Inilah Bacaan Istighfar Sebelum Shalat Shubuh di Hari Jumat

Hari Jumat merupakan hari terbaik di antara hari-hari yang lain. Pada hari tersebut kita dianjurkan untuk beribadah kepada Allah dengan memperbanyak membaca al-Quran, shalawat kepada Nabi Saw, zikir, shalat Shubuh berjemaah dan membaca istighfar.

Khusus di hari Jumat, kita dianjurkan untuk membaca lafadz istighfar tertentu sebelum melaksanakan shalat Shubuh. Lafadz istighfar ini disunahkan untuk dibaca sebanyak tiga kali sebelum shalat Shubuh dilaksanakan. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

Astaghfirullahal ‘adzim allazi la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi.

“Aku memohon ampun kepada Allah, Zat yang tiada tuhan selain Dia yang maha hidup, lagi maha tegak. Aku bertobat kepada-Nya.”

Ini berdasarkan hadis Imam Ibnu Sunni dari Anas bin Malik dari Nabi Saw, beliau bersabda;

من قال صبيحة يوم الجمعة قبل صلاة الغداة : أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه ثلاث مرات غفر الله ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر

“Siapa saja yang berdoa di pagi hari Jumat sebelum shalat pagi dengan, ‘Astaghfirullahal ‘adzim allazi la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi,’ sebanyak tiga kali, maka Allah mengampuni dosanya meski sebanyak buih di lautan.’”

BINCANG SYARIAH

Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai (Teladan dari Abu Thalhah)

Sepertinya bersedekah dengan harta yang kita cintai itu amat berat. Karena sifat manusia itu sangat mencintai harta, enggan mengeluarkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَتُحِبُّونَ ٱلْمَالَ حُبًّا جَمًّا

Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20). Ibnu Katsir menafsirkan “jammaa” dengan katsiroon (banyak). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:563. Artinya, manusia itu sangat berlebihan dalam mencintai hartanya.

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَإِنَّهُۥ لِحُبِّ ٱلْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (QS. Al-‘Adiyat: 8). Ada dua makna yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah mengenai ayat ini:

  1. Manusia itu sangat cinta pada harta.
  2. Manusia sangat tamak dan bakhil (pelit) dengan harta sehingga mencintainya berlebihan. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:635.

Sehingga jika ada yang bisa mengeluarkan harta yang ia cintai untuk bersedekah, itu sangat luar biasa.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.”

Anas berkata, “Ketika turun ayat,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “BakhItulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara.

Pelajaran dari hadits

  • Keutamaan menafkahi dan memberi sedekah kepada kerabat, istri, anak, dan orang tua walau mereka musyrik. Sebagaimana Imam Nawawi membuat judul bab untuk hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim.
  • Kerabat harusnya lebih diperhatikan dalam silaturahim. Abu Thalhah akhirnya memberikan kebunnya kepada Ubay bin Ka’ab dan Hassan bin Tsabit.
  • Bersedekah kepada kerabat punya dua pahala yaitu pahala menjalin hubungan kerabat (silaturahim) dan pahala sedekah.

Bisakah kita bersedekah dengan harta yang kita cintai seperti Abu Thalhah?

Semoga Allah memberikan keberkahan untuk harta kita dan terus semangat bersedekah.

Referensi:

  • Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Catatan 4 Dzulqa’dah 1442 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul DIY

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28614-bersedekah-dengan-harta-yang-paling-dicintai.html

Ahmad Surkati Menentang Feodalisme di Kalangan Sayyid di Indonesia

Salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia yang berasal dari Sudan adalah Ahmad Surkati. Ia sampai ke Indonesia pada bulan Oktober tahun 1911. Pada waktu kedatangannya, ia bersama dua orang lainnya yakni Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah.

Menurut Deliar Noor, dalam buku Gerakan Modern Islam  di Indonesia 1900-1945, mereka bertiga didatangkan dari negara Arab untuk menjadi guru di Jami’at Khair. Pasalnya, ketika itu Jamiat Khair kekurangan pengajar, seiring berkembangnya sekolah tersebut.

Ia adalah termasuk tokoh yang memainkan peranan penting dalam penyebaran pelbagai pemikiran dalam lingkungan masyarakat Islam di Indonesia.  Pada sisi lain, Ahmad Surkati seorang yang terpengaruh dengan semangat puritan Muhammad ibn Abdul Wahhab, Salafisme Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Wajar saja, Ia pernah menempuh pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah.

Kehadiran ahmad berdampak pada pemurnian dan pembaruan Islam di Indonesia. Pemikiran Ahmad Surkati, mencoba mengenengahkan pandangan keagamaan yang benar, terutama terkait kafaah (sekufu atau sederajat). Ia mengggugat praktik kafaah yang saat itu menjadi pembeda bagi imigran Hadramaut yang masuk ke Indonesia.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1913 dalam salah satu pertemuan kalangan imigran Arab di Indonesia, Ahmad Surkati mengeluarkan fatwa menentang dan tak begitu setuju dengan penamaan sayyid dan bukan sayyid. Sebutan Sayyid diyakini sampai keturunannya sampai ke Rasulullah, sedangkan non sayyid, adalah imigran Hadramaut biasa (baca; belakangan disebut Habib dan non habib).

Menurut Ahmad Surkati, seluruh manusia sama derajatnya tanpa memandang latar belakang sosialnya. Dengan tegas ia mengungkapkan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta, ataupun pangkat.

Pada sisi lain, Ahmad Surkati juga berani mengkritik sejumlah tradisi yang umumnya dihormati di kalangan sayyid, seperti mencium tangan dan perkawinan antar sayyid berdasarkan ajaran kafaah (sederajat). Pasalnya, seorang wanita dari kalangan sayyidah, hanya boleh menikahi seorang sayyid. Tradisi inilah yang ia tentang secara tegas.

Fatwa Solo yang dikeluarkan oleh Ahmad Surkati, menurut Deliar Noor, telah menimbulkan dorongan dan keberanian bagi siapapun untuk menentang sikap feodalisme. Terutama bagi pemimpin agama Islam semisal Muhammadiyah, Persis, dan Jong Islamieten bond. Seakan surkati berdiri tegak di belakang mereka untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran kegamaan apabila diperlukan.

Lambat laun, Ahmad Surkati pun keluar dari Jami’at khoir. Ada pun penyebab keluarnya dari Jamiat Khoir disebabkan perbedaan pandangan. Untuk itu, pada tahun 1914, ia mendirikan al-Irsyad.  Pendirian al-Irsyad sebagai sarana yang diperlukan untuk pemurnian keyakinan dan peribadatan agama Islam. Dari sinilah kemudian, Surkati menyebarkan pembaharuan pemikiran Islam.

BINCANG SYARIAH

Euro 2020: Pogba Singkirkan Alkohol, Ronaldo Enyahkan Soda

Bintang sepakbola Prancis Paul Pogba yang dikenal sebagai Muslim pada putaran pertandingan Piala Euoro 2020 membuat heboh. Dia secara sengaja memindahkan minuman salah satu sponsor utama piala sepakbola antar negara eropa dari meja konprensi pers. Saat itu dia akan berbicara kepada wartawan usai timnya sukses mengalahkan Jerman.

Tak hanya mampu bermain apik ketika tim Prancis mengalahkan Jerman, Pogba terlihat jelas tak sudi ada minuman beralkohol berada di depannya ketika berbicara. Seperti bintang Portugal Christian Ronaldo yang menyingkirkan minuman bersoda Coca-Cola dari hadapannya saat jumpa pers, Poga pun bertindak yang sama. Tak beda dengan Ronaldo wajah Pogba terlihat tak suka pada minuman bir bermerek Heikenen itu.

Bahkan, Pogba pun kemudian menyindir dengan menyatakan bila dirinya berminat menjadi sponsor turnamen bergengsi sepakbola Eropa  tersebut. Langkah ini kembali membuktikan sikap Pogba yang anti minuman beralkohol dan diapun sudah lama mengatakan tak minum alkohol adalah keren dan bugar,

Paul Pogba sebagai seorang Muslim yang taat paham bahwa minuman ber alkohol adalah ‘haram’ atau dilarang. Sikap bintang Manchester United itu kemungkinan karena keengganannya untuk mendukung sponsor kompetisi.

Heineken adalah bir resmi Euro 2020. Namun bagi Pogba – yang diyakini transfernya bernilai lebih dari 100 juta dolar AS- adalah Muslim sehingga tidak mau minum alkohol. Paul Pogba, salah satu pesepakbola dengan bayaran tertinggi di dunia. Dan kini telah mengikuti Christiano Ronaldo dan melakukan protes secara halus pada ajang konferensi pers di Euro 2020. Kedua memprotes soal minuman yang menjadi sponsor piala tersebut.

Berbeda dengan kala jumpa pers Ronaldo, pada acara jumpa pers Pogba botol bir Heineken jelas sekali nangkring di depannya wajahnya. Selain itu perlu diketahui, Pogba bukanlah olahragawan Muslim pertama yang melakukan protes seperti itu. Sebelumnya ada pemain kriket Australia Fawad Ahmed yang mencopot logo minuman beralkohol dari seragamnya.

Selain itu, pemain kriket Inggris Moeen Ali dan Adil Rashid juga memilih menyingkir dari perayaan kemenangan dengan cara berpesta dengan meminum sampanye. Pemain hebat kriket lainnya yang menjadi bintang klub All Blacks Sonny, Bill Williams juga mengajukan hal yang hampir sama. Dia keberatan mempromosikan sebuah bank di jerseynya.

IHRAM

Alquran dan Sunnah Juga Mendorong Pentingnya Ijtihad

Ijtihad merupakan cara menggali kesimpulan hukum dalam Alquran dan sunnah

Dalam tulisan sebelumnya dijelaskan mengapa ijtihad dibutuhkan dalam menentukan syariat atau hukum dari suatu perkara. Padahal sudah ada Alquran dan sunnah sebagai pedoman. 

Ustadz Ahmad Sarwat Lc dalam buku berjudul “Sudah Ada Quran-Sunnah Mengapa Harus Ijtihad?” terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan bahwa Alquran dan sunnah ternyata memerintahkan manusia untuk melakukan ijtihad.  

“Jangan dikira tindakan berijtihad itu sekadar ulah orang-orang kurang kerjaan yang niatnya mau menambah-nambahi agama. Justru berijtihad itu adalah sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Alquran dan sunnah,” kata Ustadz Sarwat dalam bukunya.

Ustadz Sarwat menegaskan, kedua sumber hukum Islam itu tidak melarang berijtihad. Justru sebaliknya, keduanya memerintahkan orang-orang yang memang punya keahlian untuk berijtihad. 

Melakukan ijtihad adalah salah satu di antara sekian banyak perintah Allah dan Rasul-Nya kepada umat Islam, bukan semata-mata inisiatif dan keinginan hawa nafsu. Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar, logika dan akalnya dalam memahami perintah-perintah Allah SWT.

 إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Az Zumar 42)  

Ustadz Sarwat menerangkan, Rasulullah SAW adalah seorang utusan Allah SWT. Beliau secara umum memang menerima wahyu risalah dalam setiap kesempatan, sehingga menjadi rujukan dalam agama. 

“Namun kalau kita teliti detail-detail sirah nabawiyah, seringkali kita temui bahwa beliau terpaksa harus berijtihad, lantaran wahyu tidak turun tepat pada saat dibutuhkan,” jelas Ustadz Sarwat. 

لَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.” (QS Al Kahfi 23-24)

Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW menjanjikan untuk menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi besok hari. Namun jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Entah kemana Malaikat Jibril yang biasanya rajin datang membawa wahyu. Ayat ini menegaskan bahwa ada kalanya begitu dibutuhkan, wahyu menjadi tidak turun. 

Rasulullah SAW berijtihad dalam kasus perbedaan pendapat tentang menghentikan perang Badar atau meneruskannya hingga semua lawan mati. Rasulullah SAW menggelar syura dengan para shahabat, lantaran wahyu tidak kunjung turun. Rasulullah SAW meminta pandangan dari para shahabat, kemudian berijtihad untuk menghentikan perang dan menjadikan musuh sebagai tawanan. 

