Lahir di Keluarga Muslim, Syahadatkah agar Islam?

PADA dasarnya setiap orang dilahirkan dari perut ibunya dalam keadaan muslim. Sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Baru kemudian orang tuanya akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.

Dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari)

Jadi kalau pertanyaannya sejak kapan kita ini masuk Islam, maka jawabannya adalah sejak kita diciptakan, sebenarnya setiap orang sudah beragama Islam. Buktinya bayi-bayi yang meninggal sebelum beranjak dewasa, akan dimasukkan ke dalam surga. Kalau ditanya, bagaimana orang tidak mengucapkan syahadat kok bisa masuk surga, jawabnya bahwa semua manusia sudah berikrar bahwa Allah Ta’ala adalah tuhannya. Ikrar itu diucapkan saat ruh belum lagi dibenamkan ke dalam jasad.

Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, kami menjadi saksi.” agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini ” (QS. Al-A’raf: 172)

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367713/lahir-di-keluarga-muslim-syahadatkah-agar-islam#sthash.kXd5CeGi.dpuf

Dosakah Membuang Pembalut yang Masih Banyak Darah?

PADA dasarnya tidak ada ketentuan bagi wanita yang haidh untuk membersihkan pembalut yang digunakan sebelum membuangnya. Sebab fungsi pembalut itu bukan semata-mata sekedar menampung keluarnya darah, tetapi juga untuk menjaga kebersihan seorang wanita. Jadi kalau kemudian pembalut itu menjadi kotor dengan darah, tentu tidak perlu lagi dibersihkan. Pembalut itu bisa langsung dibuang, karena memang dibuat dan dirancang untuk sekali pemakaian.

Kira-kira fungsinya seperti kertas tissue yang hanya sekali pakai. Apa pernah ada orang menggunakan kertas tissue berkali-kali, dipakai lalu dibersihkan lagi, lalu dipakai lagi? Tentu tidak pernah, bukan? Sebab kertas tissue itu memang dirancang oleh penemunya untuk pemakaian sekali saja lalu dibuang. Kalau masih penasaran, kita bisa ambil perbandingan dengan prilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat berisitinja’ dengan batu.

Di dalam ilmu fiqih, istilah yang lazim digunakan adalah istijmar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk membersihkan batu-batu yang telah digunakan untuk beristinja’, bukan? Perintahnya hanya sekedar menggunakan batu saja, tapi tidak diikuti dengan perintah untuk membersihkan batu itu setelah dipakai. Dan logikanya bisa kita pakai dalam kasus pembalut wanita itu. Di mana salah satu fungsinya adalah untuk membersihkan kotoran atau darah wanita. Sekali pakai dan silahkan dibuang.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2365742/dosakah-membuang-pembalut-yang-masih-banyak-darah#sthash.v2qRvDL0.dpuf

Hukum Kerjakan Salat Lupa dengan Haid

SEORANG perempuan bertanya di satu pengajian, apa hukumnya bila dia baru sadar sedang haid di kala salat. Dia bilang, dirinya mendengar ada dua pendapat, yaitu: gugur kewajiban dengan tak ada kewajiban menggantinya (pendapat Imam Hanafi). Sementara ada pendapat dari Mazhab Syafii, harus menggantinya manakala sudah suci.

Untuk pertanyaan tersebut, bisa dijawab sebagai berikut; Memang benar ada perbedaan pendapat antara mazhab Al-Hanafiyah dan mazhab Asy-Syafi’iyah dalam masalah ini.

 

 

Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, seorang wanita yang ketika masuk waktu salat fardhu dalam keadaan suci, lalu di tengah waktu salat dia mendapatkan darah haid, padahal belum sempat salat, maka kewajiban salatnya gugur. Dan untuk itu tidak perlu diqadha’ bila nanti telah suci.

Sebaliknya dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, kewajiban salatnya tidak gugur. Sehingga bila nanti sudah selesai dari masa haid, dia wajib mengganti salatnya dengan qadha’. Wallahu alam []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367976/hukum-kerjakan-salat-lupa-dengan-haid#sthash.FsB5eFrm.dpuf

Perempuan Ahli Neraka karena Satu Sifat Bahaya ini

PEREMPUAN yang kufur nikmat bukanlah perempuan yang akan memasuki surga-Nya Allah. Perempuan semacam ini yang disebutkan dalam salah satu hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yazid.

Dari Asma’ binti Yazid Al-Anshariyyah radhiallahu anha: Ketika aku sedang duduk bersama orang-orang sebayaku, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam lewat dan mengucapkan salam kepada kami. Kemudian, beliau bersabda, “Waspadalah kalian, jangan mengingkari orang-orang yang telah memberi kenikmatan.”

Di antara mereka, akulah yang paling berani untuk bertanya kepada beliau. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan pengingkaran terhadap orang-orang yang telah memberikan kenikmatan?”

Beliau menjawab, “Bisa jadi seseorang dari kalian lama menjanda, lalu Allah menganugerahinya suami dan memberinya anak, tetapi ia sangat marah dan mengingkari nikmat. Ia berkata, ‘Aku tidak mendapatkan satu kebaikan pun darimu’.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad)

Hadits ini mengingatkan kaum perempuan untuk mengingat kebaikan Allah yang diberikan melalui perantara suami. Jangan menjadi perempuan yang kufur nikmat dengan meniadakan jerih payah suami apalagi disertai dengan kebencian dan kemarahan.

Tidak pantas bagi seorang perempuan beriman menuntut hal yang memberatkan suaminya, pupuklah kesabaran dan kelapangan hati mendampingi suami di kala lapang maupun sempit. Bukankah suami yang rela bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan nafkah yang halal?

Bantulah suami kita untuk menghidupi keluarga dengan segala sesuatu yang halal demi mencapai ridho Allah Ta’ala. Doakan ia agar senantiasa dalam lindungan Allah. Yakinlah bahwa rezeki dan karunia tak akan pernah tertukar, tugas kita hanyalah bersabar dan bersyukur hingga Allah melipatgandakan kenikmatan-Nya. (DOS)

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2368177/perempuan-ahli-neraka-karena-satu-sifat-bahaya-ini#sthash.FDOi2Wek.dpuf

Doa Ash-Habul Kahfi

Kisah inspiratif sekelompok pemuda di masa lampau yang hidup di zaman kepemimpinan seorang raja musyrik, bengis, jahat dan dzolim. Sekelompok pemuka yang dikenal dengan Ash-Habul Kahfi itu bakal menjadi surat dalam Al Qu’an, Al Kahfi.kisah mereka bias dibaca dalam ayat 9-22. Mereka beriman kepada Allah Ta’ala dengan keimanan yang murni, tanpa bercampur dengan kemusyrikan. Sementara penguasa negeri dan mayoritas masyarakat menuduh, memfitnah Al Kholiq mengambil anak (Qs. Al Kahfi : 4).

Surah yang memuat 4 kisah yang dipaparkan dalam 71 ayat dari 110 ayat yang ada, dilatarbelakangi situasi memanasnya perang pendapat antara Rasulullah SAW dan kaum musyrikin Quraisy. Kala itu disebut masa pertentangan antara iman dan materialism. Pertanyaan kaum musyrikin tentang kisah sekelompok pemuda itu hendak menguji kebenaran Muhammad SAW sebagai utusan Allah Ta’ala.

Di setiap masa, pertentangan semacam ini selalu marak. Ditengah pergulatan ideology, social, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan yang menimpa suatu negeri akan menyulut ketidakpastian, kekuatan, keagamaan bahkan penderitaan. Masyarakat Muslim akan dihadapkan pada dua kubu. Satu kubu berpegang teguh pada nilai keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Disisi lain yang kebih condong kepada iming-iming, imbalan materi, jabatan, jaminan keamanan, dan bentuk lainnya. Pilihan ini sesungguhnya hendak menampakan kecenderungan seseorang atau sekelompok dan membuka jati dirinya, keberpihakannya, sikap dan perilaku, pilihan bahkan asumsi, pemikiran, pendapat, dan keputusan yang mengandung konsekuensi bagi seseorang di dunia dan di akhirat.

