Syarhus Sunnah: Hari Manusia Dibangkitkan dan Dikumpulkan

Apa saja yang terjadi pada hari berbangkit? Kita sekarang pelajari tentang hari kiamat dalam bahasan Imam Ismail Al-Muzani dari kitabnya Syarhus Sunnah.

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

وَبَعْدَ البِلَى مَنْشُوْرُوْنَ وَيَوْمَ القِيَامَةِ إِلَى رَبِّهِمْ مَحْشُوْرُوْنَ وَلَدَى العَرْضِ عَلَيْهِ مُحَاسَبُوْنَ بِحَضْرَةِ الموَازِيْنِ وَنَشْرِ صُحُفِ الدَّوَاوِيْنَ وَنَسُوْهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ لَوْ كَانَ غَيْرُ اللهِ الحَاكِمَ بَيْنَ خَلْقِهِ لَكِنَّهُ اللهُ يَلِي الحُكْمَ بَيْنَهُمْ بِعَدْلِهِ بِمِقْدَارِ القَائِلَةِ فِي الدُّنْيَا يَوْمَئِذٍ يَعُوْدُوْنَ فَرِيْقٌ فِي الجَنَّةِ وَفَرِيْقٌ فِي السَّعِيْرِ

“Setelah hancur, manusia dibangkitkan. Dan pada hari kiamat, manusia dikumpulkan di hadapan Rabb-Nya. Di masa penampakan amal manusia dihisab. Dengan dihadirkannya timbangan-timbangan dan ditebarkannya lembaran-lembaran (catatan amal). Allah menghitung dengan teliti, sedangkan manusia melupakannya. Hal itu terjadi pada hari yang kadarnya di dunia adalah 50 ribu tahun. Kalaulah seandainya bukan Allah sebagai hakimnya niscaya tidak akan bisa, akan tetapi Allahlah yang menetapkan hukum di antara mereka secara adil. Sehingga lama waktunya (bagi orang beriman) adalah sekadar masa istirahat siang di dunia, dan Allah Yang Paling Cepat Perhitungan Hisabnya. Sebagaimana Allah memulai menciptakan mereka, ada yang sengsara atau bahagia, pada hari itu mereka dikembalikan. Sebagian masuk surga, sebagian masuk neraka.”

Setelah jasad hancur, manusia dibangkitkan dan dikumpulkan

Setelah jasad hancur, manusia kemudian dibangkitkan yaitu mereka dihidupkan dan dikeluarkan dari kubur mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا ۚ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ ۚ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun: 7)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَيْنَ النَّفْخَتَيْنِ أَرْبَعُونَ قَالَ أَرْبَعُونَ يَوْمًا قَالَ أَبَيْتُ قَالَ أَرْبَعُونَ شَهْرًا قَالَ أَبَيْتُ قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً قَالَ أَبَيْتُ قَالَ ثُمَّ يُنْزِلُ اللَّهُ مِنْ السَّمَاءِ مَاءً فَيَنْبُتُونَ كَمَا يَنْبُتُ الْبَقْلُ لَيْسَ مِنْ الْإِنْسَانِ شَيْءٌ إِلَّا يَبْلَى إِلَّا عَظْمًا وَاحِدًا وَهُوَ عَجْبُ الذَّنَبِ وَمِنْهُ يُرَكَّبُ الْخَلْقُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Jarak antara kedua tiupan empat puluh.” Abu Hurairah bertanya, “(Apakah) empat puluh hari.” Beliau menjawab, “Aku belum bisa memastikan.” Abu Hurairah bertanya, “(Apakah) empat puluh bulan.” Beliau menjawab, “Aku belum bisa memastikan.” Abu Hurairah bertanya, “(Apakah) empat puluh tahun.” Beliau menjawab, “Aku belum bisa memastikan.” Beliau bersabda, “Kemudian Allah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mereka pun tumbuh sebagaimana tumbuhnya tanaman. Tidak ada sesuatu pun dari jasad manusia kecuali telah hancur kecuali satu tulang, yaitu tulang ekornya, dan dari sanalah manusia tersusun kembali pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari, no. 4935 dan Muslim, no. 2955)

Dalil lainnya yang menunjukkan adanya hari berbangkit adalah firman Allah Ta’ala,

يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ ۗ

(Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan, itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan.” (QS. At-Taghabun: 9).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa maksudnya adalah At-Taghabun itu di antara nama kiamat. Karena saat itu penduduk surga membuat penduduk neraka bersedih hati, sebagaimana pendapat ini dikatakan oleh Qatadah dan Mujahid. Muqatil bin Hayyan menyatakan bahwa tidak ada hari yang membuat seseorang bersedih selain ketika melihat ada yang masuk surga dan ada yang masuk neraka.

Dalam Tadabbur Al-Mufashshal (hlm. 51) menyebutkan at-taghabun adalah hari di mana ditampakkan orang kafir benar-benar merugi karena enggan beriman dan orang mukmin merasa rugi karena kurangnya dalam berbuat baik.

