Akibat Seorang Anak Memperlakukan Ibu sebagai Pembantu

Seorang anak berlaku kasar kepada ibunya. Dia tidak hanya suka teriak-teriak di wajahnya, akan tetapi suka mencaci dan memakinya. Ibunya yang telah tua, seringkali berdoa kepada Allah ta’ala agar Allah meringankan kekerasan dan kekejaman anaknya. Dia menjadikan ibunya sebagai pembantu yang membantu dan mengurusi segala kebutuhannya, sedangkan ibunya sendiri tidak membutuhkan pengurusan dan bantuannya. Betapa sering air matanya mengalir di kedua pipinya, berdoa kepada Allahta’ala agar memperbaiki belahan hatinya dan memberikan hidayah kepada hatinya.

Pada suatu hari dia menemui ibunya dengan raut wajah kejahatan yang terlihat dari kedua matanya. Dia berteriak-teriak di wajah ibunya, “Apakah ibu belum menyiapkan makanan juga?” Dengan segera ibunya mempersiapkan dan menghidangkan makanan untuknya. Akan tetapi tatkala dia melihat makanan yang tidak dia suka, maka dia melemparnya ke tanah.

Dia marah dan berucap, “Sungguh, aku kena musibah dengan wanita yang sudah tua renta, aku tidak tahu, kapan aku bisa berlepas diri darinya.” Ibunya menangis seraya berkata, “Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah terhadapku. Tidakkah kamu takut kepada Allah? Tidakkah kamu takut akan murka dan kemarahanNya?” Karena mendengar kata-kata ibunya, maka kemarahannya pun memuncak, dia memegang baju ibunya dan mengangkatnya. Dia mengguncang-guncang ibunya dengan kuat seraya menghardik, “Dengar, aku tidak mau dinasihati. Bukan aku yang mesti dibilang harus bertakwa kepada Allah.”

Lalu dia melempar ibunya. Ibunya jatuh tersungkur. Tangisnya bercampur dengan tawa anaknya yang penuh dengan kepongahan seraya mengatakan, “Ibu pasti akan mendoakan kecelakaan bagiku. Ibu mengira Allah akan mengabulkannya.” Kemudian dia keluar rumah sambil mengolok-olok ibunya. Sementara sang ibu, dia berlinangan air mata kesedihan, menangis siang dan malam tiada henti.

Adapun anaknya, dia lalu menaiki mobilnya. Bergembira dan bersuka cita sambil mendengarkan musik. Dia kencangkan volume tapenya. Dia lupa akan apa yang telah dia perbuat terhadap ibunya yang malang. Dia meninggalkan ibunya dalam keadaan bersedih hati sendirian, hatinya menelan rasa sakit, mengalami kesedihan yang sangat mendalam.

Dia punya acara ke luar kota. Tatkala mobilnya melaju di jalan raya dengan kecepatan membabi buta, tiba-tiba ada seekor unta berada di tengah jalan. Dia terguncang dan kehilangan keseimbangan. Dia mencoba untuk menguasai keadaan, akan tetapi tidak ada jalan keluar dari takdir. Dalam kecelakaan itu, ada potongan besi mobil yang masuk ke dalam perutnya, akan tetapi dia tidak langsung tewas. Allah ta’ala menangguhkan kematiannya. Dia berpindah dari operasi satu ke operasi yang lain, hingga akhirnya terbaring di tempat tidur, tidak bisa bergerak sama sekali. (Aqibah Uquq al-Walidain, hal. 69-71.)

Sumber: Sungguh Merugi Siapa yang Mendapati Orang Tuanya Masih Hidup Tapi Tidak Meraih Surga, karya Ghalib bin Sulaiman bin Su’ud al-Harbi. Edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta.
Artikel www.KisahMuslim.com

Masalah Keluarga: Waspadai Orangtua Durhaka pada Anak

Sahabat Ummi, rasanya tak ada yang tak mengenal kisah Malin Kundang, legenda yang menjadi simbol perbuatan durhaka seorang anak kepada ibunya. Tetapi, belum pernah terdengar oleh kita legenda yang merepresentasikan bentuk ke”durhaka”an orang tua pada anaknya. Padahal, seiring usia dunia yang menua, dan semakin merajalelanya kemungkaran, kedurhakaan tak hanya dilakukan oleh anak terhadap orang tua.

Masih segar dalam ingatan, kisah yang sempat menjadi headline post kriminal beberapa hari lalu, tentang seorang ayah yang memukul putri bungsunya bertubi-tubi dengan bambu  hingga sang bambu mengalami patah tiga, dan gadis kecil yang malang itu pun menemui ajal di tangan ayah kandungnya.

Dan lebih ironinya lagi, peristiwa yang menimpa Kasih, demikian nama bocah berusia 7 tahun itu, bukanlah peristiwa yang pertama kali kita dengar. Berbagai kasus kejahatan yang dilakukan orang tua kandung terhadap anak telah berulang kali terjadi, seperti penyiksaan, penganiayaan, pelecehan seksual, memperdagangkan anak hingga pembunuhan.

Fakta ini menunjukkan bahwa bukan anak saja yang bisa berbuat durhaka kepada orang tua, tetapi orang tua pun bisa berbuat durhaka terhadap anak. Sobat Ummi mungkin akan menyanggah, bukankah kasus-kasus diatas sifatnya sangat kasuistik? Dalam kehidupan keluarga yang berlangsung “normal”, mungkinkah orang tua juga tetap berpeluang untuk berbuat durhaka terhadap anak?

Sebelumnya, mari terlebih dulu kita tilik makna durhaka. Dari sudut bahasa, durhaka berarti ingkar, melawan, membangkang, dan tidak mematuhi. Itu sebabnya, anak yang melawan orang tuanya disebut anak yang durhaka. Dan durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar sesudah syirik.

Maka dalam konteks ke”durhaka”an orang tua terhadap anak, jika dihubungkan dengan makna kata tersebut, itu dapat dimaknai dengan bentuk pengingkaran (kewajiban) orang tua terhadap anak dan pengingkaran (pemenuhan hak) anak.

Dalam surat At-Tahrim ayat 6 Allah swt berfirman :

“………Wahai orang-orang mukmin, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari azab api neraka……”

Sesuai ayat diatas, maka orang tua berkewajiban memberi pendidikan Islam dan menegakkan ajaran Islam terhadap anak-anaknya, seperti kewajiban sholat, membaca Al-Quran, mengajarkan akhlak dan perilaku yang baik, dan sebagainya. Semua bentuk pendidikan dan pengajaran yang dapat memelihara keluarganya dari melakukan hal-hal yang dapat menggiring mereka pada azab neraka.

Selain itu, orang tua juga berkewajiban memenuhi hak anak-anaknya, seperti hak mendapatkan kasih sayang, perlindungan, nafkah yang layak, sandang, pangan, nama yang baik, juga jaminan pendidikan dan kesehatan.

Orang tua harus memberi contoh tauladan yang baik kepada anak. Jika orang tua menghendaki anak teguh menunaikan sholat, maka orang tua juga tak boleh melalaikan kewajiban sholat. Jika seorang ibu menginginkan putrinya menutup aurat, maka ia juga harus menutup auratnya dengan baik.

Islam adalah agama yang adil. Di satu sisi, Islam menyuruh anak untuk berbuat baik kepada orang tua dan menggolongkan kedurhakaan anak pada orang tua sebagai dosa besar. Namun di sisi lain, Islam juga mewajibkan orang tua untuk memenuhi hak anak dan kewajiban mereka terhadap anak. Karena setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak atas amanah yang dipercayakan kepadanya. Dan amanah terbesar bagi setiap orang tua, adalah sang anak.

Diceritakan dalam sebuah hadis, tentang seorang anak yang kedua orang tuanya digiring menuju syurga, sedangkan si anak digiring menuju neraka. Namun si anak mengajukan protes pada malaikat, dia mengatakan bahwa orang tuanya tidak pernah mengajarkannya hal-hal yang layak mengantarkannya ke syurga. Atas protes sang anak, kedua orang tuanya pun menjadi tertunda langkahnya menuju syurga.

Orang tua yang “durhaka” mungkin tidak akan dihukum dengan dikutuk menjadi batu sebagaimana halnya Malin Kundang, tetapi, ke”durhaka”an orang tua dalam bentuk pengingkaran hak dan kewajiban terhadap anak, boleh jadi akan menunda atau bahkan menghalangi langkah orang tua dari memasuki syurgaNya. Wallahu’alam.

 

 

 

Referensi : Al Habsyi, Ust. Ahmad. Iman Perdana, Teguh. Mukjizat Orang Tua Sempurnakan Suksesmu. 2014. Nourabooks : Jakarta.

 oleh RiawaniElyta

sumber: Ummi Online

6 Kewajiban Orangtua pada Anak

Banyak juga orang yang salah kaprah, menyangka putra-putrinya adalah miliknya, sehingga bebas diperlakukan sesuka hati. Padahal sebenarnya anak hanyalah titipan Allah yang sewaktu-waktu akan kembali pada Allah. Dan sebagai titipan, tentu saja kita yang diberi amanah memiliki kewajiban dalam menjaganya.

“Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepemimpinanmu… Orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya… [HR Bukhari juz 1, hal. 215]

Sahabat Ummi, inilah 6 kewajiban orangtua  pada anak yang perlu kita tanyakan ke diri sendiri sebagai bahan introspeksi, sudahkah kita melakukannya:

1. Memilihkan ayah dan ibu yang baik untuk anak (sebelum menikah)
Pada suatu kesempatan, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab kehadiran seorang tamu lelaki yang mengadukan kenakalan anaknya, “Anakku ini sangat bandel.” tuturnya kesal.

Amirul Mukminin berkata, “Hai Fulan, apakah kamu tidak takut kepada Allah karena berani melawan ayahmu dan tidak memenuhi hak ayahmu?”

Anak yang pintar ini menyela. “Hai Amirul Mukminin, apakah orang tua tidak punya kewajiban memenuhi hak anak?”

Umar ra menjawab, “Ada tiga, yakni: pertama, memilihkan ibu yang baik, jangan sampai kelak terhina akibat ibunya. Kedua, memilihkan nama yang baik. Ketiga, mendidik mereka dengan al-Qur’an.”

Dari kisah Umar bin Khaththab tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ketika hendak menikah, jangan hanya memilih calon suami atau istri, tapi juga memilih calon ayah dan calon ibu yang baik untuk anak kita kelak.

Jika kita tidak bersungguh-sungguh dalam mencarikan calon orangtua terbaik untuk anak kita kelak, sama saja kita telah melanggar hak anak untuk dilahirkan dari rahim seorang ibu yang baik, dan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik dari sang ayah.

2. Memberinya nama yang bagus dan berarti baik
“Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kamu sekalian, maka perbaguslah nama kalian.” (HR.Abu Dawud)

Pemberian nama yang baik untuk anak bisa dilakukan sambil melaksanakan aqiqah.

Dari Samurah bin Jundab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Anak itu tergadai dengan aqiqahnya, disembelih sebagai tebusannya pada hari ketujuh dan diberi nama pada hari itu serta dicukur kepalanya”. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 38]

 

Rasulullah Saw. Diketahui telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap masalah nama. Kapan saja beliau menjumpai nama yang tidak menarik (patut) dan tak berarti, beliau mengubahnya dan memilih beberapa nama yang pantas. Beliau  mengubah macam-macam nama laki-laki dan perempuan.Seperti dalam hadis yang disampaikan oleh aisyah ra.bahwa Rasulullah Saw. Biasa merubah nama-nama yang tidak baik.” (HR Tirmidzi)

Sahabat Ummi, memberikan nama dengan arti buruk untuk anak sama saja berbuat durhaka pada anak kita. Misalnya memberi nama anak kata-kata yang ada dalam Al Quran, tapi ternyata artinya adalah nama neraka, atau nama setan, atau yang berarti buruk lainnya.

