Misteri Laut dalam Alquran

Meski ditemukan pertama kali dikalangan bangsa Quraisy yang tidak mengenal dunia kemaritiman, Alquran membahas masalah laut dalam berbagai sighat (bentuk). Syekh Abdul Aziz az-Zuhairi menulis, sighat bahar (bentuk tunggal) disebut sebanyak 29 kali, sighat bahrani (dua laut) sebanyak satu kali, sighat bahrain (dua laut) sebanyak empat kali, sighat bihar (ja mak) sebanyak dua kali. Sementara itu, kata al-fulk (perahu) disebutkan sebanyak 23 kali.

Salah satu ayat Alquran yang membahas tentang laut ada pada surah an-Nur ayat 40. “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tia da lah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.”

Ayat tersebut memang ditempatkan da lam konteks sebagai analogi terhadap orang kafir seperti tertera dalam ayat sebelumnya. Selain mengqiyaskan orang-orang kafir berada di kegelapan, Allah SWT pun sebelumnya menyematkan kon disi fatamorgana yang ada di dalam orang-orang kafir pada ayat 39. Meski demikian, tiap ayat Alquran punya rahasia, termasuk dalam ayat tentang kegelapan lautan di atas.

Apa yang dikatakan Alquran tentang kegelapan yang bertindih-tindih di dalam lautan seolah mengulangi apa yang dibuktikan dunia sains saat ini. Mengutip buku Oceans karangan Danny Elder dan John Pernetta, kegelapan lautan dan samudra dijumpai pada kedalaman 200 meter atau lebih. Di kedalaman ini, hampir tidak di jum pai cahaya. Sedangkan di bawah keda laman seribu meter, tidak terdapat cahaya sama sekali.

Penjelasan Harun Yahya tentang dunia bawah laut pun bisa menegaskan kembali betapa benar firman Allah tentang gulita yang bertindih-tindih. Pengukuran dengan teknologi saat ini berhasil mengungkapkan bahwa antara tiga hingga 30 persen sinar matahari dipantulkan oleh permukaan laut. Jadi, hampir semua tujuh warna yang menyusun spektrum sinar matahari diserap satu demi satu ketika menembus permu kaan lautan hingga kedalaman 200 meter kecuali sinar biru. Di bawah kedalaman seribu meter, tidak dijumpai sinar apa pun.

Tidak hanya itu, Harun Yahya yang me ngutip buku Oceanography, a View of the Earth pun mencoba meneliti kalimat lain da lam ayat di atas. Ketika masih ada om bak lain di atas ombak. Apa yang disebut kan itu ternyata juga dibuktikan secara ilmiah oleh penelitian modern saat ini. Para ilmuwan menemukan keberadaan gelombang di dasar lautan yang terjadi pada pertemuan antara lapisan-lapisan air laut dengan kerapatan atau masa jenis berbeda.

Gelombang internal ini meliputi wila yah perairan di kedalaman lautan dan sa mudra. Pada kedalaman ini, air laut punya massa jenis lebih tinggi dibandingkan la pis an air di atasnya. Ajaibnya, gelombang internal ini punya sifat gelombang permu kaan. Dia bisa pecah seperti ombak. Meski tidak bisa dilihat dengan mata manusia, keberadaannya dapat dikenali lewat suhu atau perubahan kadar garam di tempattempat tertentu.

Kemukjizatan Alquran memang tak bisa diragukan. Apa yang dikatakan pada 15 abad yang lalu ternyata terbukti oleh sains modern abad 20. Jika saja para awak the Challenger mengetahui apa yang di tuang kan dalam surah an-Nur ayat 40, mung kin saja separuh pertanyaan mereka akan terjawab.

Meski demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia barat yang tidak mengenal Alquran justru amat giat menggali ayat-ayat kauniyah yang bertebaran di alam semesta. Beragam penelitian justru membuka tabir-tabir kebenaran yang sudah tertera pada ayat-ayat suci. Padahal, Allah SWT memberi perintah pertama kali kepada kita untuk membaca. Dengan nama Tuhan yang menciptakan.

Sudah saatnya kita mengambil hikmah dari ayat-ayat qauliyah yang bertebaran di dalam Alquran dan ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Terlebih tentang laut. Me ngutip apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo, sudah terlalu lama kita memunggungi laut. Sudah terlalu lama juga kita mengabaikan ayat-ayat Allah tentang laut. Karena laut bisa menjadi salah satu media untuk mengenal-Nya.

Hendaknya, kita pun mengingat kem bali pesan Rasulullah SAW yang mengistimewakan para mujahid yang berjuang di laut. Sesuai dengan hadis yang dirawikan oleh Ummu Haram bahwa Nabi SAW du duk-duduk di sisinya. Beliau pun tertawa. Lantas, Ummu Haram berkata, “Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?” Kata Nabi, “Sejumlah manusia dari umatku mengarungi lautan hijau (demi berjihad) di jalan Allah. Perumpamaan mereka adalah seperti para raja atas keluarganya.” Ummu Haram pun berkata,”Wahai Ra sulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku dalam golongan mereka.” Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, jadikan dia bagian dari mereka.” Wallau a’lam.

