Ibnu Athaillah: Bukti Kebodohan adalah Menjawab Semua Pertanyaan

Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari merupakan seorang ulama sufi yang lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M. Ibnu Atha’illah tergolong ulama yang produktif dan menulis salah satu kitab paling terkenal dalam Islam, yaitu kitab Al-Hikam.

Di dalam kitab ini, Ibnu Athaillah menjelaskan tentang salah satu bukti kebodohan. Dia mengatakan,

من رأيته مجيبا عن كل ما سئل، ومعبرا عن كل ما شهد، وذاكرا كل ما علم فا ستدل بذالك على وجود جهله

Artinya, “Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui.”

Hikmah yang disampaikan Ibnu Atha’illah ini telah dijelaskan kembali oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi. Menurut Syekh Abdullah, seorang murid atau seorang arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya.

Mengapa disebut bodoh?

Karena, menurut Syekh Abdullah, seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah SWT berfirman,

وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

“Tidaklah kami diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS al-Isra’ [17]: 85).

Semestinya, kata Syekh Abdullah, orang yang menjawab semua pertanyaan itu memerhatikan kondisi sang penanya. Karena, tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan orang semacam ini adalah sebuah kebodohan.

Kemudian, lanjut dia, mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”

Sementara itu, mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, kata Syekh Abdullah, di antara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tidak layak untuk diberitahukan kepada orang lain, karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Di antara ilmu ada yang bagaikan mutiara berlumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”

IHRAM

Surah As Sajdah Ayat 5: Tingginya Arsy yang Berjarak Tempuh Ribuan Tahun

Banyak dalil-dalil dalam Al Quran yang menjelaskan tentang kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tidak terkecuali dalam surat As Sajdah ayat 5 yang menjelaskan tentang kuasa Allah dalam mengurus segala urusan di alam semesta ini.

Adapun bacaan selengkapnya dapat disimak pada pemaparan berikut,

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

Bacaan latin: Yudabbirul-amra minas-samā`i ilal-arḍi ṡumma ya’ruju ilaihi fī yauming kāna miqdāruhū alfa sanatim mimmā ta’uddụn

Artinya: “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Baca juga:
Surah 13 Ayat 28 dalam Al Quran: Banyak Zikir, Hidup Tenang

Berdasarkan penafsiran dari Al Quran Kemenag, maksud kalimat satu hari yang berkadar seribu tahun di atas merujuk pada lamanya waktu kehidupan alam semesta sejak diciptakan hingga hari kiamat.

Hal ini juga disebut untuk menyatakan waktu yang tidak terhingga milik Allah SWT dalam mengurus segala urusan langit dan bumi.

“Perkataan seribu tahun dalam bahasa Arab tidak selamanya berarti 1000 dalam arti sebenarnya, tetapi kadang-kadang digunakan untuk menerangkan banyaknya sesuatu jumlah atau lamanya waktu yang diperlukan,” tulis Kemenag.

Selain itu, makna kalimat ‘..(urusan) itu naik kepadaNya..’ dalam surah As Sajdah ayat 5 menjelaskan bahwa segala sesuatunya akan kembali kepada Allah SWT. Segala urusan yang ‘dipinjamkan’ oleh Allah SWT akan dikembalikan kepadaNya pada saat hari penghisaban.
Tingginya Arsy, Langit Tertinggi Kedudukan Allah SWT

Waktu tempuh menuju lapisan langit tertinggi, tempat kedudukan Allah SWT, dijelaskan dalam surat As Sajdah ayat 5 ini. Menurut tafsir Ibnu Katsir, maksud dari ‘..(urusan) itu naik kepadaNya..’ juga dapat bermakna segala amal perbuatan dilaporkan oleh para malaikat pencatat ke atas langit yang terdekat.

Sementara itu, jarak terdekat antara langit dan bumi sama dengan jarak perjalanan lima ratus tahun. Hal ini dapat diartikan ketebalannya bisa melebihi jarak tempuh lima ratus tahun dan berada di luar kemampuan manusia untuk menghitungnya.
Baca juga:
Surat At Taubah Ayat 122 Tentang Menuntut Ilmu dan Jihad, Sama Pentingnya?

Namun, hal ini tidak berlaku bagi malaikat yang hanya membutuhkan waktu hingga sehari saja untuk menghadapNya.

“Mujahid, Qatadah, dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa jarak yang ditempuh oleh malaikat yang turun ke bumi adalah lima ratus tahun. Begitu pula naiknya sama dengan perjalanan lima ratus tahun, tetapi malaikat dapat menempuhnya sekejap mata,” tulis Ibnu Katsir dalam tafsir surat As Sajdah ayat 5.

Hal ini juga dijelaskan dalam surat Al Ma’arij ayat 4 yang berbunyi

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Artinya: “Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.”

Wallahu’alam.

DetikHIKMAH

Muhasabah Diri

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan.

Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.

Akhir tahun kerap menjadi momentum untuk berbenah diri. Evaluasi, introspeksi dan resolusi pun disusun demi meraih pencapaian terbaik pada tahun berikutnya.

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan. Upaya menghitung diri bisa dilakukan setiap hari sesuai dengan firman Allah SWT. 

Yaa ayyuhalladzii naamanuttaqullaha wal tanzhur nafsun ma qadda mat lighad. Wattaqullah. Innallaha khabirun bimaa ta’malun.” (QS al-Hasyr: 18). Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah (dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya), dan hendaklah setiap diri melihat dan memperhatikan apa yang telah dilakukan (dari amal-amalnya) untuk hari esok (hari Akhirat). dan (sekali lagi diingatkan) bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahateliti akan segala yang kamu kerjakan.”

Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan, dalam ayat ini, Allah SWT memberi perintah takwa hingga dua kali. Dua perintah tersebut mengapit imbauan agar kita memperhatikan segenap amal yang sudah diperbuat.

Takwa yang pertama, ujar Quraish, berada dalam konteks ajakan kepada kaum Muslimin agar tidak bernasib seperti orang Yahudi dan munafik yang mendapatkan siksa duniawi dan ukhrawi. Karena itu, kita diminta bertakwa agar terhindar dari siksa Allah baik dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Perintah takwa kedua didorong rasa malu atau untuk meninggalkan amalan negatif. Hal ini tampak jelas dari kalimat, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah meliputi pengetahuan-Nya akan segala yang kamu kerjakan.”

Quraish menjelaskan,  perintah untuk memperhatikan apa yang diperbuat untuk hari esok merupakan  perintah untuk melakukan evaluasi terhadap segenap amal yang telah dilakukan. Analoginya bak seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya.

Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik atau memperbaikinya bila masih ada kekurangan. Jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan karena barang tersebut sudah tampil sempurna. Demikian dengan setiap mukmin yang dituntut untuk terus menjadi lebih baik.

Para ulama menjelaskan, ada tiga dimensi waktu pada ayat tersebut. Pertama, masa sekarang dan yang akan datang dalam kalimat wal tanzhur. Karena itu, ayat tersebut bisa dimaknai hendaknya setiap jiwa itu dalam keadaan terus menerus memperhatikan apa yang telah dia lakukan.

Dimensi kedua yakni masa lalu. Apa yang telah dia lakukan. Sementara itu, dimensi berikutnya adalah masa depan (lighadin) yang dimaknai sebagai akhirat.  Karena itu, kita diminta untuk mengevaluasi perbuatan pada masa lalu dengan fokus terhadap amal-amal yang sedang kita lakukan sebagai inventarisasi dan pertanggungjawaban pada tak hanya hari esok tetapi sampai kepada akhirat.

Muhasabah berasal dari kata bahasa Arab hasaba-yahsubu-hisaban yang berarti menghitung. Dalam sebuah kesempatan, Umar bin al-Khattab berpesan untuk senantiasa melakukan perhitungan diri dengan perkataan yang artinya: “Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.”

Sebagian ulama menyatakan bahwa muhasabah diri adalah kesiapan akal untuk menjaga dirinya dari perbuatan khianat dan senantiasa bertanya dalam setiap perbuatan yang dia lakukan, “Mengapa dia melakukannya dan untuk siapa dia lakukan?”

Apabila ternyata perbuatannya itu karena Allah, maka dia melanjutkannya. Namun bila dia berbuat karena selain Allah maka segera dia menghentikannya, dan menyalahkan dirinya atas kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan apabila seorang hamba telah memberikan persyaratan kepada dirinya dalam melaksanakan kebenaran pada pagi harinya dan waktu sore, dia hendaknya menuntut dirinya dan menghisabnya atas segala gerak dan diamnya.

Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan para pedagang terhadap barang dagangannya setiap akhir tahun, atau akhir bulan, bahkan setiap hari. Demikian besarnya harapan untuk memperoleh keuntungan dan takut mengalami kerugian sehingga perjalanan waktu terasa amat cepat dan singkat.

Kapan waktu yang tepat untuk memuhasabah diri? Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, betapa besar manfaat seseorang untuk duduk sebentar sesaat sebelum tidur untuk memuhasabah diri.

Dia bisa melihat apa yang dialami pada hari itu, apakah keuntungan dan kerugian. Dia memperbaharui taubat nasuha antara dirinya dengan Allah SWT. Kemudian, dia tidur dengan tobatnya dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa saat terjaga nanti.

Jika amalan ini dilakukan setiap malam, Ibnu Qayyim menjelaskan, seseorang yang mati dalam kondisi demikian, maka ia mati dalam keadaan tobat. Jika terjaga, maka dia berada dalam kondisi siap beramal dan bergembira karena ajalnya ditangguhkan. Dia pun bisa menghadap keharibaan Tuhannya dan memperbaiki kekurangannya.

Wallahu a’lam.

OLEH A SYALABY ICHSAN

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa yang Dimaksud dengan Merasa Aman Dari Makar Allah?

Fatwa Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullahu ta’ala

Pertanyaan:

Apakah yang dimaksud dengan merasa aman dari makar (azab) Allah? Apakah seorang mukmin yang banyak beramal salih akan tercegah dari merasa aman terhadap makar Allah? Lalu bukankah Allah menjanjikan kebaikan yang banyak dan pahala yang mulia? Bagaimana mengkompromikan antara larangan merasa aman dari makar Allah dan berprasangka baik kepada Allah?

Jawaban:

Seorang mukmin wajib untuk senantiasa merasa memiliki rasa takut (khauf) dan harap (roja’). Janganlah ia berlebihan dalam rasa harap sampai ia merasa aman dari makar Allah, karena Allah Ta’ala berfirman,

‏أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللَّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ‏

“Maka apakah mereka merasa aman dari makar Allah (azab Allah yang tiada terduga)? Tidak ada (tiada) yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raaf: 99).

Maka merasa aman dari makar Allah akan membawa kepada maksiat, dan membawa kepada tidak adanya rasa takut (khauf) kepada Allah Ta’ala.

Demikian juga, seseorang jangan berlebihan di sisi khauf, sampai ia merasa putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya berputus asa dari rahmat Allah adalah kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,

‏وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّآلُّونَ‏

“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Rabbnya kecuali orang-orang yang sesat” (QS. Al-Hijr: 56).

Allah Ta’ala juga berfirman,

‏إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ‏

“Sesungguhnya tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kufur” (QS. Yusuf: 87).

Berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah haruslah dibarengi dengan menjauhi maksiat. Jika tidak demikian, maka itulah (yang disebut dengan) merasa aman dari makar Allah Ta’ala. Begitu pun, berbaik sangka kepada Allah juga dibarengi dengan mengerjakan sebab-sebab pembawa kebaikan, dan meninggalkan sebab-sebab pembawa keburukan. Itulah rasa harap (roja’) yang terpuji.

Adapun husnuzan kepada Allah Ta’ala yang dibarengi dengan meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perkara yang diharamkan, maka ini adalah rasa harap yang tercela. Itulah merasa aman dari makar (azab) Allah Ta’ala.

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli

Sumber: http://iswy.co/e3hks

Sumber: https://muslim.or.id/71284-apa-yang-dimaksud-dengan-merasa-aman-dari-makar-allah.html

Cerita Lancarnya Uji Coba Umroh 84 Anggota Amphuri

Uji coba umroh 84 pimpinan pemilik travel anggota Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) berjalan lancar. Kelancaran uji coba umroh sudah terasa oleh rombongan sejak di bandara Tanah Air.

“Alhamdulilah rombongan perdana unsur pimpinan PPIU anggota Ampuri yang berangkat ke Tanah Suci tanggal 30 dan tanggal 31 jam satu tiga puluh satu dini hari tiba dengan selamat di Jeddah,” kata Ketua Amphuri Firman M Nur, saat dihubungi Republika, kemarin.

Firman menceritakan, bagaimana kelancaran proses kedatangan di airport Jeddah. Di sana kata dia semua proses yang dilalui oleh 84 rombongan Amphuri berjalan sengat lancar tidak ada hambatan

“Artinya memang pemerintahan Saudi Arabia semenjak membuka pintu umroh bagi jamaah Indonesia ke tanah Suci telah memberikan, menetapkan prosedur kedatangan yang sangat mudah,” ujarnya.

Saat tiba di Jeddah, rombongan hanya melalui cek pemeriksaan bukti PCR yang sah dari tiga laboratorium yang di tunjuk oleh GACA, yaitu Kartika Pulau Mas dan dua laboratorium lainnya . 

“Hanya itu saja pemeriksannya,”katanya.

Karena secara vaksinasi telah melakukan skrening sistem ketika mengajukan vis dan selanjutnya para pimpinan PPIU dari anggota Amphuri langsung menuju imigrasi. Pada tahapan proses imigrasi di Saudi Arabia juga sangat lancar dan keadaan ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang antriannya bisa sampai tiga jam.

“Kita tidak lama mengantri di imigrasi, proses sangat cepat dan petugas-petugas imigrasi sekarang sudah punya mental servis yang cukup baik,” katanya.

Setelah selesai proses kemigrasian, rombongan langsung mengambil bagasinya masing- masing. Setelah itu rombongan keluar dan disambut dengan hangat oleh pihak muasasah sebagian daripada tendor yang melayani pimpinan PPIU yang bekerja sama dengan Ampuri.

Rombongan kata Firman disambut dengan sangata romantis oleh para muasasa dengan tradisi Arab yaitu mereka membagikan kurma dan manisan serta setiap peserta mendapatkan bunga. Bunga mawar merah ini dibentuk dengan sangat indah dikalungkan kepada para rombongan. 

“Ini bagian daripada sambutan yang sangat sangat terbuka dan sangat welcome dari mereka terhadap kedatangan jamaah dari Indonesia,” katanya.

IHRAM

Hukum Menangis dalam Salat

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Bagaimana hukum menangis ketika membaca Al-Qur’an dalam salat? wajazakallah khairan ?

Jawab:

Dibolehkan menangis, merengek, dan merintih bagi orang yang salat jika memang ia tidak mampu menahannya.  Hal tersebut didasarkan pada dalil firman Allah Ta’ala,

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَن خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis.” (QS. Maryam : 58)

Ayat ini merupakan dalil umum baik untuk orang yang salat maupun selainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ketika salat,

وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ المِرْجَلِ مِنَ البُكَاءِ

“… di dadanya ada suara seperti air yang mendidih karena menangis.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu HIbban, dan Ahmad, dari hadis Abdullah bin Syikhir radhiyallahu ‘anhu. Disahihkan Al-Albani dalam At-Ta’liqatul Hisan [750])

Begitu pula, saat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sakit menjelang ajalnya, beliau menugaskan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami jamaah. Aisyah radhiyallahu ‘anha kemudian berkata,

إِنَّ أَبا بكرٍ رجلٌ رَقيقٌ إِذا قرأَ غلبَهُ البكاءُ

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah laki-laki yang hatinya lembut, apabila ia membaca Al-Qur’an, ia selalu menangis.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,

مُروهُ فيصلِّي

Suruhlah Abu Bakar untuk memimpin salat (bersama orang-orang).

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengulangi jawabannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun kembali bersabda,

مُروه فيُصلِّي، إِنَّكنَّ صَواحِبُ يوسفَ

Suruhlah dia untuk memimpin salat. Kalian ini seperti isteri-isteri Yusuf!” (HR. Al-Bukhari dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau melaksanakan salat subuh dan membaca surah Yusuf hingga sampai pada ayat (86), “Terdengarlah nasyij-nya” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq, Ibnu Syaibah, Abdur Razaq, dan Al Baihaqi dari Abdullah bin Syadad. Disahihkan Ibnu Hajar dalam Taghliq at-Ta’liq [2/300]).

Adapun yang dimaksud dengan an-nasyij disini adalah suara yang membawa isak dan tangis. (An-Nihayah karya Ibnu Atsir V/52-53)

Wal ‘ilmu indallahi ta’ala.

Sumber  :

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-849

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/71221-hukum-menangis-dalam-shalat.html

Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam?

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu ta’ala

Pertanyaan:

Menurut anda, sampai mana batasan toleransi yang dapat menjaga hubungan keislaman antar negeri-negeri Islam satu sama lain?

Jawaban:

Toleransi yang dilakukan wajib terikat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, melakukan toleransi sebatas pada perkara-perkara yang dibolehkan oleh syariat untuk bertoleransi.

Pemerintah di negeri Arab dan Islam wajib untuk saling menasihati satu sama lain. Mereka juga wajib berhukum dengan syariat Allah dalam mengurusi masyarakatnya. Begitu pun wajib bagi mereka untuk saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Tidak boleh menganggap remeh terhadap apa yang telah disyariatkan oleh Allah Ta’ala. Bahkan, mereka wajib untuk berhukum dengan syariat Allah, patuh terhadap syariat Allah,  dan mewajibkan rakyat mereka untuk tunduk kepada syariat Allah Ta’ala. Ini adalah jalan keselamatan, jalan kemuliaan, jalan pertolongan, dan jalan persatuan.

Adapun toleransi di luar ranah hukum syariat; seperti saling memberikan keringanan terhadap utang-piutang, saling menolong satu sama lain, atau perkara lain yang dibolehkan oleh syariat, maka tidak mengapa dilakukan.

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli

Sumber: http://iswy.co/e104md

Sumber: https://muslim.or.id/71286-bagaimana-seharusnya-toleransi-beragama-antar-negara-islam.html

Hemat Menggunakan Air Seperti Rasulullah

Rasulullah SAW telah mengajarkan bagaimana cara bijak bagi manusia untuk menggunakan air. Pada zaman Rasulullah SAW, penduduk Arab kala itu sudah membuat kamar mandi di dalam rumah.

Namun demikian, kamar mandi tersebut tidak disediakan kloset untuk membuang air besar. 

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Mengenal Lebih Dekat Kehidupan Zaman Nabi SAW menjelaskan, meski Madinah merupakan daerah yang subur namun bukan berarti wilayah tersebut berlimpahkan air yang banyak sebagaimana wilayah-wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jumlah curah hujan yang berbeda antara dua kawasan ini tentunya berpengaruh terhadap jumlah cadangan air bagi masyarakat yang hidup di dalamnya. 

Di masa Nabi, ketersediaan air baik itu di Makkah maupun Madinah berbeda dengan kondisi sekarang. Di Makkah meskipun ada sumur air zamzam yang airnya deras mengalir hingga sekarang, namun teknologi di masa itu masih amat sederhana. Pada masa itu, air sumur zamzam belum lagi dialirkan ke rumah-rumah penduduk. 

Sehingga penduduk Makkah meski tidak kekurangan air, namun secara teknis mereka tetap harus mengangkut air secara manual dari sumber air ke rumah mereka. Entah menggunakan kendi atau pun tempayan. Sehingga pola hidup masyarakat kala itu menjadi sangat hemat dalam menggunakan air. 

Dan karena tidak setiap rumah memiliki sumur, maka mereka amat sangat hemat menggunakan air. Salah satunya dengan cara tidak mandi rutin sehari dua kali. Saking perhitungannya, Ustaz Sarwat menyebut, umat Islam mengenal adanya hadis bagaimana hematnya Nabi ketika menggunakan air untuk berwudhu atau mandi janabah.

Jika Nabi mandi, airnya hanya satu sha alias 3,5 liter. Jika beliau berwudhu maka beliau hanya membutuhkan satu mud, atau kira-kira 0,7-0,8 liter air. Di dalam salah satu hadis, Rasulullah berwudhu hanya dengan satu mud. 

Rasulullah SAW bersabda, “Kaana Rasulullahi SAW yatawaddha-a bil-muddi wa yughtasilu bisshaa’i ila khamsatu amdaa-din,”. Yang artinya, “Rasulullah SAW berwudhu dengan satu mud air dan mandi dengan satu sha hingga lika mud air,” (HR Bukhari Muslim). 

IHRAM

2 Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun dalam Islam Beserta Artinya

Doa akhir tahun Masehi 2022 sebenarnya tidak dijelaskan dalam hadits sabda Rasulullah SAW maupun dalil dalam syariat yang menetapkannya. Terlebih dibaca pada hari khusus tertentu seperti akhir tahun, seperti yang dikutip dari buku Koreksi Doa dan Zikir antara yang Sunnah dan Bid’ah oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Namun, ada doa akhir tahun Hijriah yang dapat dilafalkan pada akhir tahun yang bertepatan dengan hari ini, Jumat (31/12/2021). Doa ini bisa dibaca setelah salat ashar hingga sebelum memasuki waktu maghrib.

Melansir dari tulisan Ustadz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid dalam buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun, doa akhir tahun ini dibaca dengan harapan dapat terhindar dari godaan atau tipu daya setan dan diampuni dosanya setahun sebelumnya.

2 Doa Akhir dan Awal Tahun Masehi Beserta Artinya
1. Doa Akhir Tahun

– Membaca istigfar 11 kali

اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ

Bacaan latin: Astaghfirullah ‘azhiim

Artinya: “Saya memohon ampunan kepada Allah yang Maha Agung”

– Membaca sholawat nabi 11 kali

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bacaan latin: Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammad

Artinya: “Ya Allah semoga sholawat tetap kepada junjungan kami, Nabi Muhammad.”

– Membaca ayat kursi 7 kali

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Bacaan latin: allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta`khużuhụ sinatuw wa lā na`ụm, lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, man żallażī yasyfa’u ‘indahū illā bi`iżnih, ya’lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭụna bisyai`im min ‘ilmihī illā bimā syā`, wasi’a kursiyyuhus-samāwāti wal-arḍ, wa lā ya`ụduhụ ḥifẓuhumā, wa huwal-‘aliyyul-‘aẓīm

Artinya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha hidup, Yang terus menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. MilikNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisiNya tanpa izinNya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmuNya melainkan apa yang Dia kehendaki. KursiNya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”

Lalu membaca doa akhir tahun dari kitab Maslakul Akhyar dari Sayid Utsman bin Yahya,

– Doa akhir tahun

اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْه وَحَلُمْتَ فِيْها عَلَيَّ بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوبَتِي وَدَعَوْتَنِي إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّي اسْتَغْفَرْتُكَ فَاغْفِرْلِي وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَى وَوَعَدْتَّنِي عَلَيْهِ الثّوَابَ فَأَسْئَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّي وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ

Bacaan latin: “Allahumma ma ‘amiltu min ‘amalin fi hadzihis sanati ma nahaitani ‘anhu, wa lam atub minhu, wa hamalta fiha ‘alayya bi fadhlika ba’da qudratika ‘ala ‘uqubati, wa da’autani ilat taubati min ba’di jara’ati ‘ala ma’shiyatik. Fa inni astaghfiruka, faghfirlî wa ma ‘amiltu fiha mimma tardha, wa wa’attani ‘alaihits tsawaba, fa’as’aluka an tataqabbala minni wa la taqtha’ raja’i minka ya karim.”

Artinya: “Ya Tuhanku, aku meminta ampun atas perbuatanku di tahun ini termasuk yang Engkau larang sementara aku belum sempat bertobat, perbuatanku yang Engkau maklumi karena kemurahanMu sementara Engkau mampu menyiksaku, dan perbuatan (dosa) yang Engkau perintahkan untuk tobat sementara aku menerjangnya yang berarti mendurhakaiMu. Karenanya aku memohon ampun kepadaMu, ampunilah aku. Ya Tuhanku, aku berharap Engkau menerima perbuatanku yang Engkau ridhai di tahun ini dan perbuatanku yang terjanjikan pahalaMu. Janganlah pupuskan harapanku, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Baca juga:
Polda Metro Kerahkan 1.730 Personel untuk CFN Tahun Baru di Jakarta
2. Doa Awal Tahun

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ اَنْتَ اْلاَ بَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلاَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَكَرَمِ جُوْدِكَ الْمُعَوَّلُ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ اَقْبَلَ اَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ
اَوْلِيَائِهِ وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَاْلاِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِى اِلَيْكَ زُلْفَى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Bacaan latin: Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam. Allaahumma antal-abadiyyul-qadiimul-awwalu, wa ‘alaa fadhlikal-‘azhimi wujuudikal-mu’awwali, wa haadza ‘aamun jadidun qad aqbala ilaina nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa’ihi wa junuudihi wal’auna ‘alaa haadzihin-nafsil-ammaarati bis-suu’i wal-isytighaala bimaa yuqarribuni ilaika zulfa yaa dzal-jalaali wal-ikram yaa arhamar-raahimin, wa sallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihii wa sallam.

Artinya: “Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allah tetap melimpahkan rahmat dan salam (belas kasihan dan kesejahteraan) kepada junjungan dan penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat Beliau. Ya Allah! Engkau Dzat Yang Kekal, yang tanpa Permulaan, Yang Awal (Pertama) dan atas kemurahan-Mu yang agung dan kedermawananMu yang selalu berlebih, ini adalah tahun baru telah tiba.

Kami mohon kepadaMu pada tahun ini agar terhindar (terjaga) dari godaan syetan dan semua temannya serta bala tentara (pasukannya), dan (kami mohon) pertolongan dari godaan nafsu yang selalu memerintahkan (mendorong) berbuat kejahatan, serta (kami mohon) agar kami disibukkan dengan segala yang mendekatkan diriku kepadaMu dengan sedekat-dekatnya. Wahai Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, wahai Dzat Yang Maha Belas Kasih.”

Demikianlah bacaan lengkap doa akhir tahun dan awal tahun beserta artinya lengkap. Semoga bermanfaat, detikers.

Baca artikel detikedu, “2 Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun dalam Islam Beserta Artinya” selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5878460/2-doa-akhir-tahun-dan-awal-tahun-dalam-islam-beserta-artinya.

Fikih Mesin Cuci; Suci tidak Harus Boros Air

Perkembangan teknologi dapat memudahkan segala pekerjaan manusia, termasuk dalam mencuci pakaian. Pada zaman modern ini, mencuci dengan mesin cuci adalah hal yang lumrah. Meski begitu, sebagian orang masih takut dan ragu mencuci dengan mesin cuci, karena khawatir ia tidak dapat menyucikan pakaian.

Kekhawatiran ini agaknya berangkat dari penjelasan sejumlah literatur fikih, bahwa cara menyucikan najis (yang mutawassithah) adalah dengan membuang najisnya kalau masih ada (najis ‘ainiyyah), lalu mengalirkan air pada bekas najis tersebut (najis hukmiyyah) sehingga najisnya hilang.

Kata “mengalirkan air” ini kadang disalahpahami, sehingga melahirkan sikap pemborosan air, bahkan di kalangan santri sekalipun. Padahal, Rasulullah Saw. sejak 14 abad lalu telah mengingatkan untuk tidak berlebihan menggunakan air.

Maka makna dari “mengalirkan air” ini perlu ditelisik lebih teliti, agar fikih tidak tampak seolah bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw., salah satu landasan hukum fikih itu sendiri.

Ada suatu kaidah yang masyhur dalam mazhab Syafi’i terkait menyucikan najis. Kaidah al-warid dan al-mawrud. Sesuatu yang al-warid (yang mendatangi) statusnya lebih dominan dibanding yang al-mawrud (yang didatangi).

Sebelumnya perlu diketahui bahwa kaidah ini hanya diaplikasikan ketika air yang digunakan untuk menyucikan najis kurang dari 2 qullah, sekitar 270 liter air. (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1/75).

Adapun jika volume air lebih dari 2 qullah, tidak ada pembedaan antara al-warid dan al-mawrud. Air 2 qullah dapat menyucikan benda bernajis. Baik dengan menyiramkannya kepada benda tersebut, atau dengan mencelupkan benda bernajis ke dalam air 2 qullah.

Praktek kaidah al-warid dan al-mawrud: ketika ada benda bernajis jatuh/dimasukkan ke dalam air yang kurang dari 2 qullah, maka yang menjadi al-warid adalah benda bernajis, dan yang menjadi al-mawrud adalah air. Dalam kasus ini, benda bernajis mendominasi air dan mengubah status air menjadi najis.

Sebaliknya, jika air dialirkan/disiramkan kepada benda bernajis, yang menjadi al-warid adalah air, dan benda bernajis menjadi al-mawrud. Dalam kasus ini, air dapat menyucikan benda bernajis tersebut.

Kaidah ini disimpulkan berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sampai ia membasuh tangannya tersebut, karena ia tidak tahu dimana tangannya semalam”. (H.R. Bukhari & Muslim)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan umatnya agar tidak langsung mencelupkan tangannya ke wadah air untuk bersuci. Karena bisa saja tangannya menyentuh najis ketika sedang tidur. Artinya, tangan yang bernajis tersebut statusnya sebagai al-warid akan mengubah status air (al-mawrud) menjadi bernajis dan tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Konsep al-warid dan al-mawrud ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i. Jika air dialirkan kepada benda bernajis, benda tersebut menjadi suci. Sebaliknya jika benda bernajis dimasukkan ke air yang kurang dari 2 qullah, air berubah menjadi najis dan tidak dapat menyucikan benda bernajis tersebut. [lihat al-Rafi’i: al-Syarh al-Kabir, 245; al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, 1/138].

Jika konsep al-warid dan al-mawrud ini diaplikasikan pada persoalan mencuci pakaian bernajis (najis hukmiyyah) dengan mesin cuci, maka cukup dengan cara meletakkan pakaian di tabung mesin cuci terlebih dahulu. Lalu mengalirkan air tanpa mencampurnya dengan detergen. Dengan cara ini, pakaian sudah suci. Baru selanjutnya membuang air yang dialirkan tadi, kemudian mencuci seperti biasa.

Opsi kedua adalah dengan cara mencuci dengan air dan detergen seperti biasa. Lalu saat hendak membilas, air detergen dibuang habis. Kemudian pakaian dialirkan air untuk membilas dan menyucikannya.

Kedua cara ini sudah cukup untuk mengubah status pakaian bernajis menjadi suci, walaupun air yang digunakan hanya sedikit. Suci tidak mesti boros air. Kalau memang cara menyucikan najis butuh banyak air, tentu akan menyulitkan orang-orang yang tinggal di negeri gersang.

Saking pentingnya hemat air, ada sebagian ulama mazhab Syafi’i yang bersikap lebih longgar perihal menyucikan najis. Salah satunya imam Ibnu Suraij. Menurut beliau, ketika benda bernajis dimasukkan ke dalam air yang kurang dari 2 qullah, benda bernajis tersebut dapat berubah menjadi suci. Asalkan memang diniatkan untuk menyucikannya. Jika tidak ada niat untuk menyucikan, konsep al-warid dan al-mawrud tetap berlaku. [lihat Ibnu Shalah: Syarh Musykil al-Wasith, 1/88].

Oleh karenanya, tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa mencuci dengan mesin cuci tidak dapat menyucikan pakaian bernajis. Asalkan dengan cara mengalirkan air kepada pakaian bernajis, pakaian akan suci. Meskipun air yang digunakan hanya sedikit.

Bahkan jika dengan cara sebaliknya pun, misal memasukkan pakaian ke dalam tabung mesin yang sudah diisi air, pakaian bisa suci. Asalkan diniatkan untuk menyucikannya, sebagaimana pandangan imam Ibnu Suraij. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG MUSLIMAH