itikaf rasulullah,

Bersikap Rendah Hati Seperti Rasulullah

Pamor dan limpahan harta sering menyeret orang menjadi jumawa. Ia tinggi hati dan memandang orang dengan sebelah mata. Lalu, ia pun menuntut orang lain memberikan penghormatan kepada dirinya atas status sosial yang disandangnya. Namun, Muslim yang meneladani nabinya, Muhammad SAW, tentu tak akan berlaku demikian.

Muhammad diakui secara luas merupakan manusia istimewa, baik sebagai seorang utusan Allah SWT maupun karena perangainya. Para sahabat dan lawan pun mengakui kedudukannya yang tinggi itu. Namun, dia tak merasa perlu untuk bersikap congkak, sebaliknya ia sangat rendah hati.

Sopian Muhammad dalam karyanya, Manajemen Cinta Sang Nabi, menceritakan, saat berkumpul, Rasul tak mengizinkan para sahabatnya berdiri atau menyambutnya ketika datang. Tulusnya cinta kepada para sahabatnya, membuat Muhammad merasa tak perlu diperlakukan dengan sikap penghormatan berlebihan.

Dia duduk sama rendahnya dengan para sahabat dan berdiri sama tingginya. Statusnya yang mulia tak mencegahnya untuk berbaur. Dalam sebuah perjalanan, Rasulullah dan sahabatnya menyembelih seekor domba. Tugas pun dibagi di antara para sahabat untuk mengolah daging domba tersebut.

Ada yang mencari kayu bakar, menyiapkan tempat memasak, serta mengolah daging dan memasaknya. Utusan Allah itu melibatkan diri dalam pembagian tugas tersebut, yaitu mencari kayu bakar. Para sahabat tentu tak enak hati melihat junjungan mereka ikut bersusah payah mencari kayu bakar.

Mereka meminta Rasulullah tak usah repot ikut mencari kayu bakar. Namun dengan tenang, menjawab para sahabatnya itu. Saya tak ingin lain sendiri dibandingkan sahabat-sahabatku. Allah tak senang melihat seseorang berbeda dari sahabat-sahabatnya,” katanya menegaskan.

Imam Syafii menyampaikan pandangannya, sifat rendah hati atau sering disebut tawadhu seperti yang ditunjukkan Rasulullah akan menuntun orang pada keselamatan, menciptakan keakraban, juga menghilangkan kedengkian dan persegketaan. Rasa cinta, menjadi buah dari sikap rendah hati ini.

Cendekiwan Muslim lainnya, Syekh Khumais as-Said, menyatakan, orang berakal tentu akan rendah hati. Kalau melihat orang lebih tua, orang rendah hati akan berkata, orang tua itu lebih dulu masuk Islam. Sedangkan kala melihat orang yang lebih muda, diucapkannya bahwa dirinya lebih dulu berbuat dosa daripada si orang muda itu.

Orang yang sebaya akan dianggap saudara oleh orang yang tawadhu. Menurut Syekh Khumais, sikap rendah hati itulah yang membuat orang tak sombong terhadap saudaranya dan tak menganggap remeh orang lain. Jejak kerendahatian Rasulullah tersingkap tatkala ia memimpin majelis yang disesaki kaum Muslim.

Kala itu, Jabir bin Abdillah Bajali duduk di bibir pintu. Nabi mengetahuinya dan segera mengambil kain baju yang dimilikinya, kemudian melipatnya. Dengan ramah, beliau memberikan lipatan itu kepada Jabir sambil memintanya untuk duduk di lipatan kain itu sebagai alas. Jabir meraih kain itu.

Jabir tak menggunakan lipatan itu untuk diduduki sebagai alas an, tetapi mengusapkannya ke wajahnya sebagai tanda hormat kepada Rasulullah. Dengan mata berkaca-kaca ia mengembalikannya kepada Rasul, dan mengatakan, Semoga engkau selalu dimuliakan Allah sebagaimana engkau memuliakan aku.”

Tak sebatas itu, di tengah kesibukannya sebagai pemimpin umat dan kegiatan dakwah, beliau menyempatkan diri memenuhi undangan sahabatnya. Ia mendatangi jamuan yang digelar mereka. Dan di tengah jamuan itu, putra Abdullah ini tak membedakan diri dari orang lain.

Di sebuah kesempatan, sahabat bernama Abu al-Haitsam bin al-Tihan membuat masakan khusus untuk Rasul dan sahabat lainnya. Usai menyantap makanan yang disajikan, beliau berkata kepada sahabatnya untuk membayar kepada Abu al-Haitsam. Mereka bertanya apa yang harus dibayarkan.

Jika seseorang kedatangan tamu, maka disantap makan dan minumannya, lalu mereka mendoakannya. Itulah bayarannya,” kata Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela, dijelaskan, dalam bermasyarakat Rasul tak pernah memandang status atau derajat.

Dia bergaul dengan semua lapisan masyarakat, dari anak kecil hingga orang dewasa. Juga dengan mereka yang miskin dan kaya, serta bergaul pula dengan orang-orang awam dan berpendidikan. Semua ia rangkul dalam pergaulan sehar-hari tanpa memandang apakah mereka orang terhormat atau bukan dalam strata di dalam masyarakat.

Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Umar bin Khattab mengenai kerendahan hati Rasulullah ini. Janganlah kalian memuji dan memujaku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani berbuat terhadap putra Maryam. Aku ini adalah hamba Allah juga, maka katakanlah kepadaku, hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Kerendahan hati ini merambat pula dalam kehidupan keluarganya. Aisyah menceritakan, dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, Rasulullah berlaku seperti manusia lainnya. Beliau menjahit dan menambal bajunya sendiri, memerah susu kambingnya serta menyiapkan sendiri apa yang diperlukannya, hingga memperbaiki sandalnya yang rusak.