Kisah Ash Habul Kahfi ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah Ta’ala. Terlepas dari latar belakang turunnya ayat ini untuk menguatkan keimanan terhadap kebenaran Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT.  Nampak hikmah yang tersirat di dalamnya bermanfaat sebagai bukti dan penguat keimanan bagi orang yang beriman. Dengan kisah ini juga, ia ingin memperbaiki akidah, pola piker,dan pandangan manusia agar lebih berpihak dan mendasarkan pilihan dalam hidupnya berlandaskan keimanan dan tidak tergiur dengan materi yang dapat merusak akidah, dan keimanannya.

Alkisah sebelum mereka di tidurkan oleh Allah Ta’ala, ada permohonan yang mereka panjatkan kepada Dzat Yang Maha Perkasa, sekaligus menjadi contoh dan kebaikan bagi orang yang beriman sesudah mereka. –Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdo’a, Ya Rabb kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami–. (QS. Al Kahfi : 10)

Doa merupakan senjata bagi orang mukmin dibalik klelemahan, ketidaktahuan, ketidakpasitian dan kebingungannya. Mereka memohon dua perkara, yakni Rahmat dari sisi Allah Ta’ala dan petunjuk yang lurus dalam urusan yang menimpa. Mereka sangat ingin bias mengajak kaumnya untuk menyembah Allah semata, tidak menyekutukannya dengan apapun dan siapapun. Namun hajat mereka tertahan oleh kedzoliman penguasa negeri saat itu dan mendapat dukungan mayoritas penduduk negeri. Di tengah ketidakpastian antara harapan, keimanan yang bersemayam di dalam lubuk hati, akaldan keinginan tetap bisa beribadah, beramal sholih dan berdakwah pada masanya. Namun harus berhadap dengan situasi dan kondisi ipoleksosbudhankammas dalam negerinya yang sangat tidak kondusif dan memaksanya untuk mengambil jalan keluar. Sehingga ia terus berdoa kepada Allah Ta’ala dan berharap petunjuk-Nya dalam mengambil sikap yang tepat bagi dirinya di dunia dan akhirat.

Doa mereka diijabah, Allah Ta’ala mendatangkan Rahmat-Nya berupa petunjuk bagi mereka agar bersafari menuju gua dan ternyata mereka tertidur di dalamnya. Melalui kekuasaan dan mukjizat-Nya, ruh mereka tertahan, terlelap dalam tidur panjang selama 309 tahun, dalam kondisi mata terbukaseakan mereka hidup dan berkehidupan. Manusia dibuat enggan mendekat, apalagi mengganggu tidur mereka. Jadilah mukjizat itu mengemuka menjadi bukti nyata tentang kemnangan orang-orang yang beriman di masa kapanpun, sepanjang landasan pilihan, sikap, perilakunya berlandaskan keimanan  kepada Allah Ta’ala dan membela penegakan kalimat-Nya. Bagi yang beriman, ia akan selalu menang dan tetap berada dalam kebenaran. Sementara keberpalingan dan ketergelinciran kebanyakan manusia, sehingga tergoda memilih tawaran menteri, berupa harta dan tahta hanya menjadi penyesalan baginya di dunia dan akhirat. Sedangkan balasan di sisi-Nya bersifat pasti.

Kata Rahmat’ diulang sebanyak enak kali dalam surah yang sama, yakni Qs. Al Kahfi : 10, 16, 58, 65, 82, 98, menunjukan betapa urgensi permohonan
Rahmat-Nya. Semoga Allah Ta’ala member petunjuk kepada umat Islam di mamsa ini dan di masa mendatang, agar tetap teguh dalam berpegang teguh dalam keimanan kepada Allah Ta’ala. Tetap memberikan oenbelaan terhadap yang hak dan nenrangi yang batil. Mengambil manfaat dan ibrah di balik anjuran Rasulullah SAW agar yang membaca surat Al Kahfi disetiap hari Jumat, sekaligus memanjatkan doa yang sama. Ya Allah… masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang selalu mendapat Rahmat dan Petunjuk dari-Mu. Aamiin

Oleh: Dra Hj Siti Faizah
sumber:REPUBLIKA ONLINE

 

Bisakah Hadiahi Pahala Orangtua yang Masih Hidup?

TERDAPAT dalil tegas, bahwa orang yang hidup bisa menghadiahkan pahala sedekah untuk orang yang telah meninggal. Dari Aisyah radhiallahu anha, bahwa ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Ibuku mati mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Saya yakin, andaikan beliau sempat berbicara, beliau akan bersedekah. Apakah beliau akan mendapat aliran pahala, jika saya bersedekah atas nama beliau?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ya. Bersedekahlah atas nama ibumu.” (HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004)

Dalam hadis yang lain, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwa ibunya Sad bin Ubadah meninggal dunia, ketika Sad tidak ada di rumah. Sad berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak hadir. Apakah dia mendapat aliran pahala jika aku bersedekah harta atas nama beliau?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari 2756)

Hadis-hadis di atas menjadi dalil bahwa pahala sedekah atas nama mayit bisa sampai kepada mayit. Bahkan kata Imam Nawawi bahwa pahala sedekah ini bisa sampai kepada mayit dengan sepakat ulama. (Syarh Shahih Muslim, 7/90)

Apakah ini juga berlaku untuk yang hidup? Jawabannya, ini juga berlaku bagi yang hidup. Si A bisa bersedekah atas nama orang tuanya atau saudaranya atau siapapun. Dalam matan al-Iqna kitab fiqh madzhab hambali dinyatakan, “Semua ibadah yang dilakukan seorang muslim, kemudian dia pahalanya atau sebagian pahalanya, misalnya setengah pahalanya untuk muslim yang lain, baik masih hidup maupun sudah meninggal, hukumnya dibolehkan, dan bisa bermanfaat baginya. Karena dia telah mendapatkan pahala.” (al-Iqna, 1/236).

Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa menghadiahkan pahala sedekah bisa diberikan kepada orang yang hidup dengan sepakat kaum muslimin. Berikut pernyataan Imam Ibnu Baz, “Untuk sedekah, bisa bermanfaat bagi yang hidup maupun yang mati dengan sepakat kaum muslimin. Demikian pula doa, bisa bermanfaat bagi orang yang hidup maupun yang mati dengan sepakat kaum muslimin.” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 4/348).

 

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2366458/bisakah-hadiahi-pahala-orangtua-yang-masih-hidup#sthash.MbaFaZQj.dpuf

5 Cara Rasul Bakti pada Orangtua yang sudah Wafat

DARI Malik bin Rabiah As-Saidi radhiyallahu anhu, beliau menceritakan, Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah. Orang ini bertanya, Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara bagiku untuk berbakti kepada orang tuaku setelah mereka meninggal? Jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Ya, mensalatkan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, memenuhi janji mereka setelah mereka meninggal, memuliakan rekan mereka, dan menyambung silaturahmi yang terjalin karena sebab keberadaan mereka.” (HR. Ahmad 16059, Abu Daud 5142, Ibn Majah 3664, dishahihkan oleh al-Hakim 7260 dan disetujui adz-Dzahabi).

Makna mensalatkan mereka memiliki dua kemungkinan,
1. Mensalatkan jenazah mereka
2. Mendoakan mereka dengan doa rahmat.

 

 

Demikian keterangan as-Sindi yang dikutip Syuaib al-Arnauth dalam Tahqiq beliau untuk Musnad Imam Ahmad (25/458). Di antara doa yang Allah perintahkan dalam AlQuran adalah doa memohonkan ampunan untuk kedua orang tua kita,

“Berdoalah, ‘Ya Allah, berilah rahmat kepada mereka (kedua orang tua), sebagaimana mereka merawatku ketika kecil’.” (QS. Al-Isra: 24)

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2361361/5-cara-rasul-bakti-pada-orangtua-yang-sudah-wafat#sthash.J9c92KUA.dpuf

Bolehkah Akikah Sebelum atau Sesudah 7 Hari?

