Begini Kesetiaan Rasulullah pada Khadijah

CARA Rasulullah ﷺ berumah tangga sangat penuh keteladanan. Sejak pertama kali membina keluarga, beliau berinteraksi dengan akhlak mulia dan kepedulian sosial pada istrinya. Tak mengherankan, saat Rasulullah ﷺ khawatir dengan kondisi dirinya pasca menerima wahyu, Khadijah sebagai istri shalihah menenangkan, Tidak, demi Allah, engkau tidak akan diabaikan oleh Allah selamanya, karena sesungguhnya engkau telah menyambung hubungan silaturahmi, menolong yang lemah, memberi orang yang membutuhkan, melayani tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar menghiasi rumah tangganya dengan akhlak mulia dan berusaha bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi kehidupan sosialnya. Istrinya pun mendukung. Dirinya tak merasa berat menginfakkan harta yang melimpah ruah untuk kepentingan dakwah. Bahkan, hartanya sampai ludes demi perjuangan suaminya menegakkan agama Islam.

Ada kejadian yang mengharukan. Di saat Nabi ﷺ diperintah menyebarkan dakwah secara terang-terangan, Khadijah menyuruhnya istirahat sejenak. Lantas beliau ﷺ berkata padanya, “Wahai Khadijah, waktu tidur dan istirahat telah habis.” (Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 97). Kata-kata yang kuat ini membuat Khadijah bersemangat. Bahwa hari-harinya ke depan akan diprioritaskan untuk kepentingan akhirat.

Rumah tangga yang dibangun bersama Khadijah adalah rumah tangga yang dipenuhi dengan perjuangan dan pengorbanan. Dinamika dakwah benar-benar hidup di dalamnya. Maka, wajar ketika ditinggal wafat (bulan Ramadhan, tahun 10 kenabian), beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Sampai-sampai tahun kepergiannya dalam sejarah dicatat sebagai Tahun Duka Cita. Beliau betul-betul merasakan kehilangan. Saat-saat bersama istri tercinta, selalu abadi dalam kenangan. (Shafiyur Rahman Mubarakfuri, al-Rahīq al-Makhtūm, 104).

Sepeninggal Khadijah, beliau ﷺ masih konsisten dengan visi dan misi rumah tangganya (seperti saat bersama Binti Khuwailid). Dalam kehidupan keluarga, ayah Fathimah ini dikenal sangat memahami perasaan istri-istrinya.

Pada suatu hari, Rasulullah ﷺ berkata kepada Aisyah: “Sungguh aku tahu saat kamu ridha, atau marah padaku. Jika kamu ridha padaku, kau mengatakan, ‘Tidak, demi Tuhannya Muhammad.’ Sedangkan ketika marah, kau mengatakan, ‘Tidak. Demi Tuhannya Ibrahim.’” (HR. Muslim). Dengan mengetahui perasaan istrinya, dapat membantu beliau bersikap dengan sebaik-baiknya.

Tak sekadar itu, ketika melihat kesalahan istri di depan umum, beliau ﷺ tak meluapkan emosi, tapi malah menghadapi dengan sabar dan memahami kecemburuan istrinya. Ummu Salamah pernah bercerita: “(Suatu saat) Aku menghidangkan makanan beserta piring kepunyaanku kepada Rasulullah ﷺ dan para Sahabatnya. Kemudian beliau ﷺ bertanya (pada Sahabatnya), ‘Siapa yang membawa makanan ini?’. Mereka menjawab, ‘Ummu Salamah.’. Lalu datanglah Aisyah (dipenuhi kecemburuan) sembari membawa batu dan memecahkan piringnya. Tanpa komentar apa-apa, beliau ﷺ langsung mengumpulkan pecahan piring, kemudian berkata pada para Sahabatnya: ‘Makanlah! Ibu kalian sedang cemburu.’ Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil piring Aisyah lalu dikirim ke Ummu Salamah, dan memberikan piring Ummu Salamah kepada Aisyah. (HR. Bukhari, Abu Daud). Begitu simpelnya, hingga permasalahan pun bisa diatasi.

Pada suatu kesempatan, beliau ﷺ memberi nasihat pada para sahabatnya: “Pergauilah istri dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu hendak meluruskannya, maka akan pecah. Jika kamu biarkan, maka akan tetap bengkok. Maka pergauilah istri dengan baik.” (HR. Bukhari). Yang penting dicatat dalam hal ini, pergaulan baik dengan istri sudah dilakukan setiap hari di rumah tangganya sebelum menasihati para Sahabat.

Sebagai suami beliau ﷺ juga CURHAT, bahkan mengajak istri bermusyawarah. Nabi Muhammad ﷺ bermusyawarah dengan istri-istrinya dalam permasalahan yang penting. Sebagai contoh, Rasulullah ﷺ pernah bermusyawarah dengan Ummu Salamah pada perjanjian Hudaibiah (6 H), ketika para Sahabatnya tak mengindahkan perintah Rasul ﷺ untuk menyembelih dan mencukur rambut. Akhirnya Ummu Salamah mempunyai ide bagus: tidak usah pakai omongan, tapi langsung saja dipraktikkan di hadapan mereka. Akhirnya mereka pun mengikuti (Ibnu Katsir, Sirah Nabawiah, 335).

Bila memang dibutuhkan, beliau ﷺ juga tak segan-segan menampakkan cinta dan kesetiaan pada istrinya. Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada Aisyah pada Hadits yang panjang mengenai Ummu Zar`: “Aku dan dirimu bagaikan Abu Zar` dan Ummu Zar`.” Maksudnya: Aku dan kamu seperti mereka berdua dalam hal cinta dan kesetiaan.

Lalu Aisyah berkomentar, “Sungguh Engkau lebih baik bagiku dari Abu Zar` dan Ummu Zar`.” (HR. Bukhari, Muslim).

Masih terkait dengan kesetiaan, -meski Khadijah sudah lama meninggal-, beliau ﷺ juga masih setia dan mengenangnya. Sampai-sampai hati Aisyah dirundung cemburu akibat nama Khadijah sering disebut./* Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH