Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 4)

Mencium dan menempelkan pipi ke rukun (sudut) Yamani

Berkaitan dengan rukun Yamani, yang shahih dan terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengusapnya dengan tangan, tidak ada sunnah yang lainnya. Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَا تَرَكْتُ اسْتِلَامَ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَ، وَالْحَجَرَ، مُذْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا، فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ

“Aku tidak pernah meninggalkan meraba kedua sudut ini, yaitu sudut Yamani dan sudut Hajar Aswad, sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya, baik dalam keadaan sempit (kesulitan) maupun dalam keadaan lapang (longgar).” (HR. Muslim no. 1268)

Adapun mencium rukun Yamani atau menempelkan pipi ke rukun Yamani, terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu, akan tetapi riwayat-riwayat hadits tersebut tidak shahih, dan sebagiannya adalah hadits munkar. (Lihat Al-I’laam bi ‘Ibaadaatin lam Tatsbut ‘anil Musthafa ‘alaihis shalatu was salaam, hal. 178)

Ibnul Hajj rahimahullah berkata, “ … dan waspadalah dari perbuatan sebagian orang, mereka mencium rukun Yamani sebagaimana mereka mencium hajar aswad. Adapun yang sunnah adalah mengusap rukun Yamani dengan tangan, bukan dengan mulut … “ (Al-Madkhal, 4/224)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mencium rukun Yamani tidaklah valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah itu jika tidak terdapat dalil shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perbuatan itu adalah bid’ah, bukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala).” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22/398)

Mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yang terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengusap rukun Yamani saja. Adapun mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani, tidak terdapat dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَتَنَازَعُوا فِي تَقْبِيلِ الْيَمَانِيِّ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ. قِيلَ: يُقَبَّلُ. وَقِيلَ: يُسْتَلَمُ وَتُقَبَّلُ الْيَدُ. وَقِيلَ يُسْتَلَمُ وَلَا تُقَبَّلُ الْيَدُ. وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ فَإِنَّ الثَّابِتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ اسْتَلَمَهُ وَلَمْ يُقَبِّلْهُ وَلَمْ يُقَبِّلْ يَدَهُ لَمَّا اسْتَلَمَهُ وَلَا أَجْرَ وَلَا ثَوَابَ فِيمَا لَيْسَ بِوَاجِبِ وَلَا مُسْتَحَبٍّ؛ فَإِنَّ الْأَجْرَ وَالثَّوَابَ إنَّمَا يَكُونُ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ إمَّا وَاجِبَةٌ وَإِمَّا مُسْتَحَبَّةٌ

“ … para ulama berbeda pendapat tentang mencium rukun Yamani, menjadi tiga pendapat yang terkenal. Pendapat pertama, menciumnya; pendapat ke dua, mengusap dan mencium tangan; dan pendapat ke tiga, mengusap tanpa mencium tangan. Pendapat ke tiga inilah yang shahih. Karena sesungguhnya yang terdapat dalil shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau mengusap saja, tidak menciumnya, juga tidak mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani dengan tangan tersebut. Tidak ada ganjaran dan pahala untuk amal perbuatan yang tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan. Pahala hanyalah diperoleh jika melakukan amal shalih, sedangkan amal shalih itu bisa jadi amal wajib, bisa jadi amal sunnah.” (Majmu’ Fataawa, 27: 108)

Bertakbir ketika mengusap rukun Yamani

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah terdapat dzikir yang disyariatkan ketika mengusap rukun Yamani?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Amal mereka itu tidaklah memiliki dalil dari sunnah, sehingga termasuk bid’ah. Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menjelaskan hal ini, bahwasannya hal itu tidak berasal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 351)

Mengusap semua sudut (rukun) ka’bah

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya, yang disyariatkan hanyalah mengusap hajar aswad dan rukun Yamani. Adapun sudut ka’bah dan bagian dinding lainnya, maka tidak disyariatkan untuk mengusapnya.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ، فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ؟ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا “، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْبَيْتِ مَهْجُورًا،فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ} [الأحزاب: 21] ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: صَدَقْتَ

“Sesungguhnya beliau thawaf bersama sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah mengusap semua rukun (sudut) ka’bah. Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, ‘Mengapa Engkau mengusap kedua rukun ini?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengusap kedua rukun ini.’

Mu’awiyah berkata kepadanya, ‘Tidak ada satu rukun ka’bah pun yang akan aku tinggalkan (untuk diusap, pen.)’

Ibnu ‘Abbas kemudian membacakan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.’ (QS. Al-Ahzab: 21)

Kemudian Mu’awiyah berkata, ‘Engkau benar.’” (HR. Ahmad no. 1877, sanadnya dinilai hasan li ghairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Kita bisa melihat ketawadhu’an sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu setelah ditegur oleh Ibnu ‘Abbas atas perbuatan beliau yang mengusap semua sudut (rukun) ka’bah, sahabat Mu’awiyah pun membenarkan nasihat Ibnu ‘Abbas. Hal ini menunjukkan pengagungan para sahabat terhadap sunnah Nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“ … setiap amal yang ditujukan untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah namun tidak memiliki dalil dari syariat, maka amal itu adalah bid’ah, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Waspadalah kalian dari perbuatan yang diada-adakan (dalam agama). Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Dan tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengusap (sudut ka’bah), kecuali rukun Yamani dan hajar aswad. Jika seseorang mangusap semua sudut ka’bah atau semua bagian ka’bah, selain rukun Yamani dan hajar aswad, maka dengan perbuatan tersebut dia dianggap telah berbuat bid’ah.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 350)

Menempelkan badan (iltizam) ke semua sisi dinding ka’bah, selain sisi multzam

Terkait dengan sisi (dinding) ka’bah, yang terdapat contoh (sunnah) adalah menempelkan semua badan kita, termasuk tangan dan pipi ke sisi multazam saja. Multazam adalah dinding ka’bah yang terletak antara sudut hajar aswad dengan pintu ka’bah. Adapun untuk sisi atau dinding ka’bah selain multazam, tidak boleh diusap-usap atau menempelkan badan ke sisi tersebut.

Dalam fiqh haji, terdapat istilah iltizam, yaitu menempelkan wajah, dada, tangan dan dua telapak tangan yang terbuka (tidak menggenggam). Tempat untuk iltizam disebut multazam yaitu sisi (ka’bah) antara pintu ka’bah dan sudut hajar aswad.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan masalah iltizam,

وهذه مسألة اختلف فيها العلماء مع أنها لم ترد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم ، وإنما جاءت عن بعض الصحابةـ رضي الله عنهم ـ فهل الالتزام سنة، ومتى وقته، وهل هو عند القدوم، أو عند المغادرة، أو في كل وقت؟

وسبب الخلاف بين العلماء في هذا أنه لم ترد فيه سنة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم، لكن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يفعلون ذلك عند القدوم. والفقهاء قالوا: يفعله عند المغادرة فيلتزم في الملتزم، وهو ما بين الركن الذي فيه الحجر والباب

“Dalam permasalahan (iltizam) ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, meskipun tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, terdapat contoh dari sebagian shahabat radhiallhau ’anhum (yang melakukannya). Apakah iltizam itu sunnah? Kapan waktunya? Apakah ketika pertama kali datang atau ketika meninggalkan (Mekkah) atau pada setiap waktu?

Sebab (adanya) perbedaan ini di antara para ulama adalah dikarenakan tidak ada sunnah dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, para shahabat radhiallahu ’anhum melakukan hal itu ketika pertama kali datang (di Mekkah). Para ahli fiqih mengatakan bahwa melakukan iltizam di multazam, yaitu antara rukun hajar aswad dan pintu (ka’bah), itu dilakukan ketika meninggalkan (Mekkah).” (Syarhul Mumti’, 7: 372-373)

Namun, perlu diperhatikan bahwa melakukan iltizam hendaklah melihat situasi dan kondisi, agar jangan berdesak-desakan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata setelah menjelaskan sunnah iltizam di atas,

وعلى هذا فالالتزام لا بأس به ما لم يكن فيه أذية وضيق

“Berdasarkan hal ini, iltizam itu tidak mengapa selama tidak menyakiti dan berdesak-desakan.” (Syarhul Mumti’, 7: 373)

Sebagai kesimpulan dalam masalah ini, yang terdapat contoh dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah melakukan iltizam di sisi multazam. Adapun melakukan iltizam di sisi ka’bah selain multazam, maka tidak terdapat sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnyasehingga tidak selayaknya dilakukan.

Berdoa ketika mengusap dinding atau kain penutup ka’bah sambil bersandar ke dinding ka’bah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengusap kain penutup ka’bah dan berdoa lama ketika itu?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Amal mereka itu tidaklah memiliki dalil dari sunnah, sehingga termasuk bid’ah. Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menjelaskan hal ini, bahwasannya hal itu tidak berasal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 351)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41423-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-4.html