Taliban Akui Salah Pimpin Afghanistan

Taliban mengakui telah melakukan kesalahan selama bulan-bulan pertama memimpin Afganistan. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Afghanistan Amir Khan Muttaqi.

“Kami akan bekerja untuk lebih banyak reformasi yang dapat menguntungkan bangsa,” ujarnya tanpa merinci kesalahan atau kemungkinan reformasi.

Ia mengatakan para penguasa baru Taliban Afghanistan pada prinsipnya berkomitmen pada pendidikan dan pekerjaan untuk anak perempuan dan perempuan. Ia juga menyebut Taliban menyadari kemarahan dunia atas pembatasan yang diberlakukan Taliban pada pendidikan anak perempuan dan perempuan dalam dunia kerja.

Di banyak bagian Afghanistan, siswa perempuan antara kelas 7 dan 12 tidak diizinkan pergi ke sekolah sejak Taliban mengambil alih. Banyak pegawai negeri perempuan diperintahkan untuk tinggal di rumah.

Para pejabat Taliban mengatakan mereka membutuhkan waktu untuk membuat pengaturan pemisahan gender di sekolah dan tempat kerja. Muttaqi mengatakan Taliban telah berubah sejak terakhir memerintah.

“Kami telah membuat kemajuan dalam administrasi dan politik … dalam interaksi dengan bangsa dan dunia. Dengan berlalunya hari, kami akan mendapatkan lebih banyak pengalaman dan membuat lebih banyak kemajuan,” kata Muttaqi berbicara dalam bahasa Pashto selama wawancara di gedung Kementerian Luar Negeri di jantung ibu kota Kabul pada akhir pekan.

Muttaqi mengatakan bahwa di bawah pemerintahan baru Taliban, anak perempuan akan bersekolah hingga kelas 12 di 10 dari 34 provinsi di negara itu. Sedangkan sekolah swasta dan universitas beroperasi tanpa hambatan, dan 100 persen perempuan yang sebelumnya bekerja di sektor kesehatan kembali bekerjaan.

“Ini menunjukkan bahwa kami pada prinsipnya berkomitmen untuk partisipasi perempuan,” katanya.

Muttaqi menyatakan pemerintah Taliban menginginkan hubungan baik dengan semua negara dan tidak memiliki masalah dengan Amerika Serikat (AS). Dia mendesak Washington dan negara-negara lain untuk melepaskan lebih dari 10 miliar dolar AS dana yang dibekukan.

“Sanksi terhadap Afghanistan tidak akan … tidak ada manfaatnya. Membuat Afghanistan tidak stabil atau memiliki pemerintah Afghanistan yang lemah bukanlah kepentingan siapa pun,” kata Muttaqi.

IHRAM

Alasan Mengapa Kita Perlu Abaikan Perkara tak Penting?

Mengabaikan perkara tak penting bentuk dari cara berislam yang baik

Dalam sebuah dialog film yang dibintangi Adil Imam, aktor terkemuka Mesir, ia berkata pada seorang hakim, “Anda tahu terowongan di daerah Abbasiyah?” Hakim menjawab, “Ya, saya tahu.”

“Di sana ada seorang penjual ‘ashir (jus).” “Mengapa dengan orang itu?” tanya sang hakim penasaran. “’Ashirnya sangat tidak enak. Jangan engkau coba meminumnya.”   

Dialog sederhana. Tapi efeknya luar biasa. Memang ada sebuah kedai jus di akhir terowongan daerah Abbasiyyah. Jusnya memang tidak enak. 

Ketika film yang dibintangi Adil Imam itu laku keras, pemilik kedai jus berpikir untuk memperkarakan Adil Imam karena ia merasa telah dirugikan dialog dalam film itu. 

Tapi ia kaget bukan main. Sejak film itu ditonton orang banyak, toko jusnya justru kebanjiran pengunjung.  

Bukan hanya dari daerah ‘Abbasiyah, melainkan dari segenap penjuru kota Kairo. Bahkan ada yang dari provinsi lain. 

Untuk apa mereka datang? Mereka hanya ingin mencoba jus yang katanya sangat tidak enak itu. Mereka penasaran. 

Akhirnya, kedai jus yang hampir saja gulung tikar itu beroleh keuntungan yang sangat besar berkat ‘jasa’ Adil Imam yang telah mempromosikan kedai itu secara gratis dalam dialog filmnya. 

Alih-alih memperkarakan, pemilik kedai malah sangat berterimakasih kepada sang aktor.   

Berbagai komentar, konten, dan postingan yang berseliweran di media sosial sesungguhnya banyak yang tidak berharga sama sekali.  

Tapi ia mampu menarik perhatian banyak orang bahkan menyita energi positif karena kita, tanpa sadar- telah mempromosikannya secara cuma-cuma melalui like, coment, dan share. 

Kita perlu belajar untuk mengabaikan banyak hal yang tidak layak untuk diperhatikan apalagi sampai menguras energi. Ini yang disebut sebagian pakar dengan tajahul mumanhaj (التجاهل الممنهج), pengabaian sistematis.   

Bayangkan kalau sejak awal dakwah, Rasulullah ﷺ hanya sibuk mengurus pamannya Abu Lahab yang menghinanya, merendahkannya dan menghalangi dakwahnya. Tentu dakwah akan berputar-putar di titik itu saja. Tidak akan meluas. 

Tapi Nabi ﷺtidak menjadikan ‘kasus’ pamannya sebagai perhatian utama yang akan menguras tenaga dan pikiran. Dengan begitu, energi luar biasa yang beliau miliki bisa dioptimalkan pada hal-hal besar yang menjadi target dan tujuan utama dakwah. Syekh Muhammad Al Ghazali, rahimahullah, pernah mengatakan : 

الغباء نقص والتغابي كمال ، والغفلة ضياع والتغافل حكمة 

“Bodoh itu kekurangan, tapi ‘bersikap’ bodoh (mengabaikan) adalah kesempurnaan. Lengah itu kehilangan, tapi ‘bersikap’ lengah (mengabaikan) adalah kebijaksanaan.”    

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

KHAZANAH REPUBLIKA

TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Pendiri Nahdlatul Wathan dan Pejuang Kemerdekaan dari Nusa Tenggara Barat

Maulana Syekh Tuan Guru Kiai Haji (T.G.K.H.) Muhammad Zainuddin bin Abdul Madjid lahir di desa Pancor pada tahun 1908. Dan merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Pada saat kecil beliau memliki nama Muhammad Saggaf, namun pada usia sembilan tahun diubah menjadi Muhammad Zainuddin, ini karena ayah beliau T.G.H. Abdul Madjid mencari keberkahan dari ulama’ besar dari daerah Serawak yaitu Syekh Muhammad Zainuddin.

Semenjak kecil beliau sudah menjadi papadu (anak kebanggaan) dari ayahnya. Beliau sejak kecilnya sudah di gembleng untuk memahami beragam disiplin ilmu ilmu kegamaannya guna meningkatkan kapasitas agar lebih tajam dan komprehensif. Disamping mengikuti sekolah formal di Volkscholen yang dibangun pemerintah hinida Belanda, ia juga belajar dengan beberapa Tuan Guru yang ada di desa Pancor diantaranya TGH. Syarafuddin, TGH. Abdullah bin Amaq Dulaji,  TGH. Muhammad Said dan lainnya.

Pada tahun 1923, Maulana Syekh bersama saudara adiknya Muhammad Faisal diantar orangtuanya belajar ke Tanah suci Mekkah, tepatnya  di Madrasah ash-Shaulatiyah, madrasah yang sama dimana Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Hai Ahmad Dahlan belajar.  Madrasah yang didirikan pada 1219 H. oleh seorang ulama besar imigran India Syekh Rahmatullah Ibn Khalil al Hindi al Dahlawi. Tercatat sebagai madrasah pertama dalam dunia pendidikan di Arab Saudi.

Maulana Syekh masuk Madrasah Shaulatiyah pada 1345 atau 1927 M. saat itu mudir atau direkturnya adalan Syekh Salim Rahmatullah. Ia merupakan cucu pendiri Madarash Shaulatiyah. Pada saat belajar di Shaulatiyah, para guru beliau menilai Maulana Syekh memiliki ketekunan tinggi dalam belajar. Beberapa guru  mengakuinya sebagai murid yang tergolong cerdas. Syekh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi penilik madrasah Pemerintah Arab Saudi yang seringkali datang ke madrasah. Penilik adalah penganut Wahabi.

“Dan Zainuddin adalah satu satunya murid Madrasah ash-Shaulatiyah yang dianggap menguasai paham Wahabi dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan” kata aeorang teman sekelasnya, Syekh Zakariya Abdullah Bila, ulama besar di Tanah Suci Makkah.

Setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1933 M., Maulana Syekh kembali ke kampung halamannya. Melihat keadaan masyarakat Nusa Tenggara Barat yang saat itu masih jauh dari akses pendidikan yang layak beliau merasa tertantang untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan koloni Belanda melalui pendidikan. Pada tahun 1934 beliau mendirikan Pesantren Al Mujahidin.

Berselang tiga tahun, pada tanggal 22 agustus 1934 M beliau mendirikan madrasah khusus laki-laki yang dinamainya Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah atau disingkat NWDI, setelah madrasah NWDI meluluskan angkatan pertama tahun 1941 H. Untuk memperluas kader-kader pendidikan Maulana Syekh mendirikan Madrasah khusus kaum perempuan yang bernama Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah pada tahun 1941 H yang biasa di singkat NBDI. Kedua Madarasah ini merupakan madrasah pertama yang berdiri di Pulau Lombok, dan merupakan cikal bakal berdirinya semua madrasah yang bernaung dibawah organisasi Nahdlatul Wathan.

Melihat perkembangan Madrasah cabang dari NWDI dan NBDI yang cukup pesat, untuk lebih memudahkan dalam koordinasi, pembinaan, dan pengembangan madrasah-madarasah cabang tersebut, pada tanggal 1 Maret 1953 Maulana Syekh mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah.

Menjadi Tokoh Pejuang Kemeredekaan dari Nusa Tenggara Barat

Selain dikenal sebagai kiai kharismatik yang mencurahkan pemikiran dan pengetahuannya untuk pendidikan umat, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga dikenal sebagai tokoh perjuang kemerdekaan di Nusa Tenggara Barat. Penggunaan nama pesantren yang dibuat oleh beliau mensyiarkan semangat yang kuat untuk memajukan umat Islam dan membangkitkan negeri, dan tanah air. Ini tercermin dari arti kata Nahdlatul Wathan yang berarti kebangkitan Tanah Air.

Pada zaman penjajahan madrasah disamping sebagai tempat untuk belajar agama juga dijadikan oleh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot patriot bangsa yang siap bertempur melawan penjajah.

Pada tahun 1947, dipimpin oleh adik kandungnya beliau bersama santri santrinya menyerang markas NICA. Penyerangan ini menewaskan para santri, guru madarsah serta adiknya sendiri. Setelah itu beliau dengan Saleh Sungkar membentuk wadah politik untuk perjuangan dan memajukan rakyak bernama Persatuan Umat Islam Lombok (PUIL). Selain itu, beliau juga aktif sebagai anggota konstituante, Masyumi, Permus dan Golkar.

Atas jasa jasanya terhadap bangsa Indonesia, pada tahun 2017 beliau kemudian dianugrahkan gelar pahlawan oleh presiden Jokowi bersamaan dengan 4 tokoh dari daerah lainnya. TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai seorang ulama pejuang kemerdakaan, guru sufi dan ulama’ yang nasionalis.. Beliau wafat di Lombok pada 21 Oktober 1997. Lahu al Fatihah

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat Tidak Menghadap ke Arah Kiblat

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Jika ada jamaah yang mendirikan salat dengan menghadap selain arah kiblat, bagaimanakah hukum salat tersebut?

Jawaban:

Masalah ini tidak bisa terlepas dari dua kondisi:

Kondisi pertama, mereka berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan untuk mengetahui arah kiblat. Misalnya, mereka sedang di tengah perjalanan (safar), atau ketika kondisi sedang mendung, dan mereka tidak bisa mendapatkan petunjuk ke manakah arah kiblat (misalnya, tidak ada penduduk setempat yang bisa ditanyai, pent.). Ketika mereka salat dan sudah berusaha mencari arah kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka bahwa mereka menyimpang dari arah kiblat, maka hal itu tidak masalah (tidak perlu mengulang salat, pent.).

Hal ini karena mereka telah bertakwa kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kemampuan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337).

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan masalah ini secara khusus,

وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 115).