3. Memberi anak air susu ibu
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan.” (al-baqarah: 233)

Banyak penelitian ilmiah dan penelitian medis yang membuktikan bahwa masa dua tahun pertama sangat penting bagi pertumbuhan anak secara alami dan sehat, baik dari sisi kesehatan maupun kejiwaaan.

Ibnu sina, seorang dokter kenamaan, menegaskan urgensi penyusuan alami dalam pernyataannya, “Bahwasanya seorang bayi sebisa mungkin harus menyusu dari air susu ibunya. Sebab, dalam tindakannya mengulum puting susu ibu terkandung manfaat sangat besar dalam menolak segala sesuatu yang rentan membahayakan dirinya.”

Jika memang air susu ibu tidak keluar, maka carikanlah ibu susu dengan akhlak yang baik sebagaimana ibunda nabi Muhammad shalallaahu alaihi wassalaam melakukannya.

4. Mengajarkan Al Quran
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari kakek Ayub Bin Musa Al Quraisy dari Nabi saw bersabda, “Tiada satu pemberian yang lebih utama yang diberikan ayah kepada anaknya selain pengajaran yang baik.”

Thabrani meriwayatkan dari Jabir Bin Samurah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bahwa salah seorang di antara kalian mendidik anaknya, itu lebih baik baginya dari pada menyedekahkan setengah sha’ setiap hari kepada orang-orang miskin.”

Mengajarkan anak ayat dan juga akhlak alquran ini adalah kewajiban ibu dan bapak.

Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ali ra, “ Ajarkanlah tiga hal kepada anak-anak kalian, yakni mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya dan membaca al-qur’an. Sebab, para pengusung al-qur’an berada di bawah naungan arsy Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naunganNya, bersama para nabi dan orang-orang pilihanNya. Dan, kedua orang tua yang memperhatikan pengajaran al-qur’an kepada anak-anak mereka, keduanya mendapatkan pahala yang besar.”

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (QS. 20:132)

Membiasakan berakhlak Islami dalam bersikap,berbicara, dan bertingkah laku, sehingga semua kelakuannya menjadi terpuji menurut Islam (H.R Turmuzy dari Jaabir bin Samrah)

Selain itu, orangtua juga perlu mengajarkan rasa malu sedini mungkin pada anak-anak.

Menanamkan etika malu pada tempatnya dan membiasakan minta izin keluar/masuk rumah, terutama ke kamar orang tuanya, teristimewa lagi saat-saat zhaiirah dan selepas shalat isya’.(Al-qur’an surat Annuur ayat 56)

Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah saw bersabda, “ perintahkanlah anak anak kalian untuk mengerjakan sholat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah agar mereka menunaikannya ketika berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”

5. Memberi nafkah dan makanan halal
Memberi nafkah hanya dengan harta yang baik dan dari mata pencaharian yang halal adalah kewajiban seorang bapak. Berdasarkan sabda Rasul saw: “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia kerjakan dengannnya, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan.” (H.R. Turmudzi)

Dan makanan yang diberikan kepada anak -anak hendaknya Makanan yang halal. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada Sa’ad Bin Abi Waqhas, “Baguskanlah makananmu, niscaya doamu akan dikabulkan.” Karenanya, anak dibiasakan untuk mengkonsumsi makanan yang halal, mencari penghasilan yang halal dan membelanjakan kepada yang halal, sehingga ia tumbuh dalam sikap sederhana dan pertengahan, terjauh dari sikap boros dan pelit.

Rasulullah Saw. Pernah mengajarkan sejumlah anak untuk berpesan kepada orang tuanya di kala keluar mencari nafkah “Selamat jalan ayah! Jangan sekali-kali engkau membawa pulang kecuali yang halal dan thayyib saja! Kami mampu bersabar dari kelaparan,tetapi tidak mampu menahan azab Allah Swt. (H.R Thabraani dalam Al-Ausaath)

6. Menikahkan anak dengan calon suami/istri yang baik
Bila anak telah memasuki usia siap nikah, maka nikahkanlah. Jangan biarkan mereka terus tersesat dalam belantara kemaksiatan. Do’akan dan dorong mereka untuk hidup berkeluarga, tak perlu menunggu memasuki usia senja.

Bila muncul rasa khawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung beban berat kelurga, Allah berjanji akan menutupinya seiring dengan usaha dan kerja keras yang dilakukannya, sebagaimana firman-Nya, “Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin) dan orang-orang yang sudah waktunya kawin dari hamba-hambamu yang laki-laki ataupun yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerah-Nya.” (QS. An-Nur:32)

Semoga info mengenai kewajiban orangtua pada anak ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan evaluasi untuk rumah tangga kita.

 

dikutip dari Ummi Onine

Nazhir Wakaf Habib Buja` Bagikan Uang Sewa Rumah Ke Jamaah BTJ

Sebanyak 4.282 orang jamaah asal Embarkasi Banda Aceh (BTJ) mendapatkan pembayaran uang pengganti sewa rumah dari Nazhir (Badan Pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi (Baitul Asyi Makkah). Pembayaran uang itu sebesar 337 dolar AS dalam bentuk cek dan tafsir Al-Usyr Al-Akhir Qur`an Al Karim.

Pemberian uang itu merupakan pembagian keuntungan dari pengelolaan Wakaf yang didapatkan dari seorang dermawan asal Aceh, Habib Buja` (Bugak) Al-Asyi. Uang tersebut khusus diberikan kepada jamaah haji asal Aceh. Ini merupakan wasiat Habib Buja. Dia itu mewariskan wakaf tersebut untuk kemaslahatan jamaah asal Aceh di Makkah.

“Tahun ini, jumlah yang kami bagikan bagi jamaah dari Embarkasi Aceh sebesar 5,5 juta riyal Saudi. Bentuknya cek. Diharapkan, uang itu digunakan untuk meningkatkan usaha dan perekonomian rakyat Aceh melalui jamaah haji asal Aceh,“ kata Muneer Abdul-Gani Asyi, Ketua Nazhir Wakaf Habib Buja` Asyi usai membagikan penggantian uang sewa kepada salah satu kloter dari Embarkasi Aceh, di Kawasan Jumaizah, Makkah, Arab Saudi, Kamis (06/12).

 

Menurutnya, pembagian uang penggantian sewa rumah itu diberikan mulai tahun lalu atau 1427 hijriah. Saat itu, uang yang dibagikan sebesar 6,5 juta riyal Saudi.

Pada saat pembagian pertama, nilai uang yang dibagikan itu berdasarkan besaran uang sewa untuk pemondokan jamaah asal Embarkasi Aceh. Ketentuan itu didasarkan pada kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi.

Di tahun ini, pembagian itu dihitung berdasarkan nilai  keuntungan dari pengelolaan Wakaf dengan jumlah jamaah asal Embarkasi Aceh. Maka, dengan nilai yang dibagikan kepada jamaah sebesar 337 dolar AS.

 

Keuntungan pengelolaan wakaf itu memang ditujukan untuk jamaah haji asal Embarkasi Aceh. Habib Buja yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al Fath. Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah.

 

 

Sekitar 25-30 tahun yang lalu, ada pengembangan Masjidil Haram di masa Raja Malik Sa`ud bin Abdul Aziz. Rumah Habib Buja terkena proyek itu. Karenanya, rumah ini pun kena gusur dan Kerajaan Arab Saudi memberi ganti rugi.

 

Oleh Nazhir, uang penggantian itu digunakan untuk membeli dua lokasi lahan di daerah Ajyad, 500 dan 700 meter dari Masjidil Haram. “Tanah itulah yang kemudian menjadi aset wakaf sekrang ini. Hanya, kita saat itu belum memiliki keuntungan untuk dibagikan. Setelah ada investor yang mau membangun hotel di lahan itu, barulah kita mendapatkan keuntungan dari uang sewa lahannya,“ kata Muneer lagi.

Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Rencananya, tahun depan selesai dan akan dikelola managemen hotel ternama selama 17 tahun.

 

 

Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit. Pengelolaan hotel ini juga dilakukan oleh satu manajemen untuk 20 tahun.

 

“Setelah masa kontrak selama 17 dan 20 tahun itu, maka hotel ini diserahkan kepada Nazhir untuk dikelola,” sambung Muneer yang juga keturunan Nazhir pertama ini.

 

Dari keuntungan lainnya, tambahnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun ini, kedua lahan ini akan dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh. “Insya Allah di tahun depan, jamaah bisa menempati pondokan itu sehingga kami tak membagikan uang sewa rumah lagi.“

 

Soal Wakaf Buja

Pada 18 Rabi`ul Akhir tahun 1224 hijriah, Habib Buja` datang ke hadapan Hamim Mahkamah Syar`iyah untuk mewakafkan tanah tersebut. Di atas lahan itu itu ada

sebuah rumah dua tingkat untuk tempat tinggal jamaah haji asal Aceh yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji. Rumah itu juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Makkah. Bila tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Makkah, maka rumah itu diperuntukan bagi mahasiswa atau santri dari Jawi (wilayah Asia Tenggara).

 

Kalau tidak ada mahasiswa atau santri itu, maka rumah wakaf itu digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Makkah yang belajar di Masjidil Haram. Sekiranya mereka pun tidak ada, maka wakaf ini diserahkan ke Imam Masjid Haram untuk kebutuhan Masjid Haram.

 

Maklumat ini pun kemudian disampaikan oleh Syekh Abdul Ghani Mahmud Asyi, Nazhir Wakaf Habib Buja di tahun 2002 kepada Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh. Nazhir itu merupakan badan yang dipercaya Habib Buja untuk merawat, memelihara, dan mengelola wakafnya. Nazhir itu umumnya merupakan orang asal Aceh yang sudah menetap di Makkah. Nazhir pertama adalah Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi.

 

Di tahun 1980-an, pelaksanaan haji masih menggunakan sistem Syeikh, rumah wakaf di dua lokasi ini selalu ditempati oleh sebagian besar jamaah haji asal Aceh. Nazhir sendiri berperan sebagai Syekh. Dalam system ini, rumah disediakan oleh syekh dan pemerintah  Indonesia membayar sewa rumah kepada Syekh.

 

Ketika sistem penyelenggaraan haji diubah menjadi sistem maktab (muassasah), maka jamaah Aceh tak leluasa lagi memasuki rumah tersebut. Pemerintah Indonesia menyewa rumah dan menyerahkannya kepada maktab bersama dengan jamaah. Semua itu diurus oleh maktab.

 

“Pemerintah Saudi tak memberi peluang keterlibatan pihak swasta dan masalah internal Nazhir sendiri,“ kata Jamaluddin, salah satu pengurus dalam Nazhir ini.

 

Nazhir kemudian malakukan pembicaraan dengan pemerintah Aceh. Lalu, pembahasan pun dilakukan antara Menteri Agama Indonesia dengan Menteri Wakaf Arab Saudi, dan Kedutaan Besar RI di Riyadh. Setelah ada kunjungan ke kedua negara dari dua utusan, maka kedua pihak setuju atas rencana upaya penampungan jamaah haji Indonesia di Makkah.

 

Upaya penampungan itu dilakukan dengan membangun rumah di Makkah. Kalau belum selesai bangunan itu, maka Nazhir akan memberikan pengganti uang sewa kepada jamaah haji asal Aceh. (dewi)

 

sumber:Portal Kemenag

Berkat Wakaf Saudagar Kaya, Jemaah Haji Aceh Dapat 1.200 Riyal

Berkat wakaf seorang saudagar Aceh, Habib Buja Al-Asyi, setiap jemaah haji yang berasal dari Aceh bisa mendapatkan uang tambahan untuk living cost sebesar 1.200 riyal Arab Saudi tahun ini. Atau senilai Rp 4.611.318 untuk kurs 1 riyal Arab Saudi. Uang itu dibagikan oleh Baitul Al-Asyi, lembaga pengelola wakaf Habib Buja Al-Asyi.

Pengelola wakaf, Abdul Latif Baltu menyerahkan uang wakaf tersebut kepada jemaah hajidari Embarkasi Banda Aceh di Kota Mekah, Arab Saudi pada Sabtu malam 20 September 2015. Disaksikan oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah.

Gubernur Zaini berharap, para jemaah tak silau dengan uang tersebut. “Manfaatkan uang itu sebaik-baiknya, setelah ini pikirkan hanya ibadah, jangan pikirkan uang ini untuk belanja,” ujar Zaini di Mekah, Minggu (20/9/2015).

Dia mengatakan, uang tersebut merupakan hasil pengelolaan dari wakaf Habib Buja Al-Asyi. Habib Buja mewakafkan tanahnya untuk dikelola oleh pemerintah Arab Saudi sekitar 100 tahun lalu.

Habib Buja ingin agar hasil pengelolaan wakaf tersebut bisa dimanfaatkan oleh warga Aceh yang berangkat ke Tanah Suci.

Maka wakaf itu pun digunakan untuk membangun penginapan di sekitar Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi. Namun karena masjid itu diperluas kini pengelola membangun hotel baru yang diperkirakan selesai pada 2017.

“Bila sudah selesai warga Aceh yang berhaji bisa menginap di sana. Karena bangunan itu belum jadi, ini kompensasinya,” ujar Gubernur Zaini menceritakan tentang pemberian uang 1.200 riyal Arab Saudi itu.

Sementara itu pengelola wakaf, Abdul Latif Baltu berharap jemaah haji Aceh bisa mendoakan Habib Buja Al-Asyi agar mendapat tempat di surga.

Salah satu penerima uang wakaf, Nilawati Muhammad Dali mengaku akan menggunakan uang itu untuk berkurban dan menyumbangkannya ke anak yatim. “Waktu di Tanah Air, kami sudah diinformasikan akan dapat hasil wakaf ini, tapi belum tahu jumlahnya,” kata Nila. (Ant/Ndy/Ans)

sumber: Liputan6

Inilah Awal Mula Sejarah Wakaf

Wakaf merupakan salah satu ibadah sunah yang dilakukan seorang Muslim untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Khalik. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, ide wakaf sama tuanya dengan usia manusia.

Para ahli hukum Islam, menurut Esposito,  menyebutkan bahwa wakaf yang pertama  adalah bangunan suci Ka’bah di Makkah – yang dalam surah Ali Imran [3] ayat 96 —  disebut sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun oleh umat manusia.

Sejarah mencatat, wakaf keagamaan pertama terjadi pada masa Rasulullah SAW. Ketika hijrah bersama kaum Muhajirin ke Madinah, umat Islam membangun Masjid Quba. Inilah wakaf keagamaan pertama yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam. Enam bulan setelah membangun Masjid Quba, di pusat kota Madinah juga dibangun Masjid Nabawi, yang juga dalam bentuk wakaf keagamaan.

Wakaf derma (filantropis) juga dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Seseorang bernama Mukhairiq mendermakan (mewakafkan) tujuh bidang kebun buah-buahan miliknya yang ada di Madinah, setelah dia meninggal, kepada Nabi SAW pada 626 M.

Nabi SAW mengambil alih kepemilikan tujuh bidang kebun tersebut dan menetapkannya sebagai wakaf derma untuk diambil manfaatnya bagi fakir miskin.  Praktik itu diikuti oleh para sahabat Nabi SAW dan Khalifah Umar bin Khattab.

Tak lama setelah Nabi SAW wafat, Khalifah Umar bin Khattab (635-645 M) memutuskan untuk membuat dokumen tertulis mengenai wakafnya di Khaibar, dia mengundang beberapa sahabat untuk menyaksikan penulisan dokumen tersebut. Wakaf itu kemudian dikenal sebagai wakaf keluarga.

Pada adab kedua Hijriah, umat Islam mulai mengenal wakaf tunai atau wakaf uang. Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits  yang memfatwakan bolehnya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.

Pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang. Hasilnya, digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit,  serta tempat-tempat penginapan. Di era kejayaan Islam, wakaf menjadi salah satu pilar kekuatan ekonomi dinasti-dinasti Islam.  Bermodal pengelolaan harta wakaf yang profesional, dinasti-dinasti Islam mampu menyejahterakan rakyatnya.

Pada zaman keemasan Islam, wakaf tak hanya dikelola dan didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan  dan membayar gaji para stafnya, mengaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

Rumah sakit pun dibangun di berbagai kota dengan dana wakaf. Semua biaya operasional rumah sakit ditanggung dari dana wakaf.  Gaji dokter, perawat, hingga obat-obatan ditanggung dana wakaf. Sehingga, rakyat miskin sekalipun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima secara cuma-cuma.

 

 

Oleh Nidia Zuraya

sumber: Republika Online

Rekening dan Hotel dari Waqaf Khalifah Utsman bin Affan

WAQAF SHADAQAH JARIYAH MILIK UTSMAN BIN AFFAN DI MADINAH

Waqaf ini berupa bangunan hotel yang disewakan..

Apakah Anda tahu kalau sahabat nabi khalifah Utsman bin Affan adalah seorang  pebisnis yang kaya raya, namun mempunyai sifat murah hati dan dermawan. Dan ternyata beliau radhiallahu ‘anhu sampai saat ini memiliki rekening di salah satu bank di Saudi, bahkan rekening dan tagihan listriknya juga masih atas nama beliau.

Bagaimana ceritanya sehingga beliau memiliki hotel atas namanya di dekat Masjid Nabawi..??

Diriwayatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kota Madinah pernah mengalami panceklik hingga kesulitan air bersih. Karena mereka (kaum muhajirin) sudah terbiasa minum dari air zamzam diMekah. Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah sebuah sumur milik seorang Yahudi, SUMUR RAUMAH namanya. Rasanya pun mirip dengan sumur zam-zam. Kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus rela antri dan membeli air bersih dari Yahudi tersebut.

Prihatin atas kondisi umatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda : “Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surgaNya Allah Ta’ala” (HR. Muslim).

Adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu yang kemudian segera bergerak untuk membebaskan sumur Raumah itu. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan menawar untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi. Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekalipun Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya, “Seandainya sumur ini saya jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari” demikian Yahudi tersebut menjelaskan alasan penolakannya.

Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu yang ingin sekali mendapatkan balasan pahala berupa Surga AllahTa’ala, tidak kehilangan cara mengatasi penolakan Yahudi ini.

“Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu” Utsman, melancarkan jurus negosiasinya.
“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.
“Begini, jika engkau setuju maka kita akan memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu kemudian lusa menjadi milikku lagi demikian selanjutnya berganti satu-satu hari. Bagaimana?” jelas Utsman.

Yahudi itupun berfikir cepat,”… saya mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa harus kehilangan sumur milikku”. Akhirnya si Yahudi setuju menerima tawaran Utsman tadi dan disepakati pula hari ini sumur Raumah adalah milik Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu.

Utsman pun segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Raumah, silahkan mengambil air untuk kebutuhan mereka GRATIS karena hari ini sumur Raumah adalah miliknya. Seraya ia mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk 2 hari, karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.

Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Utsman dan berkata “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin”. Utsman setuju, lalu dibelinya seharga 20.000 dirham, maka sumur Raumahpun menjadi milik Utsman secara penuh.

Kemudian Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sumur Raumah, sejak itu sumur Raumah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik lamanya.

Setelah sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin… dan setelah beberapa waktu kemudian, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah. Lalu Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang, lalu disusul juga dipelihara oleh Pemerintah Saudi, hingga berjumlah 1550 pohon.

Selanjutnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian Saudi menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar, setengah dari keuntungan itu disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sedang setengahnya ditabung dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik beliau di salah satu bank atas nama Utsman bin Affan, di bawah pengawasan Departeman Pertanian.

wakaf sahabat usman

Begitulah seterusnya, hingga uang yang ada di bank itu cukup untuk membeli sebidang tanah dan membangun hotel yang cukup besar di salah satu tempat yang strategis dekat Masjid Nabawi.

Bangunan hotel itu sudah pada tahap penyelesaian dan akan disewakan sebagai hotel bintang 5. Diperkirakan omsetnya sekitar RS 50 juta per tahun. Setengahnya untuk anak2 yatim dan fakir miskin, dan setengahnya lagi tetap disimpan dan ditabung di bank atas nama Utsman bin Affan radhiyallahu anhu.

Subhanallah,… Ternyata berdagang dengan Allah selalu menguntungkan dan tidak akan merugi..

Ini adalah salah satu bentuk sadakah jariyah, yang pahalanya selalu mengalir, walaupun orangnya sudah lama meninggal..

Disebutkan di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i]

Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia”.

Like dan sebarkan, agar manfaat dari informasi ini tidak hanya berhenti pada anda, tapi juga bisa dirasakan oleh orang lain, sekaligus merangkai jaring pahala

 

 

Oleh : Ustadz Shalahuddin AR Daeng Nya’la (Diedit dengan penyesuaian bahasa oleh tim KisahMuslim.com)

sumber: Kisah Muslim

Hampir Semua Sahabat Pernah Wakaf

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Memiliki amal yang pahalanya mengalir abadi adalah harapan setiap mukmin yang sadar akan pentingnya amal di akhirat.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ

“Apabila manusia mati, amalnya terputus kecuali 3 amal, (salah satunya): sedekah jariyah…” (HR. Muslim 4310, Nasai 3666, dan yang lainnya)

Sebagian ulama memahami sedekah jariyah dengan wakaf. An-Nawawi ketika menjelaskan hadis ini, beliau menuliskan,

وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ وَهِيَ الْوَقْفُ

Demikian pula sedekah jariyah, yang itu merupakan wakaf. (Syarh Shahih Muslim, 11/85)

Keterangan lain juga disampaikan al-Khatib as-Syarbini – ulama syafiiyah – (w. 977 H). Dalam Mughni al-Muhtaj, beliau mengatakan,

الصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قاله الرافعي ، فإن غيره من الصدقات ليست جارية

“Sedekah jariyah dipahami sebagai wakaf menurut para ulama, sebagaimana keterangan ar-Rafi’i. Karena sedekah lainnya bukan sedekah jariyah.” (Mughni al-Muhtaj, 3/522).

Sedekah dalam bentuk makanan yang kita berikan untuk seseorang, tidak bisa bertahan lama karena habis pakai. Begitu makanan ini selesai dikonsumsi, selasai. Bernilai sedekah, tapi manfaatnya tidak panjang.

Semua Sahabat Berwakaf

Berwakaf menjadi ciri khas kaum muslimin. Karena dorongan iman kepada hari akhir. Bahkan, Imam  as-Syafii menyebutkan, bahwa tradisi wakaf belum ada di zaman jahiliyah. Tradisi ini dibangun kaum muslimin. Di zaman jahiliyah, semua yang diinfakkan untuk umum, sifatnya habis pakai.

Dalam Manarus Sabil dinukil keterangan beliau,

قال الشافعي رحمه الله: لم تحبس أهل الجاهلية، وإنما حبس أهل الإسلام

As-Syafii rahimahullah mengatakan, “Masyarakat jahiliyah tidak pernah melakukan wakaf. Yang melakukan wakaf hanya kaum muslimin.” (Manarus Sabil, 2/3).

Para sahabat, mereka pelopor dalam wakaf. Hingga semua sahabat yang memiliki kemampuan, mereka berwakaf. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,

لَـمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِـيِّ صَلّى اللهُ عليهِ وسَلّم ذُو مَقدِرَة إِلّا وَقَفَ

Tidak ada seorangpun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf. (Ahkam al-Auqaf, Abu Bakr al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29).

Ini seperti kesepakatan dari mereka. Setiap yang mampu wakaf, dia akan wakaf.

Wakaf Para Sahabat

Berikutnya, kita akan menyebutkan beberapa kisah wakafnya para sahabat

Pertama, kisah Abu Thalhah dan kebun Bairuha

Ketika Allah menurunkan firman-Nya,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Abu Thalhah mendengar ayat ini.

