batal puasa

Bisa Batal Puasa Karena Niat?

Ada dua macam niat yang berkaitan erat dengan pembatal puasa:

– Niat yang kuat (al-‘azmu)

– Niat yang ragu (At-taroddud fin niyyah)

Jika seseorang berniat kuat untuk membatalkan puasa, maka puasa tersebut bisa batal. Misalnya, seseorang berniat kuat ingin makan di siang hari bulan Ramadhan. Akan tetapi, dia tidak menemukan makanan. Dalam kondisi semacam ini, puasanya telah batal. Dia wajib mengganti puasa di hari lain. Pendapat fikih ini dipegang oleh Mazhab Maliki dan Hambali. Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i (Badaai’as-Shonaa-i’ 2/92, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/528, Al-Majmu’ 6/313, Kassyaf Al-Qona’ 2/316, sumber: Islamqa).

Dasarnya adalah hadis dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: «إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim bertengkar dengan pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kalau pembunuh, wajar jika masuk neraka. Namun bagaimana dengan yang terbunuh, (mengapa) juga masuk neraka?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena yang terbunuh juga ingin membunuh lawannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun jika niatnya masih di tahap ragu-ragu (apakah ingin diwujudkan ataukah tidak), ada beberapa pendapat ulama tentang batal tidaknya puasa. Ringkasnya, pendapat yang kuat adalah tidak batal. Karena alasan-alasan di bawah ini:

Pertama, kaidah fikih,

اليقين لا يزول بالشك

“Sesuatu yang yakin tidak bisa dibatalkan dengan keraguan.”

Saat memulai puasa, dia masuk ke dalam ibadah puasa dengan niat yang yakin untuk menjalankan ibadah puasa. Lalu di tengah jalan, datanglah niat yang masih ragu-ragu tersebut. Maka niat yang yakin tersebut, tidak bisa dibatalkan oleh keraguan.

Kedua, selama ada keraguan, maka niat seseorang tidak sah. Padahal amal perbuatan itu tergantung niatnya. Sehingga niat membatalkan puasa, selama masih di tahap ragu-ragu, maka tidak sah (tidak bisa) membatalkan puasa.

Ketiga, hadis-hadis tentang pemaafan Allah atas kesalahan yang diucapkan oleh jiwa selama tidak diucapkan lisan atau dilaksanakan.

Di antaranya seperti hadis,

إن الله تجاوز لأمتي عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku atas dosa dari bisikan jiwa, selagi belum dilakukan atau belum diucapkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadis ini,

الخواطر وحديث النفس إذا لم يستقر ويستمر عليه صاحبه فمعفو عنه باتفاق العلماء؛ لأنه لا اختيار له في وقوعه ولا طريق له إلى الانفكاك عنه

“Dosa yang terlintas di pikiran dan bisikan jiwa, jika tidak menetap di dalam hati atau tidak diiyakan oleh seseorang, maka dosa itu diampuni Allah. Seluruh ulama sepakat akan hal ini. Karena dosa seperti itu tidak di bawah kendali seseorang dan tidak mungkin seseorang bisa terhindar darinya.”

(Lihat Al-Adzkar, 1/ 415, terbitan: Maktabah Nuzul Al-Musthofa – Makkah & Riyadh. Cetakan ke 1, Th. 1417 H / 1997 M)

Wallahu a’lam bis showab.

***

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.or.id