Hadis-hadis Keutamaan Memberi Makan Orang Miskin

Dalam Islam, ketika kita memiliki kelebihan harta seperti uang dan lainnya, maka kita dianjurkan untuk memberikan sebagian harta tersebut kepada orang lain, terutama kepada orang fakir miskin. Berdasarkan beberapa hadis-hadis Nabi Saw, terdapat beberapa keutamaan memberi makan kepada orang miskin.

Keutamaan memberikan makan yang Pertama, memberi makan orang miskin mendapatkan jaminan surga. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa? Abu Bakar berkata; Aku. Beliau bertanya lagi; Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah? Maka Abu Bakar berkata lagi; Aku. Beliau kembali bertanya; Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin? Maka Abu Bakar mengatakan; Aku. Lalu beliau bertanya lagi; Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit. Abu Bakar kembali mengatakan; Aku. Maka Rasulullah Saw pun bersabda; Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.

Kedua, mendapatkan kamar khusus dan istimewa di surga. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi dari Sayidina Ali, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا. فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya. Lantas seorang a’rabi berdiri sambil berkata; Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan, wahai Rasululullah?  Rasulullah menjawab; Untuk orang yang berkata baik dan benar, orang yang memberi makan, dan orang yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.

Ketiga, mendapatkan makanan buah-buahan surga. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

أَيُّمَا مُسْلِمٍ كَسَا مُسْلِمًا ثَوْبًا عَلَى عُرْىٍ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ خُضْرِ الْجَنَّةِ وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ أَطْعَمَ مُسْلِمًا عَلَى جُوعٍ أَطْعَمَهُ اللَّهُ مِنْ ثِمَارِ الْجَنَّةِ وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ سَقَى مُسْلِمًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اللَّهُ مِنَ الرَّحِيقِ الْمَخْتُومِ

Muslim mana saja yang memberi pakaian orang Islam lain yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah akan memberinya pakaian dari hijaunya surga. Muslim mana saja yang memberi makan orang Islam yang kelaparan, niscaya Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan di surga. Lalu muslim mana saja yang memberi minum orang yang kehausan, niscaya Allah akan memberinya minuman dari Al-Rahiq Al-Makhtum.

BINCANG SYARIAH

Untaian Hikmah Imam Hasan al-Bashri

Hasan al-Bashri adalah diantara pembesar ulama tabi’in menengah. Beliau wafat pada tahun 110 H dalam usia 88 tahun, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi Rahimahullāh (lihat Thabaqāt ‘Ulamā’ al-Hadits, Juz 1 hal. 140-142). Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih mirip dengan para sahabat Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam melebihi dirinya.” (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 143), Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali mengatakan, “Dia itulah -Hasan al-Bashri- orang yang ucapan-ucapannya mirip ucapan para nabi” (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 144).

Guru dan murid beliau

Berikut ini sebagian guru-guru Hasan al-Bashri: ‘Imran bin Hushain, al-Mughirah bin Syu’bah, Abu Bakrah, an-Nu’man bin Basyir, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dsb. (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 150).

Berikut ini sebagian murid-murid beliau: Humaid ath-Thawil, Ayyub as-Sakhtiyani, Qotadah, Bakr bin Abdullah al-Muzani, Sa’ad bin Ibrahim, Ibnu ‘Aun, al-Mu’alla bin Ziyad, Yunus bin ‘Ubaid, dsb (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 150).

