Boleh Jadi Mereka yang Bahagia

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

SAUDARAKU, maaf kalau saya mengulangi cerita ini. Misalkan di sebuah kampus berlabel Islam diadakan acara unjuk keprihatinan terhadap Palestina. Di sana disampaikan kata-kata yang menggugah hingga puisi-puisi yang sedih dan pilu.

Acara untuk Palestina seperti ini baik dan bagus. Tetapi, sesekali kita coba bertanya, manakah yang lebih memprihatinkan antara kondisi di Palestina dan keadaan kita sendiri?

Rasanya lebih memprihatinkan kondisi di kampus berlabel Islam itu. Mengapa? Karena ketika berlangsungnya acara,para mahasiswa dan mahasiswinya terbiasa berdesak-desakan dengan sikap dan pakaian yang tidak terjaga. Sedangkan orang-orang di Palestina yang dibombardir,bisa jadi hatinya tidak lepas dari Allah SWT.

Tentu saja tidak hanya bagi yang di kampus, tapi kita semua. Seperti jaringan televisi di Palestina lebih sulit disaksikan dibanding di tempat kita. Akibatnya,mereka bisa lebih fokus membaca dan banyak yang hafal al-Quran. Sedangkan kita lebih hafal jadwal siaran langsung sepak bola, sinetron, drama,dan seterusnya.

Di Palestina sulit mencari tempat bermain,sehingga mereka bisa lebih sering ke masjid. Sulit rasanya membayangkan kalau mereka harus bermain atau rekreasi ke Israel. Sedangkan kita ada macam-macam tempat wisata, piknik hingga diskotik, yang bisa kita sebutkan sendiri di mana saja yang sudah pernah dikunjungi.

Nah, saudaraku. Begitulah kira-kira kita harus berhati-hati ketikamelihat atau menyikapi kelapangan dan kesempitan. Keduanya sama-sama ujian. Tapi sebetulnya ujian kelapangan atau kesenangan itu lebih melalaikan. Seperti merendahkan orang yang diberi ujian kesempitan atau kesusahan.

Misalkan ketika lebaran,ada yang ditakdirkan Allah bisa mencicil atau merental mobil bagus untuk dibawa pulang kampung. Lalu dalam perjalanan dia melihat ada rombongan pemudik lain yang duduk di dalam bak mobil, sehingga menjadi lupa danberkata,”Memang rezeki tiap orang berbeda-beda, tergantung amal.”

Padahal masing-masingnya sedang diberi ujian. Ujian yang berbeda, dan ridhoAllah adalah bagi yang bisa selamat dan lulus dari ujiannya. Bisa jadi saat yang membawa mobil bagus itu sedang merendahkannya, orang yang duduk dalam bak mobil justru sedang kuat-kuatnya berdoa. Hatinya lebih ingat kepada Allah,seperti orang di Palestina tadi.

Begitulah kalau tidak hati-hati. Kelapangan benar-benar bisa membuat makin lupa. Contoh lain, dalam suasana lebaran bertemu teman masa kecil, lalu menyapanya,”Saya dengar saudara masih bekerja sebagai cleaning service? Hal ini tidak boleh dibiarkan, nanti akan saya coba membawanya ke sidang paripurna.” Temannya yang cleaning service jadi bingung, “Asal bukan sidang pidana sajalah.”

Lalu ketika bertemu kawan yang lain, “Saya dengar saudara masih belum menikah?” Atau, “Saudara belum punya anak?” Atau,”Saudara masih menumpang di rumah mertua? Yang sabar, saya sekarang punya istri, tiga anak serta rumah pribadi di samping rumah dinas juga kebetulan saja.” Atau mungkin mau membantu tapi tetap sombong,”Hari pertama masuk kerja nanti saya ada rapat direksi, saudara tunggu saja di Pos Satpam. Nanti pasti saya panggil, dan pasti bisa saya tolong.”

Padahal cleaning cervice, yang belum menikah, belum punya anak, belum punya rumah sendiri atau rumahnya masih sederhana, bisa jadi lebih ingat kepada Allah. Mereka yang tidak jarang menjadi alamat kata “kasihan”, boleh jadi lebih dibahagiakan oleh Allah daripada yang mangasihani mereka.

Oleh sebab itu, kita benar-benar keliru kalau membayangkan bahagia ketika mendengar kata “orang kaya,” “pejabat,” “berpangkat,” “terkenal,” dan lainnya. Karena orang yang punya rumah bagus dan kasur empuk belum tentu bisa tidur sepulas tidurnya tukang becak di pinggir jalan.

Mungkin ada saudara yang berpikir, misalkan kalau orang kaya itu punya hiburan lebih banyak atau bisa melancong ke mana-mana. Justru biasanya yang suka melancong atau mencari hiburan itu disebabkan tidurnya kurang pulas. Uang yang dimiliki membuatnya memikirkan berbagai keinginan hingga pusing sendiri.

Nah, saudaraku. Kalau kita makin lupa bahwa kelapangan atau kesenangan adalah ujian, maka semakin terus lalai dan menganggap tidak membutuhkan lagi pertolongan Allah. Padahal, demi Allah tidak akan pernah bahagia bagi orang yang melupakan-Nya. “Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi bahagia.” (QS. ar-Rad [13]: 28)

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2247244/boleh-jadi-mereka-yang-bahagia#sthash.HNupz0Kx.dpuf