Kondisi kedua, mereka berada di suatu tempat yang masih memungkinkan untuk bertanya tentang (arah) kiblat. Akan tetapi, mereka menyepelekan atau menganggap remeh (tidak mau bertanya, padahal memungkinkan bagi mereka untuk bertanya, pent.). Dalam kondisi semacam ini, mereka wajib mengqadha’ (mengulang) salat yang telah mereka kerjakan ketika ternyata mereka salat tidak menghadap ke arah kiblat. Baik mereka mengetahui salah arah tersebut sebelum atau setelah waktu salat tersebut berakhir.

Hal ini karena dalam kondisi tersebut, mereka statusnya mukhthi’ (melakukan kesalahan tanpa sengaja, pent.) dan khathi’ sekaligus (melakukan kesalahan secara sengaja, pent.). Mereka disebut mukhthi’ berkaitan dengan arah kiblat, karena mereka sebetulnya tidak sengaja menyimpang dari arah kiblat. Akan tetapi, mereka juga disebut khathi’, karena mereka menyepelekan dan menganggap remeh sehingga tidak mau bertanya ke mana arah kiblat.

Akan tetapi, hendaknya dipahami bahwa jika menyimpang (serong) sedikit dari arah kiblat itu tidak mengapa, seperti jika menyimpang ke kanan atau ke kiri sedikit. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada penduduk Madinah (yang arah kiblatnya ke selatan, pent.),

مَا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Di antara timur dan barat adalah kiblat” (HR. Tirmidzi no. 344 dan Ibnu Majah no. 1011).

Jadi, kalau ada orang yang menyimpang ke kiri sedikit dari arah kiblat, kita katakan kepada mereka, “Di antara timur dan barat adalah kiblat.” (Ini berlaku bagi yang arah kiblatnya adalah ke arah selatan sebagaimana penduduk Madinah, pent.). Demikian pula yang serong ke kanan, atau serong ke timur sedikit, atau serong ke barat sedikit, kita katakan kepada mereka, “Di antara kiri dan kanan adalah arah kiblat.” Jadi, jika hanya serong sedikit dari arah kiblat, hal itu tidak masalah.

Terdapat satu masalah yang ingin saya ingatkan. Siapa saja yang berada di Masjidil Haram dan bisa melihat bangunan Kakbah (secara langsung), maka wajib baginya untuk menghadap persis ke bangunan Kakbah, bukan hanya ke arah Kakbah. Karena jika dia menyimpang (serong) dari bangunan Kakbah, maka dia tidaklah disebut menghadap Kakbah. Aku melihat banyak kaum muslimin di Masjidil Haram yang tidak menghadap ke bangunan Kakbah. Engkau dapati saf yang sangat panjang dan Engkau bisa mengetahui secara pasti bahwa banyak dari mereka yang tidak menghadap persis ke bangunan Kakbah. Ini adalah kesalahan yang besar. Wajib atas kaum muslimin untuk memperhatikan masalah ini dan menjauhinya. Hal ini karena jika mereka mendirikan salat dalam kondisi semacam ini, artinya mereka salat tanpa menghadap ke kiblat.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70980-hukum-shalat-tidak-menghadap-ke-arah-kiblat.html

Hukum Memberikan Harta Zakat untuk Membangun Masjid

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah hukum memberikan (mendistribusikan) zakat untuk membangun masjid? Dan siapakah yang disebut dengan fakir?

Jawaban:

Zakat tidak boleh diberikan, kecuali kepada delapan golongan yang telah Allah Ta’ala sebutkan saja. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutkan (delapan golongan) tersebut dengan diksi pembatasan (yaitu dengan kata “innamaa” [hanyalah]). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

(Berdasarkan ayat tersebut), maka tidak boleh mendistribusikan zakat untuk membangun masjid, mengajarkan ilmu, dan sejenisnya. Adapun kalau sedekah yang hukumnya sunah, maka yang afdal (utama) adalah untuk perkara yang paling bermanfaat.

Adapun yang dimaksud dengan orang fakir yang berhak untuk mendapatkan zakat adalah mereka yang tidak memiliki harta (penghasilan) yang cukup untuk (menghidupi) dirinya atau keluarga (kerabat) yang dia tanggung nafkahnya selama satu tahun sesuai dengan kondisi zaman dan tempat tertentu. Maka terkadang 1.000 riyal di suatu zaman dan tempat sudah bisa dianggap sebagai orang kaya. Akan tetapi, di suatu zaman dan tempat yang lain tidak dianggap sebagai orang kaya karena tingginya kebutuhan, atau sejenisnya.

Pertanyaan:

Apakah mendistribusikan zakat untuk membangun masjid itu sesuai dengan firman Allah Ta’ala berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima zakat,

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” (QS. At-Taubah: 60)?

Jawaban:

Sesungguhnya, membangun masjid itu tidak termasuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” (QS. At-Taubah: 60)

Karena, sebagaimana penjelasan ahli tafsir rahimahumullah terhadap ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan “fii sabiilillah” adalah “jihad fii sabiilillah”. Seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud dengan fii sabiilillah (dalam ayat tersebut) adalah seluruh bentuk kebaikan (apapun bentuknya, termasuk membangun masjid, pent.), maka konsekuensinya tidak ada faidah adanya diksi pembatasan dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir … ” (QS. At-Taubah: 60)

Maksud diksi pembatasan (hashr) -sebagaimana yang telah diketahui- adalah menetapkan hukum (hanya) untuk perkara yang disebutkan dan meniadakan hukum dari perkara yang tidak disebutkan. Oleh karena itu, jika kita katakan bahwa (yang dimaksud dengan),

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” adalah semua jalan kebaikan, maka ayat tersebut tidak ada faidahnya meskipun diawali dengan kata (إِنَّمَا) yang menunjukkan adanya pembatasan.

Selain itu, jika mendistribusikan zakat untuk membangun masjid dan juga untuk jalan kebaikan yang lain itu diperbolehkan, maka hal itu akan meniadakan kebaikan (untuk orang miskin yang berhak menerima zakat, pent.). Hal ini karena banyak manusia memiliki jiwa yang pelit (kikir atau bakhil). Jika mereka melihat bahwa (ada jalan untuk) membangun masjid, dan juga jalan kebaikan lain, dan diperbolehkan bagi mereka untuk mendistribusikan zakat ke jalan tersebut, mereka pasti akan lebih memilih jalan tersebut (daripada mereka berikan kepada fakir miskin yang membutuhkan, pent.). Konsekuensinya, orang fakir dan miskin akan selalu berada dalam kesusahan.

***

@Kantor Mikro, 4 Jumadil ula 1443/ 9 Desember 2021

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70986-hukum-memberikan-harta-zakat-untuk-membangun-masjid.html

Carilah Rezeki dan Jangan Tamak

Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki.

Allah SWT Maha Penyayang terhadap semua hamba-Nya. Maha Suci Allah yang memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki.

“Dialah yang memberi rezeki cacing di dalam tanah, ikan di dalam air, burung di udara, semut dalam lubang yang gelap, dan ular di antara bebatuan besar dan liang persembunyian,” tulis Dr Aidh bin Abdullah Al-Qarni dalam bukunya La Tahzan Jangan Bersedih.

Ibnu Jauziy telah menceritakan suatu kisah yang mengandung kaidah lembut, yaitu seekor ular buta yang tinggal di puncak pohon kurma dan seekor burung pipit yang biasa datang kepadanya dengan membawa secuil daging untuk meletakkan di mulut ular itu. Apabila telah berada di dekatnya, burung pipit mengepak-ngepakkan sayapnya seraya mengeluarkan suara kicauan.

“Maka ular pun mengangakan mulutnya dan burung pipit meletakkan daging itu ke mulutnya,” katanya.

Maha Suci Allah yang telah menundukkan burung pipit untuk memberi makan ular tersebut. Dalam surah Al-An’am ayat 38 Allah SWT berfirman.

“Dan tiadalah burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka sebagai makhluk seperti halnya kalian.”

Dahulu Maryam putra Imran rizkinya datang kepadanya di mihrabnya setiap pagi dan petangnya. Ketika ditanya kepadanya:  Hi Maryam, dari manakah kamu dapat makanan ini?”

Mariyam menjawab.” Dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya tanpa batas”

“Jangan bersedih karena rezeki sudah ada yang menjamin sebagaimana disebutkan dalam firman Allah kepada orang-orang miskin.

“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.”( Al An’am ayat 151).