Sebagian nasihat dan mutiara hikmah beliau

  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (lihat al-Ikhlās wa al-Niyyah, hal.65)
  • al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya keadaan umat manusia tidak ada bedanya dengan binatang.” (lihat Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, hal. 15)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan keberadaan mereka jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da’ā’im Minhāj Nubuwwah, hal. 279)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sungguh, apabila aku dijatuhkan dari langit ke permukaan bumi ini lebih aku sukai daripada mengatakan: Segala urusan berada di tanganku!” (lihat Aqwāl Tābi’in fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān [1/134])
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Barangsiapa mendustakan takdir sesungguhnya dia telah mendustakan al-Qur’an.” (lihat Aqwāl Tābi’in fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān [1/138])
  • Dikatakan kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami lakukan? Kami berteman dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami terbang melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya jika kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti kamu sampai akhirnya kamu benar-benar merasakan keamanan; lebih baik daripada berteman dengan orang-orang yang selalu membuatmu merasa aman sampai akhirnya justru menyeretmu ke dalam keadaan yang menakutkan.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i, hal. 16)
  • Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan lā ilāha illallāh maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan lā ilāha illallāh kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitāb al-Tauhīd; Risālah Kalimāt al-Ikhlās wa Tahqīq Ma’nāhā oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullāh, hal. 40)
  • al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat al-Risalah al-Mugniyyah, hal. 62).
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm [6/264] cet. Dār Thaibah)
  • al-Hasan rahimahullāh menangis sejadi-jadinya, maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id, apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena takut kalau Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan tidak memperdulikan nasibku lagi.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i, hal. 75)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Wahai anak Adam. Sesungguhnya engkau adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu maka hilanglah sebagian dari dirimu.” (lihat Ma’ālim fi Tharīq Thalab al-‘Ilmi, hal. 35)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang yang fāqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat memburu akhirat. Orang yang paham tentang agamanya dan senantiasa beribadah kepada Rabbnya. Orang yang berhati-hati sehingga menahan diri dari menodai kehormatan dan harga diri kaum muslimin. Orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta harta mereka dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagi mereka.” (lihat Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, hal. 28)
  • al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” (lihat Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam, hal. 211)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwāl at-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1124)
  • al-Hasan rahimahullāh menafsirkan makna firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” Beliau mengatakan, “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah. Adapun kebaikan di akhirat adalah surga.” (lihat Akhlāq al-‘Ulamā’, hal. 40)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “al-Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi orang-orang justru membatasi amalan hanya dengan membacanya.” (lihat al-Muntaqā al-Nafis min Talbīs Iblīs, hal. 116)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang yang benar-benar faqih/paham agama adalah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat al-Muntaqā al-Nafis min Talbīs Iblīs, hal. 136)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Tidaklah memahami agamanya orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i [2/84])
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang beriman bersangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal, adapun orang munafik bersangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun memperburuk amal.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1157)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh menjelaskan tentang sifat orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60] yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1160)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudāwamah [konsisten dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah seorang mukmin orang yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1160)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Iman yang sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1161)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh mengatakan, “Iman adalah ucapan. Dan tidak ada ucapan kecuali harus disertai dengan amalan. Tidak ada ucapan dan amalan kecuali harus dilandasi dengan niat. Tidak ada ucapan, amalan dan niat kecuali harus dilandasi dengan al-Sunnah.” Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1153)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir tertimpa kemunafikan maka dia adalah orang munafik.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1218)
  • Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan merasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan merasa aman.”.” (lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm [5/350] cet. Maktabah al-Taufiqiyah).

Demikianlah sekelumit faidah yang bisa kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bisa memberikan manfaat dan pencerahan bagi kita. Wa shallallāhu ‘alā Nabiyyinā Muhammadin wa ‘alā ālihi wa sallam. Walhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

5 Faktor Mazhab Maliki Banyak Dianut Mayoritas Muslim Afrika Utara

Mazhab Maliki merupakan salah satu dari empat mazhab fikih yang paling berpengaruh terhadap perkembangan dunia Islam. Pendirinya, Imam Malik bin Anas (w. 801 M) merupakan tokoh ulama terkemuka asal kota Madinah.

Dalam perjalanannya, mazhab ini memiliki area penyebaran cukup luas, bahkan dianut oleh mayoritas Muslim Afrika Utara atau yang di kenal pada abad pertengahan dengan Maghrib Islami (wilayah Islam bagian barat) suatu wilayah yang sekarang mencakup negara Libya, Tunis, Maroko, Al Jazair dan  Spanyol. Afrika Utara sendiri memiliki populasi padat penduduk sebab wilayahnya yang luas.