A. Dalil Hari Ketujuh

PARA ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini. Dasarnya adalah beberapa hadis berikut ini:

“Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)

“Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya.” (HR. Al-Baihaqi)

B. Bolehkah Dilakukan Sebelum dan Sesudahnya?

Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.

1. Al-Malikiyah. Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja.

2. Asy-Syafiiyah. Pendapat mazhab Asy-Syafiiyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh. Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.

3. Al-Hanabilah. Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas. Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu. Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja. Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha. Dan qadha itu tetap berlaku sampai kapan pun.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2365716/bolehkah-akikah-sebelum-atau-sesudah-7-hari#sthash.oHgTW3do.dpuf

Hukum Orang tak Mau Nikah Demi Bela Islam

ADA seorang pemuda yang percaya, dirinya akan lebih berguna untuk agama, bangsa dan masyarakatnya dalam statusnya saat ini: jomblo alias membujang. Bagaimana Islam mengatur persoalan ini, terutama berkaitan dengan dalih membujangnya itu yang seolah-olah untuk kemaslahatan umat?

Untuk itu, bisa dijawab sebagai berikut:

Allah SWT menciptakan manusia dan menjadikan di antara tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan suami isteri laki-laki perempuan, dan Dia jadikan di antara keduanya rasa cinta dan kasih sayang dalam pernikahan sesuai hukum-hukum syara. Allah SWT berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Rum [30]: 21)

Islam mendorong untuk menikah. Menikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, lebih menenangkan jiwa dan lebih menjaga agama:

Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abdullah ra, ia berkata: kami bersama Nabi saw lalu beliau bersabda:

“Siapa saja di antara kalian yang sanggup menikah maka hendaklah dia menikah, sesungguhnya itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu perisai baginya.”

– Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Siapa yang diberi Allah isteri shalihah, maka sungguh Allah telah menolongnya atas separuh agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separo lainnya.”

Al-Hakim berkata: “hadis ini sanadnya shahih.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Kemudian orang yang berusaha untuk menikah guna menjaga kesuciannya, dia adalah salah seorang dari tiga golongan yang akan ditolong Allah SWT. Imam Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:

“Tiga golongan yang masing-masing menjadi hak Allah SWT untuk menolongnya: seorang mujahid di jalan Allah, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya, dan al-muktab (hamba sahaya yang mengikat perjanjian dengan tuannya membayar sejumlah harta untuk memerdekakan dirinya) yang ingin membayarnya.”

Rasulullah saw melarang tidak menikah bagi orang yang mampu menikah. An-Nasai telah mengeluarkan dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw:

Bahwa Beliau melarang membujang (tidak menikah selamanya). Ibn Majah juga telah mengeluarkan hadis demikian.

Rasul saw telah berpesan kepada para bapak jika datang kepada mereka orang yang mereka ridhai agama dan akhlaknya agar menikahkannya. At-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

“Jika datang mengkhitbah kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Ibn Majah telah mengeluarkan dengan lafazh:

“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai akhlaknya dan agamanya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Demikian juga Rasul saw berpesan agar dipilih seorang wanita shalihah yang memiliki kebaikan agama yang menjaga suaminya, anak-anaknya dan rumahnya. Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, Beliau bersabda:

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, niscaya selamat tanganmu.”

