Orang yang Mendapatkan Kamar Khusus di Surga

MASUK surga Allah dan menikmati segala kenikmatan abadi di dalamnya adalah cita-cita seorang muslim. Dan tidaklah kita memasuki surga-Nya, melainkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan di dunia ini.

Secara umum, setiap yang masuk surga akan mendapatkan kenikmatan. Namun ada keistimewaan dan kekhususan di surga yang merupakan balasan bagi orang beriman karena amalan tertentu.

Salah satu kenikmatan yang akan diperoleh orang yang masuk surga adalah kamar khusus. Kamar ini tidak didapatkan dan dihuni oleh semua penghuni surga. Namun beberapa diantaranya akan memiliki kamar ini.

Dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata; Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.”

Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, memberi makan, shaum secara kontinyu, dan shalat pada malam hari di waktu orang-orang tidur.” (HR. Tarmidzi).

Mari pertahankan keimanan kita hingga ajal menjemput kita. Dan isi hidup kita dengan beramal shaleh. Bagi kita yang menginginkan kamar khusus seperti hadits di atas, maka amalkan pula amalan tersebut. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita. [*]

INILAH MOZAIK

Memperbanyak Puasa di Bulan Muharram

BULAN Muharram salah satu dari empat bulan Haram. Dan bulan-bulan haram adalah bulan-bulan istimewa bagi kaum muslimin. Setiap amal ibadah yang dilakukan pada bulan haram, maka Allah akan lipatgandakan pahalanya.

Pada bulan Muharram sendiri terdapat amalan khusus. Sebut saja misalnya puasa asyura. Puasa asyura ini tidak dapat dilakukan melainkan hanya pada tanggal yang telah ditetapkan di bulan Muharram. Maka siapa saja akan luput dari fadhilah puasa Asyura bila ia luput tanggal pelaksanaan puasa asyura.

Namun demikian Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa kita disunnahkan memperbanyak puasa di bulan Muharram. Karena berpuasa pada bulan ini merupakan sebaik-baik puasa setelah puasa di bulan Ramadhan.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram.Seutama-utama shalat setelah shalat wajib, adalah shalat malam,”. (HR. Muslim).

Imam Nawawi menuturkan bahwa hadits di atas adalah penegasan Nabi shalallahu alaihi wasallam sebaik-baik puasa (setelah puasa Ramadhan) adalah puasa pada bulan Muharram. Sedangkan Ibnu Rajab mengatakan bahwa puasa paling utama pada bulan-bulan Haram (Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab) adalah puasa di bulan Muharram.

Semoga Allah memberi hidayah kepada kita. [*]

INILAH MOZAIK

Jangan Sembarang Ambil Ilmu! Termasuk Dalam Ilmu Kesehatan

Dalam mengambil ilmu agama, kita harus selektif tidak mengambil dari sembarang orang. Demikian juga ilmu dunia, harus selektif. Karena menyerahkan urusan bukan pada ahlinya adalah sumber kehancuran.

Ilmu agama harus diambil dari orang yang berilmu agama. Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama” (Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al ‘Ilal, 1/355).

Ilmu dunia juga tidak boleh ambil sembarangan. Harus diambil dari yang ahli dan berilmu di bidangnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya” (QS. Al-Isra’ : 36).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

أن الله تعالى نهى عن القول بلا علم بل بالظن الذي هو التوهم والخيال

“Allah Ta’ala melarang untuk bicara tanpa ilmu, yaitu bicara dengan sekedar sangkaan yang merupakan kerancuan dan khayalan” (Tafsir Ibnu Katsir).

Maka ayat ini umum berlaku untuk masalah agama atapun masalah dunia, tidak boleh bicara tentang sesuatu yang tidak diketahui dan tidak diilmui. Dan orang yang melakukannya akan dimintai pertanggungjawaban.

Berbicara tentang sesuatu dengan modal prasangka adalah akhlak yang tercela dan merupakan dosa. Allah berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS. Al-Hujuraat: 12).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan menyerahkan urusan kepada orang yang tidak ahli adalah salah satu tanda kiamat. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بينما النبي صلى الله عليه وسلم في مجلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال: متى الساعة؟ فمضى رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث فقال بعض القوم: سمع ما قال فكره ما قال. وقال بعضهم: بل لم يسمع. حتى إذا قضى حديثه قال ((أين السائل عن الساعة)). قال: ها أنا يا رسول الله قال: ((فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة)). قال كيف إضاعتها؟ قال: ((إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة))  

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam duduk berceramah kepada beberapa orang, datang seorang Arab Badwi lalu ia bertanya: “kapan kiamat?”. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam meneruskan ceramahnya. Maka sebagian orang berkata: “Sebenarnya Nabi mendengar orang Badwi tadi, namun Nabi tidak menyukai apa yang dikatakannya”. Sebagian orang berkata: “Nampaknya Nabi tidak mendengarnya”. Hingga ketika Nabi selesai berceramah, Nabi bertanya: “mana orang yang bertanya tentang kiamat?”. Orang tadi menjawab: “saya wahai Rasulullah”. Nabi bersabda: “Ketika amanat disia-siakan, maka tunggulah kiamat”. Ia bertanya lagi: “apa maksudnya amanah disai-siakan?”. Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat!”” (HR. Bukhari no.59).

Maka wajib menyerahkan segala urusan kepada orang yang berkompeten, termasuk masalah kesehatan.

Ilmu kesehatan, harus diambil dari ahli kesehatan seperti dokter, tabib, dan semisalnya. Bukan orang yang hanya ikut pelatihan kesehatan.

Ilmu herbal juga harus diambil dari ahli herbal. Yang bertahun-tahun belajar herbal*). Bukan orang yang hanya ikut pelatihan herbal.

Demikian juga dokter tidak punya kapasitas bicara herbal, kecuali dia belajar herbal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَن تطبَّبَ ولا يُعلَمْ منه طِبٌّ فهوَ ضامنٌ

“Barangsiapa yang berlagak melakukan pengobatan padahal ia tidak mengetahui ilmu pengobatan, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Abu Daud no. 4586, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Kemudian jika kita berbicara mengenai thibbun Nabawi, maka dia harus paham ilmu kesehatan dan paham ilmu agama. Karena thibbun Nabawi itu disandarkan kepada agama.

Tidak layak orang yang tidak paham Al Qur’an dan hadits bicara thibbun Nabawi. Hendaknya tinggalkan orang yang demikian!!

Semoga Allah memberi Taufiq.

**

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51180-jangan-sembarang-ambil-ilmu-termasuk-dalam-ilmu-kesehatan.html

Mau Jadi Orang Kaya atau Miskin?

Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa?

Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.

Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi semata?

Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya yang tidak pernah tenang.

Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?

Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::

Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”[1].

Inilah jawaban dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan wahyu Allah  Pencipta alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati.

Maha benar Allah ‘Azza wa Jalla yang berfirman:

{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).

Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[2].

Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”[3].

Apa yang dijelaskan dalam hadits ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena kebutuhannya tidak pernah tercukupi.

Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram). Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena (sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak (terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup) dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”[4].

Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.

Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan menjadikan rezki yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan baginya bisa bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.

Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya semakin menderita dan sengsara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[5].

Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[6].

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Read more https://pengusahamuslim.com/6853-mau-jadi-orang-kaya-atau-miskin.html

Doa Ali bin Abi Thalib Setiap Pagi dan Sore

Imam al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ ‘Ulumuddin, membuat satu bab di dalamnya berisi doa-doa yang biasa dibaca para Nabi dan para Ulama setiap pagi, sore, atau setiap waktu shalat. Salah satunya adalah doa yang dibaca oleh Ali bin Abi Thalib setiap pagi dan sore.

Dalam penjelasan al-Ghazali, doa ini memiliki keutamaan dimana siapa yang membacanya setiap hari, akan dicatat sebagai orang-orang yang shalat dan khusyuk, seperti layaknya orang yang berdialog dengan Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan seluruh Nabi lainnya di akhirat kelak. Ia juga akan mendapatkan pahala hamba-hamba di seluruh langit dan bumi.

Doa yang dibaca sebenarnya merupakan ungkapan Allah yang memuji diri-Nya setiap hari. Kemudian, jika kita ingin membacanya maka kita mengganti lafaz anaa yang berarti saya dalam ungkapan tersebut menjadi anta yang berarti Engkau (ditujukan pada Allah). Doanya adalah sebagai berikut,

إنك أنت الله رب العالمين إنك أنت الله لا إله إلا أنت الحيّ القيّوم، إنّك أنت الله لا إله إلا أنت العلي العظيم، إنك أنت أنت الله لا إله إلا أنت لم تلد ولم تولد، أنت الله لا إله إلا أنت العفو الغفور، إنك أنت الله لا إله إلا أنت مبدئ كل شيء وإليك يعود، العزيز الحكيم الرحمن الرحيم مالك يوم الدين، خالق الخير والشرّ، خالق الجنة والنار، الواحد الأحد الفرد الصمد الذي لم تتخذ صاحبة ولا ولدا، الفرد الوتر عالم الغيب والشهادة الملك القدوس السلام المؤمن المهيمن العزيز الجبار المتكبر الخالق البارئ المصوّر  الكبير المتعال المقتدر القهار الحليم الكريم أهل الثناء والمجد وأخفى القادر الرزاق فوق الخلق والخليقة

Allah, Sungguh Engkau adalah Tuhan Semesta Alam. Sungguh, tiada Tuhan selain Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Berkuasa. Sungguh, Ya Allah, Engkau tiada Tuhan Selain-Mu Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Engkau, Ya Allah, sungguh tiada Tuhan Selain Engkau, Yang Tidak Beranak dan Diperanakkan. Engkau Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Pemaaf nan Maha Pengampun.

Engkau Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Memulai segala sesuatu dan semuanya kembali pada Engkau. Engkau Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Penguasa hari akhir.  Engkau Pencipta baik dan buruk, neraka dan surga. Engkau Maha Esa, Tunggal, Engkau Maha Menjadi Tempat Bergantung, yang tidak membutuhkan relasi ataupun keturunan.

Engkau Maha Esa, Mengetahui yang gaib dan yang terlihat. Engkau Raja yang Maha Suci, Maha Sempurna, Maha Pemberi Keamanan, Maha Menjadi Pelindungi, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Menyombongkan Diri, Pencipta, Maha Terbebas dari Kebutuhan (terhadap yang lain), Maha Menciptakan Sesuatu lagi Menata ciptaan-Nya dengan sangat luar biasa. Engkau Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu, Maha Memaksa, Maha Halus lagi Maha Memuliakan para pemuji dan penyanjung-Mu.

Engkau Yang Paling Mengetahui rahasia. Engkau Yang Maha Menakdirkan lagi Maha pemberi rezeki yang paling tersembunyi, diatas segala-gala ciptaan-Mu.

BINCANG SYARIAH

Empat Surah Ini Diakhiri dengan Kalimat Doa

Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa bentuk kalimat tertentu yang dijadikan ayat penutup sebagai akhir surah. Di antaranya dalam bentuk kalimat doa. Surah Al-Quran yang diakhiri dengan bentuk kalimat doa ada empat, sebagaimana berikut.

Pertama, surah Al-Baqarah [2]: 283. Surah ini diakhiri dengan ayat dalam bentuk doa berikut;

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

Kedua, surah Al-Mukminun [23]: 118. Surah ini diakhiri dengan ayat dalam bentuk doa berikut;

وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

Dan katakanlah; ‘Ya Tuhanku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik.

Ketiga, surah Nuh [71]: 28. Surah ini diakhiri dengan ayat dalam bentuk doa berikut;

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا

Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.

Keempat, surah Al-Falaq [115]: 5. Surah ini diakhiri dengan ayat dalam bentuk doa berikut;

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Dan (saya berlindung) dari kejahatan pendengki bila ia dengki.

Demikian empat surah yang diakhiri dengan ayat dalam bentuk doa.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Orang Kafir Masuk Masjid?

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Bad.

Para ulama umumnya membolehkan orang kafir, baik kaum Ahli Kitab dan musyrikin masuk ke dalam masjid.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيتَ الْمُشْرِكُ في كل مَسْجِدٍ إلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فإن اللَّهَ عز وجل يقول { إنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هذا }

Tidak apa-apa orang musyrik bermalam di semua masjid kecuali masjidil haram, karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: (sesungguhnya orang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati masjidil haram setelah tahun mereka ini). [1]

Alasan lain, karena dahulu Jubair bin Muth’im –ketika masih musyrik- pernah bermalam di masjid, bahkan mendengarkan pembacaan Al Quran. [2]

Sementara Imam An Nawawi danImam Ar Rafi’i –keduanya tokoh madzhab Syafi’i- mengatakan secara mutlak orang kafir boleh masuk ke masjid mana saja, kecuali masjidil haram, namun bolehnya itu jika diizinkan kaum muslimin. Jika tidak diizinkan maka tidak boleh masuk, inilah pendapat yang benar. [3]

Sedangkan kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa boleh saja orang kafir masuk ke semua masjid, termasuk masjidil haram, karena Nabi pernah menyambut Tsaqif di masjid, dan dia seorang kafir. Beliau bersabda: Sesungguhnya tidaklah bumi menjadi najis karena manusia, tetapi najisnya manusia adalah untuk diri mereka sendiri. Malikiyah melarang mereka masuk ke masjid, kecuali jika diizinkan kaum muslimin dan ada hal mendesak untuk memasukinya seperti menyambut kabilah, jika tidak begitu, maka tidak boleh. Hanabilah (Hambaliyah) juga melarang orang kafir masuk ke semua masjid, kecuali dengan izin kaum muslimin. Pendapat lain dari Hambaliyah adalah boleh. [4]

Terkait dengan “izin” kaum muslimin, maka hal ini mesti menjadi syarat. Sebab dahulu delegasi Nasrani Bani Najran pernah mendatangi masjid Nabi dan mereka ibadah di dalam masjid itu, para sahabat mencegahnya, namun Nabi mengizinkannya.

Berikut dikatakan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

“Berkata Ibnu Ishaq: Di Madinah, datang delegasi Nasrani Najran kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far bin Az Zubair, katanya: ketika ketika delegasi Najran datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka masuk ke dalam masjid setelah shalat ‘Ashar, ketika datang waktu ibadah mereka, mereka bangun untuk mendirikan ibadah mereka di masjid Nabi, maka manusia mencegahnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Biarkan mereka.” Lalu mereka menghadap ke Timur, dan melaksanakan ibadah mereka. [5]

Kisah ini menunjukkan kebolehan Ahli Kitab masuk ke masjid, namun dengan syarat izin kaum muslimin, yang nampak dari perkataan Rasulullah ﷺ: “Biarkan mereka.” Kalau tidak ada izin maka tidak boleh.

Kesimpulan:

– Boleh bagi orang kafir masuk ke masjid seluruhnya, kecuali di tanah haram. Ini pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang juga membolehkan ke masjidul haram.

– Kebolehan ini terikat oleh syarat yaitu izin dari waliyul ‘amr (penguasa) dan umat Islam, serta jika kedatangannya memiliki maslahat, jika tidak terpenuhi syaratnya maka tidak boleh.

Demikian. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam. 

Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustadz Farid Nu’man.

Baca selengkapnya http://alfahmu.id/bolehkah-orang-kafir-masuk-masjid/

Fatwa Ulama: Rutin Membaca Al-Ghasiyah dan Al-A’la Ketika Shalat Jumat

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:
Saya memperhatikan imam-imam masjid pada hari Jumat selalu membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiah. Sampai-sampai manusia mengira membaca dua surat ini adalah wajib, bukan sunnah. Apa nasehat engkau bagi mereka, agar tidak terus-menerus seperti ini sehingga manusia tidak mengiranya wajib dan supaya imam memperdengarkan kepada makmum surat yang lain dari kitab Allah yang di dalamnya ada nasehat atau surat tersebut memiliki hubungan dengan materi khutbah.

Jawab:

Membaca dua surat ini dalam shalat jumat hukumnya sunnah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membacanya. Jika imam membaca selain keduanya pada lain kesempatan tidak mengapa.

  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca pada shalat Jumat surat Al-Jumu’ah dan surat Al-Munafiqun
  • terkadang membaca surat Al-Jumu’ah dan Al-Ghasiyah

Semuanya adalah sunnah bukan wajib.
Wallahu waliyyut taufiq

Sumber: Majmu’ Fatawa syaikh bin Baz 30/265, link: http://www.binbaz.org.sa/mat/4705/

Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22357-fatwa-ulama-rutin-membaca-al-ghasiyah-dan-al-ala-ketika-shalat-jumat.html

Shalat Ba’diyah Jum’at: Dua atau Empat Raka’at?

Berkaitan dengan shalat Jum’at, shalat Jum’at tidaklah memiliki qabliyah rawatib. Oleh karena itu, jamaah shalat Jum’at boleh shalat berapa pun raka’at yang dia kehendaki, tidak ada batasan khusus.

Adapun setelahnya, maka terdapat beberapa hadits yang menjelaskan shalat ba’diyah Jum’at yang sekilas tampaknya bertentangan. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka shalatlah setelahnya sebanyak empat raka’at.” (HR. Muslim no. 881)

Dalam hadits di atas, terdapat perintah lisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendirikan shalat ba’diyah Jum’at sebanyak empat raka’at.

Adapun hadits lain yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang contoh perbuatan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ، وَبَعْدَ المَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ، وَبَعْدَ العِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ، وَكَانَ لاَ يُصَلِّي بَعْدَ الجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah ‘isya. Dan beliau tidak mengerjakan shalat setelah shalat Jum’at hingga beliau pulang, lalu shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari no. 937)

Di hadits yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الظُّهْرِ سَجْدَتَيْنِ، وَبَعْدَهَا سَجْدَتَيْنِ، وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ سَجْدَتَيْنِ، وَبَعْدَ الْعِشَاءِ سَجْدَتَيْنِ، وَبَعْدَ الْجُمُعَةِ سَجْدَتَيْنِ، فَأَمَّا الْمَغْرِبُ، وَالْعِشَاءُ، وَالْجُمُعَةُ، فَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ

“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at sebelum zhuhur dan dua raka’at setelahnya, dan dua raka’at setelah maghrib dan dua raka’at setelah isya`, dan dua raka’at setelah shalat Jum’at. Adapun (sunnah) maghrib, ‘isya, dan jumat, aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya.” (HR. Muslim no. 729)

Dari hadits di atas, yang tampak dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau shalat ba’diyah Jum’at dua raka’at di rumah.

Berkaitan dengan hadits-hadits tersebut, para ulama berbeda pandangan menjadi tiga pendapat [1].

Pendapat pertama, mereka mendahulukan ucapan (perintah lisan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga membuat kesimpulan bahwa yang dianjurkan adalah shalat ba’diyah Jum’at itu sebanyak empat raka’at.

Pendapat ke dua, mereka yang mengkompromikan antara perintah lisan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga membuat kesimpulan bahwa shalat ba’diyah Jum’at itu enam raka’at, empat raka’at diambil dari perintah lisan, sedangkan dua raka’at dari contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat ke tiga, mereka yang mengkompromikan antara perintah lisan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan kesimpulan yang berbeda. Jika shalat di rumah, maka dua raka’at, karena kita tidak boleh menambah lebih dari yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun jika shalat di masjid, maka shalat empat raka’at. Ini adalah pendapat yang dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Setelah menjelaskan tiga perbedaan ulama di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Adapun pendapat yang aku pilih adalah shalat empat raka’at, baik shalat di rumah, ataupun di masjid. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka shalatlah setelahnya sebanyak empat raka’at.”

Adapun perbuatan beliau yang mendirikan shalat dua raka’at, bisa jadi hal itu karena kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kita dibebani untuk menjalankan perintah lisan beliau dan diperintahkan untuk meneladani perbuatan beliau. Akan tetapi, selama sampai kepada kita perintah lisan, maka tidak boleh tidak wajib dilaksanakan.” (Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 2: 339)

Mengklaim adanya kemungkinan bahwa shalat ba’diyah Jum’at dua raka’at itu termasuk khushusiyyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (alias tidak berlaku bagi umatnya), tentu perlu ditinjau ulang. Karena berdasarkan riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atasIbnu ‘Umar ikut shalat dua raka’at bersama beliau di rumahnya. Jika ini termasuk khushushiyyah Nabi, tentu Ibnu ‘Umar tidak ikut shalat sebanyak dua raka’at.

Oleh karena itu, wallahu Ta’ala a’alam, yang lebih tepat bahwa perkara ini adalah perkara yang longgar. Jika menghendaki, seseorang boleh shalat dua raka’at; dan jika menghendaki, dia bisa shalat empat raka’at.

Syaikh Abu Malik hafidzahullah berkata,

“Dianjurkan –setelah shalat Jum’at- untuk shalat (ba’diyah) sebanyak dua atau empat raka’at, dan lebih afdhal dikerjakan di rumah.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 593)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

أما بعدها فلها سنة راتبة أقلها ركعتان وأكثرها أربع

“Adapun setelah shalat Jum’at, maka shalat Jum’at memiliki rawatib ba’diyyah, paling sedikit dua raka’at, dan paling banyak empat raka’at.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 12: 387)

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 24 Dzulqa’dah 1440/21 Juli 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51178-shalat-badiyah-jumat-dua-atau-empat-rakaat.html

Jangan Lakukan Hajatan Pada Bulan Suro?

Bulan Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram- terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu?

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.[1]

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[2]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

Bulan Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah

Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.

Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”

Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.

Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.

Mencela Waktu atau Bulan

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.[5]

Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Merasa Sial dengan Waktu Tertentu

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”[6]

Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.

Jangan Salahkan Bulan Suro!

Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30)

Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.”[7]

Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’azza wa jalla.

Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

Yang Mesti Dilakukan: Isilah Bulan Muharram dengan Puasa

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.[8]

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[9]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.[10]

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.[11]

Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:  [1] Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12]

Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal 27 Desember 2009 sedangkan tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember 2009.

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/727-jangan-lakukan-hajatan-pada-bulan-suro.html