 

REPUBLIKA

8 Pemuda Bersepeda ke Makkah Sambil beramal

Delapan pemuda akan melalui perjalanan menantang selama enam minggu dimulai hari ini dengan bersepeda dari London ke Makkah untuk menunaikan Rukun Islam Kelima.

Setiap anggota Human Aid, sebuah badan amal berpusat di Inggris itu juga berharap dapat mengumpulkan dana bantuan 1 juta pound untuk membantuk Suriah.

Pendiri proyek itu, Abdul Wahid mengatakan, sumbangan dana itu akan digunakan untuk bantuan darurat termasuk membeli peralatan medis dan ambulan di Damaskus.

“Ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap upaya medis di negara bergolak itu. Penduduk di seluruh Eropa sangat mendukung usaha seperti ini dan saya berharap ia dapat memartabatkan agama Islam.

“Selain itu, kami juga mendorong masyarakat dengan kegiatan bersepeda yang berkontribusi untuk kehidupan lebih sehat,” jelasnya kepada al-Arabiya.

Ekspedisi bersepeda tersebut akan dimulai di timur London dan kemudian mereka akan naik feri ke Dieppe di Perancis sebelum melanjutkan perjalanan ke Swiss, Jerman, Austria, Liechtenstein dan memasuki Italia.

Mereka kemudian akan mengambil penerbangan ke Iskandariah dan kembali bersepeda ke Hurghada, di mana kelompok pemuda tersebut akan naik feri ke Yanbu di Arab Saudi.

Pada tahap terakhir ekspedisi itu, mereka akan melanjutkan perjalanan dari Yanbu ke Madinah.*

 

HIDAYATULLAH

 

Informasi ini juga dapat dibaca melalui Aplikasi Porsi Haji di Android Anda Sekarang !

Menghindari Kemiskinan Jiwa

Alam Indonesia yang indah seharusnya menjadikan pribadi kita lebih kaya. Kenyataannya, negeri ini memiliki citra kurang nyaman.

 

KITA belum terlatih untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah dari hati ke hati. Masalah yang datang sering dihadapi dengan adu otot dan kekuatan. Ujungnya, bukan solusi yang didapatkan bangsa ini, melainkan semakin terpuruk pada titik nadir kehinaan. Padahal, kita dibekali dengan akal dan nurani, juga iman dan rambu-rambu.

Negeri kita sedang mendapatkan ujian bertubi-tubi dan aneka peringatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus merenung keras mengapa kita yang berada di sebuah negeri yang dibaca umat Islam sebagai terbesar jumlahnya di dunia, namun harus mengalami kehidupan seperti ini. Kalau kita mempelajari indahnya Islam, sepatutnya Indonesia ini menjadi negara yang sangat dihormati dan disegani oleh seluruh dunia karena keindahan pribadi-pribadi yang ada di negeri ini.

Alam Indonesia yang indah ini seharusnya menjadikan pribadi kita lebih kaya. Tapi dalam kenyataannya, justru negeri ini memiliki citra kurang nyaman.

Agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mengajarkan kejujuran. Islam juga mengajarkan kebersihan. Misalnya sebelum shalat kita harus berwudhu terlebih dahulu. Tapi, mengapa kemudian di Indonesia sulit sekali menemukan tempat yang bersih? Bahkan masjid yang kita cintai pun seringkali tidak teramat kebersihannya.

Islam juga mengajarkan kerapihan shaf dalam salat berjamaah. Tapi ironisnya, begitu banyak ruas jalan yang macet. Hal ini diakibatkan tidak adanya kedisiplinan. Untuk antre pun sangat susah. Akibatnya menjadi tidak tertib dalam berbagai hal.

Ada juga yang menganggap bahwa di negeri ini terlalu banyak orang yang tidak jujur. Buktinya, banyak sekali terjadi korupsi. Bukankah korupsi itu adalah tanda ketidakjujuran.

Diakui atau tidak, keterpurukan ini terjadi karena sebagai kaum Muslimin yang mayoritas, perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari belum Islam. Mengapa demikian?

Selama 350 tahun kita dijajah bangsa asing, dan sesudah itu, umat Islam hampir tidak bertemu dengan pelajaran tentang keindahan Islam. Di sekolah-sekolah umum, pelajaran tentang keislaman hanya diberikan selama beberapa jam dalam sepekan. Kita dan anak-anak sangat sedikit mengenal keindahan dan kemuliaan Islam. Di televisi atau radio, acara siraman ruhani keislaman paling banter hanya setengah jam sehari.

Jadi negeri ini nyaris terburuk karena belum seluruh orang Islam hidup secara Islami. Mereka mayoritas, tapi belum mendapatkan informasi dan suri teladan tentang keindahan Islam. Padahal Islam sangat mementingkan perubahan perilaku atau karakter. Karakter itu terdiri dari empat hal.

Pertama, ada karakter lemah; misalnya penakut, tidak berani mengambil risiko, pemalas, cepat kalah, belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya.

Kedua, karakter kuat; contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang tinggi, pantang menyerah, dan lain-lain.

Ketiga, karakter jelek; misalnya licik, egois, serakah, sombong, pamer, dan lain-lain.

Keempat, karakter baik; seperti jujur, terperdaya, rendah hati, dan sebagainya.

Orang-orang yang merusak negeri ini masuk ke dalam salah satu kategori tadi. Hari ini yang kita rindukan adalah, negeri ini akan bangkit kembali. Ini bisa terjadi bila dua karakter, yaitu karakter yang kuat dan baik bersinergi. Misalkan dia tangguh, ulet, tapi tetap rendah hati dan merupakan pekerja keras yang sangat gigih. Dia berprestasi gemilang tapi ikhlas. Inilah yang diharapkan manusia -manusia tangguh, berani, gigih, ulet, jujur, rendah hati, dapat dipercaya, dan sebagainya.

Satu hal yang patut kita sayangkan kemudian adalah, karakter manusia Indonesia, khususnya kaum Muslimin, tidak terlalu sesuai dengan karakter yang diinginkan di atas. Ternyata, banyak manusia di Indonesia yang mempunyai kebiasaan korupsi, dari yang raksasa sampai yang kecil-kecilan. Hal ini disebabkan karena kita mempunyai jiwa miskin.

*/Sudirman STAIL (sumber buku: Menjemput Rezeki dengan Berkah, penulis buku: KH. Abdullah Gymnastiar)

HIDAYATULAH

Biaya Sewa, Layanan Dorong Kursi Roda di Masjidil Haram Naik Tajam

Petugas mendesak jamaah untuk berurusan dengan pendorong kursi roda yang memakai tanda resmi dan memiliki nomor dada

 

Relawan pendorong kursi roda di Masjidil Haram menaikkan harga biaya sewa dan layanan mencapai 2,7 kali lipat selama Ramadan mengundang keluhan dari jemaah yang sedang menunaikan umrah pada saat ini.

Menurut jemaah umrah kepada koran Al-Madina dikutip portal Saudi Gazette, mengataka, biaya yang dikenakan pendorong kursi roda itu dinilai terlalu tinggi.

“Mulai Ramadan ini, mereka menaikkan biaya sewa dan layanan sampai 200 riyal (Rp. 600.000, untuk kurs 3000) meskipun pemerintah menetapkan biaya tersebut pada 75 riyal (Rp. 225.000),” kata seorang jamaah yang tidak mau namanya diungkapkan.

Sejumlah peziarah mengeluhkan eksploitasi seorang tukang sepatu di dalam Masjidil Haram yang mengatakan bahwa mereka membebankan harga selangit.

Jemaah umroh telah meminta Kementerian Urusan Dua Masjid Suci untuk campur tangan dan mengendalikan kenaikan harga dan berjaga-jaga pada penyedia layanan yang dinilai mengambil keuntungan para jamaah.

Keluhan sama dibuat Fahd Al-Saedi yang mengerjakan umrah di Masjidil Haram minggu lalu.

Menurutnya, dia ingin menggunakan layanan kursi roda untuk membantu ibunya yang uzur menunaikan umrah tanpa mengalami kesulitan.

“Apa yang mengejutkan saya, pemilik kursi roda itu meminta saya membayar sewa sebesar 200 riyal untuk mengerjakan sa’i,” katanya.

Tambahkan mengejutkan Fahd, pendorong kursi roda itu menolak menunjukkan kartu izin sebagai pendorong kursi roda pada dadanya, selain pria itu memakai jaket berwarna abu-abu.

Katanya, saat kejadian sedang masuk waktu Isya’ dan dia tidak menemukan petugas keamanan untuk mengajukan keluhan.

“Tambah menyedihkan, saat saya menghampiri pendorong kursi roda lainnya, dia juga mengenakan harga sewa yang sama,” katanya.

Fahd kemudian menemukan seorang pendorong kursi roda yang tidak ditawarkan tarif sewa sebesar 120 riyal (Rp. 360.000) saja.

Sementara itu, pejabat Urusan Dua Masjid Suci mengecam perbuatan tidak bermoral pendorong kursi roda yang menetapkan harga terlalu tinggi dan menyamakan mereka sebagai ‘tentara bayaran’ yang tidak memiliki izin untuk melanjutkan layanan tersebut.

Dia juga mendesak jamaah agar hanya berurusan dengan pendorong kursi roda yang memakai tanda resmi dan memiliki nomor pada dada mereka.*

 

HDYATULLAH

Memilih Lembaga Pendidikan untuk ‘Menyelamatkan’ Buah Hati Kita

Memilihkan pendidikan kepada anak, seperti memilihkan makanan sebelum diberikan. Bukan saja halal, tapi harus thoyyiban. Alias enak dan bergizi

 

BULAN Mei hingga Juli adalah waktu dimana orang tua sibuk berjibaku memilihkan atau mendaftarkan anak ke sebuah lembaga pendidikan. Sekolah formal yang naik daun adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sementara untuk pondok pesantren yang paling favorite adalah pesantren yang memiliki program bahasa asing dan Tahfidz Quran.