Sedangkan ucapan Anda “ada hadis yang mengatakan yang maknanya “fusq al-ummah adalah orang yang tidak menikah”, maka hadits ini dhaif. Hadis itu seperti berikut: Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari seorang laki-laki dari Abu Dzar, ia berkata: “seorang laki-laki yang disebut Akaf bin Bisyr at-Tamimi menemui Rasulullah saw lalu Nabi saw bersabda kepadanya:

“Ya Akaf apakah kamu punya isteri?” Ia menjawab: “tidak” Nabi bersabda: “sesungguhnya sunnah kami adalah pernikahan. Dan seburuk-buruk dari kalian adalah orang yang tidak menikah (uzb)”

Hadis ini sanadnya dhaif karena kemajhulan seorang perawi dari Abu Dzar. Dan karena kekacauan yang terjadi pada sanad-sanadnya. Ath-Thabarani mengeluarkan di Mujam al-Kabr dan yang lain dari jalur Buqiyah bin Walid, keduanya dari Muawiyah bin Yahya dari Sulaiman bin Musa dari Makhul dari Udhaif bin al-Harits dari Athiyah bin Busrin al-Mazini, ia berkata: “Akaf bin Wadaah al-Hilali datang kepada Rasululla saw lalu ia menyebutkannya. Sanad ini dhaif karena Muawiyah bin Yahya ash-Shadfiy, dan Buqiyah bin al-Walid juga dhaif.

Orang yang tidak menikah (al-uzb) tentu saja bukan lantas seburuk-buruk manusia. Akan tetapi bisa jadi seburuk-buruk orang itu ada dari al-uzb, dan dari selain mereka, sesuai sejarah masing-masing.

Ringkasnya, Rasul saw mendorong untuk menikah bagi orang yang mampu untuk menikah. Menikah itu lebih menjaga agama seseorang, lebih membentengi kemaluan dan lebih menundukkan pandangan Demikian juga Rasul saw melarang membujang (at-tabattul) yakni tidak menikah selamanya

Atas dasar itu, selama Anda wahai penanya, mampu menikah, maka saya berpesan untuk menikah dan Anda pilih seorang wanita saleh, Anda kerahkan segenap usaha dalam membangun keluarga yang saleh, ikhlaskan untuk Allah SWT, dan jujurlah dengan Rasulullah saw. Dan sungguh Anda dengan izin Allah SWT Anda akan mampu menumbuhkan anak-anak Anda dengan pertumbuhan yang saleh. Dan Allah menjadi penolong orang-orang saleh. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367728/hukum-orang-tak-mau-nikah-demi-bela-islam#sthash.inhOXTly.dpuf

Hukum Wanita Bertunangan Dipinang Pria Lain?

BOLEHKAH seorang wanita yang sudah dipinang menerima pinangan dari pria lain? Bagaimana hukum Islam mengatur hal itu?

Dalam masalah ini sebagian besar para ulama (jumhur) sepakat bahwa hukum dari perbuatan wanita yang menerima pinangan pria lain padahal ia sudah dipinang oleh pria sebelumnya, dan ia menerimanya, hukumnya haram.

Al-Khathabi menyatakan dalam sebuah kitabnya bahwa larangan dalam soal ini adalah untuk pengarahan, bukan pengharaman yang dapat membatalkan Akad. Para fuqaha (ahli fiqih) juga mengharamkan tindakan tersebut berlandaskan sebuah hadis yang diriwayatkan Uqbah Bin ‘Amr r.a bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya sebagai berikut: “Orang mukmin itu saudara orang mukmin lainnya. Tidak dihalalkan bagi seorang mukmin untuk berjualbeli atas jual beli saudaranya, dan ia tidak boleh meminang atas pinangan saudaranya hingga ia membatalkannya”.

Dari penjelasan hadis tersebut jelas bahwa seorang wanita tidak boleh membatalkan pinangan yang telah ia terima dari seorang pria yang meminangnya dengan tujuan ingin menerima pinangan dari pria lain. Dalam hal ini dikecualikan pria yang pertama meminangnya membatalkan pinangannya dengan kemauannya sendiri, tanpa ada paksaan dari siapa pun, termasuk wanita yang dipinangnya.

Begitu juga sebaliknya seorang pria tidak boleh meminang wanita yang statusnya sudah dipinang oleh pria lain sekalipu sudah disepakati oleh wanita tersebut sampai pria sebelumnya membatalkan pinangannya. []

 

MOZAIK INILAHcom