Tata Cara Membaca Surah Alquran Setelah Alfatihah dalam Shalat

Salah satu dari perkara sunnah dalam ibadah shalat adalah membaca surah Alquran setelah membaca surah Alfatihah pada dua rakaat pertama. Agar kesunahan ini lebih sempurna, berikut tata cara  membaca surah Alquran dalam shalat.

Kesunahan membaca salah satu surah Alquran setelah Alfatihah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

فِي كُلِّ صَلاَةٍ يُقْرَأُ، فَمَا أَسْمَعَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْمَعْنَاكُمْ، وَمَا أَخْفَى عَنَّا أَخْفَيْنَا عَنْكُمْ، وَإِنْ لَمْ تَزِدْ عَلَى أُمِّ القُرْآنِ أَجْزَأَتْ وَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ

“Di setiap shalat, ada bacaan Alquran. Apa yang kami dengar dari Rasulullah saw. maka diperdengarkan kepada kalian. Dan apa yang disamarkan oleh Rasulullah saw. maka kami samarkan kepada kalian. Jika kamu tidak menambah bacaan setelah Alfatihah, maka sudah dianggap cukup. Jika kamu menambah bacaan lagi, maka hal itu menjadi lebih baik lagi” (HR. al-Bukhari no. 772 & HR. Muslim no. 396)

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membaca surah Alquran setelah Alfatihah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Muin halaman 19 sebagai berikut:

Pertama, surah Alquran dibaca pada dua rakaat pertama saja. Kesunahan membaca ayat Alquran berlaku bagi imam, orang yang shalat sendirian, dan orang yang bermakmum kepada imam yang membaca ayat Alquran dengan suara pelan.

Kedua, surah yang telah dibaca pada rakaat pertama boleh diulang lagi pada rakaat kedua. Juga boleh mengulang bacaan Alfatihah jika memang tidak hapal surah lainnya. Bahkan boleh membaca basmalah saja, asalkan tidak dimaksudkan sebagai awal surah Alfatihah.

Ketiga, membaca satu surah Alquran secara lengkap dari awal sampai akhir lebih baik daripada membaca surah panjang namun hanya sebagiannya saja. Kecuali ada nash yang menganjurkan hal sebaliknya pada momen tertentu. semisal membaca surah secara terpotong-poton ketika shalat tarawih  untuk mempermudah khatam Alquran, atau mengikuti anjuran membaca ayat ayat surah al-Baqarah dan Ali Imran saat shalat subuh.

Keempat, surah yang dibaca pada rakaat pertama lebih panjang daripada surah yang dibaca di rakaat kedua. Contoh: rakaat pertama membaca surah al-Maun (7 ayat), kemudian rakaat kedua membaca surah al-Ikhlas (4 ayat). Tuntunan ini berdasarkan hadits Nabi SAW:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وَسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ وَيُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يَقْرَأُ فِي العَصْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ

“Nabi SAW. membaca surah Alfatihah pada dua rakaat pertama shalat zhuhur dan juga membaca dua surah yang panjang pada rakaat pertama dan surah pendek pada rakaat kedua.  Terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Alfatihah pada dua rakaat pertama shalat ashar dan juga membaca dua surah dengan surah yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surah pada rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya pada rakaat kedua” (HR.al-Bukhari no. 756 & Muslim no. 392)

Kelima, surah yang dibaca pada rakaat pertama letaknya (urutannya dalam mushaf) lebih dahulu atau lebih awal daripada  surah yang dibaca pada rakaat kedua. Sebagaimana contoh di atas, surah al-Maun (surah ke-107) urutannya lebih awal daripada surah al-Ikhlas (surah ke-112).

Jadi, surah yang dibaca pada rakaat pertama harus lebih panjang ayatnya dan lebih awal urutannya dalam mushaf daripada surah di rakaat kedua. Namun, apabila terjadi pertentangan antara panjang surah dengan urutannya dalam mushaf, maka sebaiknya lebih mendahulukan urutannya.

Semisal, pada rakaat pertama sudah membaca surah al-Ikhlas (4 ayat). Lantas, apakah pada rakaat kedua kita akan membaca surah al-Falaq sesuai urutan surah dalam Alquran, atau membaca surah al-Kautsar yang ayatnya lebih pendek (3 ayat)?Berdasarkan pendapat ini, maka sebaiknya kita membaca al-Falaq sesuai dengan urutannya.

Dengan demikian, akan sangat aneh bila ada seorang yang membaca surah an-Nas pada rakaat pertama. sebab ia merupakan surah paling terakhir dalam mushaf Alquran. sehingga, surah apapun yang dibaca pada rakaat kedua, tentu akan menyelisihi aturan membaca surah sebagaimana dijelaskan di atas.

Ada catatan penting: aturan terakhir ini tidak berlaku ketika ada ayat atau hadis khusus yang mengatur sebaliknya, seperti anjuran membaca surah al-A’la pada rakaat pertama & surah al-Ghasyiyah pada rakaat kedua saat shalat Jumat & shalat hari raya, atau di saat membaca surah panjang pada rakaat kedua agar banyak makmum masbuq yang bisa menyusul shalat

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Awal Syariat Ibadah Haji

Terdapat perbedaan pendapat soal awal syariat ibadah haji.

Ada perbedaan pendapat soal tahun awal mula haji disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat pertama, ibadah haji diwajibkan pada tahun keenam Hijriah. 

“Para ulama yang berpendapat bahwa pelaksanaan wajib haji boleh ditangguhkan berpegang pada riwayat itu,” tulis Syaikh Sa’id bin Abdul Qodir Basyanfar dalam kitabnya “Al-Mughnie”.

Menurut iwayat lain, ibadah haji itu diwajibkan pada tahun kedelapan hliriah. Ada pula riwayat yang mengatakan pada tahun kesembilan dan kesepuluh hijriah. Berdasarkan riwayat yang terakhir, maka pelaksanaan haji Rasulullah SAW itu adalah segera pada tahun itu juga tanpa diakhirkan alias tidak ditangguhkan.

Imam Al-Qadhi berkata, “Riwayat itu adalah sebagian dari riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat semuanya ihram untuk menunaikan haji karena Rasulullah SAW juga lhram untuk menunaikan haji dan mereka (para sahabat) tidak menyalahi amalan yang dikerjakan Rasulullah.

Oleh karena itu, Jabir ra berkata, “Apa saja yang dikerjakan Rasulullah SAW kami akan mengerjakannya.” 

Sebagai contoh adalah mereka menangguhkan untuk bertahallul dari ibadah umrah selama Rasulullah SAW sendiri belum bertahallul. Sehingga hal itu membuat mereka (para sahabat) kesal kepada Rasulullah SAW dan beliau meminta maaf kepada mereka. 

Contoh lainnya adalah Ali ra dan Abu Musa ra telah melakukan ihram. Mereka berdua mengikuti ihram Rasulullah SAW (Lihat tulisan Imam Nawawi dalam kitab Syarah Mlslim).

Dalam hadits itu, ada anjuran mandi ihram untuk perempuan yang sedang nifas. Dalam hadits itu pula ada perintah bagi perempuan yang sedang haid, nifas, dan terus keluar darah agar melakukan istitfar, yaitu seorang perempuan mengikatkan tali di bagian tengan tubuhnya lantas mengambil sehelai kain yang agak lebar lalu mengikatnya di bagian alat vital tempat keluarnya darah. 

Kedua ujung kain itu diikiat kuat di bagian depan dan belakang lalu kain dilipatkan pada bagian tubuhnya. Ikatan itu serupa dengan ikatan di belakang tubuh binatang. Hadits itu menunjukkan sahnya ihram perempuan yang sedang nifas sekaligus menjadi kesepakatan para ulama. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Alasan Mengapa Dai Harus Tawadhu Menurut Imam Shamsi Ali

Tawadhu merupakan sikap yang harus dimiliki setiap dai

Seorang Muslim yang memiliki ketawadhuan dalam menjalani hidup akan menemui keselamatan karena akan terhindar dari riya dan angkuh. Begitupun dalam berdakwah, ketawadhuan sangat penting dimiliki seorang dai

Presiden Nusantara Foundation, Ustadz  Muhammad Shamsi Ali, menjelaskan sikap dam karakter tawadhu penting dalam kerja-kerja dakwah. 

Hal itu penting karena secara prinsip dakwah adalah ajakan menuju jalan Allah (ilaa sabiilillah). Dan tawadhu adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup manusia. 

Maka menurut Ustadz Shamsi seseorang yang berdakwah namun tidak bernilai mulia atau tidak berkarakter, tidak tawadhu menjadi kontras pada dirinya.  

“Ketawadhuan dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang da’i yang mengakui ketidak sempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan dakwah ini (para da’i) jauh dari kesempurnaan,” kata Ustadz Shamsi, beberapa waktu lalu, kepada Republika.   

Ustadz Shamsi yang juga imam di Masjid New York ini mengatakan kesadaran akan kekurangan dalam berislam  menjadi motivasi untuk bermujahadah lagi dalam menambah kualitas keislaman. 

Yang dengannya akan menjadi jalan untuk meningkatnya kualitas dakwah. Karena itu kualitas dakwah ada pada keteladanan dalam berislam itu sendiri. 

Sebaliknya menurut dia, bahaya dan malapetaka terbesar dalam dakwah ada pada karakter dai yang angkuh, merasa sempurna, merasa mampu, dan hebat. 

Dia menjelaskan tawadhu dalam dakwah juga ada pada bagaimana melihat obyek dakwah itu sendiri. Bahwa siapapun dan bagaimanapun keadaannya semua orang memiliki sisi kebaikan dalam dirinya. 

Bahwa pada manusia itu ada jati diri yang paling mendasar yang tidak akan berubah. Itulah fitrah manusia. 

“Maka dai yang tawadhu akan melihat semua orang dengan pandangan positif. Tidak menghakimi siapapun karena apapun dan bagaimanapun keadaannya. Tentu hal ini juga berarti bahwa dai yang tawadhu akan selalu memandang obyek dakwah dengan mata positif,” katanya.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa Shalat Istikharah, Niat, dan Tata Caranya sesuai Sunnah Rasulullah

Doa sholat istikharah ternyata tidak sulit dilafalkan tiap muslim. Sholat istikharah bertujuan untuk meminta petunjuk kebaikan pada Allah SWT di antara beberapa pilihan.

Arti istikharah secara bahasa adalah meminta kebaikan pada sesuatu. Tak heran jika sholat istikharah adalah ibadah yang biasa dilakukan muslim saat berada dalam kondisi bingung dan bimbang.

Melansir dari buku Serba-Serbi Shalat Istikharah karya Aini Aryani, Lc, para ulama empat mazhab sepakat bahwa menunaikan sholat istikharah adalah sunnah. Hal ini didasarkan oleh sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ

Artinya: “Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah sholat dua rakaat selain sholat fardhu kemudian berdoalah,” (HR Bukhari)

Sholat istikharah boleh dilakukan kapan saja, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk sholat. Namun, menurut buku Ustadz Khalili Amrin Ali al-Sunguti dalam buku Mudah dan Cepat Hafal Semua Bacaan Shalat, Doa Pilihan & Surat Pendek, waktu utama untuk mengerjakan sholat istikharah adalah malam hari seperti sholat tahajud dan sholat hajat. Mengingat pada waktu tersebut termasuk dalam waktu-waktu mustajab terkabulnya doa.


Doa sholat istikharah, niat, dan tata caranya
Rangkaian doa dan cara menunaikan sholat istikharah terdapat dalam hadits Nabi SAW

A. Doa istikharah
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu, dengan ilmu pengetahuanMu, dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan keMaha KuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya, dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib.

Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (Orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku sukseskanlah untuk ku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untuk ku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku.”

Setelah memahami penjelasan tentang sholat istikharah dan doa yang sesuai sunnah, berikut ini bacaan niat beserta tata cara sholat istikharah. Seperti apa?

B. Niat sholat istikharah
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الاِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Usholli sunnatal istikhooroti rok’ataini lillahi ta’aalaa

Artinya: “Aku niat sholat sunah istikharah dua rakaat karena Allah ta’ala.”


C. Tata cara sholat istikharah
Sholat istikharah dikerjakan dua rakaat seperti halnya sholat-sholat sunnah yang lain. Kemudian, setelah sholatnya membaca doa yang telah disebutkan sebelumnya. Melansir dari buku Keajaiban Shalat Istikharah karya Muhammad Abu Ayyash, jika seseorang masih belum memantapkan hatinya setelah sholat, maka sholat istikharah boleh diulang sampai tujuh kali.

Pernyataan ini dilandaskan dari sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Anas bin Malik RA,

«يَا أَنَسُ، إِذَا هَمَمْتَ بِأَمْرٍ فَاسْتَخِرْ رَبَّكَ فِيهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ انْظُرْ إِلَى الَّذِي يَسْبِقُ إِلَى قَلْبِكَ، فَإِنَّ الْخَيْرَ فِيهِ» أخرجه ابن السني

Artinya: “Jika engkau ingin melakukan sesuatu maka mohonkanlah pilihan kepada Tuhanmu tujuh kali, kemudian lihatlah mana yang condong oleh hatimu karena sesungguhnya kebaikan ada di dalamnya,” (HR Ibnu As Siny).

Untuk tata cara pengerjaannya pun sama dengan sholat fardhu Subuh. Hanya sata niatnya yang ebrbeda dan tanpa diakhiri dengan doa qunut.

Kemudian, pada rakaat pertama, setelah membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca surat Al Kafirun. Dilanjutkan dengan rakaat kedua usai membaca Al Fatihah dan surat Al Ikhlas.

Demikianlah informasi singkat mengenai doa sholat istikharah, niat, dan tata caranya. Semoga bermanfaat ya.

Baca artikel detikedu, “Doa Shalat Istikharah, Niat, dan Tata Caranya sesuai Sunnah Rasulullah” selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5753909/doa-shalat-istikharah-niat-dan-tata-caranya-sesuai-sunnah-rasulullah.

Inilah 13 Keutamaan Sholat Subuh Tepat Waktu

Sholat Subuh tepat waktu memiliki banyak keutamaan dan ternyata punya dampak positif bagi kehidupan seorang Muslim di dunia. Sayangnya, masih ada Muslim yang meninggalkan sholat Subuh tepat waktu karena kesulitan bangun atau terbiasa bangun siang.

Keutamaan pertama ialah, sholat Subuh membawa rezeki yang luas. Dari Sokhr bin Wada’ah Al-Ghamidy, Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah berkahilah umatku di waktu paginya.”

Karena ini pulalah, Sokhr berkata, “Nabi Muhammad SAW biasa mengutus (memberangkatkan) pasukan perang di pagi hari. Sokhr al-Ghamidy adalah pedagang dan ia mengirim atau membuka dagangannya pada pagi hari sehingga hartanya bertambah banyak.” (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud)

Kedua, kehidupan akan dipenuhi keberkahan.

Ketiga, jiwa menjadi tenang.

Keempat, memperoleh pahala yang besar.

Kelima, akan dilindungi Allah SWT dan ini sudah dijamin-Nya.

Keenam, orang-orang yang sholat Subuh disaksikan oleh para malaikat. Mereka juga mendapat kehormatan, karena para malaikat meninggikan nama-nama orang yang senantiasa sholat Subuh di hadapan Allah SWT.

Ketujuh, didoakan dan dimintakan ampunan oleh para malaikat untuk orang-orang yang senantiasa menjaga sholat Subuh. Kedelapan, sholat Subuh punya posisi yang agung dalam Islam karena sholat ini adalah momen yang paling dekat dengan Allah SWT dan menandakan kedekatan seorang Muslim dengan Allah SWT.

Kesembilan, sholat Subuh itu lebih dari dunia dan seisinya. Kesepuluh, sholat Subuh secara berjamaah akan menjadi cahaya yang sempurna bagi orang-orang mukmin di Hari Kiamat Kelak. Rasulullah SAW dalam sabdanya, mengatakan, kabar gembiran bagi orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid ialah memperoleh cahaya sempurna di Hari Kiamat.

Kesebelas, diselamatkan dari api neraka. Keduabelas, akan terjaga imannya dan terhindar dari kemunafikan. Ketigabelas, mendapat perlindungan dari azab, siksaan, dan murka Allah SWT.

IHRAM

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

اعلم أرشدك الله لطاعته أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد الله وحده مخلصا له الدين

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwa Al-Hanifiyyah, yaitu agama Ibrahim, adalah kamu beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan agama untuk-Nya.

Penjelasan :

Sebagaimana kebiasaan beliau, penulis rahimahullah mendoakan kebaikan untuk pembaca risalahnya. Hal ini mengandung sikap kelembutan seorang dai dan pengajar kepada orang yang dia ajari. Demikianlah semestinya profil seorang pendakwah. Kelembutan dan kasih sayang merupakan sifat utama yang harus ada pada seorang da’i ilallah.

Di dalam doa ini beliau memohon kepada Allah agar memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ilmu dan amalan. Karena yang dimaksud dengan ar-rusyd adalah mengamalkan kebenaran yang telah diketahui. Lawan darinya adalah ghawayah/menyimpang, yaitu tidak mengamalkan ilmu. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disifati oleh Allah sebagai orang yang tidak dholla/sesat dan tidak ghowa/menyimpang. Yang disebut dholla atau dholal adalah tidak berilmu alias bodoh sehingga tersesat dari jalan yang benar. Adapun ghowa atau ghowayah adalah tidak mengamalkan ilmu alias meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya. Kedua sifat buruk ini ternafikan dari diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka, demikianlah sifat yang dikehendaki ada pada diri setiap muslim. Menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal saleh. Saking beratnya dosa tidak mengamalkan ilmu, disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengannya maka ia diazab sebelum para pemuja berhala. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Di dalam doa ini, penulis mendoakan agar Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan sumber segala kebaikan dan asas kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang mencapai tingkatan tinggi dalam tauhid senantiasa memiliki sifat taat dan patuh kepada Allah. Sebagaimana sifat yang ada pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang Allah kisahkan di dalam Al-Qur’an. Allah menyebut beliau sebagai sosok yang qaanitan lillaah, selalu patuh dan taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan bukti kecintaan seorang hamba.

Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan orang arab innal muhibba liman yuhibbu muthii’u yang berarti bahwa orang yang mencintai tentu taat kepada siapa yang dia cintai. Ibadah kepada Allah merupakan kecintaan yang melahirkan ketaatan dan ketundukan. Karena ibadah itu tegak di atas dua pilar utama, perendahan seutuhnya kepada Allah dan kecintaan yang tinggi kepada-Nya, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.  Dalam Nuniyah-nya beliau berkata,

Ibadah kepada Ar-Rahman merupakan puncak kecintaan kepada-Nya

Beserta perendahan diri sang hamba

Itulah dua poros agama

Di atas kedua poros itulah tata surya ibadah beredar

Ketaatan kepada Allah mencakup dua bagian utama:

– melaksanakan perintah-Nya

– menjauhi larangan-Nya

Millah Ibrahim

Kemudian, penulis rahimahullah menjelaskan kepada kita tentang makna Al-Hanifiyyah atau millah Ibrahim. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendakwahkan agama Islam, sebagaimana seluruh nabi yang lain. Karena semua nabi mengajarkan Islam. Meskipun demikian, Allah memilih Ibrahim sebagai teladan bagi para nabi sesudahnya. Dan Allah turunkan dari anak cucunya para nabi setelahnya sampai nabi yang terakhir, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana beliau merupakan keturunan dari Nabi Isma’il bin Ibrahim ‘alaihimas salam.

Lebih daripada itu, Allah pun memilih Ibrahim sebagai khalil/kekasih-Nya. Tidak lain karena tingkat penghambaan beliau dan nilai ketauhidannya yang sangat mulia. Bagaimana tidak? Begitu banyak ujian dan cobaan yang beliau hadapi dalam memperjuangkan dakwah tauhid ini. Dan beliau pun mendapat taufik dari Allah untuk melalui segala ujian itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan. Oleh sebab itu, masyhur perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa beliau mengatakan, “Dengan sabar dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama.”

Ibrahim merupakan sosok yang sangat penting dalam dakwah tauhid ini. Bahkan sampai-sampai berbagai penganut agama pun menisbatkan diri sebagai penerus ajarannya. Walaupun pada umumnya, itu hanya klaim semata tanpa bukti. Orang-orang Yahudi mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim, padahal mereka pun telah menyelewengkan ayat-ayat Taurat, kitab suci yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Mereka pun menolak untuk beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal, mereka mengenal dengan baik ciri-ciri beliau -yang telah dijelaskan di dalam Taurat- sebagaimana seorang bapak mengenali anak-anaknya sendiri. Begitu pula, orang Nasrani mengklaim sebagai penerus ajaran Ibrahim karena mereka mengaku sebagai pengikut ajaran Isa ‘alaihis salam yang mereka angkat sebagai Tuhan. Sehingga, jatuhlah mereka dalam sikap berlebihan dan mempersekutukan Allah Ar-Rahman. Mereka menisbatkan anak kepada Allah. Sesuatu yang sama sekali tidak diajarkan oleh Nabi Ibrahim, bahkan tidak juga oleh Nabi Isa ‘alaihis salam.

Bukan hanya itu, kaum musyrikin pun tidak mau kalah. Mereka yang sekian lama memenuhi pelataran Ka’bah dengan berhala pun menganggap bahwa merekalah yang paling pantas disebut sebagai pewaris ajaran Ibrahim. Karena merekalah yang mengagungkan Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim bersama Ismail putranya. Padahal, Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah berhala. Demikianlah, setan mengelabui manusia dan menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Maka, siapa pun yang mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim wajib menyadari bahwa agama yang beliau sampaikan kepada manusia adalah Islam. Ajaran yang menuntut setiap hamba untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah.

Ajaran Kitab Suci dari Langit

Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

“Dan tidak mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan salat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (disebutkan oleh Imam Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim At-Tanzil, hal. 1426)

Syekh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa dari ayat ini kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu, barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya, dia tujukan kepada selain Allah, maka dia juga bukan orang yang bertauhid. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hal. 76-77)

Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata, maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid. Sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya, maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syariat disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syariat disebut sebagai ibadah yang bid’ah. (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syekh Shalih bin Abdillah Al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 9)

Allah berfirman,

مَا كَانَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ یَهُودِیࣰّا وَلَا نَصۡرَانِیࣰّا وَلَـٰكِن كَانَ حَنِیفࣰا مُّسۡلِمࣰا

“Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Allah ‘Azza Wajalla menjadikan Ibrahim sebagai seorang yang hanif, dalam artian orang yang berpaling dari jalan syirik menuju tauhid yang murni. Adapun Al-Hanifiyah adalah millah/ajaran yang berpaling dari segala kebatilan menuju kebenaran dan menjauh dari semua bentuk kebatilan serta condong menuju kebenaran. Itulah millah bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam.” (lihat Syarh al-Qawa’id Al-Arba’ dengan tahqiq ‘Adil Rifa’i, hal. 13-14)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat, serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Allah berfirman,

وَقَالُوا۟ كُونُوا۟ هُودًا أَوۡ نَصَـٰرَىٰ تَهۡتَدُوا۟ۗ قُلۡ بَلۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمَ حَنِیفࣰاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk!’ Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah : 135)

Allah berfirman,

إِنَّ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِیفࣰا وَلَمۡ یَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

شَاكِرࣰا لِّأَنۡعُمِهِۚ ٱجۡتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.  Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (An-Nahl : 120-121)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syariat yang diridai.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/611)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza Wajalla dalam surat Az-Zukhruf,

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦۤ إِنَّنِی بَرَاۤءࣱ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ

إِلَّا ٱلَّذِی فَطَرَنِی فَإِنَّهُۥ سَیَهۡدِینِ

وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِیَةࣰ فِی عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ یَرۡجِعُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Zat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.’ Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (Az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kalimat ini, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan mencampakkan segala berhala yang disembah selain-Nya, itulah kalimat laa ilaha illallah yang dijadikan oleh Ibrahim sebagai ketetapan bagi anak keturunannya supaya dengan sebab itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dari keturunan Ibrahim ‘alaihis salam tunduk mengikutinya.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/225)

Syekh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah Al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim Al-Khalil ‘alaihis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat Al-Bayan Al-Murashsha’ Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Allah berfirman,

ثُمَّ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۖ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, ‘Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.’” (An-Nahl : 123)

Allah berfirman,

قُلۡ إِنَّنِی هَدَىٰنِی رَبِّیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ دِینࣰا قِیَمࣰا مِّلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.’” (Al-An’am : 161)

Syekh Shalih bin Abdul Aziz alu Syekh hafizhahullah berkata, “Maka millah Ibrahim ‘alaihis salam itu adalah tauhid.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘, hal. 15)

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah berkata, “Millah Ibrahim itu adalah syariat dan keyakinan yang dijalani oleh bapaknya para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam. Dan Ibrahim adalah salah satu nabi yang paling utama dan termasuk jajaran rasul yang digelari sebagai ulul ‘azmi.” (lihat Syarh Mutun Al-‘Aqidah, hal. 224)

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘Azza Wajalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Agama Para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Para nabi itu adalah saudara-saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Dan agama mereka itu adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiyaa’ : 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya,

یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۖ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (Huud : 50).

Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush sholatu wassalam. (lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 19)

Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Orang yang hanif adalah yang beriman kepada seluruh rasul dari yang pertama hingga yang terakhir.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Qatadah rahimahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 11)

Demikian sedikit kumpulan catatan. Semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Bersambung insyaAllah.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69320-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-5.html

Ketika Nabi Melunakkan Hati Sahabat yang Cemburu karena Merasa Paling Islami

Alkisah, penaklukan Makkah atau lebih tren disebut “Fathu Mekah” berjalan tanpa aral lintang, nyaris tanpa pertumpahan darah. Ini sukses besar Nabi bersama sahabat-sahabatnya dalam dakwah dan politik. Menariknya lagi, bersama rombongan umat Islam kala itu ikut juga pelbagai suku Badui yang ikut secara sukarela. Penaklukan terbesar dalam sejarah tanpa tetesan darah sedikitpun.

Selepas itu, Nabi bersama rombongan bergerak menuju Ji’ranah untuk menaklukkan kelompok Hawazin yang berniat menyerang kaum muslimin. Tanpa halangan berarti juga Hawazin dilumpuhkan.

Usai menaklukkan Makkah dan kelompok Hawazin, Nabi mendapat banyak sekali ghanimah (harta rampasan perang). Dari data literatur-literatur sejarah, totalnya 24.000 ekor unta dan dan sekitar 40.000 ekor kambing dan domba. Angka yang fantastis.

Inilah yang kemudian menjadi asbabun nuzul (sebab turun) surat al Taubah ayat 60 yang berbicara tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Satu di antaranya adalah muallafati qulubuhum, orang yang baru masuk Islam dan hatinya masih butuh untuk dibujuk.

Kemudian, berangkat dari wahyu tersebut, 100 unta diberikan kepada Abu Sufyan, muallaf dan masih keluarga Nabi. Padahal, sebagaimana diketahui, ia adalah salah seorang yang secara sengit menentang dan memusuhi Nabi dan umat Islam. Tidak cukup hanya itu, Abu Sufyan meminta tambahan 200 ekor unta untuk kedua anaknya Yazid dan Muawiyah. Nabi kembali mengiyakan.

Shafwan bin Suhail juga mendapat bagian. Ia diberi 100 ekor unta dari ghanimah. Saat itu Shafwan bukan muallaf, hampir muallaf. Ia menemani Nabi ketika menelusuri lembah Ji’ranah. Dalam perjalanan Shafwan terkagum melihat ladang hijau yang dipenuhi kambing, unta dan domba. Nabi menawarkan kepadanya, “Jika kamu ingin, ambillah”. Shafwan kegirangan, saat itu juga ia memeluk Islam.

Nabi juga memberi 100 ekor unta masing-masing kepada Uyaynah dari Ghathafan dan Aqra’ dari Bani Tamim. Tapi Ju’ayl dari Damrah tidak diberi bagian, padahal tergolong sahabat yang sangat taat dan miskin.

Desas-desus dan suara miring yang berasal dari kalangan sahabat terdengar. Terutama dari kalangan Anshar. Sebab, tak satupun dari mereka yang mendapat bagian ghanimah. Sementara enam belas tokoh Quraisy dan empat kepala suku yang mendapat bagian berlimpah semuanya adalah orang-orang kaya.

Kecemburuan ini sampai memunculkan riak-riak suara, Nabi telah berbuat nepotisme. Ketika perang sahabat Anshar yang terlibat, bahu-membahu dengan sahabat Muhajirin. Tetapi saat mendapat ghanimah yang mendapat bagian adalah kerabat Nabi, sementara sahabat Anshar hanya menonton pembagian tersebut.

Supaya tidak berkepanjangan, pihak Anshar mengutus Sa’ad bin Ubadah menemui Nabi. Agendanya, jika keputusan Nabi tersebut berdasarkan wahyu, kaum Anshar akan menerima dengan suka rela. Namun, jika itu semua hanya keputusan pribadi Nabi mereka juga menuntut bagian.

Setelah Sa’ad bin Ubadah bertemu dan menyampaikan suara kaum Anshar, dengan cepat Nabi mengumpulkan sahabat-sahabat Anshar. Beliau bersabda, “Wahai kaum Anshar, aku mendengar keluh kesah kalian semua, hati kalian sangat menentangku. Tetapi, bukankah kalian dulu tersesat dan aku yang membimbing kalian ke jalan Allah? Bukankah dulu kalian miskin dan kini Allah memberi kekayaan kepada kalian? Dulu, kalian saling bermusuhan dan Allah mendamaikan kalian”?

Ucapan baginda Nabi disampaikan secara halus ibarat seorang ayah menasehati anaknya. Masing-masing sahabat Anshor terkesiap dan terkesima. Dalam lubuk sanubari mereka mengatakan, “Nabi benar dan itu anugerah terbesar”.

Kemudian, Nabi melanjutkan dengan berkata, “Ingatlah, wahai sahabat-sahabatku, ghanimah hanya pintu masuk untuk melunakkan hati mereka yang keimanannya setipis sehelai benang, mereka masih meragu, belum yakin kalau Allah kuasa memberikan lebih dari itu semua.

Lalu, apa bagian kaum Anshar yang keimanannya telah terbukti bertahun-tahun dan tak diragukan”?

Lanjut beliau, “Wahai sahabat-sahabatku yang telah menerima aku di Madinah, kota kalian, apakah kalian tidak berbahagia, orang lain membawa onta dan domba, sementara kalian membawa Rasulullah ke negeri dan rumah-rumah kalian”?

Seketika itu, tangis tumpah. Sahabat-sahabat Anshar begitu terharu. Ternyata selama ini mereka telah merengkuh kebahagiaan tiada tara yang tak bisa diukur dengan dunia dan seisinya sekalipun, apalagi hanya 100 atau 200 ekor unta dan kambing. Mereka kemudian berkata, “Kami berbahagia bersama Rasulullah sebagai bagian dari kami”.

Inilah, bahwa perasaan sebagai “paling muslim” justru akan melupakan nilai-nilai paling esensi. Ego merasa paling benar pasti akan menutup hati untuk menerima kebenaran yang lain meskipun lebih benar. Kisah ini, menyindir kita semua yang dihatinya menyimpan, meskipun sekerat rasa, sebagai orang yang paling sunnah, paling Islam dan paling benar.

ISLAM KAFFAH

Apa Arti Masya Allah?

Tentu tidak asing lagi ucapan “Masya Allah“[1] (ما شاء الله) di tengah kaum Muslimin. Bahkan pembaca sekalian mungkin sudah sering mengucapkannya. Tapi apakah anda sudah tahu arti Masya Allah?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “disyariatkan bagi orang mukmin ketika melihat sesuatu yang membuatnya takjub hendaknya ia mengucapkan ‘Masya Allah‘ atau ‘Baarakallahu Fiik‘ atau juga ‘Allahumma Baarik Fiihi‘ sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH”‘ (QS. Al Kahfi: 39)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.39905).

Kita akan coba jelaskan apa makna dari ucapan “Masya Allah“? Simak penjelasan berikut:

Di dalam kitab Tafsir Al Quranul Karim Surat Al Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa kalimat “Masya Allah” (ما شاء الله) bisa diartikan dengan dua makna. Hal tersebut dikarenakan kalimat “maa syaa Allah” (ما شاء الله) bisa di-i’rab[2] dengan dua cara di dalam bahasa Arab:

  1. I’rab yang pertama dari “Masya Allah” (ما شاء الله) adalah dengan menjadikan kata “maa” (ما) sebagai isim maushul (kata sambung) dan kata tersebut berstatus sebagai khabar (predikat). Mubtada’ (subjek) dari kalimat tersebut adalah mubtada’ yang disembunyikan, yaitu “hadzaa” (هذا). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “maa syaa Allah” adalah :هذا ما شاء الله/hadzaa maa syaa Allah/Jika demikian, maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: inilah yang dikehendaki oleh Allah.
  2. Adapun i’rab yang kedua, kata “maa” (ما) pada “maa syaa Allah” merupakan maa syarthiyyah (kata benda yang mengindikasikan sebab) dan frase “syaa Allah” (شاء الله) berstatus sebagai fi’il syarath (kata kerja yang mengindikasikan sebab). Sedangkan jawab syarath (kata benda yang mengindikasikan akibat dari sebab) dari kalimat tersebut tersembunyi, yaitu “kaana” (كان) . Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “maa syaa Allah” adalah:ما شاء الله كان/maa syaa Allahu kaana/Jika demikian maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: apa yang dikehendaki oleh Allah, maka itulah yang akan terjadi.

Ringkasnya, “maa syaa Allah” bisa diterjemahkan dengan dua terjemahan, inilah yang diinginkan oleh Allah atau apa yang dikehendaki oleh Allah, maka itulah yang akan terjadi. Maka ketika melihat hal yang menakjubkan, lalu kita ucapkan “Masya Allah” (ما شاء الله), artinya kita menyadari dan menetapkan bahwa hal yang menakjubkan tersebut semata-mata terjadi karena kuasa Allah.

Itulah arti Masya Allah yang bisa kita simpulkan. Semoga lisan-lisan kita dapat senantiasa dibasahi ucapan dzikir kepada Allah Ta’ala. Wabillahit taufiq.

***

Catatan Kaki[1] Sebagian orang mempermasalahkan penulisan Masya Allah yang benar, antara lain “Masya Allah” atau “Masha Allah” atau “Maasyaa Allah” atau “Masyallah”. Mungkin bagi mereka yang benar adalah “Maa Syaa-Allah” atau “Maa Syaa-a Allah”. Namun hal ini sebenarnya tidak patut dipermasalahkan, semuanya bisa digunakan. Karena memang tulisan huruf latin tidak bisa mengakomodasi bahasa arab dengan sempurna. Sehingga yang penting adalah pengucapan lisannya. Bahkan dalam tulisan formal, hendaknya mengikuti kaidah transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Lihat disini.
Jika dengan pedoman ini, maka penulisan yang baku adalah: Māsyā-a Allāhu
Namun, sekali lagi, ini bukan masalah besar selama tidak terlalu jauh dari pengucapan arabnya.[2] I’rab adalah penjabaran struktur kalimat di dalam bahasa Arab.


Penulis: Muhammad Rezki Hr, ST., M.Eng

Sumber: https://muslim.or.id/21845-apa-arti-masya-allah.html

Merasa Senang karena Orang Lain Tahu Amal Baik Kita, Apakah Termasuk Riya?

Bismillahirrahmanirrahim..

Anda sudah berusaha menyembunyikan amal shalih, namun Allah buka sehingga orang lain tahu. Lalu, hati Anda bahagia dengan kenyataan tersebut. Apakah seperti ini termasuk riya’?

Termasuk atau tidaknya, tergantung pada motivasi bahagianya. Jika bahagia karena kemampuan dirinya yang bisa melakukan amal-amal kebaikan yang diketahui orang-orang, maka ini berbahaya. Karena bisa terjatuh ke dalam dosa ujub yang berdampak pada gugurnya pahala. Jika bahagianya karena kuasa dan rahmat Allah yang telah menampakkan kebaikan dan menutupi aib-aibnya, maka ini bukan ujub dan bukan riya’. Bahkan ini adalah nikmat dari Allah ‘azza wa jalla dan membuahkan pahala karena ada unsur syukur di dalamnya. Di antara bentuk syukur adalah bahagia atas nikmat yang telah Allah berikan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَعْمَلُ الْعَمَلَ فَيُطَّلَعُ عَلَيْهِ فَيُعْجِبُنِي

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukan suatu amalan, lantas amalan tersebut diperlihatkan kepadaku hingga saya kagum.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَكَ أَجْرَانِ أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

“Kamu mendapatkan dua pahala, pahala amalan yang dilakukan saat tak seorang pun yang melihat dan ketika ditampakkan.” (HR. Ibnu Majah)

Di dalam hadis yang lain, riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu,

يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير ويحمده الناس عليه؟

“Ya Rasulullah, seorang telah melakukan amal baik, lalu orang-orang memujinya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.”

Di dalam kitab Mukhtasar Minhaj Al-Qosidin (hal. 213 – 214), Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن السرور ينقسم إلى محمود ومذموم، فالمحمود: أن يكون قصده إخفاء الطاعة، والإخلاص لله، ولكن لما اطلع عليه الخلق، علم أن الله أطلعهم، وأظهر الجميل من أحواله، فيُسَرُّ بحسن صنع الله، ونظره له، ولطفه به، حيث كان يستر الطاعة والمعصية, فأظهر الله عليه الطاعة، وستر عليه المعصية، ولا لطف أعظم من ستر القبيح، وإظهار الجميل، فيكون فرحه بذلك، لا بحمد الناس وقيام المنزلة في قلوبهم، أو يستدل بإظهار الله الجميل، وستر القبيح في الدنيا، أنه كذلك يفعل به في الآخرة. فَأَمَّا إن كان فرحه باطلاع الناس عليه؛ لقيام منزلته عندهم حتى يمدحوه، ويعظموه، ويقضوا حوائجه، فهذا مكروه مذموم

“Bahagia karena amalan dilihat orang, hukumnya terbagi menjadi dua:

1. Terpuji

2. Tercela

Terpuji, jika tujuan awalnya menyembunyikan amal dan niatnya ikhlas. Akan tetapi, ketika kebaikannya itu dilihat orang lain, dia menyadari bahwa Allah yang telah menampakkan amal baiknya, Allah yang menampakkan keindahannya.

Dia pun bahagia atas kebaikan Allah, perhatian, dan kelembutan-Nya kepada dirinya. Dia berusaha menutupi amalan baik dan dosa, namun Allah tampakkan amalan baiknya dan Allah tutup dosa-dosanya. Tak ada kelembutan yang lebih berkesan dari kelembutan berupa ditutupi semua aib, kemudian ditampakkan keindahan.

Sehingga bahagianya karena itu, bukan karena pujian manusia atau kedudukan yang dia dapatkan di hati mereka.

Atau ia bahagia karena di saat Allah menampakkan kebaikannya di dunia dan Allah tutupi dosa-dosanya, itu isyarat bahwa Allah akan bersikap demikian pula di akhirat kelak.

Adapun jika bahagianya semata karena orang-orang tahu amal shalihnya, penghormatan orang-orang kepadanya sampai mereka menyanjung kebaikannya, memuliakan dan menuju kebutuhan-kebutuhannya, maka bahagia yang seperti ini dibenci Allah dan tercela.”

Wallahul Muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/69238-merasa-senang-karena-orang-lain-tahu-amal-baik-kita-apakah-termasuk-riya.html

Covid-19: Azab atau Musibah?

Kehadiran virus Corona Covid-19 nyaris melumpuhkan aktivitas rutin umat manusia di kolom langit ini. Negara-negara adidaya yang memiliki kecanggian dunia kedokteran dan persenjataan super kuat sepertinya tidak berdaya menghadapi makhluk super mikro ini.

Mereka belum tuntas menyelesaikan satu jenis virus muncul lagi virus jenis baru. Akibatnya, anggara negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infra struktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tersedot oleh penanggulangan Covid-19 ini.

Apa, siapa, dan untuk apa sebenarnya makhluk Covid-19 ini? Apakah Covid-19 azab atau musibah? Pertanyaan ini tidak cukup dijawab oleh hanya satu disiplin ilmu. Apalagi jika ditambahkan pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa, serta siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi berbagai dampak Covid-19 ini? 

Dalam perspektif Al-Qur’an dikenal dua istilah, yaitu azab dan musibah. Azab  ialah siksaan yang ditimpakan kepada para pendosa dan pendurhaka yang melampaui batas dan biasanya ditimpakan kepada kaum kafir dan tidak ditimpakan kepada hamba Tuhan yang beriman, seperti seperti banjir besar yang menenggelamkan umat nabi Nuh, pandemi yang  membinasakan umat Nabi Saleh,  gempa dahsyat yang menelan umat Nabi Luth, serangan burung Ababil yang membawa virus membinasakan pasukan Abrahah. Kesemua bencana tersebut hanya menimpa orang-orang kafir yang durhaka dan tidak menimpa orang-orang yang beriman, sungguhpun orang-orang beriman itu berada di tengah-tengah mereka.

Sedangkan musibah ialah ujian yang ditimpakan kepada hamba Tuhan, baik yang beriman atau kafir, orang saleh maupun para pendosa, seperti dinyatakan dalam ayat: Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah mengampuni sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. al-Syura/42: 30). Demikian pula dalam ayat: (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. al-Mulk/67:2).

Bagi umat Islam, khususnya kita dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, meyakini virus Corona Covid-19 bukan azab melainkan musibah, dengan dasar dalil ‘aqli dan naqli. Dalil ‘aqli-nya yang terinveksi virus ini bukan hanya orang-orang kafir dan atau pendosa tetapi juga orang-orang beriman dan shaleh.

Siapapun yang lengah dan tidak mengindahkan protokol kesehatan berpotensi terinveksi. Dalil naqli-nya antara lain hadis Nabi yang menyatakan tiga doa yang diajukan Nabi Muhammad Saw untuk umatnya, pertama, agar umatnya tidak ditima azab seperti yang pernah ditimpakan pada umat-umat terdahulu; kedua, agar agama Islam terus berkembang hingga akhir zaman; dan ketiga,  agar umatnya tidak berkonflik satu sama lain. Allah Swt mengabulkan doa-doa tersebut kecuali yang terakhir (HR. Muslim & Turmudzi). Dari kenyataan tersebut maka dapat ditegaskan bahwa pandemi Covid-19 adalah musibah, bukan azab. 

Fungsi azab dan musibah berbeda. Azab sebuah siksaan yang lebih tegas untuk menyiksa orang-orang kafir dan melampaui batas. Azab itu merupakan siksaan prolog di dunia dan akan berlanjut di akhirat. Sedangkan fungsi musibah, sebagaimana disebutkan dalam hadis ialah sebagai pembelajaran dan pencucian dosa masa lampau.

Azab selalu berkonotasi negatif sedangkan musibah tidak selamanya berkonotasi negatif. Bahkan musibah bisa bermakna “surat cinta” (Devine invitation) Tuhan untuk hamba-Nya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis: 

“Tidaklah seorang muslim ditimpakan kelelahan, penyakit kronis, nerveous, kesedihan mendalam, marabahaya, kesusahan hingga stres yang mencemaskannya melainkan semuanya itu berfungsi sebagai pengampunan dosa”. (HR. al-Bukhari, al-Turmudzi dan Ahmad).

Dalam hadis lain juga ditegaskan: “Jika Allah berkehendak positif terhadap hamba-Nya, maka Dia akan mendahulukan siksaan terhadapnya di dunia. Dan jika Allah berkehendak negatif kepada hamba-Nya maka siksaan akibat dosa-dosanya ditunda sampai ke hari akhirat”. (HR. Turmudzi dari Anas)

Tentu kita berharap semoga musibah pandemi Covid-19 yang menimpa umat manusia saat ini mempunyai banyak hikmah yang penting untuk dijadikan sebagai proses pembelajaran (lesson learning) untuk menatap dan menjalani masa depan. Yang paling  penting semoga Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa sesegera mungkin mengangkat virus ini dan membantu kita semua untuk menyelesaikan berbagai dampak  yang ditimbulkannya di dalam masyarakat. 

Sudah tidak bijaksana lagi kita menuding seseorang, instansi, masyarakat, atau negara tertentu terhadap merebaknya virus mematikan ini. Yang diperlukan saat ini ialah kebersamaan dan  kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan bahwa semua pihak mempunyai andil terhadap munculnya bencana masif ini.

Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

KHAZANAH REPUBLIKA