Berhati-hatilah, Pemberian dari Allah Bisa Jadi Istidraj

Orang yang melakukan maksiat harus hati-hati.

Di dunia ini mungkin sering dijumpai orang-orang yang gemar melakukan maksiat dan perbuatan dosa, tapi mereka selalu hidup dalam kesenangan. Orang-orang semacam itu harus hati-hati karena bisa jadi kesenangannya itu membuat mereka semakin melupakan Allah SWT.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam mengingatkan orang-orang yang selalu mendapat karunia atau pemberian dari Allah SWT, sementara mereka selalu berbuat maksiat. Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, orang-orang itu harus hati-hati terhadap istidraj.

“Seharusnya kamu merasa takut jika kamu selalu mendapat karunia dari Allah, tapi kamu tetap melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya. Sebab bisa jadi karunia itu istidraj bagi kamu (yang lambat laun akan menghancurkan kamu).” (Syekh Ibnu Atha’illah, Al-Hikam)

Terjemah Al-Hikam karya Ustadz Bahreisy menjelaskan arti istidraj. Istidraj, yaitu mengulur waktu dan memberi terus-menerus agar bertambah lupa, kemudian dibinasakan. Istidraj juga dapat berarti memperdaya.

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS Al-An’am: 44)

Ayat tersebut mencontohkan istidraj. Setiap berbuat dosa, ditambah dengan pemberian kesenangan, supaya mereka lupa untuk memohon ampun kepada Allah SWT.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mendahulukan Kaki Kanan Saat Masuk Masjid

Masjid adalah tempat yang sangat mulia. Sebab Allah menurunkan rahmat, ampunan, dan pahala yang begitu banyak bagi orang-orang yang sholat di masjid, berzikir, dan  beriktikaf di masjid. Karena itu dalam memasuki masjid pun terdapat adab yang sudah seharusnya dijalankan oleh seorang Muslim. 

Salah satu adab ketika memasuki masjid adalah mendahulukan kaki kanan ketika memasuki masjid dan mengakhirkan kaki kiri. Ini sebagaimana keterangan Rasulullah SAW yang dapat ditemukan dalam kitab Wasiyatul Mustofa yakni kitab berisi wasiat-wasiat Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib yang disusun oleh Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syaran. 

يَا عَلِيُّ، إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ فَابْدَأْ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى وَاطْلَعْ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى

Wahai Ali, ketika engkau masuk ke masjid maka dahulukanlah kaki kananmu, dan keluarlah engkau dari masjid dengan mendahulukan kaki kirimu. 

Pada saat hendak masuk masjid jangan lupa untuk membaca doa masuk masjid:

اَللّٰهُمَّ افْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-MU Sedang pada saat keluar masjid membaca:

اَللّٰهُمَّ اِنِّى اَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-Mu

IHRAM

Tingkatkan Ikhtiar dan Doa Tahun di 1443 H

Sekjen MUI Buya Amirsyah Tambunan mengingatkan umat dalam menyambut Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah untuk terus berikhtiar dan berdoa serta bertawal. 

“Pergantian tahun ini adalah anugerah dari Allah yang maha kuasa dan perlu disambut dengan semangat baru, tekad baru dan bekerja keras terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19,” ujar dia dalam webinar Tausyiah Tahun Baru Islam, Selasa (10/8).

Diketahui bersama bahwa tahun baru ini masih dalam keadaan pandemi Covid-19. Sehingga banyak tantangan yang harus dihadapi oleh semua pihak. 

Sebagai umat Islam, tentu dalam menghadapi ujian ini penting untuk selalu berdoa, berikhtiar dan bertawakal. Agar pandemi segala berakhir tiga hal tersebut diharapkan dapat terus menerus ditingkatkan.

 “Saya mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah kepada seluruh umat Islam,”ujar dia. 

Tahun baru hijriyah ditetapkan sesuai dengan tahun pertama Rasulullah hijrah. Namun Allah telah menetapkan perputaran satu tahunnya dalam Alquran Surah At taubah ayat 36, 

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.

IHRAM

Tidak Membersihkan Diri dari Air Kencing

Islam adalah agama pertengahan

Islam merupakan agama pertengahan di antara ajaran agama Nasrani dan Yahudi, termasuk dalam masalah menjaga kebersihan. Di kutub yang satu, ajaran agama Nasrani adalah ajaran yang kurang mempedulikan masalah kebersihan. Di kutub yang lain, ajaran agama Yahudi merupakan ajaran yang sangat berlebih-lebihan dalam masalah kebersihan.

