Cara Beristighfar Agar Diterima Menurut Ibnu Qayyim

Istighfar akan memberikan manfaat yang nyata bagi pelakunya

Memohon ampun kepada Allah SWT dengan mengucapkan istighfar memiliki banyak keutamaan dan mendatangkan keberkahan yang berlimpah dari Allah SWT.

 وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Mahapengampun, Mahapenyayang. (QS Al-Baqarah: 199)

Dalam surat lain, Allah SWT memuji orang-orang yang beristighfar pada-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran 135: 

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?”  

Rasulullah SAW pun bersabda dengan mengutip firman Allah SWT bahwa Allah SWT tidak akan menyiksa orang-orang yang melakukan perbuatan dosa saat mereka beristighfar. Karena itu pula, Abu Musa berkata, “Kami mendapat dua keselamatan, satu pergi dan yang lainnya tetap.” (HR Ahmad) 

Imam Ibnu Qayyim menjelaskan, cara beristighfar kepada Allah SWT untuk mencegah datangnya siksaan adalah dengan mengucapkan istighfar sambil melepaskan setiap dosa secara sungguh-sungguh.  

Karena, pengampunan adalah penghapusan dosa dan menghilangkan jejak dosa itu. Dan bukan seperti anggapan kebanyakan orang, yaitu sebagai bentuk penyembunyian dosa. Karena Allah SWT yang Mahatinggi dalam menghapus mereka yang meminta ampunan dan yang tidak meminta.  Hadits dari jalur Ibnu Abbas juga menyebutkan: 

من لزم الاستغفار جعل الله له من كل ضيق مخرجا ، ومن كل هم فرجا ، ورزقه من حيث لا يحتسب “Siapa yang beristighfar, maka Allah SWT telah memberi jalan keluar untuknya dari semua kesulitan dan dari semua kegalauan mereka, serta memberi rezeki-Nya dari tempat yang tidak diduga-duga.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)

Sumber: islamweb

KHAZANAH REPUBLIKA

Ini Bacaan Istighfar Selama Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban termasuk salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Nabi Saw memuliakan bulan Sya’ban dengan menambah amalan ibadah melebihi hari-hari pada umumnya. Sehingga meningkatkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban sangat dianjurkan sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya. Di antaranya adalah memperbanyak bacaan istighfar selama bulan Sya’ban.

Hal ini karena selain disebut dengan syahrush shalawat atau bulan shalawat, bulan Sya’ban juga disebut sebagai syahrul bara-ah atau bulan tebusan dosa. Karena itu, selain dianjurkan memperbanyak membaca shalawat, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak membaca istighfar di bulan Sya’ban, terutama di malam Nisfu Sya’ban.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Thabrani dan Ibnu Hibban dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Saw, beliau bersabda;

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.

Adapun bacaan istighfar yang dianjurkan untuk dibaca selama bulan Sya’ban, sebagaimana disebutkan dalam kitab Iqbalul A’mal, adalah sebagai berikut;

اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ وَاتُوْبُ إِلَيْهِ/ اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاتُوْبُ إِلَيْهِ

Astaghfirullaahal ‘adziimal ladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyumu al-rohmaanur rohiimu wa atuubu ilaihi/Astaghfirullaahal ‘adziimal ladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyumu wa atuubu ilaihi.

Artinya:

Saya memohon ampun kepada Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, yang Maha Berdiri Sendiri, yang Pengasih lagi Maha Penyayang, dan saya bertaubat kepada-Nya/Saya memohon ampun kepada Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, yang Maha Berdiri Sendiri, dan saya bertaubat kepada-Nya.

BINCANG SYARIAH

Sungguh, Munajat Ali bin Abi Thalib nan Dahsyat

PARA sahabat Nabi SAW sering disebut para singa di medan perang, namun juga peratap yang tak malu menangis di dini hari, di hadapan Ilahi. Di bawah ini adalah munajat yang sering dipanjatkan sahabat Ali bin Abi Thalib RA di keheningan malamnya.
“Segala puji bagi-Mu, wahai Pemilik Kedermawanan, Keagungan, dan Ketinggian.Engkau Maha Agung, memberi dan mencegah siapa yang Kau kehendaki.

Hanya kepada-Mu aku mengadu di saat sulit dan bahagia, wahai Tuhanku, Penciptaku, Pelindungku dan Suakaku

Ilahi, jika dosa telah menumpuk, maka maaf-Mu lebih agung dan lebih lapang dari dosaku

Ilahi, jika kuturuti segala kehendak nafsuku, maka kini aku berkelana di sahara penyesalan.

Ilahi, Engkau melihat kefakiran dan kepapaanku, sedangkan Engkau mendengar munajatku yang tersembunyi

Ilahi, jangan Kau putus harapanku dan jangan biarkan hatiku tersesat, karena asaku tertumpu pada aliran karunia-Mu

Ilahi, jangan Kau sia-siakan daku atau Kau campakkan aku, maka siapa lagi yang dapat kuharap dan kujadikan penyafaat

Ilahi, lindungilah aku dari siksa-Mu, karena aku adalah hamba-Mu yang terpenjara, hina, takut dan bersimpuh pada-Mu

Ilahi, bahagiakanlah aku dengan mengajarkan hujjahku bila aku sudah kembali ke alam kuburku

Ilahi, jika Kau siksa daku seribu tahun, maka temali harapanku kepada-Mu tak kan terputus

Ilahi, biarkan aku merasakan manisnya maaf-Mu pada hari tiada keturunan dan harta yang bermanfaat di sana


Ilahi, jika Kau tak menjagaku, niscaya aku kan binasa, dan jika Kau memeliharaku, maka aku takkan binasa

Ilahi, jika Engkau tak maafkan pendosa, maka siapakah yang kan memaafkan orang jahat yang berlumuran hawa nafsu?

Ilahi, jika aku teledor dalam mencari ketakwaan, maka kini aku berlari mengejar maaf-Muilahi, jika aku berbuat kesalahan tanpa sepengetahuanku, aku selalu mengharap-Mu sehingga orang-orang berkata, “Alangkah tidak takutnya ia!”

Ilahi, dosa-dosaku telah menumpuk bak gunung menjulang, namun ampunan-Mu lebih agung dan tinggi dari dosaku

Ilahi, mengingat karunia-Mu dapat menyelamatkan bara (hati dan kekhawatiran)ku, sedangkan mengingat dosa-dosa, maka mengucurlah air mataku

Ilahi, maafkanlah kesalahanku dan musnahkanlah dosa-dosaku, karena aku mengaku, takut dan bersimpuh di haribaan-Mu

Ilahi, berilah kebahagiaan dan ketenangan kepadaku, karena aku tak kan mengetuk pintu selain-Mu

Ilahi, jika Kau usir aku atau Kau hinakan aku, maka apa dayaku dan tak ada yang bisa kuperbuat, ya Rabbi?

Ilahi, pencinta-Mu kan terjaga sepanjang malam, bermunajat dan memohon kepada-Mu, sedangkan orang yang lupa akan terlelap tidur

Ilahi, makhluk ini berada di antara dua tidur, maka kala sadar ia bersimpuh di malam hari.Mereka semua mengharap karunia agung-Mu, mengharap rahmat-Mu yang agung dan menginginkan keabadian

Ilahi, asaku memberikan sebuah harapan kebahagiaan, sedang keburukan dosaku akan menghinakanku

Ilahi, jika Kau memaafkanku, maka maaf-Mu adalah penyelamatku, dan jika tidak, aku kan hancur dengan dosa yang membinasakan ini

Ilahi, bangkitkanlah aku untuk agama Muhammad dan segera bertaubat, bertakwa, khusyu dan bersimpuh di haribaan-Mu

Ilahi, jangan Kau halangi aku dari syafaatnya yang agung, karena syafaatnya pasti terkabulkan. Curahkan sholawat atas mereka selama para muwahhid memohon dan orang-orang saleh bermunajat bersimpuh di pintu-Mu.”

Ali bin Abi Thalib []

INILAH MOZAIK

Tubuh Anda Sakit? Yuk Ikuti Anjuran Rasulullah Ini

SETIAP penyakit ada obatnya, demikianlah yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu orang yang mengalami sakit dianjurkan untuk berobat. Rasulullah SAW juga mengajarkan doa-doa untuk penyakit tertentu.


Contohnya adalah berikut ini.Jika yang sakit hanya dibagian tertentu dari tubuh kita, misalnya bagian dada (paru-paru dan jantung), kepala (sakit kepala atau migrain), sakit perut (lambung/maag), dan sejenisnya, maka Rasulullah menganjurkan untuk membaca doa berikut ini:

“Letakkan tanganmu pada tempat yang sakit dan bacalah Bismillah tiga kali, lalu bacalah “Auudzu billahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru” (Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari keburukan yang sedang aku rasakan dan yang aku khawatirkan)” (HR. Muslim)

Dalam Syarah Hisnul Muslim disebutkan asbabul wurud hadits ini.Suatu hari ada seornag sahabat Nabi SAW yang datang mengeluhkan sakit pada anggota tubuhnya. Ia bernama Utsman bin Al Ash r.a. yang merasakan sakit sejak ia masuk Islam. Lalu Rasulullah mengajarkan doa dan cara tersebut:

1. Letakkan tangan pada tempat yang sakit

2. Baca bismillah tiga kaliBaca jugaPesan Rasulullah: Hati-hati Pada Dunia dan Wanita


Mengenal Tanda-tanda Orang Ikhlas


Rumah Tangga tidaklah Semulus Cerita Cinderella

3. Baca doa ini tujuh kali:

Artinya: Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari keburukan yang sedang aku rasakan dan yang aku khawatirkan

Jika kita meyakini betul apa yang diajarkan Rasulullah ini, maka insya Allah, Allah akan memberikan kesembuhan kepada kita, seperti halnya Allah SWT memberikan kesembuhan kepada Utsman bin Al Ash r.a. Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan kita untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan Allah mengaruniakan rezeki kesehatan kepada kita dan seluruh anggota keluarga. []

INILAH MOZAIK

Ramadhan akan Tiba, Tapi Utang Puasa Masih Menumpuk?

Utang puasa masih menumpuk sebelum Ramadhan tiba.

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, dituliskan bahwa seluruh fuqaha sepakat bahwa orang yang memiliki hutang qadha’ puasa wajib (puasa Ramadhan), kemudian dia menunda qadha’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. 

“Udzur Syar’i disini maksudnya adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung atau disusuinya,” jelas Ustadzah Aini Aryani Lc kepada Republika, Ahad (14/2). 

Alumni International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan itu mencontohkan seorang wanita yang terpaksa meninggalkan puasa Ramadhannya karena sedang hamil, dan khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatan tubuhnya, maka menurut para ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, wanita ini wajib mengganti puasanya. Akan tetapi bila sehabis Ramadhan ternyata kondisi wanita ini masih sangat payah sebab masih hamil atau sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qadha’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2013).

“Wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia juga tidak berkewajiban untuk membayar fidyah,” jelas alumni Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta itu.

Namun di lain kasus, Jumhur Fuqaha (mayoritas ulama) dari mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi SAW berpendapat, orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.

Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qadha’, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.

“Artinya, kewajiban qadha’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah bayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua. Jika ia punya hutang puasa 5 hari, dan ia belum mengqadha’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qadha’ ia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu,” jelas perempuan yang bekerja sebagai peneliti di Rumah Fikih Indonesia itu.

“Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 2 hari saja,” jelasnya menambahkan.

Adapun fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.

KHAZANAH REPUBLIKA

Awas! Usianya Sudah 10 Tahun

SUATU ketika seorang laki-laki datang menemui saya. Usianya kira-kira 30 tahun atau sedikit kurang dari itu. Di teras masjid, ia bertanya perihal kemenakan perempuannya yang mulai menampakkan gejala aneh. Usia kemenakannya waktu itu sekitar 14 tahun; usia kelas 2 atau 3 SLTP.

“Dia kelihatan tidak suka kalau saya ada urusan yang berkait dengan akhwat atau pembicaraan saya menyinggung soal wanita,” demikian laki-laki itu mengeluh, “Sepertinya dia cemburu. Apa yang demikian ini wajar?”

Masih ada berbagai keluhan senada tentang kemenakannya yang semakin menunjukkan sikap menyukai paman, bukan dalam hubungan antara kemenakan terhadap pamannya. Tetapi antara seorang wanita muda yang tengah jatuh cinta kepada seorang lelaki pujaan hatinya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ini sebenarnya? Sebuah pertanyaan yang sangat luas.

Saya kemudian menanggapi pertanyaan laki-laki tersebut dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah masih sering tidur dengan kemenakan ketika dia sudah berusia sepuluh tahun?”

Pertanyaan ini ternyata mengejutkan. Ia balik bertanya dengan raut muka menampakkan keheranan, “Kan wajar? Dia kemenakan saya. Masa paman mempunyai perasaan yang aneh-aneh terhadap kemenakannya sendiri? Apa itu berpengaruh? Lho, kok bisa usia sepuluh tahun?”

Itulah. Perkara ini kelihatan wajar. Ya, seorang paman tidak punya pikiran macam-macam ketika bercerita kepada kemenakan perempuan sambil tiduran dalam satu tempat tidur. Yang terbersit hanya menyenangkan kemenakan yang mungkin dilakukan sembari membacakan cerita-cerita menarik. Masalahnya adalah, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah melarang.

Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan shalat bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Abu Dawud).

Sangat jelas perintah dalam hadis ini. Kita hendaknya memisahkan tidur anak dari orangtua begitu usianya menginjak 10 tahun. Seorang anak perempuan hendaknya tidur terpisah dari saudaranya yang laki-laki. Ia pun tidak lagi boleh tidur bersama dengan orang dewasa laki-laki, sekalipun itu bernama pamannya sendiri. Satu lagi, seorang anak perempuan tidak boleh lagi tidur dalam satu selimut dengan anak perempuan. Seorang anak laki-laki juga tidak boleh tidur dalam satu sarung dengan sesama laki-laki, meskipun itu kakak atau adiknya sendiri.

Inilah petunjuk yang dapat kita petik dari hadis riwayat Abu Dawud tersebut. Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Melanggar ketentuan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini akan sangat riskan. Penyimpangan perilaku seksual dapat terjadi pada diri anak. Bentuk penyimpangan itu dapat secara nyata terlihat dalam perilaku-perilaku seksual, misalnya dorongan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman bermain, binatang atau boneka. Dapat pula dalam bentuk perilaku-perilaku agresif, semisal berkelahi atau menunjukkan keberanian meminum minuman keras di hadapan lawan jenis.

Berbagai kasus tindakan asusila yang dilakukan oleh remaja belasan tahun, tidak sedikit yang dapat kita runut akarnya dengan memahami hadis ini. Ada memang, dan itu tidak sedikit, anak-anak yang mengalami gejolak seksual sehingga melakukan kejahatan bersebab tayangan pornografis, baik dari melihat VCD porno maupun paparan pornografis yang ada di smartphone miliknya maupun orangtua. Ada orangtua yang menjauhkan diri dari mengakses pornografi, tapi membiarkan group WA atau yang sejenisnya memuat konten pornografis.

Usia sekitar 9 atau 10 tahun (ingat, dalam hadis tersebut 10 tahun merupakan hitungan Qamariyah yang lebih pendek masanya), merupakan titik yang sangat rawan. Perempuan dapat mencapai aqil baligh pada usia ini dengan ditandai adanya menarche (menstruasi pertama). Sementara anak laki-laki pada umumnya akan mengalami ihtilam (mimpi basah) sekitar 2 atau 3 tahun sesudah usia itu. Sekalipun demikian, di masa sekarang semakin banyak anak yang mengalami ihtilam lebih awal dibanding anak-anak di masa sebelumnya. Usia 10 tahun pun boleh jadi sudah ada yang menjadi muhtalim (orang yang mengalami mimpi basah).

Pada masa ini, bayangan seksual mulai mengganggu pikiran anak, bahkan dapat berpengaruh sangat kuat jika anak tidak memiliki kebiasaan produktif, sementara pada saat yang sama kerap terpapar pornografi. Tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk menyukai lawan jenis serta mengalami kemesraan dengannya. Di saat yang sama, lantaran dorongan untuk mengalami kemesraan tersebut, ada jurang yang dapat menggelincirkan mereka ke dalam penyimpangan sehingga mereka menyukai sesame jenis. Itulah sebabnya, mereka tidak diperkenankan tidur dalam satu sarung dengan sesama jenis.

Istilah amrad yang menunjukkan tahap perkembangan antara usia 10-15 tahun, memiliki konotasi dengan cantik-cantiknya seorang remaja laki-laki. Inilah masa anak bersemangat. Kemana semangat itu mengarah? Tergantung dari apa yang hadir kepadanya, yang paling dominan menghiasi hidupnya. Dominan bukan terutama berkait dengan seringnya anak bertemu dan berinteraksi dengan sesuatu, tetapi berhubungan dengan apa yang paling berkesan dan membanggakan. Pertanyaannya, apakah yang hadir dalam dirinya adalah missi suci berbentuk idealism yang kokoh ataukah justru iklan-iklan tak senonoh berbagai produk yang meski dikutuk, dibeli juga produknya? Ataukah senandung nyanyian yang tak jelas syairnya?

Inilah hal-hal yang perlu kita perhatikan ketika merenungi kenakalan anak-anak “masa kini” yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan seksual (saya tidak suka menyebutnya sebagai kenakalan) kerap berawal dari kecerobohan orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk orangtua. Na’dzubillahi min dzaalik. Karena itu, jangan segan-segan untuk meninggalkan group WA dan sejenisnya apabila di dalamnya ada anggota yang kerap berkirim gambar maupun konten porno lainnya. Persahabatan dapat Anda jaga dengan cara lain (jika seandainya memang perlu dijaga), tetapi tidak dengan mengorbankan idealism atas anak.

Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dan anak-anak kita serta keturunan kita dari fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Semoga Allah Ta’ala sucikan kita dan keturunan kita hingga Yaumil-Qiyamah, betapa pun banyaknya dosa-dosa kita saat ini. Allahumma aamiin.

Saya tidak akan membicarakan berbagai kecerobohan orangtua di saat anak mulai memasuki usia 10 tahun hingga ke masa-masa remaja. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk merenungi kembali dua hal penting berkait dengan aurat dan pendidikan anak. Pertama, menegakkan perintah Allah ‘azza wa Jalla di dalam Al-Qur’an surat An-Nuur ayat 58-60 berkait dengan waktu-waktu aurat yang tiga. Ini sangat perlu kita perhatikan. Kedua, menjaga anak-anak dari terpapar oleh maksiat, termasuk akibat primal-scene (melihat orangtua berhubungan) akibat tidak adanya kehati-hatian atau karena lengah.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan mendapatkan barakah dari Allah Ta’ala.*

]Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

HIDAYATULLAH

Tugas Kita Sebelum Anak Mumayyiz

APA pentingnya masa mumayyiz? Ia sangat menentukan arah perkembangan anak-anak kita saat memasuki ‘aqil baligh, apa mereka akan menjadi pemuda yang memiliki arah hidup nan jelas dan kokoh serta berkomitmen terhadapnya, ataukah menjadi remaja yang mudah terombang-ambing sehingga banyak menyita waktu, tenaga, pikiran dan perhatian orangtua disebabkan kerentanannya terhadap masalah.

Begitu ‘aqil baligh, anak seharusnya menjadi seorang fatan yakni remaja atau pemuda dengan arah hidup yang jelas, berani bersikap, tidak ragu menyuarakan kebenaran serta mempunyai pendirian yang kokoh. Ia memiliki komitmen yang  kuat, tak takut menunjukkan sikapnya meskipun tak ada yang berpihak kepada apa yang diyakininya. Ini merupakan sebaik-baik masa sehingga mereka tampil sebagai sosok asyudda  dimana berbagai kebaikan berada pada puncaknya. Tetapi jika mereka tidak kita siapkan dengan baik,  masa-masa ini justru menjadi cabang kegilaan ketika tindakan ngawur, melanggar hukum, akhlak yang rusak dan berbagai hal menyimpang lainnya justru tampil menonjol dalam diri mereka.

Fatan  juga memiliki kandungan makna mudah menerima kebenaran, cenderung kepada apa yang benar. Ini dekat sekali dengan taqwa. Mudah menerima kebenaran berarti anak memiliki kesiapan untuk menyambutnya. Bukan mudah ikut-ikutan dimana anak mudah terpengaruh oleh kebaikan maupun keburukan.

Lalu apa yang perlu kita lakukan agar masa muda anak-anak kita tidak menjadi masa penuh gejolak, terombang-ambing, berontak, lari dari orangtua dan hal-hal buruk yang semisal itu? Menyiapkannya agar mereka memiliki arah yang jelas, komitmen yang kuat serta identitas diri yang matang. Kapan kita melakukannya? Yang paling penting adalah masa-masa sebelum mumayyiz untuk mempersiapkan mereka agar benar-benar memiliki tamyiz yang kuat dan baik tepat pada waktunya. Agama kita, Islam, menuntut kita agar anak-anak mencapai tamyiz (selambatnya) di usia 7 tahun. Di usia inilah kita mulai dapat memerintahkan anak mengerjakan shalat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah anakmu shalat apabila mereka telah berumur tujuh tahun. Dan jika mereka telah berusia sepuluh tahun, pukullah mereka (jika tidak shalat).” (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ad-Darimi, dll).

Apa konsekuensi perintah ini? Pertama, menyiapkan anak agar sebelum usia 7 tahun telah memiliki kecintaan terhadap apa yang akan diperintahkan, yakni shalat. Cinta itu berbeda dengan kebiasaan. Anak yang terbiasa melakukan setiap hari boleh jadi tidak mencintai sama sekali. Kedua, perintah Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah perintah untuk memerintah. Ini menunjukkan bahwa pada kalimat perintah ada kebaikan. Karena itu kita perlu mengilmui. Ketiga, menyiapkan anak agar memiliki bekal yang cukup sehingga ketika usia 10 tahun tidak mengerjakan shalat, anak memang telah dapat dikenai hukuman. Apa yang menyebabkan seseorang dapat dikenai hukuman? Apabila ia telah memiliki ilmu yang terkait dengannya.

Secara ringkas, berikut ini yang perlu kita lakukan pada anak-anak sebelum mereka mumayyiz. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menolong kita.

Menanamkan Kecintaan terhadap Kebaikan

Apakah cinta itu? Bertemunya tiga hal, yakni meyakini sebagai kebaikan, kemauan yang kuat terhadapnya serta komitmen yang besar. Meyakini sebagai kebaikan akan melahirkan kebanggaan terhadapnya, bukan membanggakan diri sendiri, sehingga orang bersemangat terhadapnya, baik membicarakan maupun melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Inilah yang perlu kita tanamkan pada anak-anak sebelum mumayyiz. Kita tanamkan cinta pada diri mereka terhadap kebaikan, khususnya berkait dengan ibadah. Kita kobarkan cinta mereka dengan membangun keyakinan bahwa syariat ini sempurna dan pasti baik. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad ﷺ. Berbahagialah yang dapat memperoleh petunjuk dari keduanya.

Satu hal yang perlu kita ingat, keyakinan sangat berbeda dengan pengetahuan dan pemahaman, sebagaimana cinta tidak sama dengan terbiasa. Bahkan terbiasa melakukan tidak serta merta membentuk kebiasaan (habit). Betapa banyak anak-anak yang telah terbiasa melakukan praktek ibadah, bahkan sebelum waktunya. Tetapi ketika telah tiba masanya untuk bersemangat, gairah mengerjakannya seolah padam.

Apa yang menumbuhkan kecintaan? Bercermin pada riwayat shahih yang sampai kepada kita, di antara jalan untuk menumbuhkan kecintaan kepada ibadah itu ialah, memberi pengalaman berharga dan mengesankan pada diri anak-anak. Tengoklah, betapa senangnya cucu Rasulullah ﷺ menaiki leher kakeknya tatkala sedang shalat; betapa Umamah binti Zainab digendong oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sembari tetap melaksanakan shalat. Dan dua kisah ini hanyalah sekedar contoh di antara berbagai contoh lainnya.

Sebagian orang tergesa-gesa sehingga menyuruh anak shalat sebelum usia tujuh tahun. Bahkan ada yang melampaui batas, yakni mewajibkan anak shalat Dhuha yang bagi orang dewasa saja sunnah. Alasannya? Menumbuhkan kebiasaan. Padahal kebiasaan tanpa kecintaan akan kering dan mudah pudar.

Tak jarang, orangtua maupun pendidik memaksa anak mengerjakan shalat, termasuk shalat sunnah, sebelum mumayyiz. Padahal pemaksaan itu, baik secara halus maupun kasar, justru dapat menimbulkan karahah (kebencian) yang bentuk ringannya adalah malas, enggan.

Menumbuhkan Tamyiz

Apakah yang dimaksud dengan tamyiz? Banyak penjelasan, tetapi pada pokoknya adalah kemampuan membedakan, dalam hal ini membedakan benar dan salah serta baik dan buruk dengan akalnya. Mampu membedakan sangat berbeda dengan mengetahui perbedaan. Mampu membedakan menunjukkan adanya pengerahan kemampuan berpikir untuk menentukan nilai atau kedudukan sesuatu.

Apa yang kita perlukan untuk berpikir? Sekurang-kurangnya ada dua hal, yakni menggunakan pengetahuan yang telah ada pada dirinya untuk menilai sesuatu serta mendayagunakan akal untuk menemukan prinsip-prinsip.

Rumit? Sebagaimana pengetahuan, kemampuan berpikir juga bertingkat-tingkat. Kemampuan tamyiz seseorang juga demikian. Tetapi jika tidak kita persiapkan maka anak tidak akan memilikinya, kecuali sangat terbatas, meskipun usia sudah 10 tahun dan bahkan lebih. Maka ada orang yang usianya sudah dewasa, tetapi ia termasuk ghair mumayyiz (orang yang tidak memiliki tamyiz).

Jadi, apa yang perlu kita berikan kepada anak? Pertama, keyakinan berlandaskan ilmu tentang kebenaran dan kebaikan. Kedua, kemauan kepada agama, kebaikan dan ilmu. Ketiga, merangsang kemampuan anak untuk berpikir sehingga mampu membedakan benar dan salah serta baik dan buruk dengan akalnya. Ini secara bertahap kita arahkan untuk mulai belajar menilai mana yang penting dan mana yang tidak penting.

Satu hal lagi, disebut tamyiz apabila ia mengenal (‘arafah) kebenaran dan kebaikan. Kata ‘arafah menunjukkan bahwa unsurnya bukan hanya mengetahui, melainkan ada idrak (kesadaran yang menggerakkan kemauan) terhadapnya.

Nah. Inilah yang sangat penting. Inilah tugas kita, para orangtua maupun guru TK untuk menyiapkannya.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku buku parenting

HIDAYATULLAH

Fakta Harus Dijelaskan dengan Diksi yang Tepat

 Beberapa laki-laki Muslim dewasa masih takut shalat lima waktu ke masjid meskipun Covid-19 telah setahun lebih mewabah di negeri kita. Kepada orang-orang seperti ini, seseorang kerap mengatakan, “Rupanya masih berat kaki mereka melangkah ke masjid.”

Perkataan ini sebetulnya tak ada yang salah! Faktanya, mereka memang berat melangkah ke masjid karena khawatir terjangkiti Covid.

Namun, jika ungkapan ini didengar oleh mereka yang tetap memilih shalat di rumah ketimbang di masjid, boleh jadi mereka akan tersinggung. “Saya tidak ke masjid bukan karena merasa berat. Buktinya, sebelum ada Covid, setiap hari saya shalat ke masjid. Saya tidak ke masjid karena khawatir terjangkiti Covid,” begitu kira-kira protes mereka.

Lalu kita akan menjelaskan kepada mereka maksud perkataan kita. “Justru karena Covid itulah maka kalian berat melangkahkan ke masjid. Kalau Covid tidak ada, langkah kalian akan ringan. Jadi tak ada yang salah dengan perkataan tadi.”

Mereka tetap tak terima. Bagi mereka, ungkapan tersebut berkonotasi negatif. Mereka merasa tidak seperti itu. Mereka tak mau disebut orang-orang yang berat melangkahkan kaki ke masjid, meskipun faktanya mereka memang tak lagi pergi ke masjid sejak wabah Covid merebak.

Apa yang salah dengan kejadian ini?

Beberapa fakta memang tak bisa dijelaskan dengan sembarang kata-kata. Pilihan kata-kata dalam menjelaskan fakta bisa dimaknai bermacam-macam oleh pembaca. Bahkan, dari pilihan kata itulah pembaca bisa menebak apakah si penulis suka dengan objek yang dituturkan atau tidak.

Penggunaan kata “wafat” dan “mati” saja sudah menimbulkan kesan yang berbeda, padahal artinya sama. Itu baru satu kata. Apalagi bila gabungan dari beberapa kata seperti ungkapan di awal tulisan tadi.  Ungkapan tersebut akan berbeda kesannya bila kita pakai kalimat seperti ini: “Mereka tak bisa pergi ke masjid”. Padahal, fakta yang dijelaskannya sama.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah menunjukkan contoh yang amat baik dalam memilih kata. Setiap kata dalam Al-Qur’an memiliki makna yang khas dan tepat. Tak mungkin keliru dan tak bisa juga diganti dengan kata yang lain.

Dalam Surat  al-Mujadillah [58] ayat 1, misalnya, Allah Ta’ala berfirman;

قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا وَتَشْتَكِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌۢ بَصِيرٌ

Arti ayat tersebut adalah, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Bila kita perhatikan ayat tersebut ada dua kata yang mirip. Pada awal ayat terdapat kata “qod” yang berarti “sungguh”. Lalu pada akhir kalimat ada kata “inna” yang berarti “sesungguhnya”.

Meskipun kedua kata ini mirip, namun tak bisa dipertukarkan. Akan  ada pergeseran makna bila keduanya dipertukarkan. Ada penekanan untuk masing-masing makna.

Bahkan bila kita gali lebih dalam tentang mengapa Allah Ta’ala menggunakan kata “Sungguh” di awal kalimat, padahal manusia tahu bahwa Allah Ta’ala Maha Benar dan tak akan keliru?  Inilah pelajaran tentang akhlak berkomunikasi yang luar biasa.

Mari kita belajar akhlak berkomunikasi dengan diksi yang tepat! *

HIDAYATULLAH

Piring dan Gelas Emas, Ingat Orang-Orang Miskin di Sekitar Anda

Bismillahirrahmanirrahiim

Islam melarang makan dan minum di piring gelas yang terbuat atau dilapisi emas. Baik itu gelas piring besar maupun kecil. Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam,

لا تشربوا في آنية الذهب والفضة, ولا تأكلوا في صحافهاما, فإنها لهم في الدنيا ولكم في الآخرة

“Jangan kalian minum di bejana emas dan perak, jangan pula makan di piring emas dan perak, karena sesunggunya itu untuk orang-orang kafir di dunia, dan untuk kalian di akhirat kelak” (HR. Bukhori (5427), Muslim (2067)).

Pesan yang mulian Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam lebih tegas lagi disampaikan di hadis yang lain,

الذي يشرب في آنية الذهب والفضة إنما يجرجر في بطنه نار جهنم

“Orang yang minum di gelas emas atau perak, itu api neraka sedang bergejolak di dalam perutnya” (HR. Bukhori (5634) dan Muslim (2065)).

Dua hadis di atas tegas menunjukkan haram makan dan minum di piring gelas emas. Indikasinya adalah, keterangan diperuntukkan orang kafir di dunia dan ancaman api neraka bagi pelakunya.

Bukan untuk makan dan minum?

Bolehkah jika untuk pajangan saja atau simpanan saja, tidak untuk makan dan minum?

Kaidah fikih ini dapat membantu menjawabnya,

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu yang berkaitan dengan duniawi adalah mubah (boleh dinikmati).”

Termasuk di sini adalah piring dan gelas emas atau perak. Pada asalnya halal atau mubah, sampai ada dalil syariat yang melarangnya. Di sini ada dalil yang merubah hukum halal itu, yaitu dua hadis yang kami cantumkan di atas, namun tidak melarang secara mutlak, hanya menyangkut satu penggunaan piring emas dan perak, yaitu untuk makan dan minum. Sehingga selain bukan digunakan makan dan minum, hukum kembali kepada asalnnya, yaitu mubah atau halal.

Ummu Salamah Radhiyallahu’anha pernah punya mangkuk yang terbuat dari perak. Untuk wadah rambut-rambut Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam. Orang-orang menggunakan rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat. Lalu Allah sembuhkan penyakit yang diderita (Riwayat Bukhori no. 5896).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang Ummu Salamah, kalau saja haram, tentu telah Nabi larang. Karena Nabi tidak pernah mendiamkan kemungkaran dan tak pernah menunda penjelasan di saat dibutuhkan.

Meskipun boleh, kami tidak menyarankan memajang piring emas dan perak. Demi menjaga perasaan orang-orang miskin di sekitar kita.

Mengapa hanya dilarang untuk makan dan minum?

Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin menjawabnya,

كون النبي صلى الله عليه وسلم يعلق الحكم بالأكل والشرب لأن مظهرالأمة بالترف في الأكل والشرب أبلغ منه في مظهرها في غري ذلك

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkaitkan larangan hanya pada makan dan minum, karena aura kemewahan lebih kental pada penggunakan piring gelas dari emas dan perak, daripada penggunaan selain makan dan minum” (Dikutip secara ringkas dari kitab Bidayatul Fakih, ringkasan Syarah, Al-Mumti’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin).

Wallahu a’lam bis showab.

Referensi:

Bidayatul Faqih, karya Dr. Salim Al-Ajmi, penerbit Maktabah Ahlul Atsar.

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Artikel: Muslim.or.id

Cholil Nafis: Sholat Jumat Daring Salahi Prinsip Agama

Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhammad Cholil Nafis menegaskan sholat Jumat daring atau online menyalahi prinsip agama Islam. MUI pun tak menganjurkan sholat Jumat daring dengan alasan apapun.

“Jangan ada yang dengarin Khutbah pakai host online via zoom. Apalagi sampai sholat Jumat berjamaah secara online ya. Itu tidak sah,” tulis kiai Cholil di akun Twitter resminya yang dikutip Republika pada Jumat (19/3).

Kiai Cholil menyatakan ibadah sholat Jumat, termasuk Khutbah di dalamnya sudah ada ketentuannya. Ia menganjurkan Muslim agar mematuhi ketentuan yang berlaku sesuai syariat.

“Ya pasti tidak sah kalau Jumatan daring, apalagi pakai host segala. Khutbah itu ada syarat dan rukunnya. Saat khotib khutbah maka yang lain tidak boleh bicara. Sholat juga harus dalam satu area antara Imam dan makmumnya,” cuit kiai Cholil.

Pengurus PBNU tersebut tak lupa mengajak Muslim guna menunaikan ibadah sholat Jumat sesuai syariat yang berlaku.

“Ayo Jumat luring di Masjid terdekat, menyimak langsung khutbah dan shalat jamaah. Mari baca surat yasin, Al-Kahfi, Al-Waqiah dan Al-Mulk,” cuit kiai Cholil.

IHRAM