Jika dilihat secara seksama, antara Maghrib Islami dan Madinah sebagai tempat kelahiran Mazhab Maliki, memiliki karakteristik yang amat berbeda, baik dari segi geografis, sosial budaya maupun politik.

Kota Madinah dihuni suku Arab dan Yahudi yang tunduk dibawah pengaruh agama Semit, sedangkan Maghrib Islami didiami suku Barbar yang ada di bawah pengaruh imperium Romawi dan Bizantium. Secara geografis pun kedua wilayah punya karakteristik tersendiri. Kota Madinah terletak di dataran tinggi, sedangkan Maghrib Islami berada di pesisir pantai.

Walaupun terdapat banyak perbedaan diantara keduanya, namun faktanya mayoritas penduduk Maghrib ini memilih Mazhab Maliki untuk panduan kehidupan beragama.

Tentunya hal  ini tidak terjadi begitu saja, ada sebab – sebab tertentu yang mendahuluinya. Najmuddin Hantati seorang dosen di Universitas ez Zitouna Tunis dalam karyanya Mazhab Maliki Bil Maghrib Islami mengatakan bahwa penyebaran ini dilandasi oleh berbagai faktor, di antaranya:

  1. Peran Imam Sahnun

Sejumlah pakar sejarah sepakat bahwa Imam Sahnun memainkan peranan penting terhadap penyebaran Mazhab Maliki di Afrika Utara. Hal ini tidak terlepas dari kedalaman pemahaman komprehensifnya mengenai Mazhab Maliki hasil dari pengembaraan ilmiahnya menuju Maghrib dan Masyriq. (Baca: Ibnu Sahnun; Pioner Pendidikan Islam Asal Tunisia)

Kecerdasan ini ditopang oleh akhlakul karimah sehingga membuatnya mudah diterima oleh masyarakat dari segala kalangan. Tugasnya sebagai seorang pengajar di universitas maupun madrasah-madrasah turut membantu proses penyebaran Mazhab Maliki.

Selain itu, ia pernah menduduki posisi hakim pemerintahan. Melalui kebijakannya, sejumlah ulama Mazhab Maliki ditugaskan sebagai hakim di  wilayah bagian. Para hakim ini menghukumi suatu peristiwa sesuai dengan tuntunan Mazhab Maliki.  Dengan proses pengaplikasian ini, pemahaman masyarakat Afrika mengenai Mazhab Maliki kian bertambah pesat.

  1. Kedekatan Imam Malik dengan murid- murid asal Afrika

Dalam catatan sejarah, Imam Malik memiliki sekitar tiga puluh murid dari Afrika termasuk yang paling terkenal yaitu Ali bin Ziyad (w. 183 H), Bahlul bin Rasyid (w.183 H), Abdulloh bin Farrukh (w.185 H), Abdullah bin Ghanim (190 H) dan Asad bin Furat (w.213 H).

Imam Malik cukup memiliki kedekatan dengan murid – murid asal Afrika ini. Komunikasi antar guru dan murid ini pun tidak terbatas saat proses belajar mengajar saja, melaikan terjalin hingga di luar jam pelajaran.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?guci=2.2.0.0.2.2.0.0&client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=280&adk=320563640&adf=904557689&pi=t.aa~a.86673156~i.27~rp.4&w=696&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1612630094&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=696×280&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fkhazanah%2Ffaktor-mazhab-maliki-di-afrika-utara%2F&flash=0&fwr=0&pra=3&rh=174&rw=696&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&adsid=ChAIgJn5gAYQze31ubyaiP19EioA2vGA9jGgElVkw8c5DNW2aMTjWeBrqRRRR6EUpb_btUC6DXAO_Jcfur4&dt=1612630094851&bpp=3&bdt=2339&idt=-M&shv=r20210202&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3D5ac3879318488a40-2299a475bfc50009%3AT%3D1611023891%3ART%3D1611023891%3AS%3DALNI_MYbBqWMsIUeyynIsMJIAAo4V4zlow&prev_fmts=0x0%2C696x174%2C696x280&nras=3&correlator=2071916083425&frm=20&pv=1&ga_vid=1084666844.1608538875&ga_sid=1612630094&ga_hid=1879809595&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=1&u_java=0&u_h=1024&u_w=1280&u_ah=984&u_aw=1280&u_cd=24&u_nplug=2&u_nmime=2&adx=98&ady=3081&biw=1263&bih=824&scr_x=0&scr_y=0&eid=21068769%2C21068893&oid=3&pvsid=3799200200011033&pem=771&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1280%2C0%2C1280%2C984%2C1280%2C824&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&jar=2021-02-06-16&ifi=6&uci=a!6&btvi=3&fsb=1&xpc=C9GFoatLcd&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=74

Tidak jarang ketika ada persoalan menyangkut Maghrib, murid – murid  akan bertanya dan berdiskusi dengan Imam Malik baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui surat atau utusan). Selain itu, kecerdasan dan kepintaran para murid nya ini, menambah kekaguman dan rasa hormat Imam Malik.

Ia pun seringkali mendorong mereka untuk menyebarkan ilmu – ilmu yang telah dipelajari ke daerahnya masing – masing. Murid – murid inilah yang menjadi garda terdepan penyebaran Mazhab Maliki ke seluruh penjuru dunia.

  1. Kesesuaian antara landasan yang dipakai dalam Mazhab Maliki dengan realita keadaan sosial politik Maghribi

Karakter masyarakat Maghribi mempunyai kekhususan tersendiri sehingga memerlukan mazhab  yang sesuai dengan ciri khas tersebut. Berikut tiga situasi dan kondisi Maghribi pada abad 1 hijriah serta kecocokannya dengan Mazhab Maliki.

Pertama, masyarakat Maghribi sangat fanatik terhadap Sunnah dan Atsar Ulama serta bersebrangan dengan pemikiran kelompok Khowarij dan Mu’tazilah. Hal tersebut mirip dengan mazhab Maliki yang terlahir di Madinah sebagai salah satu tempat turunnya wahyu dan serupa dalam hal memerangi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah.

Kedua, Maghrib Islami sering dilanda konflik politik dengan meletusnya sejumlah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum radikal. Peristiwa ini menyadarkan masyarakat akan pentingnya sebuah persatuan dan pentingnya menjaga ruh umat Islam. Hal ini sesuai dengan ajaran mazhab Maliki yang menitikberatkan umat Islam untuk taat kepada pemimpin dan menjaga persatuan.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?guci=2.2.0.0.2.2.0.0&client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=280&adk=320563640&adf=3299203680&pi=t.aa~a.86673156~i.39~rp.4&w=696&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1612630108&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=696×280&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fkhazanah%2Ffaktor-mazhab-maliki-di-afrika-utara%2F&flash=0&fwr=0&pra=3&rh=174&rw=696&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&adsid=ChAIgJn5gAYQze31ubyaiP19EioA2vGA9jGgElVkw8c5DNW2aMTjWeBrqRRRR6EUpb_btUC6DXAO_Jcfur4&dt=1612630094796&bpp=4&bdt=2283&idt=4&shv=r20210202&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3D5ac3879318488a40-2299a475bfc50009%3AT%3D1611023891%3ART%3D1611023891%3AS%3DALNI_MYbBqWMsIUeyynIsMJIAAo4V4zlow&prev_fmts=0x0%2C696x174%2C696x280%2C696x280%2C324x84&nras=5&correlator=2071916083425&frm=20&pv=1&ga_vid=1084666844.1608538875&ga_sid=1612630094&ga_hid=1879809595&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=1&u_java=0&u_h=1024&u_w=1280&u_ah=984&u_aw=1280&u_cd=24&u_nplug=2&u_nmime=2&adx=98&ady=3731&biw=1263&bih=824&scr_x=0&scr_y=479&eid=21068769%2C21068893&oid=3&psts=AGkb-H8LeoXQVuFrGLHg1NCP9Mozu7d2HXfiiI7KUd4bdr3_ZHTjXkFDKk8roTX4l1PoxPvfQbzR3QTwyVP6%2CAGkb-H9i5v9vssoyCMKYKG_S3wUcpwb6eNEw_ODctQHtzZny_6Yt9I_zP8VYqBkO132O5Grhl24LOwmR4yby&pvsid=3799200200011033&pem=771&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1280%2C0%2C1280%2C984%2C1280%2C824&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&jar=2021-02-06-16&ifi=7&uci=a!7&btvi=5&fsb=1&xpc=QwPig57nye&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=14154

Ketiga, Mazhab Maliki mempunyai banyak landasan yang dipakai untuk menentukan suatu hukum salah satunya adalah ‘urf  (adat kebiasaan). Ini membuat para mufti dapat menentukan solusi terbaik sesuai dengan sumber hukum dan realita kondisi masyarakat setempat.

  1. Peran Pelajar, Peziarah dan Jamaah Haji.

Seiring berjalannya waktu, wilayah Afrika Utara semakin kaya akan peradaban Islam. Disisi lain rasa ingin tau masyarakat tentang khazanah ilmu pengetahuan Islam kian memuncak.

Namun, karena keterbatasan jumlah tenaga pengajar (Sahabat dan Tabiin) masyarakat mulai berinisiatif untuk melakukan perjalanan ilmiah ke Madinah dan sekitarnya. Madinah dipilih sebab di kota tersebut baik Sahabat maupun Tabiin lebih mudah ditemukan.

Tekad untuk menuntut ilmu ke negeri seberang ini diperkuat dengan maraknya sikap fanatik terhadap Sunnah, Riwayat dan Atsar ulama sehingga muncul keinginan besar untuk mempelajari ajaran Islam langsung dari sumbernya. Dalam hal ini para Sahabat dan Tabiin sebagai penerus Rasulullah Saw.

Setibanya di Madinah, para pelajar ini berguru kepada Imam Malik dan Ulama – ulama Maliki lainnya  yang saat itu memang mendominasi kota Madinah. Para murid Imam Malik yang telah selesai mengembara, kemudian kembali ke tanah Afrika Utara dan menyebarluaskan ilmu – ilmu Islam yang tidak lain bernuansa Maliki.

Selain para pelajar, para jemaah haji dari Maghrib atau para peziarah yang ingin berziarah ke makam Rasululloh Saw juga mempelajari Mazhab Maliki dari Ulama – ulama Maliki yang banyak tersebar di  Hijaz. Bahkan tidak jarang mereka berguru langsung kepada Imam Malik. Gelombang besar pergerakan ilmiah ini berdampak nyata terhadap tingkat pertumbuhan penyebaran Mazhab Maliki di Afrika Utara.

  1. Peran Politik

Pada umumnya, penyebaran suatu mazhab di sebuah wilayah tidak terlepas dari peran politik pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung.

Seperti yang terjadi ketika Abu Yusuf menjabat sebagai pemimpin Afrika Utara, ia mengutus para Hakim Hanafi untuk ditempatkan di seluruh wilayahnya. Al hasil, mazhab Hanafi kala itu dianut oleh mayoritas masyrakat.

Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama sebab peran Mazhab Hanafi tergantikan oleh Mazhab  Maliki.  Cara yang sama di lakukan oleh Yahya bin Yahya ketika menyebarkan Mazhab Maliki di Spanyol.

Hal ini sedikit berbeda dengan yang terjadi saat penyebaran Mazhab Maliki di Afrika Utara. Pemerintah setempat tidak menjadikan Mazhab Maliki sebagai Mazhab resmi negara. Mazhab tersebut menyebar luas melalui peran murid – murid Imam Malik, seperti  Ali bin Ziyad, Buhlul, Imam Sahnun dan lain sebagainya.

Ali bin Ziyad adalah orang pertama yang mengenalkan mazhab Maliki di Afrika lewat pengajaran Muwattha kepada masyarakat setempat. Di masanya, perluasan Mazhab Maliki tidak sebesar era Imam Sahnun. Penyebabnya Ali bin Ziyad lebih fokus terhadap masyarakat dilingkungannya  yaitu di daerah Tunis, yang kini menjadi ibu kota Tunisia ketimbang beralih ke ibu kota Afrika Utara, Kairouan.

Padahal saat itu kesempatan untuk menjabat sebagai hakim di pusat pemerintahan terbuka lebar mengingat Ali bin Ziyad adalah salah satu ulama berpengaruh sekaligus murid langsung Imam Malik.

Di sisi lain, berkat keterbukaan serta ketekunan Imam Sahnun dalam mempelajari Mazhab Maliki secara murni menjadi nilai tambah tersendiri di mata masyarakat. Dengan begitu, di masanya Mazhab Maliki mampu  tersebar luas.

Adapun pengutusan Hakim Maliki ke berbagai wilayah di Afrika bersifat penyempurnaan karena sebelum itu Mazhab Maliki telah tersebar luas berkat pengaruh kuat murid – murid Imam Malik.

AUDO REPUBLIKA

Teladan Imam asy-Syafi‘i untuk Mengukuhkan Toleransi Bermazhab

Syekh ‘Abd al-Fattah al-Yafi‘i membahas masalah tabarrukan dalam Islam secara komprehensif dan komparatif dalam at-Tabarruk bi ashShalihin bain al-Mujizin wa al-Mani‘in (2010). Beliau meneliti secara akademis masalah tabarrukan dengan orang-orang saleh dan atribut-atributnya (seperti bajunya, peluhnya, rambutnya, ludahnya, sisa-sisa makanan dan minumannya dan lain sebagainya) menurut ulama yang membolehkan dan ulama yang melarang dan menyajikan dalil-dalil mereka masing-masing secara runtut (sistematis).

Dalam penelitian ini, sebagaimana disebutkan secara ringkas di bagian cover belakang, beliau menyajikan sekitar tiga ratus dalil para ulama yang membolehkan tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya. Beberapa dalil tersebut meliputi hadis, atsar (perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah saw., seperti para sahabat dan tabi‘in), pendapat para ulama, dan praktik-praktik tabarrukan. Bahkan masih terdapat beberapa atsar dan pendapat para ulama lain yang sengaja tidak disebutkan dalam penelitian tersebut karena khawatir terlalu panjang. (Baca: Hukum Minum Bekas Air Wudhu Kiai dan Orang Saleh)

Melalui penelitian ini, beliau menegaskan bahwa tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya adalah masalah furu‘ (cabang), bukan ushul al-i‘tiqa(keyakinan dasar Islam yang pokok). Menurutnya, masalah furu‘ seperti tabarrukan selama-lamanya tidak bisa dijadikan landasan dan legitimasi untuk saling mengafirkan, membid‘ahkan, dan bercerai-berai di antara sesama Muslim.

Beliau menegaskan bahwa di zaman modern sekarang ini umat Islam seharusnya sama-sama bergandengan tangan, menjalin persatuan yang kokoh, dan menghindarkan diri dari perpecahan (bukan perbedaan). Meminjam istilah Sayyid Muhammad Rasyid Ridh: nata‘awanu fima ittafaqna ‘alaih wa ya‘dziru ba‘dhuna ba‘dhan fima ikhtalafna fihi (kita saling bantu-membantu dalam masalah yang kita sepakati dan saling menghormati terhadap masalah yang kita perselisihkan).

Oleh kerena itu, Syekh ‘Abd al-Fattah al-Yafi‘i menyayangkan sebagian orang yang membesar-besarkan masalah tabarrukan dan menempatkan masalah tersebut di luar tempatnya. Bahkan mereka menganggap masalah tersebut sebagai bagian dari ushul al-i‘tiqad. Sehingga mereka mengafirkan orang-orang yang memiliki tradisi atau kebiasaan tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya. Sebab, hal ini pada gilirannya akan menyulut konflik dan perpecahan di antara sesama Muslim yang sejatinya bersaudara.

Dalam konteks Indonesia, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) seringkali berhadapan dengan kalangan Salafi, baik dari segi wacana maupun aksi. Hal ini berkaitan dengan tuduhan kalangan Salafi-Wahhabi yang menganggap beberapa amaliah masyarakat NU sebagai sesat, bid‘ah, syirik, dan murtad (Achmad Syahid, Islam Nusantara: Relasi Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa Ulama, 2019: 121).

Hal senada juga diungkapkan oleh Achmad Suchaimi dalam pengantar buku KH Ali Maksum Membela Kebenaran Amaliah Nahdhiyyin. Menurutnya, masyarakat NU (Nahdliyin) seringkali berhadapan dengan kalangan Kaum Modernis, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), dan Salafi-Wahhabi.

Sebab, mereka sering menuduh beberapa praktik keagamaan kalangan Nahdliyin sebagai bid‘ah, sesat, kufur, dan syirik. Sehingga hal ini tidak jarang menimbulkan keresahan, perpecahan, dan bentrok fisik antara sesama Muslim. Padahal praktik keagamaan yang dipersoalkan tersebut hanyalah bersifat furû‘iyyah (cabang-cabang agama), bukan uṣûliyyah (pokok-pokok agama).

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyajikan sejarah dan teladan Imam asy-Syafi‘i ra. yang biasa tabarrukan dengan Imam Abu Ḥanîfah ra. (tokoh utama mazhab Ḥanafî). Padahal beliau seringkali bersebrangan dengan Imam Abu Ḥanifah ra. dalam masalah fikih. Bahkan beliau pernah mengkritik secara keras konsep istiḥsan yang dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu metode penemuan hukum Islam oleh Imam Abu Ḥanifah ra. dan para pengikutnya (Muḥammad Abu Zahrah, asy-Syafi‘i: Ḥayatuhu wa ‘Aṣruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu, 1978: 300-308).

Namun demikian, perbedaan masalah fikih dan ushul fikih ini tidak membuat Imam asy-Syâfi‘î ra. jemawa dan benci kepada Imam Abu Ḥanîfah ra. Beliau tetap rendah hati (tawaduk) dan bahkan “berguru” secara ruhani kepada Imam Abu Ḥanifah ra.

Disebutkan bahwa Imam asy-Syâfi‘î ra. setiap hari ziarah ke makam Imam Abû Ḥanîfah ra. dalam rangka tabarrukan dengannya. Ketika beliau memiliki hajat tertentu, maka beliau melaksanakan salat sunat dua rakaat dan kemudian menghampiri makam Imam Abu Ḥanîfah ra. Beliau berdoa kepada Allah atas hajat yang diinginkan tersebut di samping makam Imam Abu Ḥanifah ra. Tidak lama setelah itu, Allah mengabulkan permintaan Imam asy-Syâfi‘î ra. tersebut (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 83).

Dalam hal ini, tidak heran apabila ulama sekelas Imam asy-Syâfi‘î ra. tabarrukan dengan Imam Abû Ḥanîfah ra. Sebab, Imam Abû Ḥanîfah ra. sewaktu masih hidup selain dikenal sebagai ahli fikih ternama, juga dikenal sebagai ulama yang wara dan hebat secara spiritual. Habib Zain bin Smith menyebutkan bahwa Imam Abû Ḥanîfah ra. menghidupkan malam-malamnya dengan salat satu rakaat yang diisi dengan membaca al-Qur’an.

Ketika bulan Ramadan, beliau khatam al-Qur’an sebanyak 120 kali dengan rincian: siang khatam 60 kali (sehari khatam 2 kali) dan dan malam khatam 60 kali (semalam khatam 2 kali) selama bulan Ramadan. Bahkan beliau pernah mengkhatamkan al-Qur’an di tempat wafatnya kelak sebanyak 7000 kali (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 186-187).

Selain itu, Imam asy-Syâfi‘î ra. pernah tabarrukan dengan baju santrinya, Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. (tokoh utama mazhab Ḥanbalî). Disebutkan bahwa Imam asy-Syâfi‘î ra. bermimpi Rasulullah saw. dan menyuruh sang Imam seