Bila Ibadah Hasilnya Cuma Capek

IBADAH oleh sebagian besar umat Islam dianggap sebagai rutinitas saja. Tidak banyak yang menyadari bahwa di dalam ibadah itu terkandung nilai dan sumber kekuatan yang luar biasa. Padahal, mungkin telah cukup banyak waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk ibadah.

Dapat dikatakan, sebagian besar ibadah kita belum menghasilkan apa-apa selain capek. Benarkah apa yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ. “Alangkah banyaknya orang yang melakukan shalat sedang mereka tidak memperoleh apa apa, kecuali sebatas kelelahan saja.”

Ketidak efektifan itu bukan hanya untuk shalatnya saja, tetapi juga untuk ibadah  yang lain. Puasa misalnya yang telah dilakukan secara rutin, setiap tahun selama sebulan penuh, terbukti belum berhasil memperbaiki akhlaq umat Islam. Masih saja terdapat laku kejahatan dan sikap ketidaktaatan. Malah begitu hari raya tiba, seolah  terhapus semua. Ibaratnya panas setahun dihapus hujan sehari. Puasa sebulan dihapus lebaran sehari.

Kondisi ini sangat menyedihkan, apalagi apabila diukur dengan prinsip-prinsip efisiensi sekarang. Tidak terlalu salah jika ada sebagian orang menuduh umat Islam biasa menghambur-hamburkan waktu hanya sekedar untuk sesuatu yang tidak perlu.

Sekalipun persepsi mereka salah karena menganggap rangkaian ibadah sebagai perilaku yang tidak produktif, tetapi bila dicocokkan dengan produkfitas umat Islam yang masih rendah, tentu tuduhan ini cukup beralasan. Bila sebelum dan setelah melakukan ibadah ternyata tidak ada perubahan apa-apa, apakah salah orang mengatakan percuma dengan segala macam ibadah itu? Kenyataan memang yang  malas tetap malas, yang culas tetap saja culas.

Kita syukuri akhir-akhir ini masalah ibadah menjadi perhatian lebih luas. Tidak sebatas pada diskusi dan seminar, tapi cukup marak dalam praktek keseharian. Setiap kantor, baik instansi pemerintah maupun swasta, bahkan di markas-markas TNI berdiri masjid dan mushalla. Jamaah masjid juga selalu penuh, utamanya pada shalat Dzuhur dan Ashar.

Ada pula kegairahan baru di kalangan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji.  Bila dulu pejabat naik haji merasa malu, kini justru tumbuh rasa malu bila sudah menduduki jabatan tertentu belum juga menunaikan haji. Dari sisi ini, pantaslah disyukuri.

Di sisi  lain, ada yang patut disayangkan. Bahwa justru disaat itu nampak muncul berbagai laporan tentang tindak korupsi dan kalusi dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Bahkan sebuah majalah ekonomi asing menulis bahwa tingkat korupsi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia dan bahkan di dunia. Biaya perusahaan untuk melayani “pesanan” pejabat tertentu, tak bisa diduga jumlahnya.

Meskipun mungkin kita tidak terlatu sepakat; tapi berita itu harus di terima dengan lapang dada. Mungkin memang itu sekadar provokasi, tetapi jangan menganggap hal demikian tak bisa terjadi. Bagaimanapun korupsi yang telah menjadi persoalan nasional dan  ini harus segera dipecahkan bersama.

Malu rasanya bila Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini dicap sebagai bangsa yang korup. Apalagi jika korupsi  dianggap sebagai bagian dari budaya bangsa.

Semestinya, peningkatan menjalankan ibadah di ikuti dengan kesadaran. Semakin intens seseorang menjalankan ibadah, semakin tinggi kesadaran moralnya. Buah dari ibadah adalah akhlaqul karimah. Orang yang berakhlaq tak mungkin melakukan korupsi, berkolusi, dan memanipulasi.

Bagaimana mungkin orang yang aqidahnya sudah baik, ibadahnya khusyu’, akhlaqnya terpuji sampai bisa berbuat kejahatan? Bagaimana mungkin dua sikap berlawanan ini bisa menyatu dalam diri seseorang? Tidak mungkin itu sudah pasti.*

HIDAYATULLAH