Dajjal: Antara Sosok dan Simbol

DALAM Islam, persoalan dajjal selalu menjadi trending topik sepanjang zaman. Ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah meyakini bahwa dajjal itu bukanlah simbol, sifat laku dan kiasan belaka (majaaziy) sebagaimana pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum yang mengedepankan takwil lainnya.

Namun dajjal sosok makhluk yang sebenarnya ada (haqiiqiy) dengan segenap tanda-tandanya yang sangat jelas. Sekalipun dalam kenyataannya apa yang terjadi akhir-akhir ini hampir mendekati pada sifat-sifat tercela yang terjadi dalam hadits-hadits akhir zaman.

Sekedar menyebut contoh, munculnya buku: ‘Umru Ummatil Islaam wa Qurbu Zhuhuuril Mahdi ‘Alaihis Salaam (1996), Al-Qaulul Mubiin fil Asyraathis Shughraa Liyaumid Diin Istiqshaa-an wa Bayaanan Liwuquuihaa (1997) dan Raddus Sihaam ‘an Kitaabi ‘Umri Ummatil Islaam wa Qarbu Zhuhuuril Mahdi ‘Alaihis Salaam. Ketiganya merupakan karya Syaikh Amin Muhammad Jamaluddin dari Islamic Research Academy Universitas Al-Azhar yang ditanda tangani Syaikh Mamduh Mahir sebagai Dirut Bagian Penelitian, Penulisan dan Terjemah.

Kemunculan buku ini cukup menggemparkan, baik yang pro atau pun yang kontra. Selain itu, para ulama ushuluddiin kalangan Salaf, melarang adanya takwil yang terlampau jauh dalam perkara-perkara yang masih ghaib dan larangan merincikan apa yang tidak dirincikan Rasulullaah ﷺ. Di antara ulama kontemporer yang menguatkan pandangan tersebut adalah Syaikh Dr. Sulaiman Al-Asyqar (Kuwait) dan Syaikh Dr. Shalih Fauzan (Saudi Arabia).

Dajjal dalam Isyarat Al-Qur’an dan Hadits Nabi

Tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an, yang menyebutkan secara langsung kata dajjal. Akan tetapi, secara umum beberapa ayat menyebutkan; bahwa kata ba’dhu aayaati Rabbika dalam QS. Al-An’aam/ 6 :158 menunjukkan adanya tanda “akhir zaman”, berimannya ahlul kitab akan kemunculan Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam sebelum wafatnya dalam QS. An-Nisaa [4]: 159, atau QS. Az-Zukhruf [43]: 61 yang menyebutkan bahwa ‘Isa adalah pengetahuan hari kiamat. Demikian pula dengan QS. Ghafir [40]: 57 yang menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak mengetahui akan penciptaan-Nya yang lebih besar. Semua itu menunjukkan, bahwa dajjal pun diisyaratkan dalam Al-Qur’an.

Adapun data-data tekstual yang dapat dibaca pada sunnah Nabi terkait dajjal haqiqiy, di antaranya adalah:

Dajjal adalah manusia yang buta mata kanannya (a’war) sebagaimana dikabarkan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya (serupa dengan seseorang yang bernama ‘Abdul ‘Uzza bin Qathn bin ‘Amrin al-Khuza’iy). Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anh.

Kejahatannya merupakan kejahatan tingkat tinggi yang paling berat, hingga para Nabiyullaah sejak Adam ‘alaihis salaam sampai Nabi akhir zaman mewaspadakannya. Demikian menurut HR. Bukhari-Muslim dari shahabat Anas bin Malik dan HR. Muslim dari ‘Imran bin Husain radhiyallaahu ‘anhum.

Tanda fisiknya terdiri dari: berambut sangat keriting dan gimbal (qathathun, ja’dun), matanya tidak bercahaya (thaafiyah), tidak tinggi (qashiir), tampak sombong (afhaj) dan antara dua matanya bertuliskan kaf fa ra. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an dan HR. Abu Dawud dari shahabat ‘Ubadah bin Shamith radhiyallaahu ‘anhum.

Senang demonstrasi “kesaktian” dengan sihir-sihir sesatnya; membawakan sungai air dan sungai api, menghidupkan tumbuhan bumi, menghidupkan orang mati, membuat paceklik bagi yang menolaknya. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah, HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an dan HR. Ibnu Majah dari shahabat Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal akan keluar dari celah antara Syam dan Iraq, tepatnya bumi bagian Timur bernama Khurasan dan diikuti oleh 70.000 Yahudi Ishfahan (keduanya ada di negeri Iran), para wanita dan anak-anak bodoh. Demikian menurut HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat Anas, HR. Ahmad dari Ibnu Umar, HR. Ahmad dari shahabat Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal hidup di muka bumi dengan masa 40 hari; yang hari pertama serasa satu tahun, hari kedua serasa satu bulan, hari ketiga serasa sepekan dan berikutnya sama seperti hari-hari biasa, hingga akhirnya Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam (yang turun dekat menara putih Damaskus) dan membunuh dajjal di suatu tempat bernama Baab Ludd. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal terus melakukan kerusakkan, hingga tidak ada satu kota pun yang tidak dimasukinya kecuali kota Makkah dan Madinah yang dijaga setiap celahnya oleh barisan malaikat. Selain itu, Madinah diguncang gempa sebanyak 3x hingga dikeluarkannya orang-orang kufur dan munafiq. Demikian menurut HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anh).

Sebagaimana dinukilkan Imam An-Nawawi (Damascus, 631-676 H.), bahwa Qadhi ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh (Maghribi, 476-544 H.) menuturkan: “Hadits-hadits tentang dajjal merupakan hujjah ahlus sunnah tentang keshahihan adanya, ia merupakan sosok tertentu yang dengannya Allah menguji para hambaNya. Allah membekalinya dengan beragam kemampuan; menghidupkan mayat yang telah dibunuhnya, ia seolah-olah dapat menciptakan segala kemewahan dunia, sungai-sungai, surga dan neraka. Tunduknya segala kekayaan bumi, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhan. Semua itu atas kehendak Allah, kemudian ia dilemahkan sehingga tidak mampu untuk membunuh seorang pun juga. Namun, tidak ada yang bisa membunuh dajjal dan menghentikannya, melainkan Nabiyullaah ‘Isa bin Maryam. Pemahaman ini mendapat penentangan dari kalangan Khawarij, Jahmiyyah dan sebahagian Mu’tazilah.” (Lihat: Syarah Shahih Muslim 18/ 58).

Para ulama klasik telah menunjukkan dalil-dalil itu secara panjang lebar beserta syarahnya, di antaranya Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir dalam kitabnya Nihaayatul Fitan wal Malaahim sebagai pembahasan akhir dari kitab besarnya Al-Bidaayah wan Nihaayah. Seperti dinukilkan Sulaiman bin Muhammad Al-Luhaimid dalam risalahnya Tahdziirul Ajyaal min Fitnatil Masiihid Dajjaal (tanpa tahun), bahwa sebelum kemunculan dajjal ada peristiwa-peristiwa yang melintas sebelumnya; penaklukkan Konstantinopel, terjadinya tahun-tahun penuh tipu daya dan dunia dilanda kekeringan yang sangat dahsyat.

Dajjal; Sosok atau Simbol?

Pemaknaan terhadap sikap laku yang jahat atau perilaku moral yang semena-mena (kedustaan, kepongahan, ketidak adilan, intimidatif, peradaban yang buruk dan lain-lain) tidak bisa dilepaskan dari perilaku dajjal yang sesungguhnya, karena itulah Rasulullaah ﷺ mengisyaratkan dalam sebuah haditsnya:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ

“Akan ada pada akhir zaman dajjal-dajjal pembohong yang membawa kepada kalian perkataan-perkataan yang tidak pernah kalian dengar, tidak pula ayah-ayah kalian. Maka hati-hatilah kalian dan awasilah mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan jangan sampai kalian terfitnah.” (Lihat: Muqaddimah Shahiih Muslim, no. 16 dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).

Maka sangatlah wajar, sekaliber Ibnu Manzhur (pemilik kitab Lisaanul ‘Arab) mengatakan:

كُلُّ كَذَّاب فَهُوَ دَجَّال، وَجَمْعُهُ دَجَّالون، وَقِيلَ: سُمِّي بِذَلِكَ لأَنه يَسْتُرُ الْحَقَّ بِكَذِبِهِ.

“Setiap pendusta maka dia adalah dajjal, dan jamaknya adalah dajjaaluun (dajjal-dajjal). Dikatakan dengan penamaan demikian, karena dia menutupi kebenaran dengan kedustaannya.” (Lihat: Ibnu Manzhur 11/ 237).

Dalam definisi yang lebih lengkap disebutkan:

سمي الدجال دجالا لأنه يغطي الحق بالباطل، أو لأنه يغطي على الناس كفره بكذبه وتمويهه وتلبيسه عليهم. وسمي الدجال مسيحا، لأن إحدى عينيه ممسوحة، أو لأنه يمسح الأرض أربعين يوما

“Dinamakan dajjal itu dengan dajjal, karena kebatilan menutupi kebenaran, atau kekufurannya mengelabui orang banyak dengan kedustaan dan kepiawaian tipuannya. Dikatakan dajjal itu masih, karena salah satu matanya mamsuh (terusap, tertutup). Atau dikarenakan dajjal tersebut mengusap melewati bumi selama 40 hari.” (Lihat: ‘Audh bin ‘Ali bin ‘Abdillah, Mukhtashar Asyraatis Syaa’ah; As-Shughraa wal Kubraa, 1420: hlm. 36).

Ada banyak kasus dan peristiwa yang muncul di depan mata, baik berskala dunia atau pun lokal, bernuansa politik atau pun ideologi; mulai dari semakin pongahnya peradaban Barat, Eropa dan lain-lain dengan penuhanan materialisme (maaddiyah) yang dianutnya (memandang segala sesuatu dengan sebelah mata), sekularisme (ilmaaniyyah), atheisme (ilhaadiyyah), zionisme (shuhyuuniyyah), serta munculnya sekte-sekte yang dengan berterus terang memuja Iblis (Lucifer), kemunculan Nabi-nabi bayangan dan Imam Mahdi palsu di belahan Benua India, Afrika dan Negara-negara berperadaban Persia dengan sisa-sisa zoroaster-nya (mazdaqiyyah, majusiyyah). Mulai dari Mirza Ghulam Ahmad, Bahauddin al-Baab, hingga Sathya Sai Baba. Tidak terkecuali di Negara-negara Asia dan Asia Tenggara. (Lihat: Abu Fatiah al-Adnani, Dajjal Sudah Muncul dari Khurasan: 2006, Yusuf Burhanuddin, Kemunculan Dajjal Palsu: 2007 dan Hartono A. Jaiz, Nabi-nabi Palsu & Penyesat Ummat: 2008).

Semua itu menunjukkan, betapa fenomena kemunculan fitnah dajjal dengan beragam kerusakkan dan kemungkaran yang terjadi merupakan keniscayaan yang dialami ummat manusia zaman ini. Sebahagian kalangan menyebutnya dengan fitnatus shugraa. Adapun kemunculan dajjal (dalam makna sosok), mereka menyebutnya dengan fitnatul kubraa.

Penutup

Terlepas dari pemaknaan haqiiqiy atau pun majaaziy, berbeda dengan kalangan yang disebut-sebut menganut faham rasionalisme (‘aqlaaniyyah) semisal Syaikh Muhammad ‘Abduh (Al-Manaar [3] 317) yang diikuti pengikutnya Abu ‘Ubayyah bahwa dajjal itu “simbol kejahatan”, bukan Bani Adam. Ulama lain abad ini (Syaikh Nashir ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi) lebih condong bahwa dajjal membawa dua fitnah besar; fitnah sebagai sosok dan fitnah sebagai sistem atau simbol.

Sebagai kalimat akhir, dengan menelaah paparan sederhana ini, dengan segala keterbatasan ilmu, al-faqir berpandangan bahwa hakikat dajjal itu tidak sekedar bermakna simbol, melainkan bermakna sosok dan simbol sekaligus. Sekalipun demikian, dalam memaknai simbol tidak dibenarkan melakukan takwil-takwil yang tidak dikuatkan dalil syara’ yang bisa melahirkan sikap berlebihan (ghuluw), bahkan penyimpangan dalam beragama (inhiraafaat fid diin).

Dalam tugasnya sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullaah ﷺ memberi ketauladanan kepada umatnya agar senantiasa memohon keselamatan dari fitnah dajjal ini (di antaranya membaca awal Surat Al-Kahfi dan do’a khusus terhindar dari fitnah dajjal). Lebih dari itu, banyak mengambil pelajaran dan merenungkan taujiih nabawiy agar diselamatkan dari berbagai fitnah yang semakin dahsyat ini dengan cara-cara berikut: mengokohkan ‘akidah, meminimalisir perpecahan, persengketaan dan mendorong umat akan pentingnya persatuan, mementingkan untuk tafaqquh fid diin, mengikatkan diri pada Al-Qur’an dan mengajak untuk melakukan hal yang sama, menjauhi sumber fitnah, shabar dan tetap istiqamah ketika terjadi fitnah, berlindung dari fitnah dan tawakkal pada Allah ‘azza wa jalla, serta selalu bertanya kepada ahli ilmu dalam menghadapi berbagai kesulitan.*/Teten Romly Qomaruddien


HIDAYATULLAH

Fatwa Ulama: Puasa Rajab

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

Soal:

Puasa sunnah Rajab itu dianjurkan pada awal bulan, tengahnya atau akhirnya?

