Sifat-Sifat Manusia Yang Dimurkai Allah

Seorang muslim tidak pernah lepas dari Surat Al-Fatihah. Puluhan kali Surat ini di ulang dalam Solat 5 waktu. Nah, kali ini kita akan membahas petikan terakhir dari Surat ini.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS.al-Fatihah:7)

Pertanyaaannya, siapakah orang yang dimurkai itu? Apa saja sifat-sifatnya?

“Orang-orang yang dimurkai” memiliki sifat-sifat berikut ini :

1). Tidak menjalankan suatu perbuatan berdasarkan ilmu. Tubuhnya berpaling dan hatinya menolak kebenaran.

ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

“Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.” (QS.al-Baqarah:83)

2). Sombong dan menentang perintah Allah yang tidak sesuai dengan keinginannya.

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَىٰ أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ

“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong.” (QS.al-Baqarah:87)

3. Menyimpan kedengkian.

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. (QS.al-Baqarah:109)

4). Dzalim dan menebar permusuhan.

بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَىٰ غَضَبٍ

Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. (QS.al-Baqarah:90)

Tidak berbuat berdasarkan ilmu dan memelihara kedengkian membuat hati seseorang gelap dan keras.

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS.Al-Baqarah:74)

Hati yang gelap dan keras itulah yang menggiringnya kepada permusuhan, bahkan hingga melawan dan memusuhi makhluk terbaik di muka bumi seperti para Nabi.

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَىٰ أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ

Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (QS. Al-Baqarah:87)

Semoga bermanfaat.

Tanda Pengagungan kepada Allah

Bismillahirrahmaanirrahiim..

Alhamdulillah atas nikmat Islam dan hidayah yang Allah berikan kepada kita sampai hari ini. Tiada yang bisa kita lakukan selain berusaha memuji Allah dan mewujudkan syukur dalam hati dan perbuatan kita.

Saudaraku yang dirahmati Allah, seorang hamba selalu membutuhkan Rabbnya di sepanjang waktu dan jejak langkah kehidupannya. Karena kita sebagai manusia terlalu banyak memiliki kekurangan dan kelemahan; dan siapa lah kita apabila berada di hadapan-Nya?!

Para ulama terdahulu adalah orang-orang yang sangat besar perhatiannya terhadap muamalahnya dengan Allah. Bagaimana mereka bisa tampil sebaik-baiknya di hadapan Allah. Bagaimana mereka bisa mendapatkan kecintaan Allah dan keridaan-Nya. Mereka dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an sebagai orang-orang yang takut kepada-Nya.

Para ulama mengenal Allah maka mereka pun takut kepada-Nya dengan penuh pengagungan dan kepatuhan. Seperti yang dikatakan, bahwa barangsiapa semakin mengenal Allah niscaya dia akan semakin merasa takut kepada-Nya. Akan tetapi rasa takut mereka adalah rasa takut yang berlandaskan ilmu dan dihiasi dengan harapan. Rasa takut yang bergerak dalam roda kecintaan. Rasa takut kepada Allah yang membuahkan amal dan ketaatan.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu mengingatkan kita, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu adalah rasa takut.” Ilmu yang tertanam di dalam hati. Ilmu tentang Allah telah membawa generasi terdahulu umat ini pada derajat-derajat yang tinggi. Mereka mengenal Allah maka mereka pun menegakkan keadilan. Mereka takut kepada Allah maka mereka pun menjauhi kezaliman. Mereka mengenal Allah maka mereka pun selalu memanjatkan doa dan permohonan, terus bergantung kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya.

Diantara cara paling efektif untuk menumbuhkan pengagungan kepada Allah adalah dengan mempelajari dan mengamalkan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah terhadap hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan oleh Kamilah al-Kiwari -semoga Allah merahmatinya- bahwa ilmu tentang nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta pemahaman terhadap makna dan pengamalan terhadap tuntutan/konsekuensinya serta berdoa kepada Allah dengan nama-nama itu/asma’ul husna akan membuahkan pengagungan kepada Allah di dalam hati, munculnya penyucian dan kecintaan kepada-Nya, harap dan takut kepada-Nya, tawakal dan inabah kepada-Nya. Dengan cara inilah seorang bisa merealisasikan tauhid di dalam sanubari dan terwujudlah ketenangan jiwa tunduk kepada keagungan Allah jalla wa ‘ala (lihat al-Mujalla, hlm. 22-23).

Oleh sebab itu ilmu tentang pokok-pokok agama disebut oleh para ulama sebagai ilmu yang paling mulia. Karena kemuliaan suatu ilmu ditentukan oleh kemuliaan sesuatu yang diilmui; yaitu apa yang dipelajari. Dan tidak ada yang lebih mulia daripada Allah. Oleh sebab itu ilmu tentang akidah disebut sebagai fiqih akbar. Kebutuhan para hamba terhadap ilmu ini jauh di atas semua kebutuhan. Keterdesakan dirinya terhadap ilmu ini melebihi semua perkara mendesak. Karena tiada kehidupan bagi hati dan tidak ada ketenangan baginya kecuali dengan mengenal Rabbnya; mengenal Pencipta dan sesembahannya, melalui nama-nama dan sifat serta perbuatan-Nya. Bersamaan dengan itu dia pun menjadikan Allah sebagai Dzat yang paling dicintai olehnya daripada segala sesuatu (lihat Syarh Aqidah Thahawiyah tahqiq al-Albani, hlm. 69).

Baca Juga: Pengaruh Nama dan Sifat Allah bagi Insan Beriman

Seorang hamba yang menyadari bahwa semua keutamaan adalah di tangan Allah tentu merasa butuh dan berhajat kepada pertolongan dan ampunan-Nya. Seorang hamba yang meyakini bahwa tidak ada satu pun makhluk di dunia ini melainkan berada di bawah kekuasaan-Nya, maka dia akan bersimpuh dan pasrah kepada aturan dan hukum-hukum-Nya. Seorang hamba yang menyadari bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan sebagai ujian bagi manusia; tentu akan berusaha sekuat tenaga membuat rida Rabbnya dan menjauhi murka-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul” (HR. Muslim).

Lezatnya keimanan -sebagaimana diterangkan oleh para ulama- adalah kenikmatan dalam menjalankan ketaatan. Lezatnya ibadah itulah yang membuat para salafus shalih mendapatkan pujian dari atas langit sementara jasad mereka masih di atas tanah. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Mereka menyadari bahwa semua yang mereka lakukan selalu diawasi oleh Allah. Pengagungan kepada Allah telah mematahkan ambisi hina dan membasmi penyakit hati dalam diri mereka yang mendahulukan wahyu di atas akalnya dan mengangkat akal sehat di atas hawa nafsunya. Mereka lah orang-orang cerdas!

Ketundukan seorang hamba kepada Allah dibuktikan dengan ketundukan dirinya terhadap perintah dan larangan Allah. Pengagungan seorang mukmin terhadap perintah dan larangan Allah merupakan tanda pengagungan dirinya kepada pemberi perintah dan larangan. Sebuah ketundukan yang harus dilandasi dengan keikhlasan dan kejujuran. Ketundukan yang dibangun di atas akidah yang lurus dan bersih dari kemunafikan akbar. Karena bisa jadi seorang melakukan perintah karena dilihat orang lain. Atau karena mencari kedudukan di mata mereka. Atau dia menjauhi larangan karena takut kedudukannya jatuh dalam pandangan mereka. Maka orang yang semacam ini ketundukannya kepada perintah dan larangan bukan berasal dari pengagungan kepada Allah; Yang memberikan perintah dan larangan itu (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 15-16).

Diantara sifat Allah yang menjadi rambu-rambu bagi seorang muslim adalah kebersamaan-Nya dengan segenap hamba. Yaitu kebersamaan ilmu dan kekuasaan-Nya. Sebagaimana Allah bersama hamba-Nya yang beriman dengan pertolongan dan dukungan-Nya. Allah berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ

“Dan Dia bersama kalian dimana pun kalian berada” (QS. al-Hadid: 4).

Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ketika mereka berdua berada di dalam gua dan dibawah kejaran orang-orang kafir Quraisy,

لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا

“Janganlah sedih. Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. at-Taubah: 40).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama iman adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana pun kamu berada.” (HR. Thabarani dalam al-Kabir). Keyakinan semacam ini akan menumbuhkan perasaan muraqabah/merasa diawasi oleh Allah. Dan apabila perasaan ini menumbuhkan ketaatan maka hal itu akan membuahkan kebersamaan Allah yang lebih khusus (ma’iyah khaashshah) yaitu berupa pertolongan dan dukungan. Sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا۟ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan mereka yang suka berbuat ihsan/kebaikan” (QS. an-Nahl: 128) (lihat Fathu Rabbil Bariyah, hlm. 49).

Demikian sedikit kumpulan faidah, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallamWalhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Doa Agar Iman Kuat dan Hidayah Dikekalkan dalam Diri

Allah membanggakan hamba yang berdoa berharap keimanan dan hidayah.

Allah SWT membanggakan hambanya yang beriman ketika berdoa. Apalagi doa yang dipanjatkan itu meminta agar Allah SWT menguatkan iman dan mengekalkan hidayah.

Bagaiamana doa orang yang beriman dibanggakan Allah itu diabadikan dalam surah Ali-Imran ayat 8. Berikut ayat lengkap Arab dan latinnya.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana wahablana minladunka rahmatan innaka antal wahhab.

Artinya ayat di atas berdasarkan Terjamah Tafsiriyah QS Ali Imran ayat 8 itu adalah.

“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami dari Islam setelah Engkau beri hidayah kepada kami. Limpahkanlah keimanan kepada kami dari sisi-Mu. Engkau Maha Pemberi rahmat kepada orang-orang  mukmin.”

Ketua Pengurus Yayasan Dakwah, Pendidikan, dan Sosial Al-Ittihaad Magelang Ustaz Rafiq Zauhary mengatakan, di antara sifat keimanan adalah naik dan turun. Adakalanya iman meningkat seiring dengan meningkatnya ibadah.

“Namun adakalanya iman menurun seiring dengan kemaksiatan yang dilanggar,” katanya saat menyampaikan doa dalam tausiyah daring, Rabu (20/4).

Menurut Ustaz Rafiq yang juga pembimbing ibadah haji para penuntut ilmu syar’i (ar-rasikhuna fil ilmi) mereka akan banyak berdoa kepada Allah dengan doa di atas, inilah doa yang akan meneguhkan keimanan dari berbagai gempuran penyesatan ideologi dan berbagai godaan setan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Atasi Kemelut Hidup dengan Istighfar

Dunia ini makin padat kemelut. Setiap hari begitu banyak musibah berdatangan. Berita kelaparan dan kebanjiran sudah sering kita dengar. Kasus jatuhnya pesawat terbang, tanah longsor, resapan air laut, kerusuhan dan kenakalan remaja, wabah penyakit aneh, sampai kepada peristiwa kekeringan dan terbakarnya ribuan hektar tanah di Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu lalu.

Kita sering melihat masalah ini sebagai masalah yang parsial, putus kaitannya dengan Tuhan. Seperti sama sekali tidak kaitannya dengan teguran Tuhan.

Kalaupun ada bolehlah sekadar informasi bibir, Allah sedang menguji kita, ungkapnya, tanpa kita berani mengorek sedikit juga kekeliruan dan kesalahan kronis yang bisa mendatangkan musibah itu sendiri. Kita selalu diantar pada tinjauan materi, tanpa ada penggalian mungkin penyebab kasus yang bersifat immateri, transendental.

Jangan jauhkan Tuhan

Aneh. Padahal, kita juga tidak mau dikatakan sebagai orang yang tidak bertuhan. Tapi ketika masalah itu datang, koreksi kalau-kalau di balik itu ada unsur kemarahan Tuhan sama sekali tidak dipersoalkan.

Selalu yang disodorkan adalah dari itu ke itu juga. Jatuhnya pesawat, misalnya, akibat kelalaian pilot, human error, kesalahan teknis, cuaca buruk, dsb. Padahal tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang mestinya diperhatikan di institusi yang bersangkutan.

Boleh jadi ada aturan-aturan Allah yang dilanggar dan makin banyak terjadi pelanggaran di sana. Sudah banyak tindakan maksiat yang semestinya segera dibenahi dan ditinggalkan. Bukankah fasilitas pesawat juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana pelayanan seharusnya terhadap para jemaah haji, misalnya?

Betapa tidak mengerikannya ketika melakukan perjalanan yang begitu riskan, disodorkan di hadapan mata kita lenggak-lenggok para gadis. Seolah-olah kita disuruh melupakan semua kemungkinan-kemungkinan terburuk dengan hadirnya senyum manis mereka yang menarik dengan segala keramah-tamahannya yang dibuat-buat itu? Adakah salah bila sebelum pesawat take off ada kesempatan barang sejenak pengumuman untuk berdoa bersama, yang dipandu oleh Sang Pilot? Apa pula salahnya memakai jasa para santri atau kiai, sebelum pesawat memulai penerbangan, dan ketika mendarat dengan selamat? Mengapa harus berat dan malu untuk sebuah perjalanan yang selamat dan menenteramkan seperti itu?

Teguran yang Tuhan berikan merupakan lampu peringatan supaya segera dilakukan koreksi, muhasabah, dan evaluasi. Bukan sekadar evaluasi teknis kedirgantaraan, tapi juga menyangkut sisi pelayanan dan pemenuhan hak-hak penumpang, termasuk di dalamnya peringatan untuk selalu dekat dengan Tuhan.

Jangan pisahkan Tuhan dari mereka dengan alasan sibuk sekalipun. Bukankah Dia yang menggerakkan angin, mengatur gravitasi, dan mengendalikan instrumen konsentrasi Sang Pilot?

Doa kaum dhuafa

Demikian pula dengan kemarau yang panjang dan terbakarnya hutan. Berapa seringnya kita mendengar informasi yang mendirikan bulu roma? Ketika sebagian orang begitu sulit mencari sepetak tanah untuk tempat tinggal anggota keluarganya, masih ada segelintir orang yang dengan enak-enak mengukur tanah ribuan hektar untuk dimilikinya seorang diri.

Bahkan mereka dengan congkaknya ingin terus memperlebar dan memperluas lahan untuk kerajaan bisnisnya? Tidak menutup kemungkinan, semua fenomena yang terjadi di hadapan mata kita hari ini merupakan bentuk ijabah doa kaum dhuafa yang tertindas.

Secara materi mereka tidak mempunyai kekuatan tindakan untuk melawan. Akan tetapi ketika mereka mengangkat kedua tangannya seraya membisikkan untaian doa, para malaikat mengaminkannya sebagai catatan hitam yang akan dijawab pada masanya:

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan Kami ke surga-Mu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah dunia ini. Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami.” (HR Tirmidzi dan Hakim).

Selain itu masih ada lagi hadist Rasulullah yang yang menjelaskan keberpihakan Allah kepada kelompok dhuafa ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

ثَلَاثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ : وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

“Ada tiga golongan manusia yang do’anya tidak akan ditolak : Orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang dizhalimi, Allah akan mengangkat doanya sampai di atas awan dan dibukakan pintu-pintu langit untuknya, dan Allah berfirman : Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu meskipun tidak serta merta.” (HR. Tirmidzi).

Kembali kepada Allah

Kembali kepada Allah merupakan jawaban yang paling tepat. Kepada mereka yang sering nyeplos membuat statemen yang melewati batas kewajaran, harus ditutup dengan istighfar.

Ungkapan yang sering kelewat yang sebenarnya hanya hak Allah hanyalah cermin kerenggangan dan keangkuhan terhadap Yang Maha Penguasa. Kendati hal itu sering terjadi di luar kesadaran manusiawinya.

Bukankah di sekililing kita begitu banyak kata-kata :yang bisa menodai akidah? Ketika di jalan, di kantor, di kantin, saat bergurau kala nongkrong, dimana saja sering lepas kendali dengan ucapan kasar dan kotor.

Padahal sekalipun terhadap udara yang memenuhi ruangan, kita masih dianjurkan untuk memohon kebaikan-kebaikannya. Seperti termaktub dalam sabda Nabi ﷺ

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ

Artinya: “Ya Allah, sungguh aku mohon kepadaMu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada padanya, dan kebaikan pada tujuan angin ini dihembuskan. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang ada padanya, dan keburukan tujuan angin ini dihembuskan.” (HR: Muslim)

Sewajarnya kita memang tidak perlu membesar-besarkan apa yang menjadi karya manusia. Sebaliknya tidak menganggap kecil sesuatu yang dari Sang Maha Akbar. Nyamuk, kuman, angin dan asap, bukankah semuanya hanya kecil saja? Tapi ternyata mereka bisa mendatangkan kesulitan dan kematian.*

HIDAYATULLAH

Berdasarkan Prediksi Imam Abu Hasan al-Syadzili, Malam Lailatul Qadar 2021 Jatuh di Tanggal Ini

Tak terasa saat ini umat Islam Indonesia telah masuk dalam bulan Ramadhan 1442 Hijriah atau tahun 2021 Masehi. Tidak dapat dipungkiri bahwa lailatul qadar menjadi momen yang paling dinanti oleh umat Islam pada bulan Ramadhan. Hal ini karena terdapat keagungan dan keistimewaan yang melingkupi malam tersebut, seperti derajatnya yang lebih baik dari seribu bulan, waktu dimana doa dikabulkan dan lain sebagainya. Sehingga menjadi wajar manakala masyarakat muslim Indonesia kemudian menantikannya untuk meraih keberkahan. Kapan malam lailatul qadar 2021?

Rasulullah menganjurkan kepada kita semua untuk terus berharap mendapatkan malam lailatul qadar, meski malam lailatul qadar tersebut tak menentu kapan datangnya. Karena yang mengerti kepastiannya hanyalah Allah. Namun, Rasulullah menginsyaratkan dalam hadis yang diceritakan dari Aisyah:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadan”. (HR. Al-Bukhari)

Keterangan di atas sekedar menginformasikan bahwa lailatul qadar itu  kemungkinan terjadi pada malam ganjil di sepuluh akhir bulan Ramadan. Para Ulama berbeda pendapat dalam memprediksi datangnya malam lailatul qadar. Salah satu pendapat ulama yang banyak dianut adalah pendapat Imam Abu Hasan al-Syadzili. Beliau merupakan tokoh sufi pendiri tarikat syadziliyah. Pendapat beliau mengenai jatuhnya malam lailatul qadar ini dapat dilihat dalam kitab Hasyiyah ash Shaawi ‘alal Jalaalain juz IV halaman 337. Sebagaimana dalam keterangan berikut :

فعن أبي الحسن الشاذلي إن كان أوله الأحد فليلة تسع وعشرين، أو الإثنين فإحدي وعشري أو الثلاثاء فسبع وعشرين أو الأربعاء فتسعة عشر أو الخميس فخمس وعشرين أو الجمعة فسبعة عشر أوالسبت فثلاث وعشرين

Jika awal Ramadhan hari Ahad maka Lailatul Qadar malam ke 29

Jika awal Ramadhan hari Senin maka Lailatul Qadar malam ke 21

Jika awal Ramadhan hari Selasa maka Lailatul Qadar malam ke 27

Jika awal Ramadhan hari Rabu maka Lailatul Qadar malam ke 19

Jika awal Ramadhan hari Kamis maka Lailatul Qadar malam ke 25

Jika awal Raamadhan hari Jumat maka Lailatul Qadar malam ke 17

Jika awal Raamadhan hari Sabtu maka Lailatul Qadar malam ke 23

Berdasarkan pendapat ulama di atas, untuk bulan Ramadhan tahun ini, yang mana umat Islam mayoritas memulai pada hari Selasa, maka Lailatul Qadar 1442 H. / 2021 M. jatuh pada malam ke 27 menurut pendapat Imam Abu Hasan al-Syadzili.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Rahasia Berbuka Puasa dengan Kurma Menurut Ilmu Kesehatan

Dalam istilah syarafidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti dari suatu ibadah yang telah ditinggalkan. Khusus dalam ibadah puasa Ramadan, fidyah diwajibkan kepada orang yang tidak mampu berpuasa disebabkan karena sakit yang tak kunjung sembuh atau lainnya. Dalam Alquran surah al-Baqarah: 184, Allah berfirman;

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Adapun cara membayar fidyah, dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji disebutkan bahwa ada ada tiga kelompok orang yang wajib membayar fidyah ketika tidak puasa di bulan Ramadan. Ketiga kelompok tersebut sebagai berikut.

  1. Musafir dan orang sakit yang tidak puasa di bulan Ramadan dan tidak kunjung mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut sampai puasa Ramadan berikutnya tiba. Maka selain tetap wajib mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut, juga wajib membayar fidyah setiap hari satu mud kepada fakir miskin.
  2. Orang yang tidak mampu berpuasa di bulan Ramadan karena sudah lanjut usia dan karena sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka hanya wajib membayar fidyah setiap satu mud kepada fakir miskin.
  3. Orang hamil atau menyusui yang tidak puasa di bulan Ramadan karena khawatir terhadap kandungan atau bayinya. Selain wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, juga wajib membayar fidyah setiap hari satu mud kepad fakir miskin.

Adapun waktu membayar fidyah boleh dibayar setiap hari di bulan Ramadan atau membayar satu kali, baik di awal atau di akhir bulan Ramadan. Dan tidak boleh membayar fidyah sebelum bulan Ramadan tiba. Juga membayar fidyah boleh dilaksanakan dengan uang, jika sekiranya lebih bermanfaat.

Namun jika ada indikasi bahwa uang ter­sebut akan digunakan untuk foya-foya, maka wajib memberi­kannya dalam bentuk bahan makanan pokok satu mud , yaitu 0.6 Kg atau ¾ liter beras.

BINCANG SYARIAH

Ini Empat Golongan Orang yang Wajib Membayar Fidyah

Secara bahasa, fidyah adalah harta yang diberikan sebagai tebusan. Secara istilah, fidyah didefinisikan sebagai sejumlah harta dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti dari ibadah puasa Ramadan yang telah ditinggalkan. Dalil yang menjadi dasar kewajiban membayar fidyah bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadan adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 184 berikut;

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Namun demikian, tidak semua orang yang meninggalkan puasa Ramadan harus membayar fidyah. Menurut para ulama, hanya empat golongan orang yang wajib membayar fidyah.

Pertama, orang yang tidak mampu berpuasa baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Ini misalya, orang yang sudah lanjut usia dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. Mereka berdua tidak wajib puasa Ramadan dan juga tidak wajib mengqadhanya, melainkan hanya wajib membayar fidyah setiap hari satu mud makanan pokok kepada fakir miskin.

Kedua, orang yang mati dan masih memiliki tanggungan qadha puasa Ramadan.

Ketiga, orang hamil atau menyusui yang tidak puasa di bulan Ramadan karena khawatir terhadap kandungan atau bayinya. Selain wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, juga wajib membayar fidyah setiap hari satu mud makanan pokok kepad fakir miskin.

Keempat, orang yang tidak kunjung mengqadha puasanya sampai puasa Ramadan berikutnya tiba. Selain tetap wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, juga wajib membayar fidyah setiap hari satu mud makanan pokok kepada fakir miskin.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

على من تجب فدية الصوم؟

الفدية تجب على من لا يستطيع الصوم لا في الحال ولا في المستقبل مثل: الشيخ الهرم، والمرأة المسنة، والمريض مرضاً لا يرجى برؤه، وتجب الفدية في تركة من مات وفي ذمته صوم واجب، وتجب على المرأة الحامل والمرضع إذا أفطرتا خوفا على الجنين أو الولد، وتجب كذلك على من أخر قضاء رمضان حتى دخل رمضان القابل إذا كان تأخيره بلا عذر شرعي.

Siapa yang wajib membayar fidyah puasa?

Fidyah wajib bagi orang yang tidak mampu berpuasa, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Seperti orang yang tua renta, perempuan lanjut usia, orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Fidyah juga wajib diambil dari harta peninggalan orang yang meninggal jika dia memiliki tanggungan puasa wajib. Fidyah wajib bagi perempuan yang hamil dan menyusui, jika keduanya tidak berpuasa karena khawatir terhadap kandungan atau anaknya. Juga fidyah wajib bagi orang yang mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga Ramadan berikutnya datang, dan tidak ada uzur syar’i dalam pengakhiran tersebut.

BINCANG SYARIAH

Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur

Dalam melaksanakan ibadah puasa, disyariatkan untuk makan sahur. Berikut ini beberapa sunnah (tuntunan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkait makan sahur.

Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah

Makan sahur tidaklah wajib dan bukan syarat sah puasa. Namun hendaknya orang yang berpuasa bersemangat untuk melakukannya karena para ulama mengatakan hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

Artinya:

“Bersahurlah karena dalam makanan sahur terdapat keberkahan” (HR. Bukhari no.1922, Muslim no.1095).

Ibnul Munzir mengatakan:

وأجمَعُوا على أنَّ السُّحورَ مندوبٌ إليه

Artinya:

“Ulama ijma’ bahwa sahur hukumnya dianjurkan” (Al-Ijma’, hal. 49).

Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahur, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

السُّحورُ كلُّه بركةٌ فلا تَدَعُوه ، و لَو أن يَجرَعَ أحدُكُم جَرعةً مِن ماءٍ ، فإنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ وملائكتَه يُصلُّونَ على المتسحِّرينَ

Artinya:

“Makanan sahur semuanya berkah, maka jangan tinggalkan ia. Walaupun kalian hanya meneguk seteguk air. Karena Allah ‘azza wa jalla dan para Malaikatnya berselawat kepada orang-orang yang sahur” (HR. Ahmad no.11101, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.1070).

Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar

Dianjurkan untuk menunda sahur hingga mendekati waktu terbitnya fajar, selama tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu:

كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

Artinya:

“Berapa biasanya jarak sahur Rasulullah dengan azan (subuh)? Zaid menjawab: sekitar 50 ayat” (HR. Bukhari no.1921, Muslim no.1097).

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:

في قوله: قَدْرُ خَمسينَ آيةً؛ أي: متوسِّطةٌ، لا طويلةٌ ولا قصيرةٌ ولا سريعةٌ ولا بطيئةٌ

Artinya:

“Perkataan Zaid [sekitar 50 ayat] maksudnya dengan kecepatan bacaan yang pertengahan. Tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat” (Fathul Bari, 1/367).

Dari sini kita ketahui kekeliruan sebagian yang bersengaja makan sahur larut malam sekitar pukul 2 atau pukul 3 malam ketika waktu subuh sekitar pukul 4 pagi.

Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

نِعْمَ سَحورُ المؤمِنِ التَّمرُ

Artinya:

“Sebaik-baik makanan sahur adalah tamr (kurma kering)” (HR. Abu Daud no. 2345, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Disebutkan Mausu’ah Haditsiyyah Durar Saniyyah dalam syarah hadis ini: “Makanan terbaik bagi seorang mukmin ketika sahur adalah kurma, sebagai persiapan dirinya untuk berpuasa. Karena waktu sahur dan kurma, dua-duanya memiliki keberkahan yang membantu seorang yang berpuasa di siang hari”.

Baca Juga: Barakah dalam Makanan Sahur

Gunakan waktu sahur untuk banyak beristighfar

Waktu sahur adalah salah satu waktu yang terbaik untuk meminta ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

Artinya:

“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18).

Gunakan waktu sahur untuk banyak berdoa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فيَقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له

Artinya:

“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758).

Gunakan waktu sahur untuk banyak membaca Al-Qur’an

Waktu malam secara umum adalah waktu yang baik untuk membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

Artinya:

“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS. Al Muzammil: 6).

Juga sebagaimana pada hadis Zaid bin Tsabit, mengisyaratkan bahwa para sahabat biasa memanfaatkan waktu setelah makan sahur untuk membaca Al-Qur’an.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Tarawih Cepat vs Tarawih Santai

Bismillahirrahmanirrahim 

Tuma’ninah dalam salat termasuk salah satu rukun salat, baik salat wajib maupun sunnah. Semakin besar kadar tuma’ninah dalam salat, maka pahala pun akan semakin besar.

Dalilnya adalah hadis yang menceritakan seorang yang salah salatnya atau dikenal dengan hadis al-musii’ fi sholaatihi.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

أنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ فَصَلَّى، ورَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في نَاحِيةِ المَسْجِدِ، فَجَاءَ فسَلَّمَ عليه، فقالَ له

“Bahwasanya seseorang masuk ke masjid kemudian melaksanakan salat. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di dalam masjid tersebut. Usai salat, lelaki itu datang mendekat ke Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberi salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi berkata kepadanya,

ارْجِعْ فَصَلِّ فإنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat.”

فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ، فَقَالَ: وعَلَيْكَ، ارْجِعْ فَصَلِّ فإنَّكَ لَمْ تُصَلِّ، قالَ في الثَّالِثةِ: فأعْلِمْنِي،

“Lelaki itu pun salat kembali. Usai salat, dia datang ke Nabi dan memberi salam. Lalu Nabi menjawab, ‘Wa’alaik … (Semoga demikian pula untuk Anda). Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat.’ Beliau berkata dengan perkataan yang sama untuk ketiga kalinya. Lelaki itu kemudian berkata kepada Nabi, ‘Mohon ajari saya salat yang benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarinya.”

إذا قُمْتَ إلى الصَّلَاةِ، فأسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ، فَكَبِّرْ واقْرَأْ بما تَيَسَّرَ معَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حتَّى تَعْتَدِلَ قائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمَئِنَّ ساجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حتَّى تَسْتَوِيَ وتَطْمَئِنَّ جالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمَئِنَّ ساجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذلكَ في صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Jika Anda hendak salat, sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al-Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian ruku’lah sampai ruku’nya terasa tuma’ninah. Lalu bangkitlah dan ber-i’tidal-lah (bangkit dari ruku’) seraya berdiri. Kemudian sujudlah sampai sujudnya terasa tuma’ninah. Lalu bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil tuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai tuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap salatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur lelaki itu supaya mengulang salat. Hal ini karena tidak adanya tuma’ninah pada salatnya yang menyebabkan salat tidak sah. Sehingga teguran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat” ini juga bisa disampaikan kepada siapa saja yang terlalu cepat salatnya atau tidak tuma’ninah dalam salatnya.

Perbandingan mana yang lebih utama, antara tarawih cepat 23 raka’at, dengan 11 raka’at santai, sama dengan membandingkan antara kuantitas dengan kualitas. Tentu kualitas lebih unggul daripada sekedar banyak-banyakan kuantitas. Maka salat tarawih dengan sedikit raka’at namun khusyu’ dan tuma’ninah, lebih besar pahalanya dan lebih utama daripada tarawih banyak raka’at tetapi tergesa-gesa tidak khusyu‘.

Syekh ‘Alwi bin Abdul Qadir As-Saqof (pengasuh website Ilmiyah dorar.net) menerangkan,

ولو خُيِّرَ المأمومُ بينَ مَسجِدَينِ، فالأوْلى -واللهُ أعلَمُ- أنْ يَختارَ مَن قدَّمَ التَّروِّيَ والطُّمأنينةَ في الصَّلاةِ على مَن قدَّمَ عددَ الرَّكَعاتِ وصلَّى إحْدى عَشْرةَ ركعةً خَفيفةً جدًّ

“Kalau makmum diberi pilihan antara salat di dua masjid, maka yang lebih utama –wallahu a’lam– memilih masjid yang imamnya lebih memperhatikan tuma’ninah dalam salat, daripada imam yang lebih perhatian pada jumlah raka’at. Dia melakukan salat sebelas rakaat adalah sangat ringan.” Silakan dilihat fatwanya di sini. 

Demikian…

Wallahua’lam bis showab.

Penulis : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.or.id

Manfaat Psikis Ibadah Puasa

IBADAH puasa –yang sedang ditunaikan oleh umat Islam seluruh dunia saat ini– memiliki banyak manfaat. Manfaat secara fisik puasa sudah banyak dibahas di berbagai artikel dan buku. Tulisan ini berfokus pada manfaat  puasa secara psikis.

Dalam buku berjudul “Al-Qur`an wa ‘Ilmu an-Nafs” (2001: 293) karya Dr. Muhammad Utsman Najāti, disebutkan bahwa puasa memiliki banyak manfaat secara psikis. Penjelasan beliau mengenai masalah ini bisa dituangkan dalam beberapa poin berikut:

Pertama, mendidik dan melati jiwa manusia. Kedua, mengobati banyak penyakit kejiwaan, bahkan fisik.Menahan diri dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari sebulan penuh misalnya melatih manusia untuk melawan syahwat dan mengontrolnya. Upaya ini bisa menanamkan spirit takwa dalam jiwa yang menunaikan puasa.

Tujuan dari ibadah puasa –sebagaimana keterangan surah Al-Baqarah ayat 183– adalah agar orang beriman menjadi pribadi yang senantiasa bertakwa. Maksudnya, orang yang menunaikannya seakan sedang membentengi jiwanya dari berbagai kemaksiatan. Kuncinya adalah pengendalian syahwat.

Dari sini, penulis dan pembaca bisa mengerti mengapa Nabi ﷺ bersabda, “Puasa adalah perisai (tameng).” Karena peran-peran puasa pada hakikatnya mirip benteng atau baju perisai dalam perang yang fungsinya bisa melindungi dari serangan musuh. Hanya saja, yang dilindungi dalam ibadah puasa di antaranya adalah jiwa manusia agar tidak menjadi budak syahwat.

Lebih saksama, ketika hadits-hadits tentang puasa dibaca, terdapat banyak nilai puasa yang berpengaruh positif secara psikis. Misalnya, ketika puasa dilarang berkata kotor, berbuat bodoh dan sia-sia, bahkan ketika diprovokasi berkelahi maka tidak boleh dilayani, cukup membalasnya secara verbal bahwa dirinya sedang berpuasa.

Pengendalian diri semacam ini membuat jiwa semakin kuat dan mudah dikendalikan untuk berbuat taat. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ pernah berujar, orang kuat sejati bukanlah yang jago gulat (kuat secara fisik), tapi yang kuat menahan amarah. Nah di sini, peran ibadah puasa menjadi begitu signifikan.

Jika puasa dijalankan dengan proses dan niat yang benar, maka menurut Dr. Usman Najati akan berpengaruh positif pada psikis manusia. Orang demikian akan mampu memiliki keinginan kuat dan kebulatan tekad yang akan berfungsi bukan saja dalam pengendalian diri pribadi tapi juga bisa berpengaruh pada interaksi sosial.