Hendaknya manusia mengetahui bahwa yang memberi rezeki orang tua dan anaknya adalah Allah yang tiada beranak dan tidak pula diperanakan.

Kepada orang kaya juga Allah SWT memberi peringatan.

“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut hatuh miskin. Kamilah yang memberi mereka rezeki dan juga kamu( QS 17 ayat 31).

“Sesungguhnya Allah yang memiliki perbendaharaan yang besar telah menjamin rezeki semuanya, maka mengapa harus resah padahal yang menjamin hal tersebut adalah Allah,” katanya.

“Mintalah rezeki kepada Allah beribadahlah kamu kepadanya dan bersyukurlah kamu kepadanya.” (QS 29 ayat 17).

“Dialah yang memberi makanan dan minuman kepadaku.” (QS 26 ayat 27).

KHAZANAH REPUBLIKA

6 Cara Meningkatkan Rezeki dalam Islam

Semua orang tentu mau rezekinya berlimpah. Rezeki ini umumnya diartikan banyak orang sebagai uang. Namun sejatinya rezeki bukan semata-mata uang. Anak Anda adalah rezeki, kesehatan Anda itu rezeki.

Persahabatan yang baik pun rezeki, dan masih banyak lagi macam rezeki. Meski begitu, banyak orang tidak menyadarinya, sehingga mereka berusaha memperoleh rezeki berupa penghasilan yang berlimpah dan berkah.

Allah SWT berfirman, “Maka aku berkata (kepada mereka), Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (QS Nuh ayat 10-12)

Dalam Islam terdapat cara yang dapat membantu seorang Muslim agar diberi rezeki yang berlimpah dan berkah oleh Allah SWT.

Pertama, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya, menjauhi perbuatan maksiat dan haram serta berbagai hal yang membuat Allah SWT murka.

Kedua, bertawakal atau berserah diri kepada Allah SWT dalam segala urusan, baik hal kecil maupun besar, sambil tetap berikhtiar dengan rajin dan tekun.

Ketiga, memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat. Minta ampunan kepada Allah SWT dengan tulus dan bersungguh-sungguh, serta memantapkan diri untuk tidak mengulanginya.

Keempat, jaga silaturahmi, baik dengan keluarga, kerabat maupun sahabat. Tanyakan bagaimana keadaan mereka, karena ini adalah pintu rezeki dan keberkahan.

Kelima, membiasakan lisan mengucapkan ungkapan-ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang tiada habisnya.

Keenam, yaitu bersedekah, karena sedekah sejatinya membawa segala kebaikan. Maka perbanyak sedekah sehingga akan mendapat apa yang kita harapkan. Bersedekahlah meski sedikit.

IHRAM

Bersabar, Resep Bagi yang Tertimpa Musibah

Buah kesabaran adalah keberhasilan.

Setiap orang pernah tertimpa musibah selama hidupnya sebagai batu uji kesabarannya. Menurut Aidh bin Abdullah al-Qarni, musibah di dunia terbagi menjadi dua bagian.

“Satu bagian ada jalan keluarnya, maka cara mengobatinya adalah dengan berusaha mengatasinya, dan bagian yang lain tidak ada jalan untuk menyelesaikannya, maka obatnya adalah bersabar,” kata Aidh bin Abdullah al-Qarni dalam bukunya La Tahzan, Jangan Bersedih.

Dahulu, kata Aidh, ada seorang yang bijak mengatakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak ada jalan keluarnya adalah dengan bersabar. Barangsiapa yang selalu sabar pasti akan mendapatkan keberhasilan. 

Salah satu peribahasa mengatakan: “Sabar adalah kunci keberhasilan. Barangsiapa yang sabar, maka akan mampu mengatasi permasalahan. Buah kesabaran adalah keberhasilan, saat musibah memuncak, pasti akan datang kebahagiaan,” katanya.

Aidh menyarankan waspadalah terhadap bahaya yang muncul dari celah-celah kesenangan dan harapkanlah memperoleh manfaat dari adanya larangan. Inginkanlah kehidupan dengan memohon kematian, karena sering terjadi usia panjang penyebabnya karena memohon kematian dan sering terjadi kematian penyebabnya karena lebih memilih usia panjang. 