Dalil-dalil adanya hari berbangkit

Pertama: Dalil yang menunjukkan Allah menciptakan langit dan bumi, seperti dalam ayat,

لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghafir/ Al-Mukmin: 57)

Kedua: Dalil yang menunjukkan dihidupkannya bumi setelah matinya, seperti pada firman Allah,

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan di antara tanda-tanda-Nya (Ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat: 39)

Ketiga: Dalil yang menunjukkan adanya penciptaan manusia. Allah yang mampu menciptakan manusia tentu mampu untuk mengembalikan dengan menghidupkannya kembali. Hal ini sebagaimana dalam ayat,

قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ

Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin: 79)

Keempat: Dalil yang menunjukkan Allah membangunkan orang yang mengalami mati sugro (mati kecil yaitu tidur), lalu bangun dari tidurnya. Hal ini seperti dipahami dari doa ketika bangun tidur,

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

ALHAMDULLILLAHILLADZI AHYAANAA BADA MAA AMAATANAA WA ILAIHIN NUSHUR” (artinya: Segala puji bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami dan kepada-Nya lah kami dibangkitkan). (HR. Bukhari, no. 6325)

Kelima: Manusia diciptakan dari mani yang hina (yang keluar dari tempat najis) hingga ia tumbuh besar. Seperti ini mau mengingkari dan mendustakan Allah yang Mahamampu untuk membangkitkannya. Makanya Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ

Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (QS. Yasin: 77)

Keenam: Allah menciptakan api dari kayu yang hijau seperti disebutkan dalam ayat,

الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ مِنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنْتُمْ مِنْهُ تُوقِدُونَ

Yaitu Rabb yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” (QS. Yasin: 80). Ini saja bisa Allah wujudkan, termasuk membangkitkan manusia dari matinya.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/21840-syarhus-sunnah-hari-manusia-dibangkitkan-dan-dikumpulkan.html

Agar Tidak Tertidur Ketika Khutbah Jumat

Tertidur Ketika Khutbah Jumat

Bisa jadi ketika khutbah Jumat, ada beberapa jamaah yang sangat mengantuk. Jika sampai tertidur ketika khutbah, tentu hal ini sangat tidak disukai oleh syariat. Seorang Ulama di kalangan tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata,

كانوا يكرهون النوم والإمام يخطب ويقولون فيه قولا شديدا. قال ابن عون: ثم لقيني بعد ذلك فقال: تدري ما يقولون؟ قال: يقولون مثلهم كمثل سرية أخفقوا

“Mereka (para sahabat) membenci orang yang tidur ketika imam sedang berkhutbah. Mereka mencela dengan celaan yang keras.”

Ibnu Aun mengatakan, saya bertemu lagi dengan Ibnu Sirin. Beliau pun bertanya, “Apa komentar sahabat tentang mereka?” Ibn Sirin mengatakan, “Mereka (para sahabat) berkata, orang semisal mereka (yang tidur ketika mendengarkan khutbah) seperti pasukan perang yang gagal (tidak menang dan mendapatkan ghanimah).” [1]

Tips Mudah Menghalau Rasa Kantuk Saat Khutbah Jumat

Ada tips yang mudah dan insyaallah bisa segera menghilangkan rasa mengantuk ketika khutbah Jumat berlangsung, yaitu segera pindah tempat

1. Berpindah Tempat Duduk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ

“Apabila kalian ngantuk pada hari Jumat, maka berpindahlah dari tempat duduknya.”[2]

Hikmahnya  adalah perpindahan dan bergerak akan menghilanhkan rasa ngantuk dengan mudah. Syaikh Muhammad Al-Mubarakfury menjelaskan hadits ini, beliau berkata,

ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﺤﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺗﺬﻫﺐ ﺍﻟﻨﻌﺎﺱ

“Hikmah perintah untuk pindah tempat adalah pergerakan pindah akan menghilangkan rasa ngantuk.”[3]

2. Mandi sebelum berangkat shalat Jumat

Karena mandi memberikan rasa segar dan menghilangkan penat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

غُسْل يوم الجُمُعة واجبٌ على كلِّ محتل

“Mandi pada hari Jumat, wajib bagi setiap orang yang sudah baligh.”[4]

3. Berusaha fokus mendengarkan khutbah

Dengan cara menghadapkan muka ke arah khatib dam fokus memperhatikan khatib

Ibnu Mas’ud berkata,

قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا اسْتَوَى عَلَى الْمِنْبَرِ اسْتَقْبَلْنَاهُ بِوُجُوهِنَا.

“Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah berdiri tegak di atas mimbar, maka kami langsung menghadapkan wajah kami ke arah beliau.”[5]

Untuk bisa fokus, perlu juga menghindari hal-hal atau perbuatan yang bisa melalaikan dari khutbah seperti memainkan ujung baju, mengelupas kuku, memainkan kunci dan lain-lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَ

“Barangsiapa yang memegang (memain-mainkan) batu kerikilberarti dia telah berbuat sia-sia.”[6]

4. Hindari duduk memeluk lutut

Karena ini adalah posisi yang bisa menyebabkan mengantuk

Muadz bin Jabal berkata,

أَن النَبيَ صَلى اللهُ عَليه وَسَلمَ نَهَى عَنْ الْحَبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk memeluk lutut pada hari ketika imam sedang berkhutbah.”[7]

Imam Al-Khattabi menjelaskan hadits ini, beliau berkata,

نهى عنها لأنها تجلب النوم فتعرض طهارته للنقض، ويمنع من استماع الخطبة

“Perbuatan ini dilarang, karena ini bisa menyebabkan ngantuk,sehingga bisa jadi wudhunya batal (jika tertidur sangat pulas, adapun hanya tidur ringan maka tidak batal, pent), dan terhalangi mendengarkan khutbah.”[8]

Demikian semoga bermanfaat

@Yogyakarta Tercinta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29913-agar-tidak-tertidur-ketika-khutbah-jumat.html

Kapan Seseorang Dikatakan Mendapatkan Shalat Jum’at bersama Imam?

Penjelasan Pendapat Jumhur Ulama

Seseorang tidaklah dikatakan mendapatkan shalat Jum’at kecuali jika dia (minimal) mendapatkan satu raka’at sempurna bersama imam shalat Jum’at, meskipun dia tidak mendapatkan khutbah Jum’at sama sekali. Oleh karena itu, siapa saja yang datang ke masjid dan bisa membersamai imam sebelum ruku’ di raka’at ke dua atau bisa membersamai imam ketika ruku’ di raka’at ke dua, maka dia dikatakan telah mendapatkan shalat Jum’at. Kewajiban dia adalah menambah satu raka’at untuk menyempurnakan shalat Jum’at menjadi dua raka’at setelah imam mengucapkan shalat. 

Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dan merupakan pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Dalil yang bisa digunakan sebagai pegangan dalam masalah ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Siapa saja yang mendapatkan satu raka’at dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)

“Shalat” dalam hadits di atas memiliki makna umum, sehingga shalat Jum’at pun tercakup di dalamnya.

At-Tirmidzi rahimahullah juga membawakan hadits ini dalam kitab Al-Jaami’ (Sunan At-Tirmidzi) di bawah judul bab,

بَابٌ فِيمَنْ أَدْرَكَ مِنَ الجُمُعَةِ رَكْعَةً

“Bab (hadits) tentang orang yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at.”

Setelah menyebutkan hadits di atas, At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ، قَالُوا: مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الجُمُعَةِ صَلَّى إِلَيْهَا أُخْرَى، وَمَنْ أَدْرَكَهُمْ جُلُوسًا صَلَّى أَرْبَعًا، وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ المُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ

“Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka. Mereka mengatakan, “Siapa saja yang mendapatkan satu raka’at shalat Jum’at (bersama imam), maka sempurnakanlah satu raka’at sisanya. Siapa saja yang mendapatkan imam sudah duduk (di raka’at ke dua), maka dia shalat empat raka’at (yaitu shalat dzuhur, pen.). Inilah yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubaarak, Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Jaami’ At-Tirmidzi, 2: 402)

Yang Dilakukan Makmum Jika Telat Membersamai Imam

Adapun orang yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, misalnya dia mendapati imam sudah bangkit dari ruku’ pada raka’at kedua; atau sudah sujud pada raka’at kedua; atau sudah duduk tasyahhud di raka’at kedua; maka dia tidak mendapatkan shalat Jum’at (atau ketinggalan shalat Jum’at). Kewajiban dia adalah menyempurnakan shalatnya sebanyak empat raka’at (sebagai shalat dzuhur), meskipun dia masuk ke dalam jamaah shalat dengan niat shalat Jum’at. Tata caranya, setelah imam salam, dia bangkit dan meniatkannya sebagai shalat dzuhur empat raka’at (tanpa perlu melakukan takbiratul ihram lagi). 

Dikecualikan dalam masalah ini jika shalat Jum’at didirikan sebelum zawal (sebelum matahari bergeser ke barat), lalu dia mendapati kurang dari satu raka’at bersama imam, maka dia tidak perlu menyempurnakan shalat Jum’atnya, karena dia tidak mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dia juga tidak perlu menyempurnakan menjadi shalat dzuhur, karena memang belum masuk waktu dzuhur. Yang hendaknya dilakukan adalah menyempurnakan shalat tersebut sebagai shalat sunnah biasa. Ketika waktu dzuhur sudah masuk dengan adanya zawal, dia pun mendirikan shalat dzuhur. Wallahu Ta’ala a’alam. 

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51693-mendapat-shalat-jumat-bersama-imam.html

Jeda (Pemisah) antara Shalat Wajib dengan Shalat Sunnah

Haruskah Ada Jeda (Pemisah) ?

Petunjuk syariat menuntunkan bahwa hendaknya terdapat jeda antara shalat wajib dengan shalat sunnah, misalnya shalat sunnah rawatib ba’diyah. Jeda ini bisa berupa melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat wajib, atau berbicara (bercakap-cakap) dengan orang lain, atau berpindah dari tempat pelaksanaan shalat wajib ke tempat (sudut) lain untuk mendirikan shalat sunnah. Adanya jeda ini disyariatkan untuk siapa saja, baik dia statusnya imam, makmum, atau baik dia itu laki-laki atau perempuan. Karena dalil dalam masalah ini bersifat umum. 

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Atha’ bahwa Nafi’ bin Jubair mengutusnya kepada Sa’ib, yaitu putra dari saudara perempuan Namir, untuk menanyakan sesuatu yang pernah dilihat oleh Mu’awiyah dalam shalat. Sa’ib berkata, “Benar, aku pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah di dalam maqshurah (suatu ruangan yang dibangun di dalam masjid). Setelah imam salam, aku berdiri di tempatku kemudian menunaikan shalat sunnah. Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadaku. Utusan itu mengatakan, 

لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ، إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ، فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ، أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

“Jangan kamu ulangi perbuatanmu tadi. Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, janganlah kamu sambung dengan shalat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu kepada kita yaitu, “Janganlah suatu shalat disambung dengan shalat lain, kecuali setelah kita mengucapkan kata-kata atau keluar dari masjid.”” (HR. Muslim no. 883)

Ketika menjelaskan hadits ini, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثر مواضع سجوده ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة وقوله حتى نتكلم دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضا ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم

“Dalam hadits ini terdapat dalil pendapat ulama madzhab Syafi’i bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya itu dianjurkan dengan berpindah tempat dari tempat mendirikan shalat wajib ke tempat yang lainnya. Yang lebih afdhal adalah berpindah ke rumahnya. Jika tidak memungkinkan, dia berpindah ke sudut lain di masjid atau yang lainnya. Hal ini agar dia memperbanyak tempat untuk sujud, dan memisahkan antara shalat wajib dengan shalat sunnah. 

Adapun perkataan Nabi, “setelah mengucapkan kata-kata” terdapat dalil bahwa jeda (pemisah) antara shalat wajib dan shalat sunnah itu juga bisa dengan ucapan. Akan tetapi, jeda berupa berpindah (ke tempat lain) itu yang lebih utama, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 420)

Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ashar, lalu ada seseorang yang langsung berdiri untuk shalat. ‘Umar melihatnya, lalu mengatakan, 

اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ

“Duduklah, karena sesungguhnya kebinasaan ahlu kitab adalah karena tidak ada jeda antara shalat-shalat mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ

“Sungguh baik (benar) apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaththab (‘Umar).” (HR. Ahmad no. 23121, dan sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَنَ صَلَّى الْمَكْتُوبَةَ، ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَتَطَوَّعَ فَلْيَتَكَلَّمْ، أَوْ فَلْيَمْشِ، وَلْيُصَلِّ أَمَامَ ذَلِكَ ؛ قَالَ: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنِّي لَأَقُولُ لِلْجَارِيَةِ: انْظُرِي كَمْ ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ؟ مَا بِي إِلَّا أَنْ أَفْصِلَ بَيْنَهُمَا

“Siapa saja yang mendirikan shalat wajib, kemudian ingin mendirikan shalat sunnah, hendaklah dia berkata-kata (mengucapkan suatu kalimat), atau berjalan, lalu shalatlah setelahnya.” Perawi berkata, “Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berkata kepada budak perempuan itu, “Lihatlah, berapa banyak malam yang telah berlalu? Tidak ada maksud aku mengucapkan kalimat itu, kecuali karena ingin memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunnah.” (HR. ‘Abdur Razaq dalam Mushannaf no. 3914 dengan sanad shahih)

Kesimpulan dan Penjelasan Dalil

Terdapat dua kesimpulan yang didapatkan dari dalil-dalil di atas:

Kesimpulan Pertama

Jeda (pemisah) antara shalat wajib dan shalat sunnah itu bisa jadi dengan waktu/zaman (meskipun tetap shalat di tempat yang sama), atau bisa jadi dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (baik maju atau mundur), atau bisa jadi dengan ucapan (bercakap-cakap dengan orang lain).

Yang paling afdhal adalah membuat jeda dengan berpindah melaksanakan shalat sunnah (rawatib) di rumah. Berdasarkan hadits dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا المَكْتُوبَةَ

“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

“Dirikanlah shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian. Dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti pemakaman.” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim 777) [1]

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ، فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا

“Jika salah seorang dari kalian telah menunaikan shalat di masjid, hendaknya dia menyisakan sebagian shalatnya untuk (dikerjakan) di rumah. Karena dari shalatnya itu, Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya.” (HR. Muslim no. 778)

Dan di antara kebaikan yang ditimbulkan dari melaksanakan shalat sunnah di rumah adalah memakmurkan rumah dengan dzikir kepada Allah Ta’ala; taat kepada-Nya; juga doa dan permohonan ampunan dari para malaikat; dan juga pahala dan keberkahan bagi pemilik (penghuni) rumah. Kebaikan lainnya adalah mendidik anak dan istri agar mereka mencintai dan memperhatikan shalat dan juga mendirikan shalat dalam sebaik-baik keadaan.

Kesimpulan Kedua

Dari dalil-dalil terdapat isyarat bahwa hikmah dari perintah membuat jeda antara shalat wajib dan shalat sunnah adalah untuk memisahkan dan membedakan antara ibadah wajib dan ibadah sunnah. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Disunnahkan untuk memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunnah, baik shalat Jum’at atau (shalat wajib) lainnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang dari perbuatan menyambung antara shalat satu (shalat wajib) dengan shalat lainnya (shalat sunnah), sampai keduanya dipisahkan dengan berdiri atau ucapan. Maka janganlah melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas manusia yang langsung menyambung antara salam (dari shalat wajib) dengan dua raka’at shalat sunnah. Karena hal ini berarti dia terjatuh dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam syariat ini terdapat hikmah berupa membedakan antara ibadah wajib dan ibadah non-wajib, sebagaimana dibedakan antara ibadah dan non-ibadah. Oleh karena itu, disunnahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, juga sebagaimana disunnahkan untuk makan di hari raya ‘Idul Fithri sebelum shalat ‘id, dan larangan untuk menyambut Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya.

Hal ini semuanya untuk memisahkan antara perkara yang diperintahkan (puasa) dengan yang tidak diperintahkan, atau memisahkan antara ibadah dan selain ibadah. Demikian pula memisahkan antara shalat Jum’at yang Allah Ta’ala wajibkan dengan ibadah lainnya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 24: 202-203)

Para ulama juga menyebutkan hikmah lainnya dari disyariatkannya berpindah tempat, yaitu untuk memperbanyak tempat ibadah. Hal ini karena tempat pelaksanaan ibadah akan memberikan persaksian bagi seorang hamba di hari kiamat, sebagaimana cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ

“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka, dan mereka pun tidak diberi tangguh. (QS. Ad-Dukhkhan [44]: 29)

Maksudnya, sesungguhnya bumi itu akan menangis untuk para hamba yang berbuat keta’atan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 239)

Demikian pula firman Allah Ta’ala,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 4)

Maksudnya, bumi akan bersaksi atas hamba sesuai dengan apa yang mereka perbuatan di atasnya, baik berupa amal baik atau amal buruk. Hal ini karena bumi termasuk dalam saksi yang akan memberikan persaksian untuk manusia pada hari kiamat. (Taisiir Karimir Rahmaan, 5: 445)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan Kaki

[1] Ini menunjukkan bahwa pemakaman bukanlah tempat pelaksanaan ibadah.

[2] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 180-183 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51679-jeda-pemisah-shalat-wajib-shalat-sunnah.html

Nasehat Ulama Bagi yang Gelisah Tak Kunjung Hamil

Pernah ditanyakan pada Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, “Ada seorang wanita terus gelisah karena ia tak kunjung hamil. Kadang ia terus-terusan menangis dan banyak berpikir dan ingin berpaling dari kehidupan dunia ini. Apa hukumnya? Dan apa nasehat padanya?”

Jawab para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah, “Tidak pantas bagi wanita semacam ini untuk gelisah dan banyak menangis karena tak kunjung hamil. Karena memiliki keturunan pada pasangan laki-laki dan perempuan yaitu mendapatkan anak laki-laki saja atau perempuan saja atau mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, begitu pula tidak memiliki keturunan, itu semua sudah menjadi takdir Allah. Allah Ta’ala berfirman,

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (50)

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy Syura: 49-50).

Allah-lah yang lebih tahu siapa yang berhak mendapat bagian-bagian tadi. Allah pula yang mampu menentukan manusia itu bervariasi (bertingkat-tingkat). Cobalah yang bertanya melihat pada kisah Yahya bin Zakariya dan ‘Isa bin Maryam ‘alaihimash sholaatu was salaam. Kedua orang tuanya belum memiliki anak sebelumnya. Maka bagi wanita yang bertanya hendaklah pun ia ridho pada ketentuan Allah dan hendaklah ia banyak meminta akan hajatnya pada Allah. Di balik ketentuan Allah itu ada hikmah yang besar dan ketentuan yang tiada disangka.

Tidak terlarang jika wanita tersebut datang kepada dokter wanita spesialis untuk bertanya perihal kehamilan, atau ia datang pada dokter laki-laki spesialis jika tidak mendapati keberadaan dokter wanita. Moga saja dengan konsultasi semacam itu, ia mendapatkan solusi untuk mendapatkan keturunan ketika sebelumnya tak kunjung hamil. Begitu pula untuk sang suami, hendaklah ia pun mendatangi dokter laki-laki spesialis agar mendapatkan jalan keluar karena boleh jadi masalahnya adalah pada diri suami.

Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, fatwa no. 8844. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan sebagai anggota.

Dinukil dari Al Fatawa Al Muta’alliqoh bith Thib wa Ahkamil Marodh, terbitan Darul Ifta’ Al Lajnah Ad Daimah, hal. 309.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi hidayah.

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20857-nasehat-ulama-bagi-yang-gelisah-tak-kunjung-hamil.html

Tahnik itu Sunnah atau Kekhususan Bagi Nabi Saja Shallallallhu ‘alaihi wa sallam?

Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Hukum Tahnik

Terdapat perbedaan pendapat ulama apakah tahnik itu sunnah atau kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, tidak bagi umatnya. Ulama yang menyatakan tahnik itu sunnah berdalil dengan beberapa hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tahnik, sedang ulama yang menyatakan tahnik adalah kekhususan beliau berdalil dengan alasan:

  1. Tahnik dilakukan untuk mencari keberkahan dari air liur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini khusus pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pada jasad beliau ada keberkahan (selama masih hidup)
  2. Tidak ada riwayat para sahabat membawa anak bayi mereka orang shalih seperti ke Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat lainnya untuk dilakukan tahnik pada anak bayi mereka yang baru lahir. Sekiranya hal ini Sunnah, maka para sahabat yang paling pertama dan semangat melakukannya.

Penjelasan Tahnik Adalah Kekhususan Nabi

An-Nawawi mengklain bahwa tahnik ini Sunnah dan ‘mengklaim’ menjadi ijma’ ulama, beliau berkata:

اتفق العلماء على استحباب تحنيك المولود عند ولادته بتمر ، فإن تعذر فما في معناه وقريب منه من الحلو 

 “Ulama bersepakat sunnahnya tahnik pada anak ketika baru lahir dengan kurma. Apabila tidak ada kurma, maka boleh dengan yang manis lainnya.” [Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim 14/122-123] 

Beliau menyatakan Sunnah berdasarkan beberapa hadits  berikut:

Dari Abu Musa, beliau berkata,

وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

“Pernah dikaruniakan kepadaku seorang anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan sebuah kurma.”[HR. Bukhari & Muslim]

Dari Aisyah, beliau berkata,

أتى النبى صلى الله عليه و سلم بصبى يحنكه فبا ل عليه فأ تبعه الماء

 “Didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang bayi laki-laki beliau mentahniknya, lalu bayi itu mengencinginya, kemudian beliau memercikkannya dengan air”[HR. Bukhari]

Salah satu ulama yang menyatakan tahnik adalah perbuatan khusus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Asy-Syathibi, beliau  juga menyatakan ijma’ para sahabat untuk meninggalkan tahnik dan tabarruk dalam hal ini. Beliau berkata,

إجماعَ الصحابةِ رضي الله عنهم على تركِ ذلك التبرُّكِ فيما بينهم حيث يقول: «وهو إطباقُهم ـ أي: الصحابة ـ على الترك؛ إذ لو كان اعتقادُهم التشريعَ لَعَمِل به بعضُهم بعده

“Ijma’ para sahabat untuk meninggalkan tabarruk jenis ini di antara mereka. Penerapan para sahabat, yaitu meninggalkan (tahnik). Apabila mereka menyakini ini Sunnah, maka mereka akan mengamalkannya satu dengan yang lain (saling mentahnik anak mereka).” [Al-I’tisham 2/10]

Sikap Pertengahan Dalam Masalah Tahnik

Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin menjelaskan adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Beliau bersikap pertengahan, apabila ada yang melakukan tahnik maka tidak mengapa (jangan dicela dan menyalahkan). Apabila tidak melakukan tahnik juga tidak mengapa (jangan dicela juga karena dianggap tidak mau melakukan sunnah menurut mereka). Intinya saling menghormati karena hal ini adalah ikhtilaf mu’tabar (yang teranggap) di antara para ulama. Beliau lebih memilih tidak melakukannya lebih selamat, karena hukum asal ibadah itu adalah haram sampai ada dalil yang membolehkan. Perhatikan perkataan beliau:

التحنيك يكون حين الولادة حتى يكون أول ما يطعم هذا الذي حنك إياه ، ولكن هل هذا مشروع لغير النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ؟ فيه خلاف : فمن العلماء من قال : التحنيك خاص بالرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم للتبرك بريقه عليه الصلاة والسلام ليكون أول ما يصل لمعدة هذا الطفل ريق النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم الممتزج بالتمر ، ولا يشرع هذا لغيره ، ومنهم من قال : بل يشرع لغيره ؛ لأن المقصود أن يطعم التمر أول ما يطعم ، فمن فعل هذا فإنه لا ينكر عليه ، أي من حنك مولودا حين ولادته فلا حرج عليه ، ومن لم يحنك فقد سلم ” انتهى

“Tahnik dilakukan ketika baru lahir dan hendaknya menjadi yang pertama kali masuk (ke mulut bayi), akan tetapi apakah tahnik disyariatkan kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Terdapat perbedaan pendapat ulama. Ada ulama yang menyatakan bahwa tahnik adalah kekhususan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertabarruk dengan air liurnya, agar yang pertama kali masuk adalah air liur beliau ke perut bayi melalui kurma yang dikunyah. Tahnik tidak disyariatkan untuk selain beliau. Ada ulama juga yang menyatakan bahwa hal ini disyariatkan kepada selain beliau karena tujuannya adalah memberikan kurma sebagai yang pertama kali masuk. Bagi yang melakukan maka tidak diingkari yaitu melakukan tahnik kepada bayi yang baru lahir, hal ini tidak mengapa. Bagi yang tidak melakukan tahnik maka telah selamat.” [Fatwa Nur ‘Alad Darb 6/228]

Catatan Penting

Mengqiyaskan mencari berkah kepada orang shalih dengan air liur mereka adalah hal yang tidak dibenarkan karena tidak bisa diqiyaskan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang diperbolehkan adalah meminta didoakan kepada orang shalih. Syaikh Ali Firkus menjelaskan:

عليه، فإنَّ القولَ بجوازِ التبرُّك برِيقِ الصالحين ولُعابهم مِن جهةِ التحنيك هو القولُ بجوازِ التبرُّك بذواتِ وآثارِ الصالحين قياسًا على النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم، ولا يخفى أنَّ مِثْلَ هذا القياسِ فاسِدُ الاعتبار لمُقابَلته للإجماع المنقولِ عن الصحابة رضي الله عنهم في تركِهم لهذا الفعلِ مع غيرِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم، ولو كان خيرًا لَسَبَقونا إليه.

“Bagi yang menyatakan bolehnya tabarruk dengan air liur orang shalih, bisa jadi mereka beralasan dengan bolehnya tabarruk dengan zat dan atsar (misalnya sisa air minum mereka) orang shalih berdasarkan qiyas kepada perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak samar lagi bahwa ini adalah qiyas fasid (qiyas yang tidak benar).” 

[sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-336]Kemudahan dalam Proses Melahirkan

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51629-tahnik-itu-sunnah-atau-kekhususan-bagi-nabi.html

Jihad, Syariat Agung Islam yang Ternodai Laku Ekstremis

Jihad diperuntukkan untuk melawan serangan musuh bukan kekufuran.

Jihad, merupakan salah satu syariat Islam yang agung. Namun, konsep Islam tersebut dimaknai secara keliru oleh umat Islam dan masyarakat dunia. 

Dalam buku “Jihad Melawan Teror” karya Grand Syekh al-Azhar, Mesir, Syekh  Ahmad ath-Thayyib, yang diterjemahkan Baba Salem, dan diterbitkan penerbit Lentera Hati, terungkkap para ulama dunia menjelaskan ciri-ciri hakiki ajaran Islam yang santun, memanusiakan manusia, dan syariatnya yang memiliki tujuan-tujuan luhur. 

Penjelasan dalam buku ini sekaligus untuk meluruskan kesalahpahaman terhadap konsep-konsep yang sering dijadikan sandaran oleh pelaku teror yang mengatasnamakan agama. 

Islam tidak pernah mengajarkan penganutnya untuk merusak atau menganggu kehidupan manusia, apapun agamanya. Justru, Islam hadir di dunia ink untuk memberikan kemudahan dan rasa aman.  

Buku ini berisi makalah-makalah yang disampaikan dalam Muktamar Internasional al-Azhar Mesir untuk memerangi radikalisme dan terorisme pada Desember 2014 lalu. 

Meskipun buku ini termasuk sudah lama, isu-isu tersebut masih relevan untuk disebarluaskan karena Indonesia pun saat ini tengah gencar memerangi terorisme.   

Syekh al-Azhar, Ahmad ath-Thayyib mengajak kepada para ulama dunia agar tidak menutup mata terhadap pikiran-pikiran ekstrem dan radikal yang merusak kalangan muda muslim. Pasalnya, kelompok-kelompok ekstrem telah banyak menyelewengkan ajaran Islam.  

Kaum ekstrem dan radikal itu misalnya kerap menyelewengkan konsep jihad dari makna yang sebenarnya. Karena itu, mereka tak segan membunuhi siapa saja yang mereka kehendaki dengan anggapan bahwa yang mereka lakukan itu adalah jihad, dan jika terbunuh dianggap syahid.   

“Ini adalah salah satu kesalahan terbesar dalam memahami syariat Islam,” kata ath-Thayyib.  

Dia menjelaskan bahwa dalam Islam, jihad disyariatkan untuk melindungi jiwa, agama, dan negara. Ulama-ulama Islam dulu telah jelas mengajarkan bahwa yang membolehkan pembunuhan kepada orang lain adalah aksi menyerang dari pihak lawan, bukan karena faktor kekufuran. 

Selain itu, keputusan jihad dan pelaksanaannya juga hanya boleh dilakukan pemimpin yang memiliki otoritas, bukan orang per orang atau kelompok, apapun dan bagaimanapun keadaannya. Jika tidak demikian, maka masyarakat akan kacau dan akan banyak terjadi pertumpahan darah.  

Islam mengharamkan pelanggaran terhadap setiap jiwa manusia, terlepas dari perbedaan agama dan keyakinan. Allah SWT berfiman dalam Alquran, yang artinya:   

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa siapa membunuh seseorang, bukan karena itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS al-Ma’idah [5]: 32). 

Menurut guru besar Fakuktas Dirasat Islamiyah Universitas al-Azhar Mesir, Muhammad Salim Abu ‘Ashi, jihad adalah menganugerahkan tenaga dengan berbagai bentuknya untuk meninggikan kalimat Allah dan menyebarkan agama yang benar kepada umat manusia. 

Sedangkan jihad dalam Islam adalah pohon yang dahannya dialog, ajakan secara bijaksana dan nasihat yang baik guna menyampaikan hakikat Islam yang benar kepada akal budi. Sementara, jihad perang adalah cabang dari jihad dakwah, layaknya ranting dari dahan pohon.  

Hal ini ditegaskan dalam surah al-Furqan yang diturunkan di Makkah: “Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar,” (QS. al-Furqan [25]:52). 

Menurut Abu ‘Ashi, firman ini merupakan perintah tegas kepada Nabi SAW untuk melakukan jihad dakwah kepada orang kafir saat masih berada di Makkah sebelum perang diwajibkan. Hal serupa juga disebutkan dalam surah an-Nahl yang juga diturunkan di Makkah.  

Jadi, menurut dia, bagian Alquran yang diturunkan pada periode makkah tersebut mengandung kata jihad yang berarti dialog. Karena, sewaktu masih di Makkah umat Islam belum punya sesuatu yang harus dibela dengan perang.  

Atas dasar itu, dalam Islam tidak ada jihad perang yang bertujuan memaksa manusia untuk memeluk Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam.”   

REPUBLhttps://khazanah.republika.co.id/berita/pp4740320/jihad-syariat-agung-islam-yang-ternodai-laku-ekstremisIKA


Siapa Bilang Demonstrasi Itu Solusi?

Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam Madarijus Salikin: “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadat (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya.

Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti.

Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya”.

Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil. Apakah yang kita dapati bersama? Kita akan mendapati dampak negatif dan kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: hilangnya keamanan negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan, penjarahan, kemacetan lalu lintas, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan, aksi mogok makan yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia melayang. Bukankah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لزوال الدنيا وما فيها أهون عند الله من قتل المسلم بغير حق

Hancurnya dunia dan isinya lebih ringan di sisi Allah daripada hilangnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yg benar“.

Kemudian, tanyakan pada dirimu, bukankah demonstrasi sudah seringkali digelar? Lantas apa hasilnya? Pikirkanlah!!

Ya Allah, jagalah negeri kami dari kerusakan.

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/23977-siapa-bilang-demonstrasi-itu-solusi.html

Pelaku Gibah dan Para Korbannya menurut Rasulullah

DALAM sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, “Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya.”

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, “Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya.” Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan katanya, “Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukah kalian memakan daging orang mati?” Mereka menjawab, “Tidak!” “Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian gibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri.”

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (gibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertakwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima tobat lagi Penyayang.”

Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Naufal, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerusakan yang dilakukan oleh gibah (mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.”

Diriwayatkan dari Abu Dzar berkata: Ya Rasulullah, apakah gibah itu? Rasul menjawab: “Menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik.” Aku berkata: Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah mengumpatnya. Abu Dzar berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Gibah merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya Rasulullah? Rasul menjawab: “Itu karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun gibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban daripada gibah mengampuninya.”

INILAH MOZAIK

Hoax, Berdusta karena Kebodohan

ALLAH Ta’ala berfirman: “Hendaklah kita menjauhi perkataan-perkataan dusta.” (QS Al-Hajj: 30)

Dalam peribahasa mengatakan, “Karana lidah (mulut) badan binasa” ini mengingatkan kita untuk hidup dalam suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana melalui tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.

Suka berbohong bukan saja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah menimbulkan implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak beriman seseorang dengan sempurna sehingga ditinggalkan pembohongan walaupun senda gurau, bersengketa atau perbalahan.”

Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah) dan durhaka terhadap kedua orangtua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Maukah aku tunjukkan perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mau wahai Rasulullah. Rasulullah menjelaskan: Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua. Oh ya, (ada lagi) yaitu perkataan dusta.” (Riwayat Muttafaq Alaih)

Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): “Ketahuilah! Sesungguhnya menurut mazhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengabarkan tentang sesuatu yang berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Baik dilakukan dengan sengaja atau karena kebodohan (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja”.

INILAH MOZAIK