Memilihkan pendidikan kepada anak, seperti memilihkan makanan sebelum diberikan. Makanan yang diberikan bukan saja halal, tapi harus thoyyiban. Bukan saja enak tapi harus bergizi.

Begitu pula saat mencarikan tempat pendidikan anak. Bukan saja yang penting sekolah, atau harus di sekolah favorit, atau di sekolah terkenal. Tapi harus memperhatikan nasabiah ilmu dan ideologisnya.

Persoalan memilihkan tempat pendidikan, juga penulis alami sendiri. Pada mulanya saya membebaskan pilihan untuk melanjutkan belajar di mana saja.

Nampaknya kegelisahan sedang dialami anak saya. Untuk mengatasi kegelisahan tersebut saya sarankan anak sulung saya untuk mencoba mendaftar di beberapa tempat.

 

Menurut saya ideologis harus jelas, yaitu ideologis keagamaan dan kebangsaannya. Karena kita hidup di bumi Indonesia.

Dalam mencari ilmu bukan saja kita ingin sekedar pandai, cerdas, mapan dalam satu pekerjaan, tapi harus memperhatikan manfaat dan barokahnya dari suatu ilmu.

Ilmu tersebut akan membawa kebaikan dan keselamatan kehidupan di dunia dan akhirat atau tidak. Karena yang kita tuju bukan sekedar sukses di dunia, tapi juga harus sukses di akhirat kelak.

Ilmu yang manfaat dan barakah adalah ilmu yang dapat memberikan kegunaan dan melahirkan kebaikan-kebaikan bagi dirinya , keluarganya, dan orang di sekitarnya, serta lingkungan yang lebih luas. Tidak melahirkan gangguan-gangguan kepada siapapun. Atau melahirkan kejelekan dan kerusakan bagi dirinya dan lingkungannya.

Supaya menghasilkan ilmu yang demikian, membawa spirit kemanfaatan menuju kebaikan bersama, harus lahir dari ilmu yang nasabnya jelas. Berantai sampai pada sumber ilmu melalui wasilah guru, kiai, maupun gejala alamiah lainnya yang tersambung secara runtut dan mutawatir.

Tempat yang pas untuk memberikan pendidikan kepada anak, menurut saya adalah pondok pesantren. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang-orang yang telah memberikan kontribusi besar terhadap tegaknya NKRI.

Yang dalam perkembangannya pesantren memiliki lembaga formal tanpa meninggalkan kekhasannya, baik lembaga formal reguler maupun berbentuk lembaga modern dengan keunggulan baru yang ada di dalamnya. Ibarat makanan, yang baik, bergizi, yang insya Allah akan memberikan kemanfaatan dan keberkahan, sebagaimana bukti dan uji lulusan pesantren selama ini. Karena selalu dikawal oleh para pengasuhnya yang terjaga baik fisik terutama hatinya selama 24 jam.

Hal demikian, sangat tepat mengingat lingkungan yang saat sekarang kurang mendukung, penuh dengan virus negatif yang bebas bertebaran. Pagi hari anak dididik kebaikan terkadang ketika sorenya bertemu dengan hal-hal yang kurang baik.

Orang tua pun sudah tidak mampu mengontrol secara penuh. Jadilah anak tersebut terwarnai lingkungannya. Sekali lagi saya tegaskan, menurut saya pesantren menjadi solusi pendidikan umat di masa kini. Wallahu allam.*/Muhammad Ali Anwar, penulis adalah dosen Institut Agama Islam (IAI) Pangeran Diponegoro Nganjuk

 

HIDAYATULLH

Lalai, Berpaling, dan Lupa

Bila seseorang telah terjangkit lalai, dan penyakit tersebut bercongkol pada dirinya, maka ia tidak akan menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah.

 

SESUNGGUHNYA tiga hal ini merupakan sebab terbesar dari sebab-sebab berkurangnya iman. Barangsiapa yang terjangkit kelalaian, disibukkan oleh kelupaan, sehingga ia pun berpaling karenanya, maka keimanannya akan berkurang dan melemah sesuai keberadaan ketiga perkara tersebut padanya atau juga sebagian dari ketiganya. Hal tersebut juga memberikan dampak baginya berupa sakitnya hati, atau bahkan matinya hati tersebut karena bercokolnya syahwat dan syubhat atas dirinya.

Ada pun lalai, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencela di dalam kitab-Nya, dan menggambarkan bahwa lalai adalah akhlak tercela yang merupakan salah satu akhlak orang-orang kafir dan munafik. Allah pun memperingatkan tentang kelalaian dengan peringatan yang keras, sebagaimana Dia berfirman,

Dan sesungguhnya, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 179)

Lalai merupakan penyakit berbahaya bila seseorang telah terjangkit dan penyakit tersebut bercongkol pada dirinya. Maka ia tidak akan menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah, berdzikir mengingat-Nya, dan beribadah kepada-Nya, akan tetapi menyibukkan diri dengan berbagai perkara yang sia-sia dan jauh dari dzikir mengingat Allah.

