Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad (Bag. 1)

Dalam artikel ini, akan kita bahas dengan ringkas beberapa syubhat (pemahaman yang salah kaprah) yang menjadi latar belakang sebagian orang melakukan terorisme berkedok jihad. Dengan harapan –musta’inan billah– tidak ada lagi orang-orang yang terjerumus pada terorisme karena pemahaman yang keliru.

Salah kaprah: “Bom bunuh diri adalah jihad”

Bagaimana mungkin bom bunuh diri adalah jihad, padahal bunuh diri itu dilarang dalam Islam dan termasuk dosa besar?

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30).

Dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

ومَن قَتَلَ نَفْسَهُ بشيءٍ في الدُّنْيا عُذِّبَ به يَومَ القِيامَةِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, ia akan di adzab dengan hal itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Bahkan sebagian ulama memandang perbuatan bunuh diri adalah kekufuran (walaupun ini pendapat yang lemah), karena melihat zahir dari beberapa dalil. Di antaranya, dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘ahu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:

كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ به جُرْحٌ، فَجَزِعَ، فأخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بهَا يَدَهُ، فَما رَقَأَ الدَّمُ حتَّى مَاتَ، قالَ اللَّهُ تَعَالَى: بَادَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: ”Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Namun yang tepat, orang yang bunuh diri mereka tidak keluar dari Islam, namun mereka terjerumus dalam kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.

‘Ala kulli haal, tidak mungkin perbuatan yang parah dan dosa besar seperti ini malah dianggap jihad?!

Adapun amalan istisyhad (mencari status syahid) ini dilakukan dalam perang dan jihad yang syar’i, bukan dalam kondisi aman. Dan istisyhad yang dilakukan para salaf terdahulu bukan dengan bunuh diri, namun dengan menerjang musuh walaupun musuh dalam jumlah besar. Oleh karena itu, aksi bom bunuh diri dalam perang dan jihad yang syar’i pun dilarang oleh mayoritas ulama kibar Ahlussunnah seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syekh Shalih Al Fauzan, Syekh Shalih Alu Syekh dan selain mereka -semoga Allah merahmati mereka-.

Syekh Abdullah bin Jibrin menjelaskan: “Baik ia adalah mu’ahhad dari kalangan Yahudi, Nasrani atau golongan orang kafir selain mereka. Perjanjian dengan mereka semua wajib ditepati dan tidak boleh memberikan gangguan kepada mereka hingga mereka kembali ke negeri mereka.

Dan apa terjadi beberapa waktu lalu, berupa aksi pengeboman yang menyebabkan banyak korban jiwa serta korban luka-luka, tidak ragu lagi ini merupakan kejahatan yang mengerikan. Dan pengeboman ini menyebabkan korban jiwa dan korban luka dari orang-orang yang dijamin keamanannya serta juga kaum muslimin yang ada di tempat-tempat tersebut. Dan ini tidak ragu lagi merupakan pengkhianatan, dan merupakan gangguan terhadap orang-orang yang dijamin keamanannya serta membahayakan mereka. Orang-orang yang melakukan perbuatan ini adalah merupakan orang-orang mujrim (jahat). Keyakinan mereka bahwasanya perbuatan ini adalah jihad dengan alasan bahwa orang-orang yang ada di tempat tersebut adalah orang kafir dan halal darahnya, kami katakan, “ini adalah sebuah kesalahan.” Tidak diperbolehkan memerangi mereka, dan perang tidak terjadi kecuali setelah memberikan pemberitahuan perang kepada pihak kuffar dan setelah sepakat untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (QS. Al Anfal: 58).

Maka tidak boleh memerangi mereka yang dijamin keamanannya, demi kemaslahatan. Bahkan dengan memerangi mereka akan timbul mafsadah syar’iyyah, yaitu kaum Muslimin dituduh sembarangan sebagai kaum pengkhianat atau dituduh sebagai kaum teroris” (Sumber: web ibn-jebreen.com fatwa nomor 5318).

Baca Juga: Jenggot Bukan Ciri Teroris

Salah kaprah: “Membunuh non muslim di negeri kaum muslimin adalah jihad”

Jihad itu ibadah yang agung. Oleh karena itu, yang namanya ibadah harus dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jihad yang tidak sesuai dengan tuntunan, maka sejatinya bukanlah jihad yang syar’i. Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu pernah berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:

أرأيت رجلا خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فقتل أيدخل الجنة؟ فقال أبو موسى: نعم. فقال له حذيفة: لا. إن خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فأصاب أمر الله فقتل دخل الجنة

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap ridha Allah lalu terbunuh ia akan masuk surga? Abu Musa menjawab: ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya: ‘Tidak demikian. Jika ia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap ridha Allah dan menaati aturan Allah, lalu terbunuh, barulah ia masuk surga‘” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, sanadnya sahih).

Maka jihad yang syar’i itu ada aturan-aturannya. Dan salah satu tuntunan jihad adalah: dilakukan bersama ulil amri (pemerintah). Disebutkan dalam matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah karya Imam Ath-Thahawi:

والحج والجهاد ماضيان مع أولي الأمر من المسلمين‏:‏ برهم وفاجرهم

“Haji dan jihad itu terus ada (sampai hari kiamat). Dilakukan bersama ulil amri kaum Muslimin, baik mereka orang saleh maupun orang fajir (ahli maksiat)”.

Sehingga yang dilakukan para teroris tersebut, berupa aksi-aksi individu atau kelompok saja, tentu tidak bisa disebut sebagai jihad yang syar’i.

Juga di antara ketentuan jihad adalah tidak boleh membunuh non Muslim yang sudah ada perjanjian untuk hidup rukun dan dijamin keamanannya oleh kaum Muslimin. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

مَن قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

Dan secara umum tidak boleh berbuat zalim walaupun kepada non Muslim. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا، فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ

“Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, walaupun ia kafir. Karena tidak ada hijab antara ia dengan Allah” (HR. Ahmad no.12549, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 767).

Juga di antara ketentuan jihad lainnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: tidak boleh membunuh wanita, tidak boleh membunuh anak-anak, tidak boleh menghancurkan gereja, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Yang andaikan aksi-aksi para teroris tersebut dianggap jihad yang syar’i (walaupun hakekatnya bukan), ternyata malah melanggar ketentuan-ketentuan ini. Allahul musta’an.

Baca Juga: Berdialog Dengan Teroris

Salah kaprah: “Membunuh polisi dan pejabat pemerintah di negeri kaum muslimin adalah jihad”

Bagaimana mana mungkin seperti ini dikatakan jihad ketika ternyata yang dibunuh oleh para teroris itu adalah sesama kaum muslimin juga?!

Padahal membunuh sesama muslim itu adalah dosa yang sangat besar. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

سِبابُ المسلِمِ فُسوقٌ ، و قتالُه كُفرٌ

“Mencela seorang Muslim itu kefasikan, dan membunuh seorang Muslim itu kekufuran” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no.64).

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:

لَزَوالُ الدُّنيا أهْوَنُ علَى اللَّهِ مِن قتلِ رجلٍ مسلمٍ

“Hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim” (HR. At Tirmdzi no.1395, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Dan para teroris tersebut mungkin menganggap orang yang mereka bunuh telah kafir keluar dari Islam. Maka ini juga bentuk penyimpangan. Yaitu bermudah-mudahan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada sesama muslim. Padahal Nabi telah memperingatkan agar kita waspada terhadap perbuatan seperti ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Apabila seseorang bermudahan mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim): “Wahai kafir”, maka status kafir itu akan kembali kepada salah satunya” (HR. Bukhari no.312, Muslim no.60).

Masalah takfir (vonis kafir) itu masalah berat. Sehingga para ulama mengatakan: “salah ketika tidak mengkafirkan orang yang kafir, itu lebih ringan daripada salah memvonis kafir orang yang tidak kafir”.

Demikian juga masalah berhukum dengan selain hukum Allah. Kita sepakat bahwa tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah ta’ala. Namun tidak semua orang yang melakukannya itu kafir keluar dari Islam, dan juga bukan berarti itu dibolehkan. Namun ada rinciannya yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitab akidah. Menggeneralisir semuanya kafir, polisi kafir, pejabat kafir, PNS kafir, karena berhukum dengan selain hukum Allah ini adalah pemahaman yang keliru. Syekh Shalih Al-Fauzan mengatakan:

فمسألة الحكم بغير ما أنزل الله مسألة عظيمة وفيها تفصيل كما ذكر أهل التفسير فلا يطلق الكفر على كل من حكم بغير ما أنزل الله بل يفصل في هذا

“Masalah berhukum dengan selain hukum Allah, ini adalah masalah yang besar. Dan di dalamnya ada rincian, sebagaimana disebutkan para ulama tafsir. Tidak boleh menggeneralisir semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Namun seharusnya merinci hal ini” (Syarah Nawaqidhul Islam).

Selain itu juga, andaikan kita benarkan asumsi mereka, bahwa yang diperangi tersebut kafir keluar dari Islam, maka tidak semua orang kafir itu boleh diperangi atau dibunuh. Sebagaimana sudah disebutkan di atas.

[bersambung]

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63338-salah-kaprah-pelaku-terorisme-berkedok-jihad-bagian-1.html

Keistimewaan Ramadhan, Ada Nuzulul Quran dan Turunnya Berbagai Kitab Suci

Inilah keistimewaan bulan Ramadhan, bukan hanya diturunkan kitab suci Al-Qur’an, tetapi diturunkan pula berbagai kitab suci lainnya.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bulan Ramadhan adalah bulan pilihan diturunkannya Al-Qurán yang mulia. Bahkan kitab suci ilahiyah juga diturunkan oleh Allah di bulan Ramadhan pada para nabi.”(Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, 2:57)

Dari Watsilah bin Al-Asqa’, Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada awal Ramadhan. Taurat diturunkan pada awal-awal Ramadhan. Injil turun pada 13 Ramadhan. Sedangkan Al-Qurán diturunkan oleh Allah pada 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad, 4:107, dihasankan oleh Imam As-Suyuthi. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1575).

Diriwayatkan dari Jabir bin Ábdillah, Zabur diturunkan pada 12 Ramadhan, Injil diturunkan pada 18 Ramadhan, sedangkan yang lainnya sama seperti disebutkan di atas. (HR. Abu Ya’la, hadits ini dhaif jiddan).

Shuhuf (lembaran) Ibrahim, Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan masing-masing pada nabi-nabinya sekaligus (jumlatan waahidatan). Sedangkan Al-Qurán diturnkan sekaligus di Baitul Ízzah di langit dunia, ini terjadi pada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Inilah yang difirmankan Allah Taála,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadr: 1).

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Kemudian setelah itu, Al-Qurán turun secara berangsur-angsur sesuai peristiwa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam. Hal ini diriwayatkan dari berbagai jalan dari Ibnu Ábbas.

Ibnu Ábbas berkata, “Al-Qurán diturunkan pada bulan Ramadhan pada Lailatul Qadar di malam penuh berkah. Al-Qurán tersebut turun sekaligus (jumlatan waahidatan). Kemudian Al-Qurán turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa, pada bulan dan hari.”(HR. Ibnu Abi Hatim, sanadnya hasan)

Ada juga riwayat dari Ibnu Ábbas yang menyebutkan bahwa Al-Qurán itu diturunkan pada pertengahan Ramadhan ke langit dunia. Al-Qurán diletakkan di Baitul Ízzah. Kemudian Al-Qurán itu turun dalam kurun waktu 24 tahun untuk memberikan jawaban kepada manusia.”(HR. Ath-Thabari, sanadnya saling menguatkan satu dan lainnya).

Lihat bahasan dalam Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, 2:58.

Kesimpulan: Kitab suci Al-Qurán diturunkan sekaligus di Baitul Ízzah di langit dunia pada bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Kemudian Al-Qurán akan turun secara berangsur-angsur sesuai peristiwa. Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya kitab suci lainnya yaitu Shuhuf Ibrahim, Zabur, Taurat, dan Injil. Namun, turunnya keempat kitab ini secara sekaligus (jumlatan waahidatan).

Referensi:

Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Doa Sepanjang Ramadhan

Salah satu ibadah yang selayaknya kita perbanyak di hari-hari Bulan Ramadhan adalah berdoa. Begitu banyak waktu  mustajab sepanjang Ramadhan yang hendaknya kita manfaatkan untuk berdoa memohon kebaikan urusan dunia dan akhirat kita.

Perintah Berdoa Setelah Ayat Kewajiban Puasa

Dalam surat Al Baqarah ayat 183-185 Allah menjelaskan tentang kewajiban untuk berpuasa Ramadhan. Dalam ayat selanjutnya Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)

Syaikh Ibnu al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan di antara faidah ayat ini menunjukkan bahwasanya puasa merupakan kemungkinan besar sebab terkabulnya doa, karena Allah Ta’ala menyebutkan ayat ini dalam serangkaian ayat-ayat tentang puasa. Apalagi ayat ini disebutkan di akhir ayat-ayat tentang puasa. Sebagian ulama mengambil faidah bahwa hendaknya memperbanyak berdoa di akhir hari ketika berpuasa yakni saat berbuka. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah)

Banyak Doa Saat Puasa

Di antara sebab terkabulnya doa adalah saat kita berpuasa.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga golongan yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Ahmad, shahih)

Dalam hadits yang lain disebutkan secara khusus saat berbuka, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  :

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak : Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, doa orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Oleh karena itu tidak selayaknya kita meninggalkan doa di hari-hari puasa kita, lebih-lebih lagi saat menjelang waktu berbuka puasa.

Doa dan Istighfar di Waktu Sahur

Demikian pula hendaknya kita banyak memanfaatkan waku sahur untuk berdoa dan istighfar. Waktu sahur termasuk sepertiga malam terakhir yang memiliki keutamaan yang luar biasa.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman, “Siapa saja yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku penuhi. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku  maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di antara sifat ahli surga adalah orang yang memperbanyak istighfar di waktu sahur. Allah berfirman Ta’ala berfirman :

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

Merekalah orang-orang yang penyabar, jujur, tunduk, rajin berinfak, dan rajin istighfar di waktu sahur.” (Ali Imran: 17)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:

دَلَّ عَلَى فَضِيلَةِ الِاسْتِغْفَارِ وَقْتَ الْأَسْحَارِ

“ Ayat ini menunjukkan keutamaan memperbanyak istighfar di waktu sahur.” (Tafsir Ibnu katsir)

Betapa istimewanya waktu sahur yang merupakan sepertiga malam terakhir yang penuh keutamaan. Oleh karena itu jangan lewatkan waktu ini untuk beramal ketaatan dan berdoa serta memohon ampun kepada Allah.

Jangan Lupa Berdoa Untuk Kebaikan Akhirat Kita

Kaum muslimin, gunakanlah kesempatan ketika berdoa untuk meminta kebaikan bagi urusan dunia dan akhirat kita. Apapun yang kita minta, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa kepada Allah. Namun yang perlu diingat, jangan lupa kita perbanyak minta doa untuk kebaikan agama dan akhirat kita. Kebanyakan manusia, umumnya hanya minta kebaikan urusan dunia mereka. Meminta kelancaran atas rezekinya, dimudahkan jodohnya, disembuhkan sakitnya, menjadi sukses dan berkembang usahanya, dipermudah urusan kariernya, dan berbagai urusan dunia lainnya.

Terkadang manusia lupa untuk meminta kebaikan berkaitan urusan agamanya. Padahal ini lebih penting. Kita meminta kepada Allah hal-hal yang berkaitan kebaikan agama dan akhirat kita. Meminta untuk dimudahkan dalam beramal, meminta untuk bisa istiqomah di atas Islam, meminta untuk dimantapkan dalam keimanan, meminta untuk dihapuskan dosa dan diterimanya amal kita, meminta kematian khusnul khotimah, meminta untuk mendapat surga yang terbaik, meminta agar dijauhkan dari siksa neraka, dan sebagainya. Jangan sampai permintaan kita dalam berdoa hanyalah berkenaan urusan kebaikan dunia kita, sampai lupa untuk berdoa meminta kebaikan akhirat kita.

Mari, jadikanlah doa menghisasi sepanjang hari-hari Ramadhan kita. Semoga Allah mengabulkan setiap doa-doa kita. Wallahu waliyyu at tauifiiq.

Penyusun : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Sahur dan Berbuka dengan Thibbun Nabawi

Rasa lemah dan mengantuk saat puasa bisa jadi karena asupan saat sahur dan buka

Puasa dalam Islam jauh lebih dari sekedar himyah (menahan makan). Puasa dalam Islam adalah ibadah, bentuk penyehatan diri dan untuk menggapai takwa. Maka ada baiknya kita mempelajari juga perihal berbuka dan bersantap di antara dua puasa agar ketika berpuasa tidak mengalami gangguan, penyakit atau kelemahan fisik.

Rasa lemah dan mengantuk terus-menerus yang sering mendera selama Ramadhan dan akhirnya membuat malas melaksanakan ibadah lainnya, bisa jadi dipengaruhi asupan sejak berbuka hingga sahur.

Terlalu banyak makan dapat menyebabkan lambung menjadi dingin (kurang enzim pencernaan). Mengonsumsi berbagai makanan, seperti yang lambat dan cepat dicerna secara bersamaan, justru dapat menyebabkan penyakit. Oleh karenanya Rasulullah SAW pun ketika dapat tersedia makanan, beliau memilih menu berbuka dan sahur yang sederhana lagi baik untuk tubuh.

Berikut ini makanan dan minuman yang terdokumentasi dalam hadits dan dapat menjadi pilihan untuk sahur dan berbuka :

  1. Ruthob (Kurma Segar)

“Rasulullah SAW biasa berbuka dengan rothob (kurma segar) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Menurut Ibnu Muflih, sifat kurma ruthob panas dan lembab pada tingkat kedua, dapat menguatkan lambung yang dingin dan cocok untuk tipe lambung tersebut. Ruthob dapat meningkatkan libido dan memberi nutrisi untuk tubuh.

Namun bagi yang belum terbiasa mengonsumsinya bisa mengalami pusing, sembelit dan nyeri kandung kemih apabila terlalu banyak memakannya. Untuk mencegah hal tersebut dapat mengonsumsi ruthob bersama dengan mentimun atau semangka.

  1. Tamr (Kurma Kering)

Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian akan berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma sebab kurma itu berkah, kalau tidak ada, maka dengan air karena air itu bersih dan suci.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)

Kurma kering (tamr) saat ini telah sangat mudah ditemukan di Indonesia, tak hanya banyak di bulan Ramadhan. Tentunya menu ini sangat memungkinkan untuk diterapkan sebagai makanan utama ketika berbuka, tentunya juga sahur.

Hadits Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, “Sebaik-baik (menu) makan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma kering).” (Riwayat Abu Dawud: 23345, hadits ini hadits shahih)

Mengenai berbuka dengan tamr, Ibnu Muflih menjelaskan, puasa itu mengosongkan perut dari makanan, sehingga liver dan stamina pun melemah. Sedangkan stamina sangat tertarik dan suka kepada sesuatu yang manis, sehingga ia bisa menguat dengan cepat bila mendapatkannya.

Kurma, khususnya ruthob dan tamr adalah makanan pokok penduduk Madinah zaman Rasulullah SAW. Mereka memperlakukannya seperti nasi bagi orang Indonesia. Apabila kita telah terbiasa insya Allah bersantap sahur dengan tamr akan mendapatkan manfaat yang sama. Namun apabila belum terbiasa bisa saja mengalami efek samping berupa sakit kepala, haus dan perut terasa panas. Hal itu dapat diatasi dengan meminum sakanjabin setelah mengonsumsi tamr yang resepnya telah dijelaskan di edisi lalu.

Apabila kurma terlalu manis, efek negatif yang ditimbulkan adalah rasa haus, maka dapat berbuka dan sahur dengan kurma dan segelas air. Kurma tersebut juga dapat dibuat naqi’ agar tidak terlalu manis dan lebih cepat diserap tubuh. Selain itu bagi ibu hamil dan menyusui dapat mengonsumsi kurma tamr yang direndam dalam susu.

  1. Susu

Dari Anas RA berkata, “Adalah (Nabi) SAW bila puasa, beliau berbuka dengan susu.” (Riwayat Thabarani dan Daraquthni, hadits lemah)

Dalam hadits ini susu yang dimaksud adalah laban, bahasa lainnya labneh, yaitu berupa susu yang telah diasamkan, seperti yoghurt. Sedangkan susu yang segar dan belum asam disebut laban halib. Hadits ini lemah.

Rasulullah SAW sering meminum susu di malam hari, misalnya ketika beliau sedang dalam perjalanan hijrah dan menetap di gua. Penggembala kambing milik Abu Bakar RA lah yang memasak dan membawakan laban marduf untuk mereka berdua.

  1. Sawiq (Air Biji Barley-Gandum)

Dari Abdullah bin Abi Aufan RA, dia berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan sedangkan dia dalam keadaan puasa. Ketika matahari terbenam, dia berkata kepada sebagian orang, ‘Wahai fulan, campurkan sawiq dengan air dan aduklah agar dapat kita minum.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu untuk kami.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu.’ Dia berkata, ‘Hari masih siang.’ Maka dia singgah untuk membuatkan minuman, lalu Nabi SAW meminumnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian menyaksikan malam telah datang dari sini dan sini, maka orang berpuasa boleh berbuka.” (Riwayat Bukhari (1955) dan Muslim (1101))

Sawiq adalah minuman yang menyegarkan dan bergizi. Biasanya terbuat dari butir biji-bijian seperti biji barley atau gandum yang telah disangrai, ditambah dengan kacang-kacangan seperti almond, gula dan air. Minuman ini dapat membuat wanita menjadi gemuk berisi, cantik dan sehat.

Sawiq yang dibuat dari gandum dapat meredakan hawa panas dan haus, direkomendasikan untuk orang-orang dengan liver yang bersifat panas. Sawiq dari tepung barley lebih mendinginkan, menutrisi, lebih manis dan lebih lembut dari sawiq gandum.

Sawiq adalah menu berbuka bagi para traveller, terutama seperti yang dialami oleh Rasulullah SAW yang harus mengembara menerjang gurun yang panas. Berbuka dengan sawiq akan menyegarkan tubuh dan meredakan panas tubuh serta haus yang sangat.

Di zaman Rasulullah SAW lebih mudah ditemukan biji barley sebagai makanan pokok dibanding gandum. Sementara di Indonesia gandum lebih mudah didapat dibanding dengan biji barley. Dalam kitab At-Tabikh, Ibnu Sayyar menempatkan satu bab mengenai resep sawiq bagi kalangan traveller.

  1. Air

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah! meski hanya dengan meminum seteguk air” (Riwayat Ibnu Hibban (3476), hadits ini hasan)

Air adalah materi paling sederhana, juga untuk keadaan darurat bagi menu sahur dan berbuka, mengingat pentingnya menjaga kesehatan air dapat melaksanakan tugas itu. Wallahu ‘Alam, semoga bermanfaat!

Oleh : Joko Rinanto, S.Farm

HIDAYATULLAH

Ini Niat Ketika Hendak Bersilaturrahmi dan Buka Bersama

Dalam Islam, kita dianjurkan untuk selalu menyambung silaturrahmi dengan keluarga, teman, dan saudara muslim lainnya. Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berkunjung, mengadakan halal bihalal, buka bersama, saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Namun, di saat pandemi covid-19, kita perlu tetap menjaga protokol kesehatan yang diwajibkan oleh para dokter. Kita juga perlu niat ketika hendak bersilaturrahmi.

Di antara manfaat bersilaturrahmi, selain melapangkan rezeki, juga bisa mengantarkan kita pada surga Allah. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Ayyub Al-Anshari, dia berkisah;

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ  إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Ada seseorang berkata; Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka. Rasulullah Saw bersabda; Sungguh dia telah diberi taufik atau sungguh dia telah diberi hidayah, apa tadi yang kamu katakan? Lalu orang itu mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Saw bersabda; Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, melaksanakan shalat, membayar zakat, dan kamu menyambung silaturahmi. Setelah orang itu pergi, Nabi Saw; Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga.

Adapun niat ketika hendak bersilaturrahmi, sebagaimana disebutkan oleh Sayid Muhammad bin Alawi bin Umar Al-Idrus dalam kitab Al-Niyyat, adalah sebagai berikut;

نَوَيْتُ التَّوَدُّدَ وَالتَّقَرُّبَ اِلَيْهِمْ وَالسُّؤَالَ عَنْ اَحْوَالِهِمْ وَاِدْخَالَ السُّرُوْرِ عَلَيْهِمْ وَطَلَبَ الدُّعَاءِ مِنْهُمْ

Nawaitut tawadduda wat taqorruba ilaihim was su-aala ‘an ahwaalihim wa idkholas suruuri ‘alaihim wa tholbad du’aa-i minhum.

Aku berniat (bersilaturrahmi) untuk memperlihatkan kasih sayang dan kedekatan kepada mereka, bertanya mengenai keadaan mereka, memberikan kebahagiaan pada mereka, dan meminta doa dari mereka. Wallahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Jangan Gemar Laknat atau Kutuk Apapun, Ini Alasannya

Laknat atau kutukan bisa berdampak pada pelaku itu sendiri

Salah satu perilaku buruk yang paling berbahaya adalah terburu-buru menilai orang lain. Menempatkan posisi seolah menjadi hakim untuk menilai apakah seseorang pantas mendapatkan kasih sayang atau kutukan. 

Mengucapkan kata-kata laknat atau terkutuk merupakan salah satu perbuatan tercela yang dilarang Nabi Muhammad SAW. Banyak hadits yang menyebutkan itu. Di antaranya, hadits Muslim, yang di dalamnya Rasulullah SAW bersabda: 

إني لم أبعث لعانا و إنما بعثت رحمة “Aku tidak tidak diutus sebagai seorang pelaknat tetapi aku diutus sebagai rahmat.” Dalam hadits Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: 

ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذيء “Orang yang beriman tentu bukan orang yang mencela, mengutuk, cabul, atau tidak senonoh.” Dalam hadits lain, Rasulullah SAW memperingatkan: 

لا تلاعنوا بلعنة الله ولا بغضبه ولا بالنار “Jangan mengutuk dengan kutukan Allah, murka-Nya, atau neraka.”

Karena itu, Islam mengajarkan untuk tidak mendoakan orang-orang dengan sesuatu yang menjauhkan dari kasih sayang Allah SWT, baik secara eksplisit atau implisit. Misalnya, dengan mengucapkan, “Semoga Allah mengutuknya”, “Allah murka padanya”, “semoga Allah membawanya ke neraka”, atau sejenisnya. Dari Abu Darda, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:  

إن العبد إذا لعن شيئا صعدت اللعنة إلى السماء فتغلق أبواب السماء دونها ثم تهبط إلى الأرض فتغلق أبوابها دونها ثم تأخذ يمينا وشمالا فإذا لم تجد مساغا رجعت إلى الذي لعن فإن كان لذلك أهلا وإلا رجعت إلى قائله

“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tertutup. Kemudian laknat tadi mencari jalan ke kanan dank e kiri, jika tidak dapat tempat, dia kan kembali ke orang yang dilaknat, jika memang dia pantas terjadilah laknat itu, jika tidak akan kembali ke pelaknatnya (sendiri).”

” (HR Abu Dawud)

Al-Manawi menjelaskan, jika seorang hamba mengutuk seseorang dengan berdoa agar yang bersangkutan dijauhkan dari rahmat Allah SWT, berarti kutukan tersebut naik ke surga yang tentu saja akan menolak kutukan tersebut karena surga tempat amal saleh sehingga tidak menerima kutukan itu.

Lalu kutukan tersebut turun ke bumi, dan bumi menutup kutukan itu dengan mencegahnya datang. Kutukan itu pun bingung tidak tahu harus ke mana lagi dan tidak tahu harus berakhir di mana. Akhirnya, kutukan itu kembali ke orang yang mengirimnya.

Karena itu, hadits Abu Dawud di atas mengajarkan untuk tidak mengutuk mereka yang tidak pantas dikutuk, dan janji bahwa kutukan tersebut akan kembali mendatangi orang yang mengirimnya.

يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِأُولِي الْأَبْصَارِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS An Nur 44)

Sumber: islamweb

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menggunakan Pasta Gigi, Obat Tetes Telinga dan Tetes Mata saat Puasa

حكم استعمال معجون الأسنان وقطرة الأذن والعين للصائم

السؤال: ما حكم استعمال معجون الأسنان، وقطرة الأذن، وقطرة الأنف، وقطرة العين للصائم، وإذا وجد الصائم طعمها في حلقه فماذا يصنع؟

الجواب: تنظيف الأسنان بالمعجون لا يفطر به الصائم كالسواك، وعليه التحرز من ذهاب شيء منه إلى جوفه، فإن غلبه شيء من ذلك بدون قصد فلا قضاء عليه.
وهكذا قطرة العين والأذن لا يفطر بهما الصائم في أصح قولي العلماء. فإن وجد طعم القطور في حلقه، فالقضاء أحوط ولا يجب، لأنهما ليسا منفذين للطعام والشراب.
أما القطرة في الأنف فلا تجوز لأن الأنف منفذ، ولهذا قال النبي ﷺ: وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائمًا. وعلى من فعل ذلك القضاء لهذا الحديث، وما جاء في معناه إن وجد طعمها في حلقه. والله ولي التوفي

Pertanyaan:

Apa hukum menggunakan pasta gigi, obat tetes telinga, tetes hidung, dan tetes mata bagi orang yang berpuasa? Apa yang harus dilakukan apabila orang tersebut sampai merasakan sesuatu di tenggorokannya?

Jawaban:

Menyikat gigi dengan menggunakan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa, sebagaimana bersiwak. Dan hendaknya seseorang berhati-hati supaya tidak sampai ada bagian dari pasta gigi itu yang masuk ke dalam perutnya. Namun apabila seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ada sedikit yang masuk tanpa disengaja, maka tidak ada qadha baginya.

Begitu pula dengan penggunaan tetes mata dan tetes telinga tidaklah membatalkan puasa, menurut pendapat yang lebih kuat. Namun apabila terasa sesuatu di tenggorokannya, maka lebih berhati-hati mengqadha’-nya, namun tidak wajib karena keduanya bukanlah saluran makanan dan minum.

Adapun tetes hidung tidak diperbolehkan karena hidung memiliki saluran yang bersambung dengan saluran makan dan minum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائمًا

“Dan masukkanlah air ke dalam hidung dengan sungguh-sungguh, kecuali jika kamu dalam kondisi berpuasa” (HR. Tirmidzi no. 788, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Bagi yang tetap melakukannya, maka wajib qadha’ berdasarkan hadis ini dan apa saja yang serupa dengannya, jika dia mendapatkan rasanya di tenggorokan.

Sumber fatwa ada di sini.

Penyusun: apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id

Bulan Dzikir dan Mendekatkan Diri Kepada Allah

Bulan Dzikir dan Mendekatkan Diri Kepada Allah

Share on facebookShare on whatsappShare on twitterShare on googleShare on telegram

Bulan Dzikir dan Mendekatkan Diri Kepada Allah

khazanahalquran.com – Allah Swt Berfirman :

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS.al-Baqarah:152)

Kita berada di bulan taubat dan pengampunan. Bulan takwa dan Al-Qur’an. Bulan dzikir dan berbagi kebaikan. Bulan sedekah dan menebar kecintaan.

Di bulan ini Allah mengajak kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan kadar yang lebih dan lebih dari bulan-bulan lainnya. Dengan memperbanyak ketaatan, menjalankan ibadah dan sunnah-sunnah dengan janji pahala yang berlipat ganda, agar di kita meraih rahmat serta ridho-Nya, padahal Allah Swt mampu memaksa semua hamba untuk beriman dan patuh pada-Nya.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. (QS.Yunus:99)

Tapi ketaatan karena paksaan tak memiliki nilai sama sekali. Karena itu bukan berasal dari kesadaran pelakunya. Sementara Allah Swt ingin kita datang kepada-Nya dengan penuh cinta dan kesadaran. Dengan penuh ketaatan dan harapan. Karenanya dalam ayat di atas Allah berfirman :

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS.al-Baqarah:152)

Dan begitu pula dalam sebuah Hadist Qudsi disebutkan :

“Tidaklah hamba-Ku mengingat-Ku dalam kesendiriannya kecuali Aku juga mengingat-Nya di antara malaikat-malaikat-Ku.

Dan tidaklah hamba-Ku mengingat-Ku di tengah keramaian kecuali Aku mengingat-Nya di keramaian yang lebih baik dan lebih mulia”

Allah Swt berfirman :

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.al-Ankabut:45)

Sebagian ulama’ tafsir menjelaskan ayat ini dengan sangat indah bahwa :

Dzikir Allah kepadamu jauh lebih besar dari dzikirmu kepada-Nya.

Kamu mengingat-Nya, namun ketika Dia mengingat-Mu maka Dia akan mengisi hatimu dengan ketentraman dan rasa cukup.

Jika Dia mengingatmu, maka segala urusanmu akn dimudahkan.

Jika Dia mengingatmu, maka hatimu akan dipenuhi dengan harapan.

Jika Dia mengingatmu, maka jiwamu akan dipenuhi rasa aman.

Maka bila kau mencari nikmatnya rasa aman, nikmatnya ketentraman hidup, nikmatnya rasa optimis dengan masa depan dan nikmatnya kebahagiaan dalam hidupmu maka ingatlah Allah selalu ! Karena disaat Allah mengingatmu, maka seluruh kebahagiaan itu akan memenuhi hatimu.

Mari kita manfaatkan bulan mulia ini untuk selalu mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

KHAZANAHALQURAN

Lupa Membaca Surah Al-Fatihah Saat Shalat, Apa Hukumnya?

Membaca surah al-Fatihah sangat utama saat shalat.

Assalaamu ‘alaikum wr wb. 

Saya terkadang merasa membaca al-Fatihah dua kali karena lupa atau takut belum terbaca. 

Kadangkala saya juga merasa pada salah satu rakaat belum membacanya. Apa yang harus saya lakukan? Bolehkah saya menambahnya pada saat duduk tasyahud sebelum salam? 

Wassalam.

Farida

Kuningan, Jawa Barat

Jawaban Oleh Pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Prof M Quraish Shihab:

Lupa atau keliru adalah manusiawi. Karena itu, agama tidak menuntut tanggung jawab seseorang bila ia lupa atau keliru. Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda: “Allah tidak akan menghukum umat-Nya akibat salah, lupa, atau dipaksa?” (HR at-Thabrani).

Dalam Alquran pun ditegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah:286).

Kendati demikian ayat tersebut melanjutkan; (Mereka berdoa): “Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” Permohonan ini karena bukan semua kekeliruan atau lupa pasti diampuni Allah.

Ada lupa dan kekeliruan yang dapat dihindari karena ada di antaranya yang merupakan akibat kecerobohan, atau kelalaian. Seorang yang diberi tugas memberi obat seorang anak, lalu ia keliru dengan memberinya obat lain sehingga penyakitnya bertambah parah atau ia lupa memberinya obat karena dia asyik bermain, maka di sini tentu saja ia wajar dikecam dan dituntut.

Seorang yang diberi tugas mengantar surat penting, kemudian surat itu lupa dia antar karena pergi menonton, maka kelupaan semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan berlalu, seakan tidak terjadi apa-apa. Itulah yang dimaksud dengan permohonan ini.

Selanjutnya soal lupa atau takut terlupa yakni ragu bisa juga diakibatkan oleh gangguan setan, karena kurangnya konsentrasi. Karena itu bertaawwuzlah, mohonlah perlindungan Allah dari godaannya.

Kalau Anda dalam shalat membaca dua kali dengan alasan lupa atau takut lupa maka itu tidak mengapa. Di sisi lain jika Anda benar-benar merasa lupa tidak membaca Al-Fatihah, maka jika itu terjadi sebelum rukuk dan Anda sedang membaca surah pendek misalnya, maka Anda harus menghentikan pembacaan surah pendek itu dan membaca al-Fatihah. 

Tetapi jika Anda teringat di dalam shalat dan setelah selesainya rukuk, maka rakaat shalat itu tidak sah, menurut pandangan Imam Syafi`i. Anda harus mengulangnya bukan ketika Anda rukuk, sujud atau tasyahud tetapi dalam keadaan berdiri sebelum rukuk karena al-Fatihah harus dibaca setiap rakaat dalam keadaan tersebut. Dengan demikian Anda tidak boleh membacanya saat duduk bertasyahud.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Membaca Al-Quran Dengan Suara Keras Sehingga Mengganggu

Pertanyaan:

Apa hukum membaca Al-Qur’an di masjid dengan suara keras yang mengganggu orang yang sedang shalat?

Jawaban:

Membaca Al-Qur’an di masjid pada kondisi yang dapat mengganggu orang lain seperti orang yang sedang shalat, belajar, maupun membaca Al-Qur’an, hukumnya adalah haram. Sebab, ia terjerumus dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Malik meriwayatkan hadits dalam kitab Al-Muwatha’, dari Al-Bayadhi yaitu Farwah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika pergi menemui para sahabat. Saat itu mereka sedang shalat dan mengeraskan suara bacaan shalat mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegur,

إِنَّ الْمُصَلِّيْ يُنَاجِيْ رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabbnya. Maka hendaklah ia perhatikan apa yang dia pinta. Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan Al Qur’annya sehingga mengganggu sebagian yang lain”.

Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
***
Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyah, cetakan ketiga, tahun 1437 H, hal. 373

Penerjemah: Ummu Fathimah

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13170-membaca-al-quran-dengan-suara-keras-sehingga-mengganggu.html