Bahaya Kemiskinan, Mohonlah Perlindungan pada Allah

Jika kemiskinan makin meraja, maka akan menjadi kemiskinan yang mampu membuatnya lupa akan Allah dan juga kemanusiaannya, sebagaimana seorang kaya yang apabila terlalu meraja.

ISLAM memandang kemiskinan merupakan satu hal yang mampu membahayakan akidah, akhlak, kelogisan berpikir, keluarga, dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang harus segera ditanggulangi.

Seorang muslim harus segera memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas kejahatan yang tersembunyi di dalamnya. Terlebih, jika kemiskinan ini makin meraja, maka ia akan menjadi kemiskinan yang mansiyyan (mampu membuatnya lupa akan Allah dan juga kemanusiaannya), sebagaimana seorang kaya yang apabila terlalu meraja, maka ia akan menjadi kekayaan yang mathgiyyan (mampu membuat orang zalim; baik kepada Allah maupun kepada manusia lainnya).

Banyak sahabat Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam yang meriwayatkan bahwa Rasulullah sendiri pernah ber-taawudz (memohon lindungan Allah) dari kemiskinan. Apabila memang kemiskinan tidak berbahaya, maka tentunya Rasulullah tidak perlu ber-taawudz atasnya.

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ber-taawudz:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah api neraka, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan dan juga berlindung pada-Mu atas fitnah kemiskinan.” (HR. Bukhari).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bertaawudz:

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan juga dari kehinaan. Aku berlindung padamu dari perbuatanku untuk menzalimi ataupun untuk terzalimi.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Tampak dari hadits ini sesungguhnya Rasulullah berlindung kepada Allah dari semua hal yang melemahkan, baik secara materi ataupun secara maknawi; baik kelemahan itu karena tidak mempunyai uang (kemiskinan), atau tidak mempunyai harga diri, dan juga karena hawa nafsu (kehinaan).

Poin penting dari semua ini adalah adanya keterkaitan taawudz dan kekafiran. Sesungguhnya kekafiran inilah yang menjadi landasan dasar dari adanya taawudz itu sendiri, yang semuanya ini akhirnya menjadi bukti akan bahaya kemiskinan.

Diriwayatkan dari Abu Bakar langsung kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari kekafiran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Dawud).

Imam Manawy dalam kitabnya Faidhul Qadir menyebutkan bahwa ada keterkaitan kuat antara kekafiran dan kefakiran, karena kefakiran merupakan satu langkah menuju kekafiran. Seorang yang fakir miskin, pada umumnya akan menyimpan kedengkian kepada orang yang mampu dan kaya. Sedang iri dengki mampu melenyapkan semua kebaikan. Mereka pun mulai menumbuhkan kehinaan di dalam hati mereka, di saat mereka mulai melancarkan segala daya upayanya demi mencapai tujuan kedengkian mereka tersebut.

Kesemuanya ini mampu menodai agamanya dan juga menimbulkan adanya ketidak-ridhaan atas takdir yang telah ditetapkan. Akhirnya tanpa sadar akan membuatnya mencela rezeki yang telah datang padanya. Walaupun ini semua belum termasuk ke dalam kekafiran, namun sudah merupakan langkah untuk mencapai kekafiran itu sendiri.

Sufyan At-Tsauri berkata: “Apabila diberikan padaku empat puluh dinar hingga aku mati dengannya, maka sesungguhnya hal ini lebih aku sukai daripada kefakiranku di suatu hari, dan daripada aku harus merendahkan diriku dengan mengemis kepada orang lain.”

Lalu ia berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku apabila aku ditimpa bencana kemiskinan ataupun ditimpa suatu penyakit. Mungkin pada saat itu aku akan kafir ataupun tidak merasakan apa pun.*/Sudirman STAIL

 

HIDAYATULLAH