Jika ia melakukan salah satu amal saleh, maka amalan tersebut tidak dibalut dengan sifat khusyu, tunduk, kembali (taubat), rasa takut, dan tidak terburu-buru, benar, dan ikhlas. Demikianlah pengaruh kelalaian yang buruk terhadap keimanan.

Ada pun berpaling, maka Allah telah menggambarkan di dalam Al-Qur’an bahwa sifat tersebut memiliki banyak pengaruh yang buruk, dengan akibat dan hasil yang jelek. Allah menyifati orang yang berpaling sebagai tiada seorang pun yang lebih zalim darinya dan ia termasuk golongan orang-orang pendosa. Hal ini sebagaimana firman Allah,

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah: 22).

Orang yang berpaling akan Allah jadikan hatinya tertutup dan terkunci, sehingga ia tidak memahami dan tidak mendapat petunjuk untuk selama-lamanya. Sebagaimana di dalam firman-Nya,

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka. Kendati pun engkau (Muhammad) menyuru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 57).

Kemudian keberpalingannya akan menyebabkan kehidupannya menjadi sempit, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana Allah berfirman,

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124).

Selanjutnya Allah juga menggambarkan bahwa orang yang berpaling dari mengingat Allah niscaya akan dijadikan baginya teman dekat dari kalangan setan-setan. Maka setan-setan itu pun merusakkan agamanya. Hal ini sebagaimana firman Allah,

Dan barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadikan teman karibnya.” (QS. Az-Zukhruf; 36)

Orang yang berpaling akan memikul dosanya kelak di hari Kiamat, dan akan dimasukkan ke dalam azab yang sangat berat. Hal ini sebagaimana Allah swt berfirman,

Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah yang telah lalu, dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur’an) dari sisi Kami. Barangsiapa berpaling dari (Al-Qur’an), maka sesungguhnya dia akan memikul beban yang berat (dosa) pada hari Kiamat.” (QS. Thaha: 99-100).

Juga ayat-ayat lainnya yang Allah menggambarkan di dalamnya tentang bahaya keberpalingan (dari mengingat Allah). Di antara bahaya dan keburukannya yaitu, keberpalingan merupakan penghalang dari keimanan dan menjadi penghalang lain bagi orang yang belum beriman, dan dapat melemahkan dan meredupkan iman orang yang telah beriman. Berdasarkan keberpalingan seseorang itulah ia akan mendapatkan bagian dari bahaya dan akibat buruknya ini.

Ada pun lupa, yaitu seseorang meninggalkan aturan yang diamanatkan untuk dijaga. Boleh jadi karena kelelahan hatinya, atau karena kelalaian. Boleh jadi juga karena memang bermaksud seperti itu, hingga dzikirnya diangkat dari hati, maka hal ini memiliki dampak yang luar biasa terhadap iman. Ini merupakan salah satu sebab dari sekian banyak sebab yang dapat melemahkan iman. Ketaatan akan menjadi sedikit, sementara kemaksiatan akan menjadi banyak dan mendominasi.

Lupa sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua macam:

1. Lupa pada seseorang yang tidak memiliki udzur padanya, yaitu lupa yang berasal dari kesengajaannya, sebagaimana firman Allah,

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)
2. Lupa seseorang yang memiliki udzur padanya, yaitu apa saja yang sebabnya bukan berasal dari dirinya. Hal ini sebagaimana firman Allah,

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Seorang muslim dituntut untuk berjihad melawan nafsunya, dan menjauhkan dirinya dari terjerumus dalam kelupaan, sehingga tidak membahayakan bagi agama dan imannya.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Sebab-sebab Bertambah dan Berkurangnya Iman, penulis Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr)

 

HIDAYATULLAH

Mengiringi Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik

Jika kesalahan itu adalah membicarakan keburukan orang lain, maka kebaikan itu adalah dengan memuji orang tadi di hadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya.

 

INI adalah cabang lain yang menyempurnakan dan memperkuat taubat, yaitu mengiringi keburukan dengan kebaikan, sehingga dapat menghapus pengaruhnya dan membersihkan kotorannya. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abu Dzar r.a. ketika beliau mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang agung ini.

Rasulullah bersabda,

“Bertakwalah di mana pun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapusnya, dan perbaikilah manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR. Ahmad dan Tirmizi dari Abu Dzar. Tirmizi berkata: Hadist ini hasan sahih).

Dalam konteks ini jika seorang muslim melakukan suatu perbuatan maksiat, maka hendaknya ia segera mengiringinya dengan perbuatan yang baik, misalnya, shalat, sedekah, puasa, istighfar, dzikir, tasbih, dan perbuatan baik yang lain. Seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hud: 114).

Dengan penjelasan firman Allah tersebut maka diketahui bahwa perbuatan buruk atau maksiat yang dilakukan tanpa sengaja akan terhapus oleh perbuatan baik.

Mengenai hal ini, ada beberapa contoh kemaksiatan dan perbuatan baik, sebagai berikut:

  1. Jika kesalahan itu adalah membicarakan keburukan orang lain di hadapan seseorang, maka kebaikan itu adalah dengan memuji orang tadi di hadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya, atau ia beristighfar kepada Allah.
  2. Jika keburukannya itu adalah mencela seseorang di hadapan orang lain maka kebaikannya itu adalah menghormatinya, memuliakannya, dan menyebutnya dengan kebaikan.
  3. Orang yang kejahatannya adalah membaca buku-buku yang buruk, maka kebaikannya adalah membaca Al-Qur’an, hadist, dan ilmu-ilmu Islam.
  4. Orang yang keburukannya menghardik kedua orangtua maka kebaikannya itu adalah dengan berlaku sebaik-baiknya kepada kedua orangtuanya dan memuliakannya, serta berbuat baik kepadanya, terutama saat mereka dalam usia lanjut.
  5. Orang yang keburukannya adalah memutuskan silaturahmi serta berbuat buruk kepada saudara maka kebaikannya adalah berbuat baik kepada mereka serta berusaha menjaga persaudaraan, walaupun mereka memutuskannya, dan memberi mereka walaupun mereka belum pernah memberi.
  6. Jika keburukannya adalah duduk dalam tempat hiburan, main-main, dan melakukan yang haram maka kebaikannya itu adalah duduk di tempat kebaikan, dzikir, dan ilmu yang bermanfaat.

Itulah beberapa jenis kebaikan yang dapat menghapuskan dosa orang yang melakukan keburukan. Intinya keburukan harus dilawan dengan kebaikan, seperti dijelaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa orang yang sakit diobati dengan lawannya penyakit itu.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Meraih Cinta Ilahi Melalui Taubat Nasuha, penulis buku: Rizem Aizid)

 

HIDAYATULLAH

Tuduhan Makar yang Berakhir Manis

Salah seorang raja dari Bani Abbasiyyah memiliki tawanan yang akan dihukum mati. Raja memerintahkan kepala polisi membawa tawanan keesokan harinya untuk dieksekusi. Kepala polisi sempat berdialog dengan tawanan tersebut.

“Anda berasal dari mana?” tanya kepala polisi. “Dari Syam!” jawab tawanan itu. “Penduduk Syam umumnya orang-orang baik. Apakah Anda kenal dengan Fulan bin Fulan?” tanyanya. “Ya, saya mengenalnya.” Jawaban tawanan itu membuat kepala polisi senang. “Di mana keberadaannya sekarang? Saya memiliki pengalaman berkesan dan berutang budi kepadanya,” ujar kepala polisi dengan perasaan ingin secepatnya mengetahui keberadaan orang itu.

Tawanan tersebut tidak langsung menjawabnya, justru ia mengajukan pertanyaan, “Mohon ceritakan pengalaman anda dengan Fulan bin Fulan itu, setelah itu aku akan tunjukkan keberadaannya.”

“Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya pernah bertugas menjadi polisi di Syam, terjadilah kudeta, dan pemimpin kami mati terbunuh. Saya pun dikejar-kejar untuk dibunuh oleh penguasa yang baru. Saya melarikan diri dan masuk ke sebuah rumah besar. Saya temui pemilik rumah dan memohon perlindungan darinya. Beliau tidak mengenal saya, tapi beliau langsung melindungi dan menyembunyikan saya di dalam rumahnya. Alhamdulillah, saya selamat! Saya dijamu dan dilayani dengan baik sekali.

Empat bulan kemudian, setelah suasana aman, saya izin untuk pulang ke Baghdad, karena keluarga saya tinggal di sana. Tuan rumah mencarikan rombongan kafilah pedagang yang akan berangkat ke Baghdad, memberikan uang sebesar lima ratus dinar (sekitar lebih dari satu miliar rupiah), menyiapkan kuda untuk tunggangan saya, keledai berisikan hadiah untuk keluarga saya dan seorang pembantu laki-laki untuk melayani saya selama perjalanan. Saya tidak akan melupakan jasa baiknya.” Kepala polisi mengakhiri kisahnya sambil menunggu kabar gembira dari tawanan.

”Saya lah Fulan bin Fulan!” ujar tawanan tersebut.  Kepala polisi kaget mendengarnya.  Setelah dites dengan beberapa pertanyaan, yakinlah kepala polisi bahwa tawanan tersebut adalah orang yang sedang dicarinya selama ini. Kepala polisi membuka borgol dari tangan dan kaki tawanan, disuruhnya mandi dan diberinya pakaian serta diberinya uang seribu dinar (sekitar lebih dari dua miliar rupiah), sebilah pedang dan seekor kuda. Kepala polisi memerintahkan tawanan untuk kabur dan dirinya siap menjadi tumbal dibunuh raja.

