehkan kita membeli barang dari produsen yang berbeda, yang penting sesuai dengan kebutuhan kita. Tidak ada kewajiban untuk hanya membeli dari satu produsen saja. Meski juga tidak ada larangan bisa seseorang merasa cocok dengan satu merek dan tidak mau menggantinya dengan merek lain. Maka mulai dari pakaian, kendaraan, makanan, termasuk alat elektronik miliknya, berasal dari satu produsen yang sama.

Maka Islam membolehkan seseorang berpegang pada satu mazhab saja, kalau memang dia rela dan menginginkannya. Tapi jangan sampai selera pribadinya itu dipaksakan kepada orang lain. Bukankah perbedaan mazhab ini sering jadi faktor pemicu perpecahan? Alih-alih meributkan perbedaan pandangan antar mazhab, kita justru sangat berbahagia dan sangat diuntungkan dengan adanya perbedaan pandangan dari berbagai mazhab.

Sebab dunia Islam itu sangat luas, membentang dari ujung barat Maroko sampai ujung Timur Marauke, pastilah muncul berbagai macam perbedaan keadaan masyarakat. Dan semua itu pasti membutuhkan jawaban syariah yang tepat. Dengan kekayaan khazanah intelektual warisan dari para pendiri mazhab itu, kita dengan mudah bisa menyelesaikan banyak persoalan. Kesemuanya sah dan benar, tinggal menyesaikannya dengan beragam tipe masalah.

Hanya mereka yang terlalu awam dan kurang punya wawasan yang baik, yang mau-maunya berantem dengan sesama muslim hanya lantaran perbedaan mazhab. Memang sangat kita sayangkan masih adanya kalangan yang demikian. Misalnya, begitu dia melihat saudaranya salat tidak sama dengan cara salatnya, langsung dicaci dan dimakinya, bahkan tudingan ahli bid’ah pun bertubi-tubi dilontarkan kepadanya. Padahal ilmu yang dimiliki hanya terbatas pada satu dua rujukan saja, namun lagak dan gayanya seperti mufti kerajaan. Nauzu billahi min zalik.

Padahal meski seandainya di dunia ini hanya ada satu sumber nash syariah saja, misalnya hanya ada Alquran saja, pastilah umat Islam tetap berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum. Padahal kita punya jutaan sumber nash syariah, dengan beragam kemungkinan nilai derajat keshahihannya, dengan beragama esensi kandungan materinya, dengan beragam redaksinya, semuanya hanya akan sampai kepada satu titik, yaitu perbedaan pendapat.

Kalau setiap perbedaan pendapat harus ditanggapi dengan cacian, makian, tuduhan ahli bid’ah dan seterusnya, ketahuilah bahwa semua itu justru mencerminkan kedangkalan ilmu para pelakunya. Sama sekali tidak menggambarkan keulamaannya. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK

Berhati-Hati dari Wabah Asbun

Bahaya Penyakit Asal Bunyi

Asal bunyi, atau sering diringkas dengan istilah “asbun”, kerap dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Banyak orang terjangkiti virus ini, namun tidak merasa bahwa dirinya sedang menderita sakit. Padahal penyakit yang satu ini efek bahayanya luar biasa. Dampak negatifnya akan terasa bukan hanya di dunia saja, tapi juga akan terbawa hingga ke akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

“إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا؛ يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ”

“Terkadang seorang hamba mengucapkan suatu kalimat tanpa ia perhatikan dampaknya, ternyata mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan redaksi Muslim.

Asal Bunyi dalam Perkara Agama

Banyak praktek asbun yang harus kita waspadai. Di antara yang paling berbahaya adalah berbicara tentang hukum agama tanpa ilmu. Allah ta’ala menegaskan,

“قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَالْإِثْمَ، وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ، وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا، وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ”. 

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad), “Rabbku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar. Dan (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu. Juga (mengharamkan) kalian untuk berbicara tentang (hukum) Allah yang tidak kalian ketahui”. QS. Al-A’raf (7): 33.

Jika dalam dunia medis dikenal adanya mal praktek, dalam ranah keulamaan pun juga ada hal serupa. Bahkan sejak empat belas abad lalu, Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam sudah mengisyaratkan akan adanya fenomena tersebut,

“إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا”.

“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama. Hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan”. HR. Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari.

Kejinya Lisan yang Memfitnah Sesama Muslim

Di antara praktek asbun yang belakangan ini cukup mewabah, bahkan di antara mereka yang berpenampilan alim: memfitnah sesama muslim. Dengan berbekal gosip, mereka merusak kehormatan para ulama, ustadz dan saudara-saudara mereka seakidah. Hanya kepada Allah saja kita mengadu…

Padahal, jauh-jauh hari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah mengingatkan,

“وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ؛ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ”.

“Barang siapa membicarakan mukmin dengan sesuatu yang tidak benar adanya; niscaya Allah akan benamkan dia ke dalam kubangan nanahnya para penghuni neraka, hingga ia bertaubat dari perkataan tersebut“. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Hakim, adz-Dzahaby dan al-Albany.

Masih ada berbagai contoh lain praktek asbun. Maka berhati-hatilah!

  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Kamis, 17 Muharram 1435 / 21 November 2013

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc. MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52637-berhati-hati-dari-wabah-asbun.html

Hasbunallah Wanikmal Wakil, Lengkap Arab dan Latinnya

Jakarta – Hasbunallah Wanikmal Wakil menjadi kalimat yang tak asing bagi umat Muslim. Biasanya, kalimat ini diucapkan dalam dzikir usai berdoa atau ibadah.

Kalimat dzikir lengkap yakni Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir memiliki khasiat yang luar biasa terhadap hidup seseorang.

Berikut hasbunallah wanikmal wakil Arab dan artinya:

Allah SWT berfirman dalam Quran surat Ali Imran ayat 173 bahwa kalimat dzikir hasbunallah wanikmal wakil diucapkan umat Islam tengah dihadapkan dengan kesulitan berupa peperangan.

Arab: اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

Latin: allażīna qāla lahumun-nāsu innan-nāsa qad jama’ụ lakum fakhsyauhum fa zādahum īmānaw wa qālụ ḥasbunallāhu wa ni’mal-wakīl

Artinya: (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, ‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.’

Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT, manusia hanya boleh berpasrah diri kepada Allah SWT. Maka dari itu, kalimat Hasbunallah Wanikmal Wakil digunakan untuk menghadapi kesulitan.

Selain itu kata sahabat Abbas, kalimat Hasbunallah Wanikmal Wakil juga dikatakan oleh Nabi Ibrahim kala Beliau ingin dilempar ke dalam api.

Nah, jangan lupa mengamalkan Hasbunallah Wanikmal Wakil ya dalam kehidupan sehari-hari!
(pay/nwy)