Boleh Nggak sih Jual Beli Barang KW atau Bajakan dalam Islam?

Ustad Muqsith yang terhormat,

Terus terang saya suka nonton film terutama film India. Karena kesenangan saya itu saya sering membeli VCD di lapak-lapak pinggir jalan kalau saya sedang bepergian. Gampang dapatnya, di mana-mana ada, juga murah harganya. Kualitasnya juga tidak beda jauh dengan VCD aslinya, meski kadang gambarnya tidak jelas atau terpotong-potong. Cuma saya agak ragu dengan kebolehan membeli VCD itu yang seluruhnya merupakan bajakan. Mungkin pak Ustaz bisa menjelaskan kepada saya bagaimana sebetulnya hukum membeli barang bajakan?

Nur Hasanah Pemalang Jawa Tengah    

Memang benar apa yang dikatakan mbak, perdagangan barang-barang bajakan di Indonesia akhir-akhir ini memang semakin banyak, menyebar ke mana-mana sampai kampung-kampung terpencil.

Dari sudut etik-moral, praktek pembajakan tentu tidak dapat dibenarkan. Ia bertentangan dengan prinsip-prinsip etik-moral. Dalam tindak pembajakan, terdapat pihak yang dirugikan dan terzalimi, yaitu si pemilik hak cipta barang tersebut. Al-Quran dengan tegas mengatakan agar setiap orang tidak boleh berbuat zalim atau terzalimi (la tadhlimun wa la tudhlamun). Para pembajak adalah pihak yang zalim, sementara yang dibajak adalah pihak yang terzalimi.

Terkait dengan soal pembajakan tersebut, ada sebuah ayat dalam al-Quran yang memerintahkan agar kita tidak memakan harta orang lain secara batil. “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (kerelaan) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan akan memasukkannya ke dalam neraka”. [QS, al-Nisa` (4): 29].

Dalam mengomentari ayat tersebut, al-Fakhr al-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib [Lihat Juz V, hlm. 72] menyatakan bahkan pengertian “makan” tidak hanya melulu merujuk pada makna yang lazim dan hakiki, melainkan juga pada maknanya yang ghair lazim, majazi atau kiasan. Dalam definisi ini, maka pembajakan jelas masuk dalam kategori “memakan” harta orang lain dengan cara yang batil. Pembajakan adalah tindakan batil yang benderang. Di dalam pembajakan tidak akan dijumpai suatu kerelaan dari si pemilik hak cipta. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal harta milik seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya”.

Sementara itu, dari sudut fikih pembajakan tidak bisa diberikan toleransi sedikitpun. Dalam kerangka itu ada dua perkara yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembajakan dapat dimasukkan ke dalam perbuatan ghasab. Syeikh Nawawi al-Banteni dalam Nihayah al-Zain mendefinsikan ghasab sebagai perampasan hak orang lain secara zalim. Dalam pokok soal ini, jelas bahwa pembajak telah menggashab hak orang lain.

Sebagai konsekuensinya, pembajak dituntut untuk membawa barang bajakannya itu ke hadapan sang pemilik untuk dimintakan tanggapannya. Kalau si pemilik rela, maka ia bebas. Sebaliknya, jika si pemilik meminta ganti rugi yang layak dan rasional, maka si pembajak harus memenuhinya. Dalam konteks Indonesia, UU No. 6/1982 mengenai hak cipta yang disempurnakan dalam UU No. 7/1987 mestinya menjadi acuan dan ketentuan yang mengikat bagi seluruh warga bangsa.

Akan tetapi, pada hemat saya, tetap saja harus dibedakan antara pembajakan yang bersifat konsumtif (istihlaki), dipakai untuk diri sendiri dan yang bersifat produktif (intaji), diperbanyak dan dijualbelikan kepada orang lain. Kedua pembajakan tersebut dari sudut fikih Islam jelas berbeda. Pembajakan yang dilakukan hanya untuk konsumsi pribadi, tidaklah sama belaka hukumnya dengan pembajakan produktif yang sedari awal memang sengaja dirancang untuk mengeruk keuntungan material-ekonomi sebanyak-banyaknya.

Kalau pembajakan konsumtif biasanya terjadi untuk kepentingan individu semata, maka pembajakan produktif justru berlangsung dalam skala yang besar. Dengan demikian, jika pembajakan produktif tidak bisa diragukan lagi derajat keharamannya, maka pembajakan konsumtif, menurut saya, adalah hanya setingkat dengan hukum makruh. Hanya seseorang yang memiliki kesadaran tinggi yang enggan dan menjauh dari perkara ke-makruh-an itu.

Kedua, telah dijelaskan di dalam fikih bahwa persyaratan orang yang hendak menjual sesuatu barang (ba`i’) adalah agar yang bersangkutan berada dalam kepemilikan yang sempurna atas barangnya itu (al-milk al-tamm). Dengan demikian, barang bajakan tidak bisa menjadi milik dari si pembajak, kecuali ada pemindahan hak milik secara sah dan legal. Artinya, kepemilikan para pembajak terhadap barang bajakannya itu tidak diakui dan dipandang semu oleh fikih Islam. Oleh karena itu, maka pembajak tidak boleh menjual dalam bentuk apapun atas barang bajakannya itu pada orang lain.

Memang, kalau pembajakan dilarang akan mematikan ekonomi banyak keluarga. Cuma, menurut saya, pembajakan akan dapat melumpuhkan kreativitas seseorang untuk berkarya. Dunia kepenciptaan akan terganggu. Betapa seseorang yang berjerih payah berkarya secara tiba-tiba mesti dibajak tanpa sepengetahuan dan seizin si empunya.

Akan lebih baik kalau kita lebih kreatif menciptakan sesuatu yang baru sehingga membuka lapangan kerja yang baru pula. Karena bukan tidak mungkin, VCD bajakan misalnya, itu diproduksi oleh orang-orang yang punya modal besar dan penjual-penjual di lapak-lapak di pinggir jalan hanya dimanfaatkan oleh orang-orang itu. Dan terbukti, berulang kali yang ditangkap dan dirazia hanya mereka sedangkan pemodalnya tidak. Ini kan masalah.

Akhirnya, praktek pembajakan di negeri ini hanya bisa berhenti jika kita tidak ikut menyuburkannya dengan membeli barang-barang bajakan. Maka, berniagalah dengan barang-barang yang sah, bukan bajakan. Dan belilah barang yang tidak “bersampul” bajakan.[]

Oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali

ISLAMI.CO