Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 2)

Perbuatan tasyabbuh jamaah haji wanita dengan memakai pakaian yang merupakan ciri khas pakaian laki-laki

Hal ini adalah perbuatan terlarang, karena wanita diperintahkan oleh syariat untuk tidak tasyabbuh (menyerupai) kaum lelaki, baik dalam pakaian atau gerak-gerik yang menjadi ciri khas kaum lelaki (misalnya, jalan tegap). Sebagian jamaah haji wanita memakai pakaian yang menyerupai pakaian lelaki atau memakai rida’ yang memakai rida’ kaum lelaki. Misalnya, perempuan yang memakai kerudung, namun memakai rida’ yang biasa dipakai oleh kaum lelaki.

Kaum wanita tidaklah memiliki pakaian khusus ketika ihram, sedangkan tasyabbuh itu hukumnya haram secara mutlak. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai wanita, dan kaum wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari no. 5885)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

أن المراد التشبه في الزي وبعض الصفات والحركات ونحوها لا التشبه في أمور الخير

“Yang dimaksud adalah menyerupai dalam hal pakaian, sifa, gerak-gerik, dan sejenisnya. Dan bukan meyerupai dalam perkara-perkara kebaikan.” (Fathul Baari, 10: 333)

Meyakini bahwa memakai pakaian ihram berwarna putih bagi wanita itu lebih utama

Hal ini termasuk di antara kesalahan orang-orang awam yang banyak terjadi. Perempuan tidaklah terlarang untuk memakai pakaian apa pun, kecuali memakai sarung tangan dan penutup wajah. Selain itu, maka tidak ada keutamaan bagi satu jenis pakaian tertentu (misalnya, pakaian berwarna putih) di atas jenis pakaian yang lainnya.

Yang terpenting, pakaian tersebut tidaklah menampakkan perhiasan perempuan, menampakkan keindahan tubuhnya, atau menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, atau menampakkan lengan dan betisnya, dan semacam itu. Dengan kata lain, asal pakaian tersebut adalah pakaian syar’i yang menutup aurat, dengan warna apa pun (asal tidak menarik perhatian dan pandangan laki-laki), maka tidak masalah.

Diriwayatkan dari Nafi’, budak sahabat Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنِ القُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ، وَمَا مَسَّ الْوَرْسُ وَالزَّعْفَرَانُ مِنَ الثِّيَابِ

“Sesungguhnya dia (sahabat Ibnu ‘Umar) mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang wanita ketika ihram untuk memakai sarung tangan dan penutup wajah. Juga melarang dari pakaian yag dicelup dengan pewarna waras dan za’faran.” (HR. Abu Dawud no. 1827, hadits hasan shahih)

Berdasarkan hadits di atas, terlarang bagi wanita untuk memakai pakaian yang memiliki warna yang menarik (mencolok) sehingga menarik perhatian dan pandangan laki-laki, seperti pada zaman dahulu adalah pakaian yang dicelup dengan bahan pewarna waras dan za’faran. Juga warna-warna yang menunjukkan kemewahan, karena ketika ihram, seseorang itu hendaknya meninggalkan sikap kemewahan dan berlebih-lebihan.

Di antara dalil masalah ini adalah riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

وَقَدِمَ عَلِيٌّ مِنَ الْيَمَنِ بِبُدْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مِمَّنْ حَلَّ، وَلَبِسَتْ ثِيَابًا صَبِيغًا، وَاكْتَحَلَتْ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا

“Ali datang dari Yaman dengan membawa hewan kurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendapati Fathimah radhiyallahu ‘anha, yang sudah ber-tahallul, memakai pakaian yang bercelup (warna menarik, pen.) dan memakai celak mata. Ali melarangnya berbuat demikian.” (HR. Muslim no. 1218)

‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengingkari Fathimah, karena tidak mengetahui bahwa Fathimah sudah tahallul (selesai ihram). Hal ini menunjukkan pemahaman yang tertanam di benak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita dilarang untuk memakai pakaian yang dicelup dengan warna yang menarik dan menunjukkan kemewahan.

Berdasarkan hal ini, asalkan pakaian tersebut menutup aurat secara sempurna dari pandangan laki-laki dan tidak menunjukkan kemewahan, maka silakan memakai pakaian dengan warna, bahan dan jenis apa pun yang dia sukai.

Meyakini bahwa sandal yang ada jahitan benangnya itu dilarang; demikian pula meyakini terlarangnya memakai pakaian yang ada jahitannya

Misalnya, jika kain ihram robek, sebagian orang meyakini bahwa kain tersebut tidak boleh dijahit. Padahal tidak demikian maksud larangan dari syariat. Maka keyakinan seperti ini adalah keliru. Memang terdapat larangan bagi orang yang ihram untuk memakai pakaian berjahit, namun yang dimaksud adalah pakaian berjahit sesuai dengan ukuran atau mengelilingi anggota badan, seperti membuat lengan baju atau celana panjang, memakai jubah, dan semacamnya.

Istilah “pakaian berjahit” ini pertama kali disampaikan oleh tabi’in Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah sebagai kaidah umum dan penafsiran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ، وَلَا الْعِمَامَةَ، وَلَا الْبُرْنُسَ، وَلَا السَّرَاوِيلَ

“Orang yang ihram tidak boleh memakai jubah, surban, burnus (jubah yang sambung dengan tutup kepala langsung), celana, … “ (HR. Bukhari no. 1842 dan Muslim no. 1177)

Oleh karena itu, diperbolehkan orang ihram untuk memakai sandal apa pun bentuknya. Adapun jam tangan, sebaiknya dihindari berdasarkan perkataan sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

لَا تَعْقِدْ عَلَيْكَ شَيْئًا وَأَنْتَ مُحْرِمٌ

“Janganlah membuat ikatan-ikatan jenis apa pun, sedangkan kalian dalam kondisi ihram.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 409)

Mendengarkan alat-alat musik

Di antara kesalahan jamaah haji adalah memakai dan memainkan alat-alat musik, yaitu alat-alat yang membuat kita lalai dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan shighat jazm (ungkapan tegas).

Hadits di atas menunjukkan terlarangnya alat-alat musik. Dan di antara bentuk pelanggaran terhadap masalah ini yang sering terjadi adalah menjadikan musik dan nyanyian sebagai nada dering handphone yang bisa jadi berbunyi ketika berada di masjid, baik Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau masjid-masjid lainnya.

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala ditanya, “Apa hukum membawa masuk handphone ke dalam masjid yang di dalamnya terdapat musik dan nada dering berupa nyanyian?”

Beliau hafidzahullahu Ta’ala menjawab, “Tidak boleh melakukan perbuatan tersebut, baik di masjid atau di luar masjid. Akan tetapi, jika di masjid, itu lebih parah lagi. Karena wajib memuliakan masjid. Masjid adalah tempat beribadah, berdzikir mengingat Allah Ta’ala, shalat, membaca Al-Qur’an, dan di dalamnya berkumpul malaikat dan kaum muslimin. Maka tidak boleh melakukan berbagai kemungkaran di dalamnya, termasuk nada dering handphone berupa nyanyian, musik, dan gambar (makhluk bernyawa yang terlarang, pen.)” (Al-Farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 39)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41313-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-2.html