Beliaupun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan hajatnya,

“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’. Sementara harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha. Ini saya sedekahkan untuk Allah. Saya berharap dapat pahala dan menjadi simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut keinginan Abu Thalhah,

بَخْ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّى أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِى الأَقْرَبِينَ

“Luar biasa, itu kekayaan yang untungnya besar… itu harta yang untungnya besar. Saya telah mendengar apa yang anda harapkan. Dan saya menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekat.”

Bairuha, bisa juga dibaca Biraha, merupakan kebun yang berada di depan masjid nabawi. Di masa Muawiyah, dibangun benteng istana di sekitar kebun ini, yang dikenal dengan sebutan, istana Bani Judailah.

Nilainya sangat mahal, dan diwakafkan Abu Thalhah sebagai sedekah harta kesayangannya.

Kedua, wakaf Umar untuk tanah Khaibar

Ibnu Umar menceritakan, bahwa ayahnya Umar bin Khatab, mendapatkan jatah bagian kebun di Khaibar. Beliaupun melaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ya Rasulullah, saya mendapatkan kebun di Khaibar. Saya tidak memiliki harta yang lebih berharga dari pada itu. Apa yang anda perintahkan untukku?”

Saran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

Jika mau, kamu bisa wakafkan, abadikan kebun itu, dan hasilnya kamu sedekahkan.

Kemudian Umar mewakafkannya. Kebun itu tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Hasilnya disedekahkan untuk fakir miskin, kerabat, budak, para tamu, dan Ibnu Sabil. Dan boleh bagi yang mengurusi untuk mengambil sebagian dari hasilnya, sewajarnya, dan makan darinya, bukan untuk memperkaya diri dengannya. (HR. Bukhari 2737, Muslim 4311 dan yang lainnya).

Ketiga, wakaf Sumur oleh Utsman

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, tidak ada air yang rasanya lebih segar dari pada air subur ‘rumah’. Rumah ini nama sumur, dalam bahasa arab [رومة]. Bukan rumah tempat tinggal. Ketika itu, sumur ini milik orang yahudi. Setiap muslim yang mengambil air, dia harus bayar. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan,

مَنْ يَشْتَرِى بِئْرَ رُومَةَ فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ الْمُسْلِمِينَ

“Siapa yang sanggup membeli sumur Rumah, dan dia letakkan gayungnya bersama gayung kaum muslimin.”

Kemudian Utsman membelinya dari harta pribadinya.  (HR. Bukhari secara muallaq, Nasai 3623)

Makna hadis, siapa yang sanggup membeli sumur Rumah, bukan untuk pribadi, tapi untuk bersama.

Saatnya memikirkan, apa yang bisa kita wakafkan untuk islam dan kaum muslimin…

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

sumber:Pengusaha Muslim

Yuk Mengenal Sejarah Wakaf di Zaman Rasulullah Saw

Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah Saw dan disyariatkan setelah Nabi Saw di Madinah, tepatnya pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama, yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah Saw, yaitu wakaf tanah milik Nabi Saw untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’adz, ia berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan Rasulullah Saw.

Ketika itu (tahun ketiga Hijriyah) Rasulullah pernah mewakafkan tujuh buah kurma di Madinah, diantara adalah kebun “Araf, Shafiyah, Dalal, Barqah, dan kebun lainnya.

Sedangkan ulama yang berpendapat Umar bin Khaththab adalah orang yang pertama kali wakaf, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. Disampaikan, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap Rasulullah untuk minta petunjuk.

Rasulullah mengatakan, “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan . Ibnu Umar berkata, “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak dilarang bagi yang mengelola (nadzir) wakaf, makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.” (HR. Muslim).

Selanjutnya, wakaf juga dilakukan Umar bin Khaththab, disusul Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya (Bairaha). Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi Saw lainnya, seperti Abu Bakar As-Shiddiq yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah.

Begitu juga Utsman ra menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur, Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan “Daar Al-Anshar”. Kemudian wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah (istri Rasulullah saw).

Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Banyak orang memberikan wakaf, tidak hanya untuk orang-orang fakir miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. [desastian]

 

 

– See more at: http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2013/09/21/26901/yuk-mengenal-sejarah-wakaf-di-zaman-rasulullah-saw/#sthash.Bm4rhwuU.dpuf

Perkara Yang Mencegah Datangnya Hidayah

Tidak Punya Kesiapan Menerima Hidayah.

Sesungguhnya hal ini telah saya sebutkan, yaitu bahwa hati orang yang bersangkutan tidak punya kesiapan untuk menerima hidayah, tidak punya kemauan untuk itu, tidak menyukainya, tidak mencarinya, dan tidak pula menginginkannya dengan keinginan yang keras.

Sesungguhnya sebagian orang ada yang tidak memperhatikan apakah dirinya beroleh petunjuk ataukah sesat. Dia pun tidak punya perhatian untuk menimba ilmu atau meraih faidah yang berguna. Dia sama sekali tidak perhatian untuk menuntut ilmu agama atau tidak menuntutnya.

Akan tetapi, seandainya keluarganya tidak punya roti (beras), tentulah problem ini lebih penting baginya daripada mengetahui makna surat al Fatihah atau hal-hal yang dpat menunjukinya kepada masalah-masalah agamanya yang bersfiat fardhu ‘ain atau sunnah Nabi Shallahu alahi wasslam dalam shalatnya.

Orang seperti ini tidak punya kesiapan untuk menerima hidayah dan tidak pula memperhatikannya. Sehubungan dengan hal ini Allah Ta’ala telah berfirman:

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu.” (QS. al-Anfal [8] : 23)

Dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallahu alaihi wassalam bersabda,“Perumpaan hidayah dan ilmu yang diperintahkan oleh Allah kepadaku untuk menyampaikannya sama dengan hujan yang menimpa bumi”.

Selanjutnya, Rasululllah Shallahlu alaihi wassalam membagi-bagi bumi ini ke dalam beberapa bagian sesuai dengan kondisinya.”Maka sebagian di antara bumi ini ada yang subur”, dalam teks lain disebutkan “baik, mau menerima air sehingga dapat menumbuhkan tetumbuhan dan rumput yang banyak”.

Ini adalah perumpaan orang-orang yagn mau menerima hidayah, kemudian menyebarkannya kepada orang lain.

“Sebagiannya ada yang dapat menahah air, maka Allah menjadikannya berguna bagi manusia, sehingga mereka dapat beroleh minuman dan bercocok tanam”.

Ini adalah perumpamaan orang-orang yang mau menimba ilmu, tetapi tidak mengajarkannya kepada orang lain. Golongan ini relatif baik, tetapi tidak seperti golongan yang pertama.

“Dan sebagian yang lainnya ada kawasan yang tiada lain hanyalah ketandusan belaka, tidak dapat menahan air tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan”.

Ini adalah perumpaan tentang orang-orang yang telah berpaling dari hidayah. Selanjutnya, Rasulullah saw. bersabda,“Seperti itulah perumpaan orang yang beroleh manfaat dari ilmu yang diperintahkan Allah kepadaku untuk menyampaikannya, kemudian menjadi orang yagn berilmu, lalu mengajarkannya (kepada orang lain), dan perumpamaan orang yang tidak mau memperhatikan hal tersebut serta tiak pula mau menerima hidayah Allah yang disampaikan olehku”.

Orang Yang Lalai Itu Ada Dua Macam:

Pertama, sebagian dari mereka terdiri dari golongan yang fasiq lgi bobrok tak ubahnya seperti hewan atau kedudukannya sama seperti hewan ternak. Semoga Allah melindungi kit adari hal i tu. Kepentingannya hanyalah hawa nafsunya. Dia tidak mengenal, baik Al-Qur’an maupun Sunnah. Adakalanya dia menjalani siang dan malam harinya tanpa mengetahui hendak ke manakah dia pergi dan apakah yang ada dihadapnnya?

Kedua, golongan yang lainnya adalah golongan yang lalai lagi kurang akalnya. Mereka banyak di dapati di daerah pedalaman da tempat-tempat yang tidak mendapat penerangan dari cahaya Islam dan tidak pula pernah tersentuh oleh dakwahnya. Untuk itu sudah menjadi kewajiban bagi para ulama, para mahasiswa, da para da’i untuk pergi ke sana guna mengajari mereka agama Islam, karena sesungguhnya mereka, tidak diragukan lagi, mempunyai tanggung jawab untuk mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan dakwha kepada orang-orang itu.

Berteman dan Bergaul Dengan Orang-Orang Yang Jahat.

Salah seorang yang shalih mengatakan: “Jauhilah oleh kalian teman yang buruk dan tiada yang membahayakan Abu Thalib selain teman-teman sekedudukannya, karna sesungguhnya tatkala ditawarkan kepadanya kalimah laa ilaaha illallooh, lalu dia hendak mengucapkannya, maka teman-teman sekedudukannya berkata kepadanya: “Jangan kau ucapkan kalimat itu!” Ali Ra pernah berkata: “Berbekallah kalian dari teman-teman sekedudukan yang baik, karena sesungguhnya mereka adalah penolong di dunia dan di akhirat”.

Mereka bertanya, “Wahai Abul Hasan (Ali Ra), kalau menjadi penolong di dunia kami mengerti, tetapi bagaimana dengan menjadi penolong di akhirat?”

Ali menjawab, “Tidakkah kalian mendengar firman Allah Ta’ala yang menyebutkan:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Az-Zukhruf [43] : 67)

Semoga Allah selalu melindungi kita dari teman-teman yang jahat, karena sesungguhnya Rasulullah Shallahu alaihi wasslam, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Shahihain menyebut mereka seperti peniup perapaian pande besi. Rasulullah Shallahu alaihi wassla pernah besabda,“Seseorang itu akan dihimpunkan bersama dengan orang yang disukainya”.

Dalam hadist lain Beliau Shallahu alaihi was salam pernah bersabda pula,“Seseorang itu dinilai berdasarkan tuntunan teman dekatnya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang diantara kalian memperhatikan sispa yagn akan dijadikan teman dekatnya”. (HR. Abu Dawud dan Tirmizi)

Oleh karena itu, Imam Syafi’i rahimahumullah mengatakan dengan rendah diri dalam bait-bait syairnya:

“Aku menyukai orang-orang shalih,
meskipun diriku bukan termasuk di antara mereka,
mudah-mudahan aku beroleh syafa’at dari mereka,
Dan aku benci,
terhadap orang-orang yang kerjanya hanya maksiat,
meskipun kita mempunyai pekerjaaan yang sama.
Semoga Allah melindungi kita dari teman-teman yang buruk,
yaitu orang-orang yang tidak membantu untuk berdzikir.”

Penyakit syubhat adalah penyakit keraguan. Penyakit ini sulit disembuhkan. Allah Ta’ala berfirman,

بَلِ ادَّارَكَ عِلْمُهُمْ فِي الْآخِرَةِ ۚ بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِّنْهَا ۖ بَلْ هُم مِّنْهَا عَمُونَ

“Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta darinya”. (QS. An-Naml [27] : 66).

Kemudian, penyakit syahwat dapat menjerumuskan farji dan lisan kebanyakan kaum muslimin, terkecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah, kedalam perbuatan fahisyah (zina), dan menggelincirkan telapak kakinya ke dalam kenistaan yang membuat Tuhan murka, karena kemaksiatan da hal-hal yang diharamkan-Nya. Penyakit ini sulit disembuhkan, meskipun lebih ringan daripada penghalang sebelumnya, karena penyakit ini menyebar melalui kemaksiatan dan dosa-dosa besar.

Penawa kedua penyakit ini dengan mempertebal keyakinan, mempertajam padangan hati, dan memperbanyak pengetahuan agama Islam. Sementara penawar penyakit syahwat, bersikap sabar dengan semua ketentuan dan hukum Allah. Wallahu’alam.

 

Oleh Aidh Al Qarni

sumber: Era Muslim