Begini Islam Mengatur Jenis Kelamin yang Diragukan

Islam menetapkan hukum bagi khunsa secara berbeda. Khunsa secara istilah adalah seseorang yang diragukan  jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan. Penyebabnya, ia memiliki dua alat kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali.

Para ulama fikih memberi penjelasan, jika pada seorang khunsa tampak tanda keluarnya mani, ada tanda kemampuan menghamili, atau keluarnya kencing dari alat kelamin laki-laki, maka ia digolongkan laki-laki dan hukum yang dijatuhkan kepadanya seperti laki-laki.

(Baca: Lengkap, Fatwa MUI Soal Operasi Alat Kelamin).

Jika seorang khunsa ada tanda-tanda haid atau tanda kehamilan, maka ia dikatakan sebagai perempuan dan hukum yang dibebankan padanya seperti seorang perempuan. Kedua ciri ini adalah golongan khunsa ghairu musykil. Sementara, jika tidak tampak ciri-ciri keduanya, maka ia dimaksudkan sebagai khunsa musykil.

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), penyempurnaan alat kelamin bagi seorang khunsa yang fungsi salah satu alat kelamin lebih dominan daripada yang lain hukumnya boleh. Proses membantu penyempurnaan alat kelamin bagi seorang khunsa juga diperbolehkan.

Namun MUI memberi catatan, proses penyempurnaan alat kelamin seorang khunsa selain harus mendapatkan pertimbangan dari sisi psikis juga harus mendapatkan pertimbangan dari sisi medis. Mana alat kelamin yang dominan secara psikis maupun fungsi tubuh itu yang dijadikan acuan operasi.

Secara hukum syara, MUI menetapkan seorang khunsa yang melakukan penyempurnaan alat kelamin dinilai berkelamin sesuai kondisi pascapenyempurnaan. Meskipun penyempurnaan itu belum mendapat pengesahan dari pengadilan.

Soal penggantian dan penyempurnaan alat kelamin ini, MUI memberikan rekomendasi agar Kementerian Kesehatan RI membuat aturan pelarangan terhadap operasi penggantian alat kelamin. Selain itu diperlukan pengaturan pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin dengan menjadikan fatwa MUI di atas sebagai pedoman.

Selain itu organisasi profesi kedokteran diminta membuat kode etik kedokteran terkait larangan praktik operasi penggantian alat kelamin serta pengaturan operasi penyempurnaan alat kelamin.

Mahkamah Agung juga diminta agar memberikan edaran kepada para hakim agar tidak mengesahkan pergantian alat kelamin dengan cara yang dilarang dalam agama. Ulama dan psikiater juga diminta aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang yang memiliki kelainan psikis agar memiliki perilaku seksual yang normal.