Tidak kalah penting dari semua itu, ibadah puasa juga bisa melatih nurani manusia sehingga ia menjadi hamba Allah yang konsisten menjaga adab-adab yang luhur. Dampak paling positifnya adalah yang jadi kontrol bukan lagi peraturan undang-undang, tapi nuraninya sendiri. Ia akan tetap melakukan kebaikan di manasa saja, meski tidak disorot media atau hiruk pikuk manusia. Ini karena nuraninya bisa menjadi kontrol.

Dalam ibadah puasa juga melatih manusia memiliki sifat-sifat luhur yang sangat berguna bagi kesehatan jiwa. Misalnya, membuatnya mampu untuk bersabar, bukan saja pada makan, minum dan hubungan intim, tapi juga dalam mengendalikan syahwat. Dengan kesabaran, maka segenap beban berat tidak membuatnya pesimis bahkan putus asa dalam perjuangan menuju akhirat.

Manfaat lain dari ibadah puasa secara psikis adalah bisa menanamkan pada jiwa orang kaya tentang rasa sakit, lapar dan kesusahan yang dialami orang-orang yang tak punya. Sehingga, nanti muncul rasa belas kasih, tidak tega kepada orang fakir miskin. Kemudian mendorongnya untuk berderma dan membantu kesusahan hidup mereka. Ini semua bisa menguatkan spirit solidaritas sosial dalam tatanan masyarakat.

Selain manfaat yang disebutkan tadi, bisa ditambahkan juga manfaat psikis dari ibadah puasa yang disebutkan oleh Ahmad Syarifuddin dalam buku “Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis” (2003: 175) di antaranya: mengantar sikap hidup takwa, membangun kepercayaan diri, mengurangi tekanan jiwa, menjaga kstabilan emosi, menjamkan mata hati dan intuisi. Itu semua bisa diraih ketika ibadah puasa dijalankan dengan sebenar-benaranya.

Untuk meraih puasa yang bisa menyehatkan secara psikis memang tidak bisa ditempuh dengan puasa biasa-biasa saja. Meminjam istilah Imam Ghazali, bukanlah puasa pada level awam yang hanya sekadar meninggalkan makan, minum dan berhubungan intim.

Tapi puasa pada level khusus dan super khusus yang berarti mengendalikan diri juga dari berbagai maksiat, dosa bahkan pada puncaknya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang bisa memalingkan diri kita dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Orang seperti ini biasa memandang ibadah puasa sebagai nilai yang terus dijalankan bukan saja dalam bulan Ramadhan, tapi pada bulan-bulan lainnya. Meski di luar Ramadhan tidak ada puasa sebulan penuh, tapi ibadah-ibadah puasa sunnah yang lain banyak sekali yang bisa dilaksanakan. Yang tak kalah penting adalah puasa dalam perngertian subtantif yang berarti pengendalian jiwa dan raga dari sesuatu yang haram.

Puasa demikian adalah sepanjang hayat, dan waktu berbukanya adalah ketika ajal menjemput. Terkait hal ini ada ungkapan menarik dari generasi salaf terdahulu:

صُمِ الدُّنْيَا وَاجْعَلْ فِطْرَكَ الْمَوْتَ الدُّنْيَا كُلُّهَا شَهْرُ صِيَامِ الْمُتَّقِيْنَ يَصُوْمُوْنَ فِيْهِ عَنِ الشَّهَوَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ فَإِذَا جَاءَهُمُ الْمَوْتُ فَقَدِ انْقَضَى شَهْرُ صِيَامِهِمْ وَاسْتَهَلُّوا عِيْدَ فِطْرِهِمْ.

“Teruslah berpuasa selama di dunia, dan jadikanlah waktu berbukamu adalah kematian. Dunia seluruhnya adalah hari berpuasa bagi orang bertakwa. Mereka berpuasa dari syahwat yang diharamkan. Ketika ajal sudah tiba, maka telah usailah waktu berpuasa mereka, dan mereka memulai berbuka.” (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma’arif, 293)

Dengan pemahaman demikian maka kesehatan psikis dari ibadah puasa bisa dinikmati bukan saja pada bulan Ramadhan, tapi sepanjang tahun, bahkan sepanjang hayat. Kalau kita perhatikan pada momen pertempuran Badar Kubra (2 H), mengapa umat Islam dengan bekal minim, kekuatan 3 kali lipat lebih kecil dari musuh, tapi bisa memenangkan pertempuran yang menghubah peta dunia?

Jawabannya mudah, karena pada momentum itu kewajiban puasa ditetapkan dan dampak secara psikis sangat besar. Keterbatasan-keterbatasan bekal fisik yang dihadapi akhirnya bisa dilampaui, karena mental, jiwa dan batinnya sudah menjadi pemenang. Perubahan besar itu terkandung dalam syariat puasa.*/Mahmud Budi Setiawan, LC

HIDAYATULLAH