Salah satu contoh yang sering diberikan oleh para ulama berkaitan dengan masalah ini adalah masalah boleh tidaknya jima’ (berhubungan badan) dengan perempuan (istri) yang sedang mengalami haid. Ajaran Nasrani memperbolehkan seorang suami berjima’ dengan istri, meskipun sang istri sedang berada dalam periode haid. Di sisi lain, ajaran Yahudi sangat berlebih-lebihan dalam masalah ini karena mereka mengajarkan untuk menjauhi wanita yang sedang haid. Sampai-sampai seorang suami tidak boleh makan bersama dengan istrinya yang sedang haid. Mereka juga tidak mau berada pada satu rumah dengan istri yang sedang haid, tetapi harus dipisahkan di rumah atau bangunan tersendiri.

Islam merupakan ajaran yang pertengahan dalam masalah ini. Darah haid memang darah kotor (najis), sehingga seorang suami harus menjauhi tempat keluarnya darah haid sang istri. Sehingga Islam melarang seorang suami menyetubuhi istri ketika sedang haid. Akan tetapi, suami tidak perlu pisah rumah dengan istri selama haid, atau tidak boleh makan bersama dengan istri, atau sikap-sikap ekstrim lainnya.

Dosa yang dianggap remeh, tidak mau membersihkan diri dari air kencing

Islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga kebersihan. Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan bersihkanlah diri kalian” (QS. Al Muddatstsir [74]: 4).

Salah satu makna “membersihkan diri” dalam ayat di atas adalah membersihkan diri dari najis dan kotoran. Di antara najis atau kotoran yang harus (wajib) dibersihkan adalah air kencing. Tidak membersihkan diri dari air kencing termasuk salah satu dosa yang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin, padahal hal itu termasuk dosa besar.

Diriwayatkan dari ’Abdulah bin ’Abbas Radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam berjalan-jalan di salah satu tembok di kota Madinah. Beliau Shallallahu ’alaihi wasallam mendengar suara dua orang manusia yang yang sedang diazab di dalam kuburnya. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,

إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa. Dan keduanya disiksa bukan karena perkara yang berat. Orang pada makam pertama disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencing. Orang kedua disiksa karena dirinya berjalan kesana kemari menebarkan namimah (adu domba)” (HR. Bukhari no. 216, Muslim no. 292, dan Abu Dawud no. 20).

”Tidak membersihkan dirinya dari air kencing” misalnya, ketika seseorang buang air kecil, ada sebagian air kencing yang mengenai pakaian atau badan, namun tidak dibersihkan.

Adapun kalimat ”bukan karena perkara yang berat” dalam hadis di atas memiliki dua makna.

Pertama, bukan perkara yang berat ditinggalkan. Artinya, membersihkan diri dari air kencing adalah perkara yang mudah, dan tidak sulit untuk dilakukan.

Kedua, bukan perkara yang berat menurut anggapan mereka. Artinya, mereka menganggap remeh dosa tersebut. Padahal, perkara tersebut sebetulnya adalah perkara yang berat dan besar di sisi Allah Ta’ala dan merupakan sebab seseorang diazab di dalam kubur.

Terdapat dua lafaz pada berbagai hads dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan kedua penghuni kubur yang sedang disiksa tersebut. Yaitu lafaz la yastan zihu”,  yang bermakna tidak membersihkan diri dari air kencing; dan lafaz la yastatiru”, yang bermakna tidak menutupi dirinya ketika buang air kecil.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

تنزهوا من البول، فإن عامة عذاب القبر منه

“Bersihkanlah diri kalian dari air kencing karena mayoritas azab kubur disebabkan oleh (permasalahan) air kencing” (HR. Daruquthni dalam at-Targhib wa at-Tarhiib, 1: 139) [1].

Demikian, semoga bermanfaat.

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67964-tidak-membersihkan-diri-dari-air-kencing.html

Menyantuni Anak Yatim pada 10 Muharram, ini Penjelasannya

Sebagian umat Islam di Indonesia ada yang menggelar tradisi dengan menyantuni anak yatim pada 10 Muharram (Hari Asyuro).

Namun apakah ada dalil sahih terkait penyelenggaraan ini, dan seperti apa hukumnya?

Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Assoc Prof H Wawan Gunawan Abdul Wahid Lc MAg, mengungkapkan dia tidak pernah menemukan hadits terkait menyantuni anak yatim pada 10 Muharram.

“(Apabila) merujuk hadits nabi itu ada peristiwa perayaan orang-orang Yahudi di Madinah itu tanda kemenangan Yahudi, Musa diselamatkan dari pengejaran Firaun. (Sementara) Nabi mengatakan ‘Kita merayakan berbeda dengan mereka pada 9-10 berpuasa’,” kata Wawan pada Rabu (11/8).

Abu Musa Radhiyallahu anhu berkata: “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” (HR Bukhari). 

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:  “Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya”.

“Santunan di bulan apa pun bagus saja, kenapa dikhususkan 10 Muharram. Mengapa tidak dikhususkan menjelang Idul Fitri supaya orang-orang miskin bisa berlebaran juga, kenapa tidak 10 Dzulhijjah supaya orang-orang miskin bisa merayakannya juga. Semua itu dirujukkan kepada dalil. Saya belum menemukannya, wallahu a’lam, ” ucap Wawan.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU Mahbub Maafi mengatakan, menyantuni anak yatim pada 10 Muharram merupakan hal yang baik. Terlebih lagi pahala yang didapatkan pada bulan Muharram dua kali lipat dibandingkan waktu yang lain. 

“Memang ada hadits tapi statusnya dhaif, tapi maknanya baik menurut saya. Tradisi menurut saya baik pada asyuro baik momentumnya memiliki kepedulian kepada anak yatim, tapi memberi bisa kapan saja,” ucap Mahbub 

Adapun sebuah hadits yang menjadi sandaran menyantuni anak yatim pada 10 Muharram yakni ‘Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat’. Namun hadits ini statusnya palsu.

“Yang jelas perlu perhatian kepada anak yatim, dan bukan asyuro saja, bulan-bulan lain gak ada masalah. Namun pada asyuro ini mengingatkan kita yang selama ini tidak memikirkan anak yatim. Jadi Muharram momentum saja, momentum mengingatkan orang-orang agar peduli. Tetapi ini bukan gak bisa dilakukan, ini sesuatu yang baik apa yang salah dari menyantuni,” kata Mahbub. 

Allah Ta’ala berfirman, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah ayat tiga).

IHRAM

Iblis Paling Berilmu Sejagat, Dihinakan karena Takabur

Iblis merupakan mahluk Allah SWT dari golongan malaikat yang tinggi ilmunya. Namun, Iblis sombong akhirnya Allah SWT hina dia dan akan menjadi penghuni neraka bersama sekutunya.

Iblis bagian dari golongan malaikat itu diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Berdasarkan pendapat Muhammad ibnu Ishaq bahwa ia meriwayatkan dari Khallad ibnu Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan.

“Sebelum melakukan kedurhakaan, pada mulanya iblis itu termasuk golongan malaikat, dikenal dengan nama ‘Azazil. Ia termasuk penduduk bumi, juga sebagai golongan malaikat yang sangat kuat ijtihadnya dan paling banyak ilmunya. Karena itulah hal tersebut mendorongnya bersikap takabur,” tulis Ibnu Katsir.

Iblis berasal dari suatu kabilah yang dikenal dengan nama makhluk jin. Di dalam riwayat dari Khallad, dari Ata, dari Tawus atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas atau lainnya disebutkan riwayat yang semisal.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, dan telah menyampaikan cerita yang sampai kepada Ibnu Abbas, bahwa pada mulanya iblis bernama Azazil, termasuk golongan malaikat yang terhormat dan memiliki empat buah sayap, kemudian menjadi iblis sesudah peristiwa tersebut.”

Sunaid meriwayatkan dari Hajyaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, “Pada awalnya iblis termasuk malaikat yang terhormat dan paling disegani kabilahnya, dia ditugaskan sebagai penjaga surga dan mempunyai kekuasaan di langit dunia, juga mempunyai kekuasaan di bumi,” katanya.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan lain-lain-nya, dari Ibnu Abbas. Saleh Maula Tau-amah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya di antara para malaikat terdapat suatu kabilah (golongan) yang dikenal dengan nama jin. sedangkan iblis termasuk dari kalangan mereka.

“Iblis menguasai kawasan antara langit dan bumi, lalu ia durhaka kepada Allah, maka Allah mengutuknya menjadi setan yang laknat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir,” 

Qatadah mengatakan dari Sa’id ibnul Musayyab bahwa iblis itu pada mulanya adalah pemimpin para malaikat langit dunia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kaidah Rezeki: Jika Satu Pintu Rezeki Ditutup, Harus Yakin Masih Ada Pintu yang Lain

Kaidah rezeki berikut sangat manfaat sekali. Jika kita memahaminya dengan baik, kita akan jadi orang yang optimis, semangat kerja, cepat move on dalam hal rezeki.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang. Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu.

Renungkanlah keadaan janin, makanan datang kepadanya, berupa darah dari SATU JALAN, yaitu pusar.

Lalu ketika dia keluar dari perut ibunya dan terputus jalan rezeki itu, Allah membuka untuknya DUA JALAN REZEKI yang lain (yakni dua puting susu ibunya), dan Allah mengalirkan untuknya di dua jalan itu; rezeki yang lebih baik dan lebih lezat dari rezeki yang pertama. Itulah rezeki susu murni lagi lezat.

Lalu ketika masa menyusui habis, dan terputus dua jalan rezeki itu dengan sapihan, Allah membuka EMPAT JALAN REZEKI lain yang lebih sempurna dari yang sebelumnya; yaitu dua makanan dan dua minuman. Dua makanan yaitu dari hewan dan tumbuhan. Dan dua minuman yaitu dari air dan susu serta segala manfaat dan kelezatan yang ditambahkan kepadanya.

Lalu ketika dia meninggal dunia, terputuslah empat jalan rezeki ini, Namun Allah –Ta’ala– membuka baginya -jika dia hamba yang beruntung- DELAPAN JALAN REZEKI, itulah pintu-pintu surga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk surga dari mana saja yang ia kehendaki.

Dan begitulah Allah Ta’ala, Dia tidak menghalangi hamba-Nya untuk mendapatkan sesuatu, kecuali Dia berikan sesuatu yang lebih afdhal dan lebih bermanfaat baginya. Dan itu tidak diberikan kepada selain orang mukmin, karenanya Dia menghalanginya dari bagian yang rendahan dan murah, dan Dia tidak rela hal tersebut untuknya, untuk memberinya bagian yang mulia dan berharga.” (Al-Fawaid, hlm. 94)

Intinya, kalau satu pintu rezeki ditutup, akan dibuka pintu rezeki yang lain. Karena rezeki itu sudah dijamin oleh Allah.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan sahih oleh Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).

Dalam hadits disebutkan bahwa kita diperintah untuk mencari rezeki dengan cara yang baik atau diperintahkan untuk “ajmilu fit tholab”. Apa maksudnya?

  1. Janganlah berputus asa ketika belum mendapatkan rezeki yang halal sehingga menempuh cara dengan maksiat pada Allah. Jangan sampai kita berucap, “Rezeki yang halal, mengapa sulit sekali untuk datang?”
  2. Jangan sampai engkau mencelakakan dirimu untuk sekedar meraih rezeki.

Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan rezeki pada kita semua.

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/29071-kaidah-rezeki-jika-satu-pintu-rezeki-ditutup-harus-yakin-masih-ada-pintu-yang-lain.html

Doa Sahih Awal Bulan dan Awal Tahun Hijriyah

Ada dua doa berikut bisa diamalkan pada awal bulan atau awal tahun hijriyah.

Doa Pertama:

Dari ‘Abdullah bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ أَصحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَتَعَلَّمُونَ هَذَا الدُّعَاءَ كَمَا يَتَعَلَّمُونَ القُرآنَ إِذَا دَخَلَ الشَّهرُ أَو السَّنَةُ:

“Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa sebagaimana mengajarkan Al-Qur’an di mana doa ini dibaca saat memasuki awal bulan atau tahun:

اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيْمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالإِسْلَامِ، وَجِوَارٍ مِنَ الشَّيطَانِ، وَرِضوَانٍ مِنَ الرَّحمَنِ

ALLOHUMMA AD-KHILHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI WAS SALAAMATI WAL ISLAAM, WA JIWAARIM MINASY-SYAITHOONI, WA RIDHWANIM MINAR ROHMAANI

Artinya: Ya Allah, masukkanlah kami pada bulan ini dengan rasa aman, keimanan, keselamatan, dan Islam, juga lindungilah kami dari gangguan setan, dan agar kami mendapat rida Allah (Ar-Rahman). (HR. Al-Baghawi dalam Mu’jam Ash-Shahabah, sanadnya sahih. Imam Ibnu Hajar mensahihkan hadits ini dalam Al-Ishabah, 6:407-408. Hadits ini mawquf termasuk perkataan sahabat sesuai syarat kitab shahih).

Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, “Doa ini ada riwayatnya. Seorang muslim sangat bagus sekali mengamalkan doa ini ketika masuk awal bulan (terlihat hilal).” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 322345)

Doa Kedua:

Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat hilal, beliau mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ رَبِّى وَرَبُّكَ اللَّهُ

ALLOHUMMA AHLILHU ‘ALAYNA BILYUMNI WAL IIMAANI WAS SALAAMATI WAL ISLAAMI. ROBBII WA ROBBUKALLAH

Artinya: Ya Allah, tampakkanlah bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah. (HR. Ahmad, 1:162 dan Tirmidzi, no. 3451, dan Ad-Darimi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Silakan diamalkan. Semoga jadi amal bagi penulis dan pembaca sekalian.

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/29178-doa-sahih-awal-bulan-dan-awal-tahun-hijriyah.html

Alquran Buktikan Kuasa Allah SWT Bangkitkan Orang Mati

Kekuasaan Allah SWT tidak ada batasnya dan tidak ada bandingannya. 

Dalam Alquran diceritakan bahwa ada seseorang yang telah mati selama 100 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah SWT.

اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”

Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama 100 tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.”

Allah berfirman, “Tidak, Engkau telah tinggal 100 tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”

Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah 259). 

Tafsir Kementerian Agama menjelaskan, dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan lain, yang juga bertujuan untuk membuktikan kekuasaan-Nya. 

Akan tetapi tokoh yang dikemukakan dalam perumpamaan ini bukanlah seorang yang ingkar dan tidak percaya kepada kekuasaan-Nya, melainkan seorang yang pada mulanya masih ragu tentang kekuasaan Allah, tetapi setelah melihat berbagai bukti yang nyata maka dia beriman dengan sepenuh hatinya dan mengakui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. 

Diceritakan, orang itu pada suatu ketika berjalan melalui suatu desa yang sudah berupa puing-puing. Bangunannya sudah roboh, sehingga atap-atap yang jatuh ke tanah sudah tertimbun oleh reruntuhan dindingnya.

Karena masih meragukan kekuasaan Allah, maka ketika dia menyaksikan puing-puing tersebut dia berkata, “Mungkinkah Allah menghidupkan kembali desa yang telah roboh ini, dan mengembalikannya kepada keadaan semula?”

Keraguannya tentang kekuasaan Allah untuk dapat mengembalikan desa itu kepada keadaan semula, dapat kita terapkan kepada sesuatu yang lebih besar dari itu. 

Yakni, “Kuasakah Allah untuk menghidupkan makhluk-Nya kembali pada Hari Kebangkitan, setelah mereka semua musnah pada hari kiamat?” 

Oleh karena orang tersebut bukan orang kafir, melainkan orang yang masih berada dalam tingkat keragu-raguan tentang kekuasaan Allah, dan dia memerlukan bukti dan keterangan. Maka Allah berbuat sesuatu yang akan memberikan keterangan dan bukti tersebut kepadanya.

Setelah orang yang ragu itu menemukan desa yang sunyi sepi dan bangunan-bangunannya sudah menjadi puing, dia masih menemukan pohon-pohon yang sedang berbuah. 

Lalu dia berhenti di suatu tempat, dan setelah menambatkan keledainya maka dia mengambil buah-buahan dan dimakannya.

Sesudah makan, dia tertidur. 

Pada saat itu Allah SWT mematikannya, yaitu dengan mengeluarkan ruhnya dari jasadnya. 100 tahun kemudian Allah SWT menghidupkan-Nya kembali, dengan mengembalikannya seperti keadaan semula, dan mengembalikan ruhnya ke tubuhnya. 

Proses menghidupkan kembali ini berlangsung dengan cepat dan mudah, tanpa melalui masa kanak-kanak dan sebagainya. Sisa makanan yang ditinggalkannya sebelum dia dimatikan, ternyata masih utuh dan tidak rusak, sedang keledainya sudah mati, tinggal tulang-belulang.