“Keamanan itu kebanyakan datang dari arah yang menakutkan,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Fatwa Darul Ifta` Mesir terhadap Jamaah Tabligh

Khuruj untuk berdakwah dibolehkan selama tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban terhadap mereka yang ditinggal

DARUL IFTA`, lembaga fatwa, yang merupakan rujukan fatwa di Republik Arab Mesir pernah ditanya mengenai pandangan ulama terhadap Jamaah Tabligh. Di bawah ini jawaban terkait hal itu;

Hakikat Tabligh

Darul Ifta` (dalam Mausu`ah Al Fatawa Al Muashshalah, 1/279-284) pun menjelaskan bahwasannya tabligh sendiri merupakan sifat empat yang melekat pada diri para nabi dan para rasul, yakni ash shidq, al amanah, at tabligh dan al fathanah. (Hasyiyah Al Baijuri `ala Jauhar At Tauhid, hal. 203).

Siapa Jama’ah Tabligh?

Sedangkan Jamaah Tabligh adalah jama’ah Islam yang muncul di India pada kurun empat belas hijriyah, kemudian  menyebar di seluruh penjuru dunia. Dakwah Jamaah Tabligh, menyampaikan keutamaan Islam kepada siapa saja yang mereka mampu untuk dijangkau.

Jama’ah ini juga menyeru kepada para pengikutnya untuk memberikan jatah waktu hidup mereka untuk melakukan perbaikan terhadap diri mereka  juga untuk menyampaikan dakwah dan menyebarkannya serta melakukan amar ma`ruf nahi munkar.

Perintah Melakukan Tabligh

Sedangkan hukum asal melakukan dakwah tabligh serta melakukan amar ma`ruf nahi munkar merupakan perkara fardhu kifayah. Allah Ta’ala berfirman:

ولْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ (آل عمران: 104)

“Artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Surat Ali Imran: 104).

Juga disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً» (أخرجه البخاري:3461, 4/170)

“Artinya: Dari Abdullah bin Amru sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Sampaikan dariku meski satu ayat.” (Riwayat Al Bukhari: 3461, 4/170).

وَلَوْ آيَةً)) bermakna satu ayat, agar setiap orang yang mendengarnya menyampaikannya apa yang diterimanya meskipun sedikit. Dengan demikian akhirnya semua yang diterima oleh Rasulullah ﷺ tersampaikan. (dalam Fath Al Bari, 6/498).

Imam Ath Thahawi juga berkata mengenai hadits di atas, ”Maka Rasulullah ﷺ mewajibkan dalam hadits itu pada umatnya untuk menyampaikan apa yang mereka peroleh dari beliau.” (dalam Syarh Ma’ani At Atsar, 4/128).

Khuruj dalam Dakwah

Sedangkan kebiasaan anggota Jama’ah Tabligh yang mendatangi manusia di rumah-rumah mereka, di pasar-pasar atau di jalan-jalan serta di tempat-tempat permainan dalam rangka berdakwah termasuk sebaik-baik ibadah.

Ibnu Ishaq berkata, ”Rasulullah ﷺ saat kabilah-kabilah Arab dalam waktu-waktu khusus bagi mereka, beliau menyeru mereka kepada Allah Ta’ala serta memberi khabar kepada mereka bahwasannya beliau adalalh nabi yang diutus.” (dalam Ar Raudh Al Unf fi Syarh As Sirah An Nabawaiyah, 4/36, 37).

Imam Al-Ghazali sendiri memperingatkan kepada umat yang hanya duduk-duduk di rumah dan enggan memberi peringatan kepada manusia.  “Ketahuilah, bahwasannya setiap orang yang tinggal di rumah, di mana saja ia berada, maka di masa ini tidak ada yang terbebas sama sekali dari kemungkaran dikarenakan berdiam dari memberi bimbingan kepada manusia dan mengajari mereka serta membawa mereka kepada kebaikan.” (dalam Ihya Ulumiddin, 2/342).

Sedangkan khuruj bagi Jama`ah Tabligh merupakan wasilah, bukan tujuan. Karena sesungguhnya tujuan utama dalah dakwah kepada orang lain serta untuk memperbaikai diri sendiri.

Wasilah dibenarkan jika tujuannya adalah benar. Sebagaimana para ulama menyatakan, ”Bagi wasilah-wasilah hukum-hukum yang berlaku bagi tujuan-tujuannya.” (dalam Qawa`id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, 1/53).

Khuruj Perlu Memperhatikan Beberapa Syarat

Darul Ifta` Mesir juga mengingatkan bahwasannya dakwah bukan hanya dilakukan dengan melakuakn safar  menuju negeri tertentu atau bersama jama’ah tertentu. Dengan demikian siapa saja yang tinggal di kampung dan negerinya bisa berdakwah kepada Allah dan membimbing manusia serta menasihati mereka menuju arah yang lebih baik.

Sedangkan khuruj untuk berdkwah dibolehkan selama tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban terhadap mereka yang ditinggal, seperti menyediakan nafkah yang cukup bagi mereka yang ditinggalkan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا

أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ»  (أخرجه أبو داود: 1692, 2/132)

Artinya: Dari Abdullah bin Amru ia berkata,”Rasulullah ﷺ telah bersabda, ’Cukup bagi seseorang dosa jika ia menyia-nyiakan siapa yang wajib ia beri makan.’” (Riwayat Abu Dawud: 1692, 2/132)

Demikian pula hendaknya mereka yang melakukan aktivitas itu tidak memasuki wilayah-wilayah keilmuan yang mana ia belum layak memasukinya kecuali mereka para ulama.

Walhasil sesaui dengan apa yang disebutkan di atas, bahwasannya Jama’ah Tabligh dan dakwah memiliki kontribusi besar dalam menyebarkan dien ini ke seluruh penjuru dunia, sedangkan tidak ada perbuatan-perbuatan mereka yang menyimpang.

Oleh karena itu tidak dilarang untuk berinteraksi dengan mereka dan malakukan khuruj selama hal itu tidak menyebabkan kelalaian terhadap kewajiban lainnya. Wallahu `alam bish shawab.*

HIDAYATULLAH

Kemenag Gunakan Sistem Satu Pintu Berangkatkan Jamaah Umroh

Pelaksanaan ibadah umroh pascapandemi Covid-19 menggunakan sistem satu pintu. Hal ini untuk memudahkan keberangkatan jamaah umroh.

Direktur Bina Umrah Kementerian Agama Nur Arifin mengatakan jamaah umroh yang akan berangkat merupakan usulan asosiasi. “Mereka menginginkan rombongan pertama adalah pengurus PPIU. Namun, Kemenag tidak memiliki kewenangan mengatur itu sehingga hak untuk memberangkatkan jamaah diserahkan kepada PPIU,” ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (12/12).

Jamaah umroh yang akan berangkat perdana ini merupakan usulan asosiasi, terutama agar yang pertama berangkat adalah para pengurus PPIU. Hal ini dengan tujuan mereka akan menjadi pembimbing umroh untuk tahap selanjutnya. 

“Kami tidak ada kewenangan menolak. Hal terpenting adalah seluruh jamaah memenuhi syarat,” ujar dia.

Jamaah umroh lainnya pun akan diizinkan jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, seperti kesehatan dan dokumen yang lengkap. Arifin juga mengingatkan agar tidak memaksa diri berangkat umroh dengan proses ilegal. Dia berharap tidak terjadi kasus pemalsuan dokumen atau persyaratan lainnya.

Jamaah umroh pemberangkatan pertama membawa misi sebagai duta bangsa. Mereka mengirim pesan Indonesia mampu memberangkatkan jamaah umroh yang benar-benar sehat dan tertib.

Pemberangkatan awal umroh disepakati menggunakan satu pintu (one gate policy) dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Kemudian, selama 1×24 jam sebelum berangkat jamaah harus tinggal di Asrama Haji Pondok Gede untuk skrining kesehatan seperti cek kesehatan, cek sertifikat vaksinasi, dan PCR.

“Ada standardisasi skrining kesehatan oleh Kemenkes. Tentu juga koordinasi dengan Kemenkes Saudi Arabia. Misalnya, RS yang memiliki kewenangan melakukan PCR adalah RS yang mendapat rekomendasi dari Arab Saudi,” ujar dia.

Saat ini, daftar jamaah umroh sudah dikirimkan ke Kemenag. Masalah yang masih terkendala adalah membuka proses pemvisaan dan pesan maskapai penerbangan. Namun, Arifin optimistis sebelum keberangkatan hal tersebut segera dapat diselesaikan mengingat kurang dari dua pekan waktu keberangkatan.

IHRAM