“Namun setelah itu ijtihad beliau (Nabi Muhammad SAW) dianulir oleh turunnya wahyu, yang melarang beliau (Nabi Muhammad SAW) menghentikan perang dan mengambil musuh sebagai tawanan,” kata Ustadz Sarwat. 

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka Bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS Al Anfal 67)

Ustadz Sarwat menerangkan, ketika Rasulullah SAW masih hidup, banyak di antara para shahabat yang melakukan ijtihad, baik atas perintah Nabi Muhammad SAW ataupun atas inisiatif sendiri yang kemudian dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Muadz bin Jabal RA ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, telah diperintahkan atau direkomendasikan untuk berijtihad.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Ini 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib yang Dijanjikan Istana di Surga

Ada 12 rakaat shalat sunnah rawatib yang hukumnya sunnah muakkadah. Keutamaannya luar biasa, menjadikan pelakunya mendapat istana di surga. Apa saja 12 rakaat shalat sunnah rawatib ini?

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu. Baik sebelum (qabliyah) shalat fardhu, maupun sesudah (ba’diyah) shalat fardhu.

Keutamaan 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib

Dua belas rakaat shalat sunnah rawatib memiliki keutamaan yang luar biasa. Yakni Allah membangunkan istana di surga bagi muslim yang mengamalkan 12 rakaat shalat sunnah ini. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

Tidaklah seorang muslim mengerjakan shalat sunnah 12 rakaat setiap hari, melainkan Allah membangunkan baginya sebuah istana di surga. (HR. Muslim)

Ketika Allah sudah membangunkan istana di surga, artinya Allah juga akan memasukkan hamba-Nya itu ke dalam surga. Penegasan makna ini kita dapati dalam hadits riwayat An Nasa’i.

فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa menjaga 12 rakaat sehari semalam, niscaya dia masuk surga… (HR. An-Nasa’i; shahih lighairihi)

Baca juga: Niat Sholat Tahajud

Apa Saja 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib?

Kita tahu ada banyak shalat sunnah rawatib. Mengiringi shalat fardhu lima waktu, baik sebelum (qabliyah) maupun sesudah (ba’diyah) shalat fardhu tersebut. Kecuali dua waktu yang dilarang shalat yakni sesudah Subuh dan sesudah Ashar.

Jadi, shalat rawatib itu ada: 2 rakaat qabliyah Subuh, 4 rakaat qabliyah Zhuhur, 4 rakaat ba’diyah Zhuhur, 4 rakaat qabliyah Ashar, 2 rakaat qabliyah Maghrib, 2 rakaat ba’diyah Maghrib, 2 rakaat qabliyah Isya’, dan 2 rakaat ba’diyah Isya’. Mana saja yang termasuk 12 rakaat shalat sunnah rawatib yang keutamaannya istana surga?

Berikut ini sebagian hadits shahih yang menerangkannya:

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. Bukhari)

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa menjaga 12 rakaat shalat sunnah rawatib, niscaya dia membangunkan istana di surga. (Yaitu) empat rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. Tirmidzi; shahih)

مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa menjaga 12 rakaat sehari semalam, niscaya dia masuk surga. (Yaitu) empat rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. An-Nasa’i; shahih lighairihi)

Jadi, 12 rakaat shalat sunnah rawatib itu adalah:

  • 4 rakaat sebelum Zhuhur
  • 2 rakaat sesudah Zhuhur
  • 2 rakaat sesudah Maghrib
  • 2 rakaat sesudah Isya’
  • 2 rakaat sebelum Subuh

Dua belas rakaat ini hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Sedangkan sisanya, hukumnya adalah sunnah ghairu muakkadah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa 12 rakaat shalat sunnah yang dijanjikan istana di surga itu bukan hanya terbatas shalat sunnah rawatib. Misalnya Syaikh Mustofa Said Al-Khin, Syaikh Mustofa Al-Bugho, Syaikh Muhyidin Mistu, Syaik Ali Asy-Syirbaji, dan Syaikh Muhammad Amin Luthfi.

“Kita diperintahkan mengerjakan shalat sunnah setiap hari secara rutin 12 rakaat,” kata mereka dalam Nuzhatul Muttaqin. “Hadits ini (riwayat Imam Muslim di atas) berbicara secara umum. Jadi semua jenis shalat sunnah masuk dalam kategori ini, termasuk Sholat Dhuha.”

Selain lima ulama tersebut, juga ada ulama lain yang berpendapat demikian. Yang penting shalat sunnah 12 rakaat sehari semalam, insya Allah mendapat istana di surga sebagaimana hadits di atas. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah 12 rakaat shalat sunnah rawatib sebagaimana hadits shahih lain yang menjelaskannya sebagaimana di atas. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Bacaan Shalawat Agar Dipermudah Ziarah ke Makam Rasulullah

Dalam kitab Jawahir Al-Shalawat, Habib Husain bin Muhdlor Thohir Al-Hinduwan menyebutkan salah satu bentuk shalawat yang disebut dengan shalawat ziarah. Menurut Habib Husain bin Muhdlor Thohir Al-Hinduwan, shalawat ini disebut dengan shalawat ziarah, karena barang siapa memperbanyak membaca shalawat ini, maka Allah akan memberikan rezeki yang banyak dan berkah sehingga dia bisa menunaikan rukun Islam yang ke-5, yaitu pergi Haji. Selain itu, akan dipermudah bisa ziarah ke makam Rasulullah dan ziarah kubur Sayyidina Abu Bakar.

Adapun lafadz shalawat ziarah dimaksud adalah sebagai berikut;

اَللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ عَدَدَ الرَّمْلِ الرَّقِيْقِ صَلاَةً تَرْزُقُناَ بِهاَ مِنْ اَهْلِ التَّوْفِيْقِ وَتُبَلِّغُناَ بِهاَ الْحُضُوْرَ اِلىَ البَيْتِ الْعَتِيْقِ، وَزِياَرَةَ قَبْرِ نَبِيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم وَقبر سيدنا اَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ وَعَلىَ آَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Allohumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammadin ‘adadar romlir roqiiqi sholaatan tarzuqunaa bihaa min ahlit tawfiiqi wa tuballighunaa bihaa al-hudhuuro ilal baitil ‘atiiqi wa ziyaarota qobri nabiyyinaa muhammadin shollallaahu ‘alaihi wa sallama wa qobri sayyidinaa abii bakrinis shiddiq, wa ‘alaa aalihii wa shohbihii wa sallim.

Artinya:

Ya Allah, curahkan rahmat atas junjungan kami, Nabi Muhammad, sebanyak butiran pasir yang halus, dengan rahmat itu, Engkau anugrahi kami termasuk orang yang mendapat taufik (kekuatan melakukan kebaikan), dan Engkau sampaikan kami hadir di Rumah Tua (Ka’bah), dan dapat ziarah ke makam Rasulullah Saw dan makam Sayidina Abu Bakar Al-Shiddiq. Juga atas keluarganya dan para sahabatnya, curahkan juga salam.

BINCANG SYARIAH

Hakikat Kepemilikan

Daun hijau akan mengering gugur terbawa angin, meninggalkan rantingnya. Bunga dan buahnya pun terkadang jatuh sebelum masaknya. Sinar yang datang di pagi hari terus berjalan hingga akhirnya hilang berganti malam. Adakalanya kekecewaan itu datang saat apa yang kita genggam terlepas, apa yang kita cintai diambil orang, dan apa yang biasa membersamai akhirnya pun pergi.

Arti sebuah “memiliki”

Manusia hidup dengan berbagai  kenikmatan di sisinya. Ingin beristirahat ada rumah yang nyaman, ingin bepergian ada motor atau mobil, ingin mencari informasi ada jaringan internet, saat kesepian ada istri dan anak yang menyejukkan mata, saat bosan di rumah ada teman yang mau diajak melepas penat, saat terjatuh ada ibu dan ayah yang memberi semangat dan solusi. Berbagai kenikmatan yang dimiliki selama ini. Tapi ternyata tidak selamanya mereka ada, padahal mereka adalah “milik” kita. Lantas mengapa sesuatu yang kita miliki tak selamanya ada untuk kita?

Jawabannya adalah karena sebenarnya mereka bukan milik kita, semuanya milik Allah ta’ala.

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِه

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Syekh As-Sa’di rahimahullaah menegaskan bahwa Allah ta’ala lah satu-satunya Zat yang Maha memiliki, adapun selain Allah ta’ala pada hakikatnya adalah sesuatu  yang dimiliki oleh Sang Pemilik. Dia lah yang Maha Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta. Adapun selain-Nya adalah sesuatu yang diciptakan, diberi rizki dan diatur. Selain Allah ta’ala pada hakikatnya tidaklah memiliki dirinya sendiri, apalagi memiliki selain dirinya, walaupun hanya semisal atom yang ada di langit dan bumi. (Taisir al-kariim ar-rahman, hal. 110)

Baca Juga: Wanita Dunia Penghuni Surga Lebih Cantik dari Bidadari Surga

Akan kembali pada waktunya

Manusia adalah makhluk, hamba yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Semua makhluk adalah milik Allah ta’ala. Begitupun dengan berbagai kenikmatan yang saat ini ‘dimiliki’ makhluk tersebut. Apalah arti sebuah memiliki jika pada hakikatnya diri-diri manusia bukanlah miliknya sendiri?! Harta, jabatan, keluarga, dan yang semisalnya adalah titipan dari Allah ta’ala. Pada waktunya nanti mereka akan diambil dan kembali kepada Zat yang Maha memiliki.

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“ Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS. An-Nuur: 42)

Dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, cerita tentang Ummu Sulaim dengan suaminya, Abu Thalhah.

مَاتَ ابْنٌ لأَبِي طَلْحَةَ، مِن أُمِّ سُلَيْمٍ، فَقالَتْ لأَهْلِهَا: لا تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بابْنِهِ حتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ قالَ: فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إلَيْهِ عَشَاءً، فأكَلَ وَشَرِبَ، فَقالَ: ثُمَّ تَصَنَّعَتْ له أَحْسَنَ ما كانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذلكَ، فَوَقَعَ بهَا، فَلَمَّا رَأَتْ أنَّهُ قدْ شَبِعَ وَأَصَابَ منها، قالَتْ: يا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لو أنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ، فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ، أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ؟ قالَ: لَا، قالَتْ: فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ، قالَ: فَغَضِبَ، وَقالَ: تَرَكْتِنِي حتَّى تَلَطَّخْتُ، ثُمَّ أَخْبَرْتِنِي بابْنِي، فَانْطَلَقَ حتَّى أَتَى رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فأخْبَرَهُ بما كَانَ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكُما في غَابِرِ لَيْلَتِكُما قالَ: فَحَمَلَتْ

Putra Abu Thalhah meninggal dunia, dari Ummu Sulaim, ia berkata kepada keluarganya, “Jangan beritahu Abu Tholhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.” Diceritakan bahwa ketika Abu Tholhah pulang, istrinya Ummu Sulaim kemudian menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun menyetubuhi Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas dan telah menyetubuhi dirinya, ia pun berkata, Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil? Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” Abu Thalhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari tentang kematian anakku?Abu Thalhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi  (HR. Muslim no. 2144).
Apapun yang kita miliki bisa sewaktu-waktu diambil oleh Zat yang menitipkannya kepada kita. Begitu pula dengan berbagai pencapaian yang telah diraih manusia yang seringkali membuat manusia berbangga diri dan sombong dengan pencapaian tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Semua cita-cita yang kau dapatkan akan berujung pada kesedihan. Semua berujung pada dua pilihan; dunia yang akan meninggalkanmu atau kau yang akan meninggalkannya. Kecuali beramal untuk Allah. Maka beramal untuk Allah akan berujung pada kebahagiaan.” (Akhlak wa Siyar, hal. 75 ).

Setelah kepergiannya

Bukan berarti titipan yang telah dan akan Allah ta’ala ambil kembali dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban dari kita. Apa yang telah Allah ta’ala berikan kepada kita akan dimintai pertanggungjawaban .

لاَ تزولُ قدَمُ ابنِ آدمَ يومَ القيامةِ من عندِ ربِّهِ حتَّى يسألَ عن خمسٍ : عن عمرِهِ فيمَ أفناهُ ، وعن شبابِهِ فيما أبلاَهُ ، وعن مالِهِ من أينَ اكتسبَهُ وفيمَ أنفقَهُ ، وماذا عملَ فيما علِمَ

Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskantentang masa mudanya untuk apa ia gunakantentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan Syekh Albani).

Kita akan ditanya tentang umur yang pernah diberi, masa muda yang pernah kita lewati, harta yang pernah kita punyai, dan ilmu yang kita miliki. Apakah umur dan masa muda berlalu begitu saja tanpa ada amalan yang mengisinya? Habis untuk sekadar memuaskan kesenangan jiwa? Habis untuk mengumpulkan harta benda? Apakah harta yang Allah ta’ala titipkan telah digunakan dalam perbuatan mulia? Ataukah hanya untuk berhura-hura, membeli barang karena gengsi dan disebut manusia dengan sebutan ‘orang kaya’? Bagaimana dengan ilmu yang telah kita pelajari? Sudahkah diamalkan ? Atau hanya disimpan di kepala sebagai wawasan saja? Atau hanya untuk berbangga ketika mampu mendebat dengan sesama? Mari direnungkan.

Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ راعٍ فَمَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، فالأمِيرُ الذي علَى النَّاسِ راعٍ وهو مَسْئُولٌ عنْهمْ، والرَّجُلُ راعٍ علَى أهْلِ بَيْتِهِ وهو مَسْئُولٌ عنْهمْ، والمَرْأَةُ راعِيَةٌ علَى بَيْتِ بَعْلِها ووَلَدِهِ وهي مَسْئُولَةٌ عنْهمْ، والعَبْدُ راعٍ علَى مالِ سَيِّدِهِ وهو مَسْئُولٌ عنْه، ألا فَكُلُّكُمْ راعٍ وكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عن رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara) adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atasnya. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554)

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang senantiasa menyadari hakikat diri dan diberikan kekuatan oleh Allah ta’ala untuk senantiasa berada di atas kebaikan.

Penulis: apt Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/66754-hakikat-kepemilikan.html

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 2)

Kiat pertama: hadirnya hati untuk sungguh-sungguh dalam berdoa

Perkara pertama yang harus diperhatikan adalah seorang muslim hendaknya berdoa dengan menghadirkan hati. Yang dimaksud menghadirkan hati adalah benar-benar menghadapkan hatinya kepada Allah. Doa tidak hanya sekadar aktivitas menggerakkan lisan saja sementara hatinya lalai. Doa yang benar adalah diucapkan dengan lisan dan disertai dengan hadirnya hati ketika berdoa. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa sungguh Allah biasanya tidak mengabulkan doa yang keluar dari hati yang tidak konsentrasi dan lalai” (HR. Tirmidzi, hasan).

Di antara tanda tidak hadirnya hati ketika berdoa adalah banyaknya gerakan yang tidak perlu ketika berdoa. Engkau dapati ada orang yang lisannya berucap, namun tangannya sibuk memainkan tanah atau memegang baju atau melakukan aktivitas lainnya. Atau engkau dapati pandangannya menoleh ke kanan dan ke kiri saat berdoa. Itu semua menunjukkan hatinya tidak ikut hadir ketika berdoa. Oleh karena itu, tatkala ‘Umar bin ‘Abdil Aziz Rahimahullah melihat seseorang yang berdoa sambil memainkan kerikil di tangannya, maka beliau berkata kepadanya,

أَلَا أَلْقَيْتَ الْحَصَاةَ، وَأَخْلَصْتَ إِلَى اللهِ الدُّعَاءَ؟

“Tidak bisakah engkau membuang kerikil itu dan engkau fokus untuk ikhlas berdoa kepada Allah?” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’).

Sungguh kita dapatkan di zaman sekarang kerikil dalam bentuk lain yang berada di genggaman tangan manusia sepanjang waktunya. Hal ini menyibukkan hati lebih parah daripada bongkahan batu besar yang ada di tangan dengan berbagai perkara sia-sia dan permainan yang ada di genggamannya. Maka jika dia berdoa dengan keadaan demikian, sejatinya dia tidak teranggap sedang berdoa dan meminta dengan adab yang benar. Seharusnya dikatakan kepada orang seperti ini,

ألا أغلقت الجوال وأخلصت لله السؤال

“Tidak bisakah engkau mematikan ponsel dan fokus untuk berdoa kepada Allah?”

Kesimpulannya adalah bahwa perkara pertama yang harus diperhatikan bagi orang yang menginginkan terkabulnya doa hendaknya dia fokus menghadap kepada Allah ketika berdoa dan bersungguh-sungguh menundukkan jiwanya untuk menghadirkan hati dan juga pikirannya ketika menyampaikan keinginannya. Hendaknya dia juga  tidak sibuk dengan perkara-perkara lain yang tidak berhubungan dengan aktivitas doanya karena sesungguhnya hati akan terganggu dengan godaan jika diabaikan. Maka sudah seharusnya seorang benar-benar sungguh berusaha menghadirkan hatinya ketika berdoa kepada Allah.

Inilah kiat penting yang pertama. Insyaallah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya  agar doa dikabulkan.

Sumber: Ad Duaa alladzii Laa Yurod  karya  Syaikh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr Hafidzahullah yang diunduh dari: https://www.al-badr.net/ebook/192.

Sumber: https://muslim.or.id/66756-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-2.html

Menagih Hutang Sebelum Waktunya, Apakah Boleh?

Ketika kita memberikan hutang kepada orang lain, biasanya kita menentukan waktu kapan orang yang berhutang harus mengembalikan hutangnya. Misalnya, kita menentukan waktu selama sebulan, dua bulan dan lainnya. Jika misalnya kita menagih hutang sebelum waktunya tiba sesuai kesepakatan, apakah hal itu dibolehkan?

Menurut para ulama, jika kita memberikan hutang kepada orang lain, dan kita menentukan waktu kapan dia harus mengembalikan hutangnya, maka kita tetap boleh menagih hutang tersebut sebelum waktu yang telah ditentukan tiba. Tidak masalah kita menagih hutang kepada orang yang berhutang, meskipun waktu yang kita tentukan belum tiba.

Misalnya, kita memberikan hutang kepada Ahmad dengan syarat dia harus mengembelikan sebulan kemudian. Maka jika kita menagih hutang tersebut seminggu kemudian kepada Ahmad, maka hal itu boleh.

Hal ini karena penentuan waktu pembayaran tidak mengikat orang memberikan hutang. Pemberi hutang boleh menagih kepada orang berhutang kapan pun, tanpa terikat dengan waktu tertentu, meskipun waktu tersebut sudah disepakati bersama.

Hanya saja, meskipun boleh menagih hutang sebelum waktunya tiba, namun kita dianjurkan untuk berkomitmen pada janji yang telah disepakati. Jika kita menentukan pengembalian hutang selama satu bulan, misalnya, maka kita dianjurkan untuk tidak menagih hutang tersebut selama satu bulan sesuai yang telah kita sepakati.

Ini sebagaimana disebutukan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

لِجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَالأْوْزَاعِيِّ وَابْنِ الْمُنْذِرِ وَغَيْرِهِمْ، وَهُوَ أَنَّهُ لاَ يَلْزَمُ تَأْجِيل الْقَرْضِ، وَإِنِ اشْتُرِطَ فِي الْعَقْدِ، وَلِلْمُقْرِضِ أَنْ يَسْتَرِدَّهُ قَبْل حُلُول الأْجَل؛ لأِنَّ الآْجَال فِي الْقُرُوضِ بَاطِلَةٌ قَال الإْمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: لَكِنْ يَنْبَغِي لِلْمُقْرِضِ أَنْ يَفِيَ بِوَعْدِهِ

Pendapat ulama fiqih dari kalangan ulama Hanafiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Imam Al-Auza’I, Ibnu Al-Mundzir, dan ulama lainnya, adalah tidak wajib menunda pinjaman meskipun hal itu telah disyaratkan dalam akad. Boleh bagi pemberi pinjaman untuk menagih pinjamannya sebelum waktunya tiba. Ini karena penentuan waktu dalam akan pinjaman adalah tidak sah. Imam Ahmad bin Hanbal berkata; Hanya saja selayaknya bagi pemberi pinjaman untuk menepati janjinya.

BINCANG SYARIAH