Kepala polisi mengetahui bahwa tawanan tersebut tidak berhak dihukum mati. Ia hanya mengkritisi kebijakan pemerintah dan menginginkan kebaikan bagi pemerintah dan masyarakat. Hanya saja, raja menganggap bahwa sikap kritisnya itu sebagai makar dan harus dihukum mati! Seandainya ada yang salah dari tawanan itu, yaitu tentang cara menasihati penguasa yang dapat menimbulkan kegoncangan dan ketidakstabilan dalam negara. Hendaklah penguasa dan penasihat mengevaluasi dan memperbaiki kekeliruan masing-masing. Hendaknya Umara dan Ulama saling menguatkan dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.

“Demi Allah, saya tidak akan pergi!” Tawanan menolak kabur. “Kalau Anda tidak mau kabur, saya akan memintakan maaf kepada raja, semoga saja raja memaafkanmu,” kepala polisi memberikan solusi yang disetujui oleh tawanan.

Keesokan harinya, kepala polisi membeli kain kafan dan menemui raja. Raja kaget, kepala polisi tidak membawa tawanan. Raja mengancam jika tawanan kabur maka ia akan membunuh kepala polisi. Kepala polisi menenangkan raja lalu menceritakan kisah hidupnya dan jasa tawanan terhadapnya. Hati raja luluh, ia kagum kepada kepala polisi dan tawanan, tawanan akhirnya dimaafkan.

Raja memberi uang 100 ribu dirham (sekitar tiga miliar lima ratus juta rupiah) dan menawarkan jabatan penting di Syam kepada  tawanan tersebut. Tawanan menolak uang dan jabatan dengan halus, lalu pamit meninggalkan Baghdad untuk kembali ke kampung halamannya.

Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas. Pertama, sikap ksatria merupakan akhlak Islam. Membela kaum yang tertindas, menolong orang yang dizalimi merupakan sikap kepahlawanan. Para ksatria siap menerima risiko diteror, dipecat dari pekerjaan, dianiaya, dipenjara bahkan dibunuh sekalipun. Mereka adalah orang orang yang berpegang teguh dengan prinsip dan bukan orang yang mencari kepentingan dunia.

Allah berfirman memuji kaum Anshar yang artinya, “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan (hasad) dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr 9)

Kedua, siapa yang menolong saudaranya pasti Allah akan menolongnya baik lewat orang yang ditolongnya atau melalui orang lain.

Ketiga, seorang yang ikhlas saat berbuat baik maka ia tidak membutuhkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia. Dalam kondisi terpaksa mereka menerima kebaikan orang lain jika dinilai tidak ada dampak negatif di balik itu. Bahkan balasan kebaikan ditolaknya untuk tetap menjaga kehormatan dirinya dan agar ia tidak terjerumus kepada penyimpangan.

Keempat, seorang yang bertekad kuat untuk melakukan kebaikan atau ingin membalas budi kebaikan orang lain maka Allah memudahkan baginya untuk merealisasikan niat baiknya.

Kelima, hati raja yang keras dan bersikap zalim menjadi lembut hatinya menyaksikan pejabat dan rakyat yang berjiwa ksatria. Raja menyadari kesalahannya dan mengharapkan kerja sama dengan mereka-mereka yang hidupnya memegang prinsip kebaikan dan mementingkan masyarakat banyak, bukan orang-orang yang egois dan kurang peduli dengan kesejahteraan masyarakat.

Keenam, dalam mempelajari suatu kejadian yang kita dengar atau baca, banyak data yang tidak lengkap. Sulit sekali bagi kita untuk segera memvonis pelaku sejarah. Yang lebih selamat adalah mengambil pelajaran dan hikmah dari suatu kejadian. Jika kita terburu-buru memvonis negatif kepada seseorang atau sekelompok orang, khawatir kita terjerumus kepada perbuatan dosa. Perlu dibedakan antara sikap bersangka buruk dengan sikap berhati-hati dan waspada.

 

Oleh Fariq Gasim Anuz

REPUBLIKA

Rasulullah tak Menyalatkan Jenazah Koruptor

ADA yang bertanya soal ide agar tokoh agama tidak menyalatkan koruptor. Menurut saya, sebagaimana di bawah ini.

Koruptor yang belum bertobat dan tidak mengembalikan hasil korupsinya sampai meninggal dunia, berarti mati dalam keadaan membawa dosa besar. Meskipun dosa besar, namun tindak korupsi tidak menyebabkan pelakunya jadi kafir. Artinya, jenazahnya tetap disikapi sebagai jenazah muslim. Dia wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.

Selama dia muslim, dia mendapat hak untuk dihargai sebagai muslim.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpesan,

“Kewajiban seorang muslim kepada muslim yang lain, ada enam.”Para sahabat bertanya, Apa saja itu, Ya Rasulullah?

Beliau sebutkan dengan rinci, diantaranya,

“Apabila sakit, mereka menjenguknya dan apabila meninggal, harus diantarkan jenazahnya. (HR. Ahmad 9080 dan Muslim 5778).

Tokoh agama tak ikut menyalatkan

Meskipun demikian, bukan berarti setiap orang dianjurkan menyalatkan jenazahnya. Karena koruptor yang mati dan belum bertobat, dia berhak mendapatkan hukuman sosial. Hukuman dalam bentuk jenazahnya tidak disalati oleh tokoh agama dan setiap orang yang diharapkan doanya.

Bukan karena mereka kafir, namun sebagai peringatan bagi masyarakat lainnya, bahwa orang semacam ini tidak dishalatkanoleh mereka yang diharapkan doanya.

Imam an-Nawawi menukil riwayat dari Imam Malik,

“Dari Imam Malik dan yang lainnya, bahwa pemuka masyarakat selayaknya menghindari shalat jenazah yang mati karena hukuman had. Dan tokoh agama, tidak boleh menshalati orang fasik, sebagai peringatan bagi mereka. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 7/47)

Hukuman sosial semacam ini, pernah diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada koruptor di masa beliau.

Sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu anhu menceritakan,
Ada salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang meninggal pada peristiwa Khaibar.

Merekapun berharap agar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mensalati jenazahnya. Namun beliau tidak berkenan mensalatkannya. Beliau justru menyuruh kami, “Salatkan teman kalian.”

Wajah para sahabat spontan berubah karena sikap beliau.Di tengah kesedihan yang menyelimuti mereka, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan alasannya,

“Teman kalian ini melakukan korupsi saat jihad fi sabilillah.”

Kami pun memeriksa barang bawaannya, ternyata dia mengambil manik-manik milik orang Yahudi (hasil perang Khaibar), yang nilainya kurang dari dua dirham. (HR. an-Nasai 1959, Abu Daud 2710, Ibnu Majah 2848, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Ada beberapa pelajaran dari hadis ini. Pertama, orang yang mati dalam kondisi suul khatimah, disarankan agar tokoh agama tidak turut mensalati jenazahnya. Sebagai hukuman sosial baginya, dan memberikan efek jera bagi masyarakat lainnya. Betapa sedih pihak keluarga, ketika jenazah sang ayah tidak disalati tokoh agama dan orang saleh yang diharapkan doanya.

Kedua, orang yang mati suul khotimah statusnya masih muslim. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap menyuruh para sahabat untuk mensalati jenazah orang ini. Sekalipun beliau tidak mau mensalatkannya.

Ketiga, sekecil apapun korupsi, tetap korupsi. Manik-manik seharga dua dirham, nilai yang sangat murah. Apa yang bisa kita bayangkan, ketika dia korupsi raturan juta?

Keempat, pahala jihad, tidak memadamkan dosa korupsi. Orang itu, meninggal di medan jihad.
Namun sebelum meninggal, dia korupsi. Korupsi di negara kita, apa ada yang punya pahala jihad?

Semua ancaman di atas, menunjukkan betapa buruknya tindak korupsi di mata agama dan masyarakat. Semoga Allah melindungi diri kita dan masyarkat kita dari penyakit berbahaya ini.

[konsultasi syariah, Ustaz Ammi Nur Baits]

Minum Ketika Sedang Jumatan, Batalkah?

ADA yang bertanya, bolehkah minum ketika seseorang mendengarkan khutbah Jumat? Ia melihat hal itu dilakukan seorang jemaah yang membawa air minum kemasan.

Selama mendengarkan khutbah jumat, makmum dituntut untuk konsentrasi penuh, sehingga bisa mendengarkan khutbah dengan seksama. Sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang makmum untuk melakukan aktivitas apapun yang bisa mengganggu konsentrasinya.

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, Diamlah,” padahal khotib sedang berkhotbah, sungguh engkau telah berbuat sia-sia.”(HR. Bukhari 934 dan Muslim 851).

Apakah minum dihukumi sama dengan berbicara? Ulama berbeda pendapat. Pertama, dilarang makan atau minum ketika mendengarkan khutbah. Bahkan bisa membatalkan salat.

Kedua, makruh jika tidak karena haus. Hanya untuk menikmati minuman. Ketiga, dibolehkan, selama masih bisa berkonsentrasi dalam mendengarkan khutbah.

Ketiga pendapat itu disebutkan an-Nawawi dalam kitabnya,

“Makruh bagi makmum untuk minum hanya dalam rangka menikmati (tidak haus), dan boleh minum bagi yang kehausan. Baik bagi makmum maupun khatib. Ini pendapat mazhab kami, Syafiiyah. Sementara Ibnul Mundzir mengatakan, “Imam Thawus, Mujahid, dan as-Syafii memberi keringanan untuk minum. Sementara Imam Malik, al-AuzaI, dan Ahmad melarangnya.” Al-AuzaI mengatakan, “Jumatan bisa batal apabila makmum minum, ketika imam sedang berkhutbah.” (al-Majmu, 4/529)

Namun pernyataan al-AuzaI bahwa jumatan bisa batal gara-gara makmum minum, ini dinyatakan al-Abdari, pernyataan ini bertentangan dengan ijma. An-Nawawi menyebutkan,

Al-Abdari mengatakan, “Pernyataan al-AuzaI bertentangan dengan Ijma” (al-Majmu, 4/529)

Dan setiap yang bertentangan dengan ijma, dia tidak berlaku.Allahu alam.

 

[Ustaz Ammi Nur Baits/Konsultasisyariah]