Jawab:

Tidak ada hadits yang shahih yang khusus menyatakan adanya keutamaan puasa bulan Rajab selain hadits yang dikeluarkan oleh An Nasa-i dan Abu Daud, yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari hadits Usamah, ia berkata:

قلت : يا رسول الله ، لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان ، قال : ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

“aku bertanya: wahai Rasulullah, belum pernah aku melihatmu puasa di bulan lain sebagaimana puasamu pada bulan Sya’ban. Beliau bersabda: ‘Itu adalah bulan yang banyak dilalaikan manusia antara Rajab dan Ramadhan’. Dan bulan itu adalah bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada Rabbul ‘Alamin. Maka aku suka jika ketika aku sedang berpuasa

Terdapat juga hadits-hadits umum yang menganjurkan mengerjakan puasa tiga hari atau puasa ayyamul bidh setiap bulannya. Yaitu pada tanggal 13, 14, 15 (bulan Hijriah). Dan juga anjuran untuk memperbanyak puasa di bulan-bulan haram, juga puasa senin-kamis. Bulan Rajab termasuk dalam keumuman hadits-hadits tersebut. Jika anda bersemangat untuk berpuasa pada hari-hari tertentu (di bulan Rajab) maka puasalah pada ayyamul bidh yang tiga hari tadi, atau pada hari senin dan kamis, atau jika bukan (pada hari-hari tersebut pun boleh), perkaranya luas.

Adapun mengkhususkan hari tertentu sebagai hari puasa Rajab, kami tidak mengetahui ada dasarnya dari Syariat.

Wabillahi at taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala ahlihi washahbihi wasallam.

Sumber: http://www.alifta.com/Fatawa/fatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=335&PageNo=1&BookID=12

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang tidak mengerti agama dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]”.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc.

MUSLIMorid

Rahmat Allah dalam Al-Qur’an

Berbicara tentang rahmat, kita akan temukan banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut tentangnya. Ada pula ayat-ayat yang menyebutkan pengaruh dari rahmat itu sendiri, perumpamaannya dan berbagai sisi tentang rahmat. Dan tiada siapapun yang mampu menjangkau kebesaran Rahmat Allah.

Nah, kali ini kita akan menyebutkan beberapa poin tentang rahmat dalam pandangan Al-Qur’an.

(1). Al-Qur’an menjelaskan bahwa rahmat Allah menyentuh segala sesuatu di alam wujud ini. Bahkan titik sekecil apapun di alam keberadaan ini semuanya bisa eksis berkat rahmat Allah Swt. Dan Rahmat itulah pondasi keberadaan di alam semesta ini.

وَرَحۡمَتِي وَسِعَتۡ كُلَّ شَيۡءٖۚ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS.Al-A’raf:156)

(2). Al-Qur’an memandang diturunkannya Risalah dan diutusnya para Nabi adalah rahmat Allah yang diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Maka barangsiapa yang layak mendapatkan rahmat yang lebih maka dia akan diperintahkan untuk menyampaikan wahyu ilahi dan memberi hidayah kepada mereka.

Karena dari orang-orang terpilih inilah akan tersampaikannya petunjuk hidup, solusi serta jalan keselamatan bagi manusia dari siksa akhirat.

Karena itu hanya Allah yang menentukan dengan rahmatnya dengan memilih para Nabi dan Rasul.

يَخۡتَصُّ بِرَحۡمَتِهِۦ مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ

“Dia menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS.Ali ‘Imran:74)

(3) Al-Qur’an sendiri adalah Rahmat Allah bagi hamba-Nya. Dan hal ini disebutkan dalam berbagai ayat, seperti :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS.Yunus:57)

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zhalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS.Al-Isra’:82)

(4). Nabi Muhammad Saw adalah wujud terbesar dari Rahmat Allah Swt. Beliau adalah simbol dan pemikul Rahmat Allah Swt.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya’:107)

(5). Dan termasuk rahmat Allah adalah keringanan dalam hukum dan kewajiban yang harus dilakukan manusia. Seperti ketika Allah membicarakan hukum Qishos dan Dhiyah.

ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ

“Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS.Al-Baqarah:178)

(6). Sikap berlemah lembut dan saling mengasihi sesama adalah Rahmat Allah yang diberikan kepada manusia.

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (QS.Ali ‘Imran:159)

Masih ada beberapa ayat lagi yang akan kita sebutkan mengenai Rahmat Allah Swt dalam Al-Qur’an. Nantikan kelanjutannya di bagian ke dua yah.

KHAZANAH ALQURAN

Lahan tanpa Ahli Waris, Bagaimana Hukumnya?

Apakah boleh seseorang yang bukan ahli waris berinisiatif mengelola dan memanfaatkan lahan yang terbengkalai?

Sering kali kita menjumpai lahan yang terbengkalai karena pemiliknya menghilang tanpa informasi yang jelas tentang keberadaannya atau lahan tersebut terbengkalai karena pemiliknya meninggal. Sementara pemilik lahan pun tak meninggalkan wasiat serta tak ada ahli waris yang dapat meneruskan kepemilikan lahan tersebut.

Lantas, bagaimana status lahan yang seperti itu? Dalam kondisi tersebut apakah boleh seseorang yang bukan ahli waris berinisiatif mengelola dan memanfaatkan lahan yang terbengkalai sejak lama itu? Apakah lahan itu bisa menjadi lahan wakaf untuk kemaslahatan umat?

Ketua Divisi Humas Sosialisasi dan Literasi dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) Ustaz Atabik Luthfi memberikan penjelasan berkaitan dengan status lahan yang terbengkalai karena pemiliknya meninggal atau menghilang sejak lama tanpa diketahui informasi keberadaannya. Ustaz Atabik menjelaskan, dalam Islam setiap bentuk harta bergerak atau tidak bergerak seperti tanah yang menjadi peninggalan orang yang meninggal, statusnya menjadi hak ahli waris. Sebagaimana keterangan Alquran yang dapat ditemukan pada surah an-Nisa ayat 7 dan 11-12.

Ahli waris pokok sendiri, di antaranya dari pihak laki-kaki yang berhak mendapatkan harta waris adalah anak laki-laki, cucu laki-laki, sampai ke atas dari garis anak laki-laki, ayah, kakek sampai ke atas garis ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara kandung sampai ke bawah, anak laki-laki saudara seayah sampai ke bawah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung sampai ke bawah, anak paman seayah sampai ke bawah, dan suami.

Sementara itu, ahli waris dari perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan sampai ke bawah dari anak laki-laki, ibu, nenek sampai ke atas dari garis ibu, nenek sampai ke atas dari garis ayah, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan istri.

Dengan adanya hukum tersebut, menurut ustaz Atabik, seseorang atau pun nazir wakaf –baik nazir individu maupun lembaga– yakni pihak mengelola atau memanfaatkan lahan yang ditinggalkan pemiliknya maka harus terlebih dulu menemui ahli waris dan meminta izin untuk mengelola lahan yang terbengkalai tersebut. 

Mendapatkan izin dari ahli waris sangat penting agar tidak terjadi sengketa di tengah perjalanan pengelolaan wakaf.

Menurut Ustaz Atabik, mendapatkan izin dari ahli waris sangat penting agar tidak terjadi sengketa di tengah perjalanan pengelolaan wakaf. Agar lahan yang terbengkalai dapat dikelola nazir, perlu adanya akta ikrar wakaf (AIW)di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat untuk mengurus wakaf lahan atau benda tak bergerak.

Karenanya perlu dicari ahli waris dengan mencari data di Kelurahan tentang status tanah tersebut.Jangan sampai tujuan yang mulia, namun tidak mengindahkan ketentuan yang berlaku, kata Ustaz Atabik kepada Republika, beberapa hari lalu.

Karena itu, seseorang yang bukan ahli waris tidak boleh begitu saja mengelola lahan terbengkalai, meskipun bertujuan untuk menghidupkan lahan tersebut agar bisa dimanfaatkan. Ustaz Atabik menjelaskan, dalam ushul fikih terdapat kaidah al-ghayatu laa tubarrirul wasilah, yakni tujuan tidak boleh menghalalkan cara.

Dalam hadis Umar RA jelas bahwa pengelolaan wakaf atas inisiatif wakif atau ahli warisnya, sehingga tanah terbiar itu tidak otomatis menjadi tanah wakaf. “Tugas nazir dalam pengelolaan wakaf dapat dijalankan manakala sudah clear status tanah dari berbagai aspeknya,” kata Ustaz Atabik.

Tugas nazir dalam pengelolaan wakaf dapat dijalankan manakala sudah clear status tanah dari berbagai aspeknya.

Namun, bagaimana bila upaya maksimal untuk mencari keberadaan ahli waris telah dilakukan dan mendapati informasi yang kuat bahwa pemilik lahan tersebut benar-benar tidak memiliki ahli waris? Apakah lahan tersebut masih bisa menjadi tanah wakaf?

Menurut Ustaz Atabik, bila kondisi tanah tidak bertuan dan tidak diketahui pemiliknya, menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Program wakaf baru bisa dilaksanakan bila ada surat keterangan kejelasan status tanahnya.

“Persoalan status tanah yang tidak bertuan atau tidak diketahui pemiliknya, menjadi ranah kementerian ATR/BPN, jika ada SK tentang kejelasan status tanah tersebut, program wakaf bisa diselenggarakan. Karena persyaratan wakaf tanah adalah kepemilikan penuh individu atau lembaga yang dipindahkan menjadi kepemilikan umat,” kata dia.

OLEH ANDRIAN SAPUTRA

KHAZANAH REPUBLIKA

Beda Antara Rahman dan Rahim, Bagaimana Penjelasannya?

Terdapat perbedaan makna antara rahman dan rahim

Allah SWT memiliki nama-nama yang agung, sebagaimana disebutkan dalam Alquran, jumlahnya mencapai 99 nama. Dua di antaranya yang populer  memiliki makna yang hampir sama yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Meski berasal dari akar kata yang sama, yang berasal dari sifat pengasih yang dimiliki Allah SWT, tetapi tetapi keduanya memiliki makna dan konteks yang berbeda. Ar-Rahman berarti Mahapengasih sedangkan Ar-Rahim Mahapenyayang.

Yang Mahapengasih berarti Allah yang memberikan rahmat berarti rahmat yang diberikan kepada seluruh makhluk Nya tanpa terkecuali. Baik mereka yang taat maupun yang tidak.

Sedangkan Yang Mahapenyayang berarti selain mendapat rahmat dari Allah yang Maha Pengasih. Makhluk Nya yang taat dan beriman kepadanya mendapat rahmat yang berbeda berupa pahala sesuai amal dan perbuatan mereka.

Ar Rahmaan ini dapat terlihat dari wujud rasa sayang yang diberikan melalui ayah dan ibu yang menyayangi anaknya bahkan untuk hewan sekalipun. Semua makhluk juga mendapat rezekinya masing-masing baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan, manusia diciptakan dalam bentuk terbaik, Allah mengutus para rasul kepada masing-masing umat, dan bentuk nikmat dunia lainnya yang tak terbatas pada manusia, bahkan semua makhluk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW:  

جعل الله الرّحمة مئة جزء، فأمسك عنده تسعة وتسعين جزءاً، وأنزل في الأرض جزءاً واحداً، فمن ذلك الجزء يتراحم الخلق؛ حتّى ترفع الفرس حافرها عن ولدها خشية أن تصيبه

“Allah SWT memiliki rahmat seratus bagian,  Dia menyimpan 99 bagian, dan mengirimkan satu bagian ke bumi, dan dari bagian itu dia memberijan rahmat untuk ciptaan, sampai kuda betina mengangkat kakinya dari anaknya, agar tidak menyakitinya.”

Sedangkan Ar-Rahim, diwujudkan Allah SWT ketika hamba yang beriman dan taat maka mereka mendapatkan ganjaran berupa pahala dan kebaikan-kebaikan di luar hak nya sebagai makhluk. Mereka bisa mendapatkan surga atas perbuatan baik yang mereka lakukan.

Sumber: mawdoo3 

KHAZANAH REPUBLIKA

Penyimpangan dalam Tauhid Asma’ wa Shifat

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan terkait Nama dan Sifat Allah Ta’ala adalah:

Pertama: al-Taḥrīf (التحريف), yaitu mengubah lafaz suatu dalil, sehingga maknanya pun ikut berubah, atau mengubah maknanya saja.

Contoh dari mengubah lafaz suatu dalil, sehingga maknanya pun ikut berubah:

Firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,

وَكَلَّمَ اللَّـهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

“Dan Allah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. an-Nisā’: 164)

Orang-orang yang menyimpang mengubah ayat ini menjadi: وكلَّم اللهَ موسى تكليما (wa kallamallāha mūsā taklīma).

Firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“Zat yang Maha Pemurah beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. Ṭāhā: 5)

Orang-orang yang menyimpang mengubah kata استوى (istawā) menjadi استولى (istaulā) yang bermakna ‘menguasai’.

Ketahuilah bahwa mengubah lafaz al-Qur’an seperti ini adalah jalannya orang-orang Yahudi!

Contoh dari mengubah makna saja, tanpa mengubah lafaz:

Firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“Kedua Tangan Allah terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS. al-Mā’idah: 64)

Sifat Tangan Allah pada ayat ini diubah maknanya menjadi kekuatan Allah atau nikmat Allah, padahal tidak ada dalilnya atas hal ini.

Menyimpangkan makna sebuah lafazh dari makna zhahirnya ini juga dikenal dengan istilah al-ta’wīl (التأويل).

Kedua: al-Ta’ṭīl (التعطيل), yaitu menafikan Sifat Allah, seluruhnya atau sebagiannya.

Jika taḥrīf dilakukan pada dalil, maka ta’ṭīl dilakukan pada kandungan dalil.

Contoh ta’ṭīl (menafikan) seluruh Sifat Allah adalah apa yang dilakukan oleh Jahmiyyah, di mana mereka mengingkari semua Sifat Allah Subḥānahu wa Ta’alā.

Contoh ta’ṭīl (menafikan) sebagian Sifat Allah adalah apa yang dilakukan oleh Asy’ariyyah, di mana mereka hanya menetapkan sebagian sifat saja dan mentakwil sifat-sifat lainnya. Sifat yang mereka tetapkan adalah: wujūdqidāmbaqā’mukhālafatu lilhawādiṡiqiyāmuhū binafsihiwahdāniyyahqudrahirādah‘ilmuhayāhsamā’baṣarkalāmqādiranmurīdan‘ālimanhayyansamī’anbaṣīranmutakalliman.

Kita katakan kepada mereka, di mana Sifat Rahmat dari Allah, di mana Sifat Ridha dari Allah, di mana Sifat Istiwa’ di atas ‘Arsy, dan di mana Sifat-Sifat Allah lainnya yang disebutkan di dalam Qur’an dan Sunnah? Yang mereka lakukan adalah mentakwil atau menyelewengkan makna dari Sifat-Sifat ini menjadi makna lain yang berbeda dengan makna zahirnya, padahal tidak ada dalilnya sama sekali dari Qur’an dan Sunnah yang mendukung keyakinan mereka tersebut.

Baca Juga:

Ketiga: al-Takyīf (التكييف), yaitu menanyakan bagaimana Sifat Allah.

Imam Malik rahimahullāh pernah ditanya tentang firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“Zat yang Maha Pemurah beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. Ṭāhā: 5)

كيف استوى؟

“Bagaimana Allah beristiwa’?

Maka, beliau rahimahullāh menjawab,

الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة.

al-Istiwā’ itu ma’lūm (diketahui), dan bagaimananya majhūl (tidak diketahui), mengimaninya itu wajib, dan menanyakan tentang hal itu adalah bid’ah.”

Istilah yang terkait dalam bahasan ini adalah at-tafwīḍ (التفويض), yaitu menyerahkan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā. Apa yang diserahkan kepada Allah? Ada dua kemungkinan:

Pertama, menyerahkan makna suatu Sifat kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā, karena tidak ada yang tahu maknanya kecuali Allah. Ini adalah akidah orang-orang yang menyimpang.

Contoh: Apa makna Sifat Istiwā’ di atas ‘Arsy? Tidak tahu, karena yang tahu maknanya hanyalah Allah.

Kedua, menyerahkan hakikat dan bagaimananya suatu Sifat kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā. Ini adalah akidah ahlussunnah waljamā’ah.

Contoh: Apa makna Sifat Istiwā’ di atas ‘Arsy? Kita tahu maknanya, yaitu tinggi di atas ‘Arsy. Adapun hakikat Sifat Istiwā’, bagaimana Allah ber- istiwā’ di atas ‘Arsy, maka kita tidak tahu, karena tidak ada yang tahu hakikatnya dan bagaimananya kecuali Allah.

Keempat: al-Tamṡīl (التمثيل), yaitu menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.

Takyīf itu lebih umum daripada tamṡīl. Orang yang men-takyīf  belum tentu men- tamṡīl, tetapi orang yang men- tamṡīl maka pasti men-takyīf.

Contoh: Kita mengimani bahwa Allah memiliki Sifat Tangan, tetapi tidak boleh bagi kita untuk menyerupakan Tangan Allah dengan tangan makhluk-Nya (tamṡīl, sekaligus juga takyīf) atau membayangkan kira-kira bagaimana Tangan Allah itu walaupun tidak diserupakan sama sekali dengan tangan makhluk-Nya (takyīf, tetapi bukan tamṡīl). Oleh karena itu, yang harus kita yakini adalah bahwa Allah memiliki Sifat Tangan, dengan Sifat Tangan yang sesuai dengan Keagungan Allah Subḥānahu wa Ta’alā, dan tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.

***

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Melawan Fitnah, Hoax dan Penghinaan, Bolehkah?

Allah Swt berfirman dalam surah As-Syura’: 39,

(وَٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَابَهُمُ ٱلۡبَغۡیُ هُمۡ یَنتَصِرُونَ)

dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim, mereka membela diri.

Lafad yantashiruun terambil dari kata nashoro yang berarti membantu atau membela. Ar-Râghib al-Ashfahâni mengmahami kata al-intishor dan al-istinshor dalam arti meminta bantuan. Ini mangisyaratkan bahwa jika seorang muslim ditimpa kesulitan atau penganiayaan atau fitnah, kaum muslim lainnya akan tampil membantunya untuk meluruskan.

As-Syarawi dan mufasir lainnya memahami lafaz yantashiruun dalam arti membela diri. Sehingga mengisyartkan bahwa seorang muslim memiliki harga diri yang tinggi, ia tidak akan menerima penganiyaan, kezaliman, fitnah dan akan tampil sendiri melakukan pembelaan. Sehingga Asy-Sya’rawi mengatakan ayat ini melegalkan seseorang melawan bahkan membalas kezaliman terhadap dirinya dengan hal proposional.

Lalu siapakah orang zalim, pemitnah dan penganiaya yang disebutkan ayat tersebut ?

Imam at-Thabari menjelaskan bahwa pelaku zalim disini bisa mengandung dua makna. Pertama, orang yang melakukan kezaliman itu seorang kafir. Kedua, siapapun yang melakukan kezaliman baik itu kafir atau selainyya. Dan menurutnya, pendapat kedua ini lebih utama ketimbang yang pertama.

Lalu apakah melakukan perlawanan itu terpuji ? Imam At-Thabari menjawab,

إن في إقامة الظالم على سبيل الحق وعقوبته بما هو أهل له تقويما له، وفي ذلك أعظم المدح

Perlawanan terhadap orang zalim dengan cara cara yang benar itu sangat terpuji dan baik. Agar penganiayaan, kezaliman, hoax dan fitnah itu tidak berlanjut, pelakunya pun bisa jera.

Bukankah dengan memaafkan pelaku kezaliman, penyebar hoax dan pelaku fitnah itu lebih baik ketimbang harus melawannya ?

Imam al-Qurthubi menjawab anjuran untuk memaafkan itu berlaku bagi orang zalim yang menyadari kesalahannya lalu bertaubat dan meminta maaf , dan anjuran untuk membalas dan melawan adalah terhadap orang yang zalim, penyebar hoax, dan pemitnah yang tetap membangkang, efek kezalimannya besar, dan menyakitkan korban.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Nabi untuk Penyebar Hoax dan Ujaran Kebencian

Dunia digital semakin tidak dapat dibendung lagi. Semua orang dapat mengakses berita dengan sangat cepat dari mana pun dan siapa pun. Dan semua orang pun dapat mengomentari dan menyebarkan berita itu dengan leluasanya. Padahal tidak jarang berita itu berisi tentang hoax dan ujaran kebencian. Maka, dalam hal ini sebaiknya kita renungkan Nasihat Nabi untuk penyebar hoax dan ujaran kebencian sebagai berikut.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا ». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi (tidak mau menyapa), dan janganlah sebagian dari kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak mau menolongnya, dan menghinanya. Taqwa itu di sini, (beliau sambil menunjuk ke dadanya hingga tiga kali). Cukuplah seseorang dikatakan jelek jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim adalah haram bagi muslim yang lain.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah saw. mengingatkan kita agar selalu berakhlak yang baik dengan orang lain. Khususnya kepada sesama muslim. Bahkan beliau menegaskan bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah saudara. Di mana sangatlah tidak pantas jika sesama saudara sendiri saling mendengki, menipu, membenci, tidak mau saling sapa, menzalimi, tidak mau saling tolong menolong, dan malah saling hina menghina.

Rasulullah saw. juga mengingatkan kita bahwa orang yang taqwa, yang takut kepada Allah swt. itu tidak akan melakukan hal-hal yang hal-hal buruk tersebut. Karena pastinya orang yang bertaqwa senantiasa diawasi oleh Allah swt. sehingga ia tidak akan berani melakukan tindakan yang dilarang oleh Allah swt. Khususnya menyebarkan berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Adab Al-Qur’an dalam Menghadapi Hoax yang Beredar

Gosip adalah sesuatu yang sangat berbahaya dan selalu membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Dan urusan gosip menggosip ini bukanlah hal baru, sejak dulu hal ini telah menjadi sumber masalah apalagi setelah teknologi semakin maju yang mempermudah penyebarannya.

Bahkan Nabi Muhammad Saw telah menghadapi masalah ini dalam banyak kejadian.

Tapi tenang saja, Al-Qur’an telah memberi kita tuntunan dan cara yang jelas agar kita tidak terperangkap dalam gosip. Semua itu terangkum dalam “Adab Menghadapi Sebuah Kabar”.

1). Melakukan tabayun ketika mendengar sebuah berita.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujurat:6)

Rasulullah Saw bersabda :

كَفَى بِالمَرء كَذِبًا أَن يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah kebohongan seseorang dengan mengatakan semua apa yang ia dengar.”

Dan poin yang tak kalah penting adalah kita harus menyadari bahwa semua yang kita sampaikan akan dimintai pertanggung jawaban. Karenanya, berhati-hatilah dalam menyampaikan sebuah berita.

2). Tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan berita. Konsultasikan dulu kepada orang-orang yang lebih berilmu dan lebih bijaksana.

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya.” (QS.An-Nisa’:83)

Ayat ini ingin mengajarkan agar kita jangan terburu-buru merespon sebuah kabar. Biasakan untuk konsultasi terlebih dahulu terhadap orang yang lebih mengerti, kira-kira bagaimana baiknya kita menghadapi kabar ini. Dalam ayat ini digambarkan rujukan kepada Rasul, ulil amr, ulama’ atau orang yang bijaksana.

3). Mendahulukan baik sangka (Husnudzon).

لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ

Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.” (QS.An-Nur:12)

4). Menutupi aib orang lain.

Rasulullah Saw bersabda :

“Siapa yang menutupi aib saudara muslimnya, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat. Dan siapa yang menyingkap aib saudara muslimnya, maka Allah akan menyingkap aibnya sampai tampak jelas di rumahnya.”

Maka jika kita simpulkan, adab dalam menghadapi sebuah kabar yang di ajarkan oleh Al-Qur’an adalah :

1. Tabayun atau cek kebenarannya.
2. Tidak keburu dan konsultasikan kepada orang yang lebih memahami.
3. Mendahulukan husnudzan.
4. Menutupi aib saudaranya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN