Seorang Mukmin Tak Pernah Akan Lemah Selamanya!

Seorang mukmin sejati adalah ia yang beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang Maha Mengetahui segalanya, Yang Mengatur segala urusan dalam ciptaan-Nya, yang seluruh alam semesta ini tunduk pada Kehendak-Nya. Semua kehendak-Nya hanya dalam satu perintah, Kun Fayakun !

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS.Ya-Sin:82)

وَمَآ أَمۡرُنَآ إِلَّا وَٰحِدَةٞ كَلَمۡحِۭ بِٱلۡبَصَرِ

“Dan perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS.Al-Qamar:50)

Maka seorang mukmin yang memiliki keimanan semacam ini tidak akan pernah merasa lemah selamanya ! Karena kekuatannya bersandar kepada kekuatan Allah. Bagaimana seorang akan merasa lemah bila Allah Swt selalu bersama-Nya?

Karena itu Allah Swt mensifati orang mukmin dengan sifat “selalu teratas” selama keimanan ini ada dan menancap kuat dalam hatinya.

وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi, jika kamu orang beriman.” (QS.Ali ‘Imran:139)

Maka wahai mukmin, anda tidaklah lemah karena anda bersama kekuatan sejati.

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ

“Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS.Adz-Dzariyat:58)

Setiap kali imanmu bertambah maka kekuatanmu juga akan bertambah, karena pembelaan Allah kepadamu.

إِنَّ ٱللَّهَ يُدَٰفِعُ عَنِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْۗ

“Sesungguhnya Allah membela orang yang beriman.” (QS.Al-Hajj:38)

Bagaimana akan lemah seorang yang Allah menjadi pembela dan penolong-Nya?

KHAZANAH ALQURAN

Perdukunan? No Way!

KHUTBAH PERTAMA:

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Jama’ah Jumat rahimakumullah

Mari kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah ta’ala dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam.

Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…

Di antara potret keindahan ajaran Islam, selain mengajarkan karakter tawakkal, agama kita juga memotivasi umatnya agar berikhtiar, berdaya upaya dan berusaha untuk menggapai keinginan serta cita-citanya.

Guna mendulang rezeki misalnya, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

“لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ، فَيَحْمِلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا يُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ”

Seseorang mencari seikat kayu bakar lalu dipanggul di atas pundaknya dan dijual, lebih mulia dibandingankan dia meminta-minta kepada orang lain, diberi atau tidak.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dengan redaksi Muslim).

Orang yang sakit dan menginginkan kesembuhan, diperintahkan Islam untuk berobat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

“تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ؛ الْهَرَمُ”

Berobatlah! Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidaklah menurunkan penyakit melainkan menciptakan obatnya. Kecuali satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR. Abu Dawud (IV/125 no. 3855) dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ’anhu dan dinilai hasan sahih oleh at-Tirmidzy (hal. 461 no. 2039)).

Namun demikian, dalam hal ikhtiar, Islam tidaklah membebaskan umatnya berlaku sekehendaknya tanpa aturan. Justru agama kita membuat rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Yang pada hakikatnya bertujuan untuk kemaslahatan insan, dalam perkara duniawi maupun ukhrawi.

Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati…

Di antara rambu-rambu ikhtiar, yang amat disayangkan masih sering dilanggar, termasuk di negeri kita, larangan Islam untuk memanfaatkan ‘jasa’ dukun, paranormal, tukang sihir dan yang semisal.

Tidak sedikit di antara anggota masyarakat kita, dengan berbagai strata kehidupan, beragam latar belakang ideologi, tingkatan pendidikan dan kebutuhan, masih menganggap pergi ke dukun sebagai bentuk ikhtiar yang lazim. Padahal di KTP mereka tertulis beragama Islam.

Pejabat yang menginginkan kelanggengan kedudukannya.
Tokoh politik yang membidik kursi panas jabatan.
Bos yang berhasrat disegani dan terlihat berwibawa di depan karyawannya.
Bawahan yang bercita-cita naik pangkat.
Pedagang yang mengharapkan kelancaran rezekinya.
Pengusaha yang berkeinginan untuk menjatuhkan saingan bisnisnya.
Orang yang apes karena rumahnya disatroni maling dan ingin agar hartanya ditemukan kembali.
Remaja yang ingin mengintip masa depan ‘cintanya’.
Bujangan yang mengincar wanita idamannya.
Istri yang berharap suaminya tidak melirik ‘rumput tetangga’.
Rumah tangga yang bermimpi memiliki keturunan.
Bahkan, siswa sekolah yang menginginkan kelulusan dalam ujiannya.
Banyak di antara mereka tergopoh-gopoh datang mengetuk pintu para dukun, menghiba bantuannya. Mereka melakukannya, sekali lagi, atas nama “ikhtiar”!

Padahal sejak empat belas abad lalu, panutan kita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan tegas,

“مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ؛ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً”

Barangsiapa mendatangi peramal, lalu ia bertanya tentang sesuatu padanya; maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.” (H.R. Muslim (IV/1751 no. 2230) dari sebagian istri Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam).

Hadits lain memberikan statemen yang lebih keras lagi,

“مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِراً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ؛ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”.

Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang sihir lalu mempercayai apa yang dikatakannya; maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.” (H.R. Al-Bazzar (V/315 no. 1931) dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ’anhu dan sanad-nya dinilai sahih oleh Ibnu Katsir [lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (I/393)].

Hadirin dan hadirat rahimakumullah

Barangkali ada sebagian kalangan yang bertanya-tanya, mengapa Islam begitu ‘keras’ dalam hal ini? Toh, para dukun mereka hanya ingin berbuat baik kepada sesama, dengan memberdayakan ‘daya linuwih’ yang dimiliki. Lantas apa salahnya?

Sebelum menjawab kebimbangan di atas, satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam melarang suatu perbuatan, pasti perbuatan tersebut memuat kerusakan fatal atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya, baik di dunia maupun akhirat. Sekalipun barangkali perbuatan itu mengandung beberapa manfaat. Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila dibandingan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada apa-apanya.

Segala yang berbau perdukunan, maupun praktik sihir memuat berbagai sisi negatif. Di antaranya:

Pertama: Demi menjalankan aktivitasnya, para dukun melakukan ritual kesyirikan dan praktik kekufuran

Seringkali para dukun dan tukang sihir bisa melakukan atraksi-atraksi ajaib yang mencengangkan. Orang yang beriman tidak mudah termakan; karena ia tahu bahwa sejatinya mereka telah berkolaborasi dengan setan untuk melakukan atraksi tersebut [lihat: Kitab an-Nubuwwât karya Ibn Taimiyyah (II/830-831)].

Setan tidak mungkin membantu para tukang sihir dalam hal itu, kecuali setelah mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat, sebagai bentuk kompensasi bantuan tersebut [lihat: Al-Furqân baina Auliyâ’ ar-Rahmân wa Auliyâ’ asy-Syaithân karya Ibn Taimiyyah (hal. 331-332)]. Semakin perbuatan yang dipersembahkan kufur atau syirik, maka bantuan yang diberikan setan semakin besar [lihat: At-Tafsîr al-Qayyim (hal. 581)].

Kenyataan ini bukanlah isapan jempol belaka atau fitnah murahan, namun fenomena tersebut diakui oleh para mantan dukun yang telah bertaubat. Mereka bersaksi bahwa untuk menggapai ‘kesaktian’ yang dimiliki, mereka diharuskan untuk melakukan kesyirikan dan kekufuran. Ada yang mengatakan bahwa mereka dulunya memohon bantuan kepada iblis, ada yang tidak menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan, ada yang menempelkan lembaran-lembaran mushaf al-Qur’an di tembok WC dan berbagai tindak kekufuran lainnya [lihat: Majalah Ghoib, edisi khusus “Dukun-dukun Bertaubat” (hal. 12-14, 17, 19, 20, 22, 43), edisi 32 (hal. 5), edisi 56 (hal. 11), edisi 70 (hal. 8)].

Adanya kolaborasi para dukun dengan setan telah dijelaskan para ulama Islam sejak dulu kala. Sebagaimana dipaparkan antara lain oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) [lihat: Tafsir al-Qurthuby (II/274)], al-Baidhawy (w. 685 H) [lihat: Tafsir al-Baidhawy (hal. 21)] dan Ibn Hajar al-‘Asqalany (w. 852 H) [lihat: Fath al-Bary (X/222)].

Kedua: Tukang ramal dan paranormal telah menabrak salah satu prinsip dasar akidah Islam, yakni keyakinan bahwa Dzat yang mengetahui hal ghaib hanyalah Allah ta’ala.

Terlalu banyak fakta yang membuktikan bahwa para pelaku perdukunan telah mengklaim dirinya mengetahui hal-hal ghaib. Salah satu contoh nyatanya, lihatlah apa yang bermunculan di media massa, elektronik maupun cetak, setiap datang penghujung tahun? Para dukun dan ‘spiritualis’ berlomba meramal kejadian tahun depan! Ini hanyalah satu contoh, dan masih banyak contoh lainnya yang senada. Bahkan ada pula yang berani meramal kapan datangnya hari kiamat!

Padahal dalam al-Qur’an, begitu gamblang dijelaskan bahwa pengetahuan tentang hal ghaib hanyalah dimiliki Allah tabaraka wa ta’ala, Rabb semesta alam.

“قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّه”

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad), “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65).

Dan masih banyak ayat lain serta hadits nabawi yang senada.

Ketiga: Pergi ke dukun dan paranormal membentuk mentalitas pemalas dalam diri seseorang.

“Pemikiran yang mistik mencerminkan mentalitas jalan pintas. Orang yang tidak mau kerja keras, tidak mau berencana, dan hanya mengharapkan solusi dengan cara gaib. Mistik membuat orang malas, tidak ulet dan tidak bermental tangguh.” (Perkataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana dalam buku Harus Bisa – Seni Memimpin ala SBY,  karya Dr. Dino Patti Djalal (hal.127)).

Islam menginginkan umatnya ulet, tangguh, rajin berkerja, bersungguh-sungguh dalam berusaha, serta tidak bergantung pada sesuatu yang fiktif dan terbuai dengan angan-angan kosong. Islam juga sangat membenci karakter pemalas. Karenanya di antara doa yang kerap dilantunkan Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam adalah,

“اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ”

Ya Allah sungguh aku memohon perlindungan kepada-Mu dari ketidakberdayaan, kemalasan, sifat pengecut dan lanjut usia. Aku memohon perlindungan-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Serta aku memohon perlindungan-Mu dari azab kubur.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu).

Sidang Jumat yang diberkahi Allah…

Pembahasan di atas bukan hanya membidik para dukun yang notabene beraliran hitam. Yang  biasanya ditandai dengan blangkon atau iket di kepala dan pakaian serba hitam. Tidak lupa menyelipkan sebilah keris di pinggang, serta menyalakan kemenyan dan dupa di depannya. Namun peringatan di atas juga terarah kepada mereka yang menamakan diri dukun putih. Yang kerap berbusana bak seorang wali, dengan sorban di kepala dan jubah putih, serta tidak lupa bersenjatakan seuntai tasbih yang biji-bijinya terkadang mengalahkan besarnya bola pingpong. Mereka semua sama! [Pembahasan lebih lanjut baca di buku Dukun Hitam Dukun Putih – Menguak Rahasia Kehebatan Sekutu Setan, karya Abu Umar Abdillah].

Seyogyanya kaum muslimin bersikap cerdas dalam menilai sesuatu. Tidak mudah terkecoh dengan tipuan penampilan. Justru dia tetap menjadikan substansi sesuatu sebagai tolok ukur penilaian.

نفعني الله وإياكم بالقرآن العظيم، وبسنة سيد المرسلين.
أقول قولي هذا، وأستغفره العظيم الجليلَ لي ولكم، ولجميع المسلمين من كل ذنب، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم…

KHUTBAH KEDUA

الحمد لله الواحد القهار، الرحيمِ الغفار، أحمده تعالى على فضله المدرار، وأشكره على نعمه الغِزار، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العزيز الجبار، وأشهد أن نبينا محمداً عبده ورسوله المصطفى المختار، صلى الله عليه وعلى آله الطيبين الأطهار، وإخونه الأبرار، وأصحابه الأخيار، ومن تبعهم بإحسان ما تعاقب الليل والنهار.

Kaum muslimin dan muslimat yang kami cintai…

Kami tutup khutbah sederhana ini dengan fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pusat berkenaan dengan permasalahan di atas, yang diputuskan pada Musyawarah Nasional MUI VII:

“Fatwa tentang Perdukunan (Kahânah) dan Peramalan (‘Irâfah)
1.    Segala bentuk praktek perdukunan (kahânah) dan peramalan (‘irâfah) hukumnya haram.
2.    Mempublikasikan praktek perdukunan (kahânah) dan peramalan (‘irâfah) dalam bentuk apapun hukumnya haram.
3.    Memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala praktek perdukunan (kahânah) dan peramalan (‘irâfah) hukumnya haram”.
Ditetapkan di Jakarta, 21 Jumadal Akhir 1426 / 28 Juli 2005.

[Lihat: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:perdukunan-kahanah-dan-peramalan-irafah&catid=25:fatwa-majelis-ulama-indonesia].

“Fatwa telah diputuskan. Tinggallah komitmen kita sebagai umat Islam di negeri ini mematuhi dan menaati keputusan yang dibuat forum tertinggi umat Islam di negeri ini. Jangan sampai keputusan komisi fatwa itu hilang maknanya, lantaran ketidakseriusan kita sendiri sebagai umat Islam untuk menyebarkan dan menerangkannya kepada masyarakat.” [Majalah Ghoib, edisi 66 (hal. 44)].

ألا وصلوا وسلموا -رحمكم الله- على المصطفى المختار؛ كما أمركم بذلك العزيز الغفار، فقال تعالى قولا كريما: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Rabi’uts Tsani 1432 / 25 Maret 2011

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Artikel www.tunasilmu.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

Hukum Buang Hajat Menghadap Kiblat

Terdapat beberapa hadis sahih yang menunjukkan larangan buang air kecil atau buang air besar ke arah kiblat. Namun di sisi lain, terdapat juga beberapa hadis yang lain yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah buang hajat membelakangi kiblat. Lalu bagaimana hukumnya? Simak ulasan ringkas berikut ini.

Dalil-dalil yang melarang

Terdapat beberapa hadis sahih yang menunjukkan larangan buang air kecil atau buang air besar ke arah kiblat. Di antaranya hadis dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

إذَا أتَيْتُمُ الغَائِطَ فلا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، ولَا تَسْتَدْبِرُوهَا ولَكِنْ شَرِّقُوا أوْ غَرِّبُوا قالَ أبو أيُّوبَ: فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ القِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ، ونَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى

“’Kalau kalian berada di tempat buang air, maka janganlah menghadap kiblat dan janganlah membelakangi kiblat. Namun menghadaplah ke timur atau ke barat’. Kemudian Abu Ayyub berkata, ‘Dahulu ketika kami sampai ke negeri Syam, kami mendapati tempat buang air dibangun menghadap ke arah kiblat. Maka kami pun mengubahnya dan kami meminta ampunan kepada Allah ta’ala’” (HR. Al-Bukhari no. 394, Muslim no. 264).

Dalam riwayat Muslim,

فلا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، ولا تَسْتَدْبِرُوها ببَوْلٍ ولا غائِطٍ

“Maka janganlah menghadap kiblat dan janganlah membelakangi kiblat ketika buang air kecil atau buang air besar” (HR. Muslim no. 264).

Dari Salman Al Farisi Radhiallahu ‘anhu ia berkata,

قِيلَ له: قدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كُلَّ شيءٍ حتَّى الخِراءَةَ قالَ: فقالَ: أجَلْ لقَدْ نَهانا أنْ نَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ لِغائِطٍ، أوْ بَوْلٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ باليَمِينِ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ بأَقَلَّ مِن ثَلاثَةِ أحْجارٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ برَجِيعٍ، أوْ بعَظْمٍ

“Salman pernah ditanya, ‘apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air?’. Salman menjawab, ‘Benar. Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil. Beliau melarang kami untuk beristinja (cebok) dengan tangan kanan. Beliau melarang kami untuk beristinja dengan batu yang jumlahnya kurang dari tiga. Beliau melarang kami untuk beristinja dengan kotoran hewan atau tulang’” (HR. Muslim no. 262).

Hadis-hadis ini sahih dan larangan yang terdapat di dalamnya bersifat umum.

Dalil-dalil yang membolehkan

Beberapa hadis yang lain menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah buang hajat dengan membelakangi kiblat. Sebagaimana hadis dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي، فَرَأَيْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ القِبْلَةِ، مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ

“Aku pernah naik ke atas rumah Hafshah untuk suatu keperluan. Lalu aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang buang hajat membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam” (HR. Bukhari no.148, Muslim no.266).

Dari Marwan bin Al Ashfar Rahimahullah ia mengatakan,

رأيتُ ابنَ عمرَ أناخ راحلتَه مستقبلَ القبلةَ يبول إليها فقلتُ أبا عبدَ الرحمنِ أليس قد نهي عن ذلك فقال بلى إنما نهي عن هذا في الفضاءِ فإذا كان بينَك وبين القبلةِ شيءٌ يستُركَ فلا بأسَ

“Aku pernah melihat Ibnu Umar menderumkan untanya menghadap kiblat. Lalu beliau buang air kecil menghadap kiblat. Maka aku bertanya, ‘Wahai Abu Abdirrahman, bukanlah perbuatan seperti itu dilarang?’ Ibnu Umar berkata, ‘memang benar itu dilarang, namun yang dilarang adalah ketika buang air di tempat terbuka, adapun jika antara engkau dan kiblat ada sesuatu yang menutupi, maka tidak mengapa’” (HR. Abu Daud no. 11, Ibnu Khuzaimah no. 60, Ad Daruquthni [1/159] [1]).

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, ia berkata,

نهَى النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ أنْ نستقبلَ القِبلةَ ببَولٍ ، فرأيتُهُ قبلَ أنْ يُقبَضَ بعامٍ يستقبِلُها

“Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang kami untuk buang air kecil ke arah kiblat. Namun aku pernah melihat beliau buang air kecil ke arah kiblat setahun sebelum beliau wafat” (HR. Abu Daud no. 13, At Tirmidzi no.9, Ibnu Majah no. 325, Ahmad no. 14872 [2])

Mengkompromikan dalil-dalil

Syekh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassam Rahimahullah dalam Taisirul ‘Allam menjelaskan,

“Para ulama berselisih pendapat tentang hukum buang hajat menghadap kiblat dan membelakanginya. Sebagian ulama melarangnya secara mutlak. Diantaranya adalah para perawi hadis tersebut yaitu Abu Ayyub, Mujahid, An Nakha’i, Ats Tsauri dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm. Bahkan Ibnu Hazm membantah pendapat yang lain dalam kitab beliau, Al Muhalla. Dan ini juga pendapat yang dipilih dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim juga membantah pendapat yang lain dalam kitab beliau, Zadul Ma’ad dan Tahdzibus Sunan. Semua ulama ini berhujah dengan hadis-hadis sahih yang terdapat dalam bab ini yang melarang secara mutlak. Di antaranya hadis Abu Ayyub di atas.

Sebagian ulama membolehkan secara mutlak. Di antaranya Urwah bin Az Zubair, Rabi’ah, dan Daud Azh Zhahiri. Mereka berdalil dengan beberapa hadis, diantaranya hadis Ibnu Umar di atas.

Namun para imam mazhab, seperti Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq (dan beliau salah satu perawi hadis Ibnu Umar), dan Asy Sya’bi, mereka berpendapat untuk merinci hukumnya. Mereka mengharamkannya jika dilakukan di tempat terbuka, dan membolehkan jika dilakukan di dalam bangunan atau semisalnya. Inilah pendapat yang benar, yang menggabungkan semua dalil yang sahih dan tegas. Karena menyatakan haramnya hal ini secara mutlak, akan membatalkan pengamalan beberapa hadis. Demikian juga jika kita menyatakan bolehnya secara mutlak. Namun dengan merinci hukumnya, maka semua dalil akan diamalkan. Inilah yang tepat. Karena selama masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil-dalil yang ada wajib untuk melakukannya demikian sebelum menggunakan metode lain.

Ada pendapat yang ke-empat yang lemah, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat hukumnya makruh, tidak sampai haram. As Shan’ani mengatakan,’wajib untuk mencocokkan semua hadis yang ada. Sehingga kita bawa hadis-hadis yang berisi larangan kepada hukum makruh, bukan pengharaman’” (Taisirul Allam Syarhu Umdatil Ahkam, 33-34).

Di sini Syekh Abdullah Al Bassam menguatkan pendapat jumhur ulama bahwa hukumnya dirinci. Boleh buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat jika di dalam ruangan, sedangkan tidak boleh melakukannya jika di luar ruangan. Namun Syekh Abdullah Al Bassam Rahimahullah setelah itu meralat pendapatnya dan beliau lebih cenderung pada pendapat yang melarang secara mutlak. Beliau mengatakan, “Kemudian baru nampak bagi kami, kebenaran pendapat yang berbeda dengan pendapat kami sebelumnya. Yaitu bahwa hadis Abu Ayyub bicara tentang perkataan Nabi. Sedangkan hadis Ibnu Umar, bicara tentang perbuatan Nabi. Sedangkan kaidah mengatakan: perkataan Nabi lebih didahulukan daripada perbuatan Nabi. Dan ulama sepakat akan kaidah ini. Di samping itu, hadis Ibnu Umar memiliki beberapa ihtimal (kemungkinan lain). Sedangkan hadis Abu Ayyub sangat lugas dan umum, tidak ada kemungkinan lain” (Taisirul Allam Syarhu Umdatil Ahkam, 33-34).

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah juga menjelaskan,

“Tidak boleh sama sekali menghadap kiblat atau membelakangi kiblat ketika buang air kecil atau buang air besar di tempat terbuka. Adapun jika dilakukan di dalam bangunan, maka ada banyak perselisihan ulama dalam masalah ini.

Sebagian mereka mengatakan: boleh melakukannya jika di dalam bangunan. Karena terdapat hadis sahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa di rumahnya Hafshah beliau pernah buang hajat menghadap ke Syam dan membelakangi Ka’bah. Riwayat ini disebukan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadisnya Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma. Sehingga mereka mengatakan: ini menunjukkan tidak mengapa buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya jika di dalam bangunan. Dan semua yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pada asalnya dilakukan dalam rangka tasyri’ dan untuk diteladani oleh umatnya. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lakukan demikian, ini menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam buang hajat di antara dia batu bata, menghadap ke arah Syam dan membelakangi arah Ka’bah. Ini menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.

Sebagian ulama mengatakan: perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena beliau melakukannya di dalam rumah, tidak diketahui oleh orang banyak, dan beliau tidak melakukannya di tempat terbuka. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan tetap wajib bagi kaum Muslimin untuk tidak menghadap atau membelakangi kiblat, walaupun di dalam bangunan. Dalam rangka mengamalkan hadis-hadis yang umum, dan tidak terdapat pengecualiannya. Dan pendapat inilah yang lebih kuat. Yaitu hendaknya tidak menghadap atau membelakangi kiblat secara mutlak, baik di dalam bangunan maupun di tempat terbuka.

Namun menyatakan haramnya menghadap atau membelakangi kiblat di dalam bangunan, ini kurang tepat. Karena pada asalnya, perbuatan Nabi tidak khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dimungkinkan perbuatan tersebut Nabi lakukan sebelum adanya larangan. Dan dimungkinkan juga itu khusus bagi beliau. Oleh karena itu larangan menghadap atau membelakangi kiblat di dalam bangunan tidak sama seperti larangan melakukannya di tempat terbuka.

Tapi yang paling utama bagi seorang Mukmin, hendaknya tidak menghadap kiblat ketika buang hajat di tempat terbuka maupun di dalam bangunan, serta tidak membelakanginya. Namun jika melakukannya di dalam bangunan, itu perkaranya lebih ringan dan lebih longgar. Lebih-lebih lagi ketika tidak mudah menghindari hal ini, karena banyaknya kamar mandi yang dibangun itu menghadap kiblat. Ketika keadaannya demikian, seseorang mendapatkan uzur (toleransi) untuk buang hajat menghadap kiblat karena dua hal:

Pertama, banyaknya kamar mandi yang sudah dibangun menghadap kiblat dan sulit untuk mengubahnya.

Kedua, sebagaimana anda ketahui, terdapat hadis Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam buang hajat menghadap ke Syam dan membelakangi kiblat di rumah Hafshah. Ini menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Karena pada asalnya, perbuatan Nabi tidak khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sehingga menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Namun yang lebih utama adalah meninggalkannya ketika di dalam bangunan. Sedangkan ketika di luar bangunan maka tetap haram hukumnya karena tidak ada pengecualian untuk keadaan ini. Inilah pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, wallahu jalla wa ‘ala a’lam” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, hal. 573 – 574, bisa dilihat juga di binbaz.org.sa).

Syekh Abdul Aziz bin Baz membolehkan untuk buang hajat menghadap kiblat atau membelakangi kiblat ketika di dalam bangunan, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Terlebih lagi ketika sulit untuk menghindari menghadap kiblat atau membelakanginya. Walaupun demikian, tetap saja menghadap ke arah yang tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, itu lebih utama.

Dan membelakangi kiblat itu lebih ringan dan lebih utama daripada menghadap kiblat, karena dalam hadis Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, yang disebutkan di sana adalah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam buang hajat menghadap ke Syam dan membelakangi kiblat. Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan,

والقول الراجح عندي في هذه المسألة: أنه يحرم الاستقبال والاستدبار في الفضاء، ويجوز الاستدبار في البنيان دون الاستقبال، لأن النهي عن الاستقبال محفوظ ليس فيه تخصيص، والنهي عن الاستدبار مخصوص بالفعل، وأيضاً الاستدبار أهون من الاستقبال ولهذا -والله أعلم- جاء التخفيف فيه فيما إذا كان الإنسان في البنيان، والأفضل أن لا يستدبرها إن أمكن

“Pendapat yang rajih menurut saya dalam masalah ini, diharamkan menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat di tempat terbuka. Namun boleh membelakangi kiblat jika di dalam bangunan, dan tidak boleh menghadap kiblat. Karena larangan untuk menghadap kiblat tetap berlaku, dan tidak ada pengecualiannya. Sedangkan larangan untuk menghadap kiblat telah dikecualikan oleh perbuatan Nabi. Demikian juga, membelakangi kiblat itu lebih ringan daripada menghadap kiblat, wallahu a’lam. Oleh karena itu terdapat dalil yang menyatakan kelonggaran untuk melakukannya, jika seseorang buang hajat di dalam bangunan. Namun yang lebih utama, tetap tidak membelakangi kiblat selama masih memungkinkan” (Majmu’ Fatawa war Rasail, juz 11 halaman 111 fatwa nomor 31).

Kesimpulan

Tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat di tempat terbuka atau di luar bangunan. Namun boleh untuk buang hajat menghadap kiblat atau membelakangi kiblat ketika di dalam bangunan, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Terlebih lagi ketika sulit untuk menghindari menghadap kiblat atau membelakanginya. Dan membelakangi kiblat itu lebih ringan dan lebih utama daripada menghadap kiblat. Walaupun demikian, tetap berusaha menghadap ke arah yang tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, itu lebih utama.

Wallahu a’lam, semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad, wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Menaklukkan Syahwat Hoaks

Manusia Piltdown mungkin menjadi tragedi pembohongan terbesar pada awal abad ke-20. Fosil temuan arkeolog amatir Charles Dawson ini ditemukan di Sussex, Inggris, setelah tiga tahun penggalian. Kepada dunia, Dawson mengumumkan dua tengkorak yang diprediksi sebagai nenek moyang manusia.

Temuan Dawson yang kemudian mendapat julukan Manusia Piltdown ini digadang-gadang menyambung terputusnya mata rantai evolusi dari kera kepada manusia. Bukti prasejarah ini diprediksi berusia satu juta tahun.

Selama satu dekade selanjutnya, para ilmuwan bahkan menggadang-gadang temuan Dawson itu sebagai Eoanthropus Dawsoni atau Dawson Dawn-Man dalam istilah latin. Temuan Dawson ini seolah mengonfirmasi teori evolusi Darwin sampai para palaentologis menginvestigasi orisinalitas Manusia Piltdown.

Kebanyakan masyarakat–khususnya warga Inggris–amat menginginkan temuan Manusia Piltdown benar adanya. Mereka hendak menjadi peradaban pertama yang menyambungkan teori evolusi Darwin. Sebab, di Jerman sudah ada Heidelberg Man.

Persaingan antara dua negara dalam perang dunia membuat masyarakat Inggris menyambut temuan Dawson. Manusia Piltdown akan sempurna mengalahkan Heidelberg Man yang kala itu diklaim sebagai fosil tertua di dunia.

Hasil investigasi para ilmuwan menunjukkan sebaliknya. Kongres Paleontologis Internasional pada 1953 menyimpulkan jika kerangka temuan Dawson itu kebohongan belaka.

Para peneliti menemukan jika tengkorak tersebut berusia tak lebih dari 600 tahun. Tengkorak itu pun sudah dipadukan dengan rahang dan gigi orangutan juga gigi dari simpanse. Tes mikroskopik mengindikasikan jika gigi tersebut sudah diolah dengan suatu alat sehingga membuat mereka mirip dengan manusia. Tak hanya itu, para ilmuwan menemukan, tulang belulang pada Manusia Piltdown diberi zat kimia agar mereka tampak lebih tua.

Kebohongan pertama

Alquran mengingatkan kita kepada kisah Nabi Adam AS saat ayahanda manusia itu masih berada di surga. Ketika itu, Iblis menggoda Adam agar mau memakan buah yang dilarang Allah Ta’ala. Kisah ini tertera dalam Alquran.

Maka, setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga). Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua’.” (QS al-Araf: 21).

Ayat lainnya, yakni, “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’ Maka, keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memimpinnya.” (QS Thaha: 120-122).

Begitulah dusta iblis. Bujuk rayunya membuat lawan bicaranya terbuai. Sebagai penghuni surga yang lebih dulu, iblis–dilandasi rasa dengki karena ikut diperintahkan sujud kepada Adam– membuat hoaks bila buah khuldi akan membuat Adam menjadi malaikat dan kekal di dalam surga.

Adam pun termakan rayuan tersebut sehingga tersesat akibat godaan itu. Dengan rasa bersalah, Adam pun bertobat untuk memohon ampunan Allah SWT.

Tuntunan Alquran

Memasuki abad ke-21, peristiwa Manusia Piltdown terjadi dalam bentuk yang lebih canggih. Teknologi digital membuat jutaan hoaks diproduksi lewat media sosial. Tak terhitung berapa kali masyarakat dibohongi akibat informasi palsu. Termasuk soal Pandemi Covid-19.

Sebenarnya, mengapa seseorang memercayai hoaks? Sebuah artikel yang pernah diterbitkan di the Washington Post mengungkap ada lima alasan orang- orang terus berulang menjadi korban hoaks.

Pertama, mereka tidak membaca konten (isi) berita yang mereka sebar. Mereka juga tidak mempertimbangkan legitimasi sumber berita tersebut. Berikutnya, menjadi korban bias keyakinan.

Keempat, mereka melegitimasi sesuatu yang mereka saksikan berulang-ulang. Terakhir, terjadi kebingungan antara satire (opini) dengan fakta.

Untuk menghindari diri menjadi korban hoaks, Alquran pun sudah menuntun kita untuk waspada dan mengklarifikasi semua berita yang datang kepadanya. Ini tertuang dalam QS al-Hujurat ayat 6.

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Untuk itu, penting bagi kita untuk mengendalikan diri saat mendapatkan informasi. Jangan sampai terjebak pada syahwat dan syubhat. Ustaz Muslim Atsari dalam Penyakit Syubhat dan Syahwat menjelaskan, syahwat lebih kepada kalahnya jiwa untuk melakukan sesuatu yang keluar dari koridor syariat. 

Hai orang- orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.

Penyakit ini menjebak kita dengan modus popularitas, kekuasaan, hingga mencari puja dan puji. Karena itu, amat banyak warganet mengumbar hoaks demi mendapatkan jutaan likes. Dalam kasus Manusia Piltdown, kita melihat masyarakat Inggris ketika itu yang terjebak dengan syahwat kesombongan.

Sedangkan syubhat membawa kita ke sesuatu yang lebih samar. Dia menuntun kita terhadap perkara yang mungkar bertopeng kemakrufan. Kebenaran terlihat sebagai kejahatan. Modus ini sungguh tampak semisal ulama dibingkai sebagai penjahat sementara penjahat menjadi ulama.

Wallahu a`lam.

OLEH ACHMAD SYALABY ICHSAN

REPUBLIKAid

Kekurangan Suami, Ladang Pahala Istri

Suami adalah laki-laki biasa yang jika ada usaha dan doa bisa berubah menjadi lebih baik, sementara Istri menjadi pendampingnya. Caranya?

“Saya sudah tidak mampu lagi menghadapi suami saya ustadz!”

“Ada apa dengan suami Ibu?”

“Suami saya galak, marah-marah dan suka berkata kasar. Tidak pernah mengajak musyawarah, semua diputuskan sendiri. Seolah saya dianggap tidak ada”

“Ada lagi kekurangan suami Ibu?”

“Saya kecewa sekali, suam saya tidak ada romantisnya di rumah. Semua berjalan kaku, monoton dan dingin. Saya ingin perhatian dan bahagia seperti  keluarga yang lain.”

“Apakah Ibu masih bisa bersabar dan menerima kekurangan suami?”

“20 tahun saya sudah bersabar Ustadz, rasanya sudah tidak mampu lagi. Berat, capek dan Lelah.”

“Apakah Ibu ingin suami seperti artis film yang ramah dan kaya raya? Romantis, ke sana ke mari memberikan pesona dan banyak penggemarnya di mana-mana.”

“Tidak juga persis seperti itu, Ustadz”

Suami Itu Lelaki Biasa

Siapa  manusia di muka bumi ini yang sempurna, baik jasmani dan ruhaninya? Tentu Muhammad Rasulullah SAW jawabnya. Beliau satu-satunya makhluk Allah SWT yang mendapatkan jaminan penjagaan dari dari segala bentuk kekurangan dan kesalahan. Dari sejak sebelum diangkap menjadi nabi hingga akhir hayatnya senantiasa dijaga oleh Allah SWT .

Adapun manusia di muka bumi ini selain Rasulullah SAW, pasti memiliki kekurangan, cacat, aib, kelemahan, keterbatasan dan kesalahan.  Termasuk para suami hari ini. Mengharapkan suami yang sempurna tanpa kekurangan dan keterbatasan sedikitpun, itu absurd dan mustahil.

Ada suami yang kaya dan mapan tapi memiliki kekurangan tidak romantis, pendiam, dingin dan pelit. Juga ada tipe  suami yang humoris, romantis dan ceria tapi malas, tidak punya pekerjaan yang mapan. Ada suami penampilan memikat dan menarik tapi playboy atau impoten. Ada suami yang shaleh dan baik hati, namun fisiknya kurang menarik atau memiliki cacat. Selalu ada celah cacat yang ada dari sosok suami.

Sehingga jika seorang istri memilih untuk menggugat cerai suami pertamanya. Kemudian menikah dengan suami kedua, belum tentu sesuai dengan harapannya. Jika kecewa gugat cerai lagi dan menikah dengan suami ketiga. Maka tidak ada jaminan bisa langgeng pernikahannya.

Selama suaminya itu laki-laki atau manusia biasa, maka melekat padanya kekurangan dan keterbatasan. Tidak mungkin sempurna sesuai dengan harapan dan keinginannya. Suami itu bukan malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang tidak memiliki nafsu berbuat yang dilarang agama.

Kata kuncinya simpel, suami itu laki-laki biasa dan tidak ada laki-laki sempurna. Maka selama menikah dengan siapapun laki-laki di muka bumi ini, maka akan bertemu dengan titik-titik kelemahan, kekurangan dan keterbatasannya.

Menerima Kekurangan

Pada umumnya semua wanita menginginkan sosok suami yang shaleh, rajin ibadah, tampan, mapan penghasilannya, matang kepribadiannya. Kemudian  juga penyayang, penuh perhatian dan pengertian, sabar, romantis, ceria dan setia . Namun sayangnya, sosok suami yang sempurna seperti itu hanya ada di dunia fiksi, bukan di muka bumi ini.

Sebenarnya, keinginan itu wajar dan tidak salah bagi seorang istri. Yang tidak wajar dan salah adalah tidak menyesuaikan keinginan dengan takdir jodoh suami yang Allah SWT sudah tetapkan. Serta tidak menyesuaikan keinginannya di atas dengan kondisi dirinya yang belum juga sempurna.

Sehingga seorang istri harus adil dan proposional dalam menyikapi kekurangan dan kelebihan suaminya. Kalau kelebihan dan kebaikannya jelas dan pasti bisa menerimanya karena itulah yang diharapkan oleh para istri seperti kelebihan-kelebihan di atas.

Kemudian kekurangan pada suami inilah yang terkadang belum bisa diterima oleh istri. Seperti  mungkin karena gaji pas-pasan, kurang berpenampilan, menjengkelkan, rewel, pencemburu, suka marah-marah, malas. Namun kekurangan suami bukanlah suatu harga mati yang tidak bisa diubah lagi.

Menyikapi kekurangan suami, bukan sekadar pasrah menerimanya apa adanya atau menerima mentah-mentah tanpa berbuat apa-apa. Sebab sikap seperti itu terkadang mengandung unsur terpaksa dan menyisakan kekecewaan yang sewaktu-waktu meledak, menyimpan ketidak ikhlasan yang memunculkan penyesalan dan kemarahan.

Kekurangan yang bersifat fisik seperti penampilan kurang menarik atau cacat harus dikembalikan kepada penciptanya yaitu Allah SWT. Artinya semua yang diciptakan oleh Allah SWT adalah yang terbaik dan mengandung hikmah di baliknya sehingga harus ikhlas dan sabar menerimanya. Jika tidak menerima atau mencela ciptaan Allah SWT, bisa terjebak dalam perbuatan tercela karena mencela Allah SWT secara tidak langsung.

Kemudian kekurangan yang berhubungan dengan perilaku atau sikap, bisa diubah dengan senantiasa berlatih dan mengingatkan. Mungkin perlu waktu dan kesabaran untuk mengubah sebuah prilaku yang sudah menjadi kebiasaan lamanya.

Kekurangan suami bukan harga mati yang seolah tidak bisa diubah atau diperbaiki. Suami adalah laki-laki biasa yang jika ada usaha dan doa dengan ijin Allah SWT maka karakter, sikap akan bisa diperbaiki dengan bertahap.

Pada dasarnya suami ingin memberikan yang terbaik kepada istrinya. Tapi terkadang kurang tahu dan kurang mampu bagaimana caranya. Sehingga istri bisa membuka hati dan wawasan suami dengan tanpa mengguruinya tentang sikap-sikap positif yang harus dimiliki oleh seorang suami.

Selanjutnya yang juga penting adalah tidak mengumbar kekurangan suami kepada orang lain. Entah keluarga, saudara, sahabat apalagi ke teman atau tetangga. Lebih parah lagi jika diumbar ke media sosial yang akan menjadi bulan-bulanan nitizen.

Kekurangan Suami Bukan Titik Lemah

Semua manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan, termasuk suami dan istri. Kesempurnaan itu hanya dalam mimpi, keinginan dan bayangan. Dalam realita kehidupan berkeluarga akan menemukan banyak titik-titik kekurangan pasangan.

Menikah adalah menyatukan ketidaksempurnaan laki-laki dan ketidaksempurnaan perempuan dalam ikatan pernikahan untuk sinergi membangun rumah tangga dengan saling bekerja sama dalam melengkapi ketidaksempurnaannya.

Sehingga kekurangan suami jangan menjadi sasaran tembak atau titik lemah yang selalu dibuat senjata untuk disalahkan. Seolah suami tertuduh dan menjadi tersangka setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.

Memang terasa pahit dan getir saat melihat kekurangan suami. Apalagi melihatnya dengan kacamata minus, berlipatlah kekurangannya tersebut. Namun jika kekurangan itu dilihat dari kacamata positif sebagai kesempatan untuk meningkatkan derajat sabar istri, atau sebagai kesempatan untuk  berperan mentarbiyah diri dan suami. Maka kekurangan suami menjadi keberkahan dan ladang amal seorang istri.

oleh Abdul Ghofar Hadi, Pengajar di Hidayatullah Ummul Qura Balikpapapan

HIDAYATULLAH

Jika Pandemi dan Resesi Membuat Dakwahmu Berhenti

Jika pandemi dan resesi membuat dakwahmu berhenti. Tak lagi merekrut, tidak pula membina. “Bagaimana aku bergerak, bahkan ekonomi saja sulitnya seperti ini,” barangkali demikian alasannya.

Maka, lihatlah pemuda tampan itu. Sorot matanya teduh meski bajunya lusuh. Wajahnya cerah meski hidupnya tak lagi mewah. Setiap hari ia bergerak dari rumah ke rumah. Dari kampung ke kampung hingga meluas ke seluruh Madinah.

Dulu ia pemuda paling kaya. Sekelas sultan, istilah millenial sekarang. Pewaris harta Khunas. Apa pun bisa dibelinya.

Dulu pakaiannya paling mewah. Impor, bukan buatan Makkah atau Madinah. Sandalnya dari Hadrami. Parfumnya paling wangi. Tak ada duanya di Tanah Suci. Bahkan beberapa lama setelah ia berlalu, orang tahu kalau Mush’ab tadi lewat situ.

Dulu ia paling dimanja. Berbagai fasilitas di tangannya. Kuda paling mahal dikoleksinya. Kalau saja saat itu sudah ada gadgetsmartphone tercanggih pasti ia punya. Tak pernah ia didera lapar. Kuliner paling lezat selalu terhidang. Bahkan saat ia tidur, di kamarnya terhidang susu dan anggur. “Agar ketika Mush’ab terjaga dan merasa lapar, ia bisa langsung menyantapnya,” kata sang ibunda.

Namun kini, bahkan baju baru saja Mush’ab tidak punya. Hanya yang melekat di tubuhnya dan selembar baju ganti yang kondisinya sama. Usang, dengan beberapa tambalan. Bahkan kelak saat ia syahid di medan Uhud, ia tak punya kafan. Hanya ada kain yang jika ditutupkan ke kepalanya, kakinya kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya kelihatan.

Mush’ab tidak menolak saat Rasulullah mengutusnya ke Madinah. Ia tidak beralasan, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku bisa berdakwah sementara aku mengalami krisis ekonomi. Biarkan saat ini aku bekerja. Nanti kalau sudah kaya, aku siap berdakwah ke mana saja.”

Mush’ab tetap berangkat. Karena bekalnya adalah iman, ilmu dan ketaqwaan. Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang. Atribut duniawi tak pernah menjadi hambatan.  

Kekuatan iman yang terpancar dari setiap ucapan Mush’ab pada akhirnya membuat orang-orang Yatsrib berbondong-bondong mengikrarkan syahadat. Bahkan para pemimpin Aus dan Khazraj mendapat hidayah melalui Mush’ab. Sejarah mencatat, tokoh seperti Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Muadz pun tidak memperhatikan baju usang Mush’ab, tetapi fokus pada dakwahnya.

Maka Yatsrib berubah menjadi negeri Islam. Siap menjadi Madinatun Nabi. Peradaban gemilang pun bermula dari sini. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Sholatku dan Seluruh Aktivitas Hidupku Hanya untuk Allah!

Allah swt berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-An’am:162)

Tentu ayat ini tak asing ditelinga kita. Sebuah ayat yang bagi sebagian kaum muslimin dijadikan sebagai doa pembuka ketika memulai solatnya. Ayat yang mungkin telah kita hafal begitu lama, tapi pernahkah kita merenungkan maknanya?

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”

Ayat ini menggabungkan antara ibadah dan seluruh aktifitas kehidupan, bahkan detik-detik akhir dalam hidup kita hendaknya diniatkan untuk Allah swt. Dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.

Ya, hanya untuk Allah swt ! Bukan untuk mengikuti trend, adat ataupun pemikiran manusia !

Ayat ini ingin membongkar pemikiran sempit yang menganggap agama hanya ada di mimbar-mimbar dan masjid-masjid…

Ayat ini secara gamblang ingin mengajarkan bahwa :

Dimanapun aku berada…
Solatku…
Ibadahku…
Seluruh aktifitas hidupku…
Bahkan detik-detik akhir kematianku…

Hanya untuk Allah swt…
Akan selalu berada dijalan Allah swt…
Dan tidak pernah lepas dari syariat Allah swt…

Karena Islam bukan hanya mengajarkan kepada kita cara solat dan berpuasa. Tapi Islam sedang membimbing dan mengajarkan dalam seluruh aspek kehidupan agar kita menjadi manusia yang benar-benar layak disebut manusia.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Sudahkah Kita Bertawakkal Hari Ini?

Bertawakkal adalah salah satu sikap terpuji. Kata “tawakkal” atau berserah diri kepada Allah sering muncul di mana-mana. Sebenarnya, apa makna kata tersebut dan bagaimana implikasinya dalam diri seorang Muslim dan Muslimah?

Arti Kata Tawakkal

Asal kata tawakkal dalam Bahasa Indonesia adalah dari bahasa Arab at-tawakkul yang dibentuk dari kata وكل yang berarti mewakilkan atau menyerahkan diri.

Kata tawakkal juga bisa berarti menyerahkan segala perkara, ihktiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah swt serta berserah diri sepenuhnya kepada Allah untuk mendapatkan manfaat atau menolak yang mudarat.

Kata tawakkal secara istilah bisa diartikan sebagai sikap menyandarkan diri kepada Allah Swt. apabila menghadapi suatu kepentingan.

Muhammad Alghazali dalam Jawahir al-Quran (1992) menuliskan bahwa tawakkal atau bertawakkal adalah bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

Tawakkal juga bisa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. Tawakkal adalah implikasi langsung dari iman seorang hamba kepad Allah Swt.

Saat membahas tentang maqamat dalam tasawuf, Harun Nasution menyatakan bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah Swt.

Dalam konteks Tasawuf, sebelum seorang calon sufi menjadi sufi, maka ia harus terlebih dahulu harus melewati jenjang atau maqamat yang tujuannya adalah untuk membersihkan jiwa agar mudah berhubungan dengan Allah.

Tawakkal atau berserah diri kepada Allah adalah jenjang keenam sebelum sampai ke jejang berikutnya yaitu Ridha. Ada bebepa jenjang atau maqamat yang harus dilalui seorang sufi: Taubat, Zuhud, Wara’, Fakir, Sabar, Tawakkal, Ridha.

Dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (1995), Harun Nasution menuliskan bahwa penerapan tawakkal terdiri atas tiga tingkatan yaitu: Hati selalu senantiasa merasa tenang dan tenteram terhadap apa yang di janjikan Allah Swt.

Keyakinan utama yang mendasari tawakkal adalah keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kebesaran Allah Swt. Tawakkal adalah bukti nyata seberapa besar kadar keimanan kepada Allah Swt.

Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah adalah menanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt., tidak seorangpun dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa izin dan kehendak Allah Swt.

Tawakkal kepada Allah Swt. setelah mengambil keputusan penting adalah hal yang mestinya dilakukan oleh seorang Muslim/Muslimah tiap kali memutuskan sesuatu.

Hal ini tercantum dalam Q.S. Ali Imran ayat 159 sebagai berikut:

 فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

Fa bimā raḥmatim minallāhi linta lahum, walau kunta faẓẓan galīẓal-qalbi lanfaḍḍụ min ḥaulika fa’fu ‘an-hum wastagfir lahum wa syāwir-hum fil-amr, fa iżā ‘azamta fa tawakkal ‘alallāh, innallāha yuḥibbul-mutawakkilīn

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran (3): 159)

Menurut Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi dalam Almu’jam al-Mufahrasy Lil fazlil Qur’anil Karim, Qohirah, Darul Kitab al-Misyriyah, ayat tersebut adalah ayat Madaniyah.

Ibnu Katsir mencatat bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang firman Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., mengingat karunia telah diberikan kepadanya dan kepada orang-orang beriman.

Tatkala Allah Swt. menjadikan hati Rasulullah lembut kepada umatnya yang mengikuti perintah dan meninggalkan larangannya dan menjadikan Nabi Muhammad  Saw. bertutur kata baik kepada mereka.

Rasulullah senantiasa mengajak para sahabatnya bermusyawarah jika ada persoalan yang terjadi. Hal tersebut bertujuan untuk menjadikan hati mereka senang dan agar hati lebih semangat dalam berbuat.

Rasulullah selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang atau masalah-masalah lainnya. Lalu, hasil musyawarah tersebut akan dikembalikan kepada Sang Pencipta, Allah Swt.

Apabila telah bermusyawarah dan berhasil memecahkan sebuah masalah, lalu sudah benar-benar yakin pada keputusan yang dihasilkan, maka bertawakkallah kepada Allah Swt.

Berserah diri kepada Allah Swt. setelah mengambil keputusan oenting adalah hal yang terpuji mengingat berapa besarnya kekuasaan Allah Swt. dan sesungguhnya nasib hidup seluruh umat manusia hanya Dia yang bisa menentukan.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2001) juga menjelaskan pesan terakhir dalam ayat Ali Imran 159 bahwa apabila setelah musyawarah selesai yaitu telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah dirilah kepada Allah Swt.

Kita boleh berusaha, tapi semua hal kembali lagi kepada Allah Swt. Meski begitu, usaha yang dilakukan pun harus ekstra dan maksimal, tanpa menghilangkan tujuan untuk mencapai Ridho-Nya.

Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Tawakkal

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mencatat bahwa term tawakkal atau berserah diri kepada Allah dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 38 kali. Penyebutan tersebut meletakkan tawakkal sebagai hal penting yang seyogiyanya dilakukan oleh Muslim dan Muslimah dalam hidupnya.

Kata tawakkal (berserah diri kepada Allah) yang menjelaskan tentang penyerahan diri kepada Allah dapat di jumpai pada ayat-ayat berikut:

Pertama, surat Ali Imran (3) dalam ayat 122, ayat 159, dan ayat 160.

Kedua, surat an-Nisa (4) ayat 81

Ketiga, surat al-Maidah (5) ayat 11 dan ayat 23

Keempat, surat al-A’raf (7) ayat 89.

Kelima, al-Anfal (8) ayat 2 dan ayat 49.

Keenam, at-Taubah (9) ayat 51 dan ayat 129.

Ketujuh, surat Yunus (10) ayat 71, ayat 84, dan ayat 85.

Kedelapan, surat Hud (11) ayat 56, ayat 88, dan ayat 123.

Kesembilan, surat Yusuf (12) ayat 67.

Kesepuluh, surat ar-Ra’du (13) ayat 30.

Kesebelas, surat Ibrahim (14) ayat 11 dan ayat 12.

Keduabelas, surat an-Nahal (16) ayat 42 dan ayat 99.

Ketigabelas, surat al-Furqan (25) ayat 58.

Keempatbelas, surat asy-Syu’ara (26) ayat 217.

Kelimabelas, surat an-Namal (27) ayat 79.

Keenambelas, surat al-Ankabut (29) ayat 59.

Ketujuhbelas, surat al-Ahzab (33) ayat 3 dan ayat 48.

Kedelapanbelas, surat al-Zumar (39) ayat 38.

Kesembilanbelas, surat asy-Syuura (42) ayat 10 dan ayat 36.

Keduapuluh, surat al-Mujadalah (58) ayat 10.

Keduapuluh satu, surat al-Mumtahanah (60) ayat 40.

Keduapuluh dua, surat at-Thaghabun (64) ayat 13.

Keduapuluh tiga, surat athThalaq (65) ayat 3.

Keduapuluh empat, surat al-Mulk (67) ayat 29.

Semoga, 24 ayat yang menjadi landasan tawakkal memberikan motivasi bagi kita untuk senantiasa bertawakkal kepada-Nya. Sebab dengan bertawakkal, Insya Allah hidup akan menjadi lebih tenang sebab hanya Allah-lah yang mampu memudahkan segalanya.[]

BINCANG SYARIAH

Doa-Doa yang Dianjurkan untuk Muslim Menghadapi Hujan

Doa yang dipanjatkan selama hujan agar dijauhkan dari petaka.

Hujan pada dasarnya adalah anugerah dan rahmat dari Allah bagi seluruh makhluk di muka bumi. Karenanya ketika turun hujan, dianjurkan untuk membaca doa. 

Sebab, seorang Muslim seyogianya memohon kepada Allah agar ketika turun hujan menjadi bermanfaat dan tidak mendatangkan bahaya. 

Rasulullah SAW, bahwa berdoa di waktu turunnya hujan disebut menjadi waktu yang mustajab. Imam Syafi’i telah meriwayatkan dalam kitab al-Umm dengan sanad yang mursal, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Carilah doa yang dikabulkan, yaitu ketika bertemunya dua pasukan, waktu ikamah, serta ketika turunnya hujan. 

Imam an-Nawawi juga mengatakan, bahwa doa pada saat hujan tidak ditolak atau jarang ditolak karena pada saat itu tengah turun rahmat, khususnya curahan hujan pertama di awal musim.  Berikut ini sejumlah doa yang bisa dibaca tatkala hujan turun: 

Doa ketika turun hujan 

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Allahumma shayyiban nafi’an. (Ya Allah, curahkanlah air hujan yang bermanfaat).” (HR Bukhar dari Aisyah RA).   

Ketika takut bahaya hujan lebat, dianjurkan membaca doa ini:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Allahumma hawalaina wala ‘alaina, Allahumma ‘alal akami wa adhirabi, wa buthunil auwdiyati, wamanabitisyajari. (Ya Allah turunkan hujan ini di sekitar kami jangan di atas kami. Ya Allah curahkanlah hujan ini di atas bukit-bukit, di hutan-hutan lebat, di gunung-gunung kecil, di lembah-lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR Bukhari Muslim) 

Sementara doa setelah turun hujan: 

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللـهِ ورَحْمَتِهِ

“Muthirnaa bifadhlillahi wa rahmatihi (Diturunkan kepada kami hujan berkat anugerah Allah dan rahmat-Nya).” (HR Bukhari)

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Surah As-Sajadah Ayat 1-2: Kebenaran Al-Qur’an Sebagai Kitab Suci

Surah as-Sajadah ayat 1-2, sejatinya menguraikan tentang kebenaran Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah yang tak terhingga pengetahuan-Nya. Pengetahuan Tuhan meliputi pelbagai hal; zahir dan batin. Tak ada yang luput dari pengetahuan Allah.

Demikian itu tersurat dalam Alquran, Q.S. as-Sajadah; 1-2. Allah berfirman;

الٓمّٓ . تَنۡزِيۡلُ الۡكِتٰبِ لَا رَيۡبَ فِيۡهِ مِنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِيۡنَؕ

Alif-Laaam-Miiim, Tanziilul Kitaabi ‘laaraiba fiihi mir rabbil ‘aalamiin

Artinya; “Alif Lam Mim. Penurunan Al-Kitab tidak ada keraguan padanya, dari Tuhan semesta alam. 

Dalam Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (2017), Profesor M. Quraish Shihab mengatakan penafsiran Surah As-sajadah Ayat 1-2, menjelaskan Kebenaran Alquran Sebagai Kitab Suci.  Selanjut, ia menerangkan setidaknya terdapat  tiga  sisi unik unik yang terdapat dalam surah as-Sajadah ini. Lebih lanjut

Pertama, ayat ini dimulai dengan alfabetis (muqattha’ah). Lihat saja ayat pertama ; الٓمّٓ (alif, lam, mim). Lantas mengapa Allah memulai as-sajadah dengan ayat alfabetis? Apa hikmahnya?

Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menjelaskan, bahwa terjadi perselisihan pendapat ulama mengenai fawatihus suwar (baca; huruf alfabetis) di dalam Alquran. Para ulama ini kemudian merangkum pendapat mereka dalam kitab tafsirnya masing-masing.

Ibn Jarir Thabari, dalam  Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, menyebut bahwa alfabetis di dalam Alquran disebut sebagai pengenalan permulaan suroh.  Hikmah dibuat huruf-huruf alfabetis di awal, tambah Ibn Jarir  seyogianya sebagai strategi  awal pengenalan Alquran kepada orang kafir dan musyrik. Dengan mendengar kata-kata itu diharapkan timbul penasaran dalam hati mereka dan adanya dialog antara mereka terkait ayat pendek itu. Itulah strategi mereka. Kemudian, setelah mereka sudah siap untuk mendengar semuanya, barulah dibacakan kepada ayat selanjutnya.

Pendapat ini memiliki  sisi kelemahan. Hal itu bisa dilihat dari susunan awal Alquran, tak semua awal surah diawali dengan alfabetis. Selain itu, surah Ali Imron, dan al-Baqarah  yang menerapkan alfabetis diawal adalah suroh Madaniyah—yang notabenennya berisi perintah (khitob), dan bukan ditujukan kepada orang musyrik Mekah.

Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghayb, berpendapat, bahwa Alif Lam Mim diletakkan di awal suroh berfungsi sebagai argumen untuk menunjukkan kehebatan Alquran. Dengan kata lain, tak ada makhluk yang bisa membuat Alquran, meskipun dengan huruf-huruf alfabetis, padahal kata-kata itu sering mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari.

Pendapat ini didukung pula oleh Imam Zamakhsayari, dalam tafsir al- kasysyaf. Ia berkata, sesungguhnya huruf-huruf alfabetis itu diulang-ulang, tujuannya adalah untuk menunjukkan makna tantangan dan cemoohan kepada orang orang yang meragukan Alquran.

Pendapat Ini pula merupakan pendapat yang sangat kuat. Bagaimana tidak? Lihat saja pelbagai ayat-ayat yang dimulai dengan alfabetis, niscaya sesudahnya pasti menjelaskan keagungan Alquran.

Keunikan kedua mengenai surah as-Sajadah adalah ayat ini berkaitan erat dengan awal surah al-Baqarah. Sejatinya ayat ini menegaskan tentang kedahsyatan Alquran. Dengan tegas Allah dalam berbicara bahwa Alquran itu bukan produk manusia, Alquran itu firman Tuhan. Dan itu tak ada keraguan di dalamnya.

Tentang ke dahsyatan Alquran ini, Abdul Qadir Jailani dalam Tafsir al-Jailani  mengatakan bahwa Alquran sejatinya berasal dari Allah. Isi Alquran itu berisi tentang pelbagai peraturan agama Islam. Tak ada juga keraguan dalam Alquran, ia berasal dari Tuhan sekalian alam.

Bagi orang yang meragukan Alquran, Syekh Abdul Qadir menyebutnya sebagai orang sesat. Ia menulis;

يشكون و يترددون في نزوله من عنده سبحانه اولئك الطاعنون الضالون

Artinya: Orang-orang yang ragu dan menolak tentang Alquran bersumber dari Allah, maka mereka orang yang sangat sesat.

Terkait kata robbul Alamin yang ada dalam ayat as-Sajadah 1-2, Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Thabathabai, menjelaskan kata di atas  menunjukkan sebagai bantahan terhadap masyarakat jahiliyah—mereka percaya pada Allah sebagai pencipta— tetapi mereka meyakini bahwa Allah memberikan wewenang kepada Tuhan yang lain untuk mengatur alam semesta.  Dan Allah tidak mencampuri urusan Tuhan-Tuhan yang lain.

Dengan adanya robbul alamin dalam ayat di atas, jelaslah bahwa segala yang ada di alam berada dalam cakupan pemeliharaan dan pengaturan Allah.

Keunikan ketiga dari ayat awal as-Sajadah adalah, meskipun ada persamaan di awal dengan surah al-Baqarah, namun  terdapat juga beberapa perbedaan pada kedua surah ini. Perbedaan itu terdapat pada ujung ayat ini.  Bila dalam al-Baqarah berbunyi: hudal lil muttaqin, sedangakan dalam as-Sajadah menggunakan Min Robbil Alamin.

Mengenai persoalan ini, Quraish Shihab menjelaskan, sejatinya surah Al-Baqarah adalah surah Madaniah— turun setelah Nabi hijrah—, pada saat ayat ini turun komunitas muslim telah terbentuk di Madinah. Masyarakat Islam telah ada dalam sebuah komunitas utuh. Nah, penggunaan kata “hudal  lil muttaqin” sebagai pemantik agar masyarakat yang belum Islam, berpindah kepada Islam dan tertarik kepada ajarannya yang mulia.

Sedang berbeda dengan surah as-Sajadah, Allah menggunakan kata “Robbul Alamin (tuhan sekalian alam)”,  penyebabnya adalah ayat itu diturunkan kepada masyarakat Mekah, yang notabenenya  adalah orang-orang musyrik yang  tak mengesakan Allah, dan percaya adanya aneka Tuhan di alama raya mengendalikan bagian-bagian alam raya.

Secara umum ayat ini Tafsir Surah As-sajadah Ayat 1-2: Kebenaran Alquran Sebagai Kitab Suci. Sebagai kitab suci yang berasal dari Tuhan, tak ada keraguan di dalamnya. Kemukjizatan Alquran pun telah banyak terbukti.

BINCANG SYARIAH