Setelah dia dihidupkan seperti semula, maka Allah mengajukan suatu pertanyaan kepadanya, “Sudah berapa lamakah kamu berada di tempat itu?” Allah SWT mengajukan pertanyaan itu untuk menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk hal ihwal dirinya sendiri. Hal ini ternyata benar. Orang itu menyangka bahwa dia berada di tempat itu baru sebentar saja, yaitu sehari atau setengah hari.

Sebab itu dia menjawab, “Aku berada di tempat ini baru sehari atau setengah hari saja”. Lalu Allah menerangkan kepadanya bahwa dia telah berada di tempat itu 100 tahun lamanya. Kemudian Allah menyuruhnya untuk memperhatikan sisa-sisa makanan dan minuman yang ditinggalkannya seratus tahun yang lalu, yang masih utuh dan tidak rusak. Ini membuktikan kekuasaan Allah, sebab biasanya makanan menjadi rusak setelah dua atau tiga hari saja. Allah juga menyuruhnya untuk memperhatikan keledainya yang telah menjadi tulang-belulang di tempat itu.

Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menyusun tulang-tulang itu menjadi seperti semula. Sesudah itu diberi-Nya daging dan kulit serta alat tubuh lainnya, serta ditiupkan-Nya ruh ke tubuh keledai itu sehingga ia hidup kembali.

Setelah melihat berbagai kenyataan itu semua, maka orang tersebut menyatakan imannya dengan ucapan, “Sekarang aku yakin benar bahwa Allah Mahaluasa atas segala sesuatu, termasuk menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati.” Berdasarkan keyakinan itu hilanglah keragu-raguannya tentang hari kebangkitan. Dalam ayat ini Allah SWT tidak menjelaskan nama orang tersebut serta nama negeri yang dilaluinya. Yang penting dalam ayat ini adalah pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa itu.  

IHRAM

Husnudzon dan Hikmah Berbaik Sangka

Husnudzon atau lebih dipahami dengan arti berbaik sangka adalah amalan yang sudah mendarah daging dalam diri seorang muslim. Ketika kita mulai berpikir negatif, kita akan segera meminta maaf dan mengingatkan diri sendiri agar selalu husnudzon.

Lawan su’udzon adalah husnudzon. Para ahli psikologi mendefinisikan prasangka (su’udzon) sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok atau  anggota kelompok tertentu tanpa dasar alas an yang benar.

Namun, apa sebenarnya makna husnudzon dan sejauh mana kita didorong untuk tetap berbaik sangka?

Husnudzon dikutip dari ungkapan Husn al-Dhan Billah (berpandangan positif pada Allah SWT) merupakan kelanjutan dari pilar dasar yang membentuk iman seorang Muslim.  Ketika kita mengalami bencana, kita harus selalu bercermin pada diri sendiri dan percaya bahwa ada hikmah di balik bencana tersebut. Itulah amalan husnudzon yang sangat dituntut dalam Islam.

Menurut Saidina Umar bin Al-Khattab r.a: “Janganlah kamu membuat suatu sangkaan tentang suatu perkataan yang keluar dari sesama mukmin kecuali kebaikan, selama kamu masih punya cara untuk meletakkannya di tempat yang baik.”

Jenis husnudzon

Husnudzon terbagi menjadi tiga, yaitu husnudzon kepada Allah SWT, husnudzon kepada diri sendiri dan husnudzon kepada orang lain. Husnudzon terhadap Allah SWT berarti bersikap baik kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa. Sebagai hamba, kita harus yakin dengan segala ketetapan-Nya.

Padahal, dalam setiap ujian yang diberikan, pasti ada hikmah di baliknya. Ingatlah bahwa Allah SWT tidak akan pernah menguji hambanya melebihi kemampuannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku,” (Muttafaqun ‘alaih).

Husnudzon terhadap diri sendiri berarti berprasangka baik terhadap diri sendiri.  Misalnya, mereka yang merasa husnudzon terhadap diri sendiri akan berusaha sebaik mungkin, tetap positif dan tidak mudah menyalahkan takdir ketika terjadi kecelakaan.

Ketiga, husnudzon terhadap orang lain berarti tidak mudah berprasangka buruk terhadap orang lain, apalagi jika mereka tidak berbuat jahat kepada kita.  Sikap ini dapat mencegah kita dari rasa iri satu sama lain.

Curiga tetap Penting!

Namun, kecurigaan buruk ini tidak berarti kita harus menuduh. Tapi, kita harus mengambil tindakan pencegahan agar tidak ditimpa musibah. Misalnya, jika kita melihat orang yang mencurigakan di halaman, sebaiknya kita curiga dan lebih berhati-hati sebelum nasi menjadi bubur.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

Artinya : Rasulullah ﷺ bersabda, “Jauhilah dari kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta pembicaraan. Janganlah kalian saling memata-matai, saling mencari aib orang lain, saling berlomba-lomba mencari kemewahan dunia, saling dengki, saling memusuhi, dan saling memutuskan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR: Bukhari)

Bagaimana dengan berprasangka buruk terhadap mereka yang melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama? Misalnya, kita berprasangka buruk terhadap mereka yang suka mencuri, penjahat atau khawatir keamanan diri kita?

Yang benar adalah, sebagai manusia, kita tidak boleh curiga terhadap sesuatu yang buruk sama sekali. Bahkan, ada kalanya kita dituntut untuk berprasangka buruk, apalagi jika menyangkut keselamatan diri.

Kejahatan perlu dicegah sedini mungkin. Jika memungkinkan, jangkau dan berikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan jika itu dapat mencegah kejahatan seperti itu terjadi.

Dampak Prasangka Buruk  

Terlalu larut berlebih pada prasangka buruk akan membuat kalian larut pada rasa cemas, gelisah dan hidup dalam suasana yang kurang tenang. Karena selalu memelihara emosi negatif dalam diri, hal ini akan membuat aura diri menjadi negatif dan berdampak kesehatan orang lain.

Misalnya, warga Muslim di Amerika Serikat (AS) –khususnya yang berkulit hitam– selalu menjadi korban diskriminasi, kekerasan akibat prasanka buruk. Prasangka rasial, menurut istilah psikologi, juga terjadi pada warga keturunan  Arab.

William Edward Burghardt Du Bois, pendukung gerakan Afrika Bersatu (Pan-Africa),seorang ahli sosiologi, ahli sejarah, penulis sekaligus editor berkebangsaan Amerika Serikat pernah meneliti kaum negro AS dan pengaruh psikologi dan kesehatan mereka akibat tindakan rasisme dari lingkungan sekitarnya.

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa diskriminasi akibat ras, menghasilkan kesehatan yang buruk. Misalnya peradangan dan tidur yang lebih buruk; bayi lahir lebih kecil dan tingkat kematian bayi lebih tinggi; risiko kanker, depresi, dan penggunaan zat yang lebih besar.

Anggota kelompok minoritas yang sering mengalami diskriminasi ras dan sikap prasangka buruk (su’udzon) mengakibatkan stres kronis, dan hasil kesehatan lebih buruk bagi orang lain. Misalnya, di tengah peningkatan tajam sentimen anti-Arab setelah serangan 11 September, wanita dengan nama Arab—tetapi bukan wanita nama lain—memiliki peningkatan risiko kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah.

Penelitian juga menemukan,  pasien kulit hitam memiliki peningkatan tekanan darah lebih besar daripada pasien kulit putih. Mereka yang mengalami lebih banyak diskriminasi memiliki kenaikan terbesar dari semuanya.

Karenanya Islam menganjurkan berperasangka berprasangka baik (husnudzon), bukan berburuk sangka. (su’udzon) . Al-Quran mengatakan;

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اجۡتَنِبُوۡا كَثِيۡرًا مِّنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعۡضَ الظَّنِّ اِثۡمٌ‌ۖ وَّلَا تَجَسَّسُوۡا وَلَا يَغۡتَبْ بَّعۡضُكُمۡ بَعۡضًا‌ ؕ اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمۡ اَنۡ يَّاۡكُلَ لَحۡمَ اَخِيۡهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوۡهُ‌ ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيۡمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Hujurat :12)

Sebisa mungkin, berbuat baiklah kepada semua orang karena itu adalah amalan yang terpuji dan bermanfaat bagi semua pihak.  Dan selalu berprasangka baik kepada pencipta kita.

Jika kita diberkahi dengan rezeki yang melimpah, jangan lupa untuk mensyukuri nikmat-Nya. Jika kita sedang ditimpa musibah, kita sabar. Kita harus husnudzon disertai keikhlasan dan mentaati segala aturan Allah SWT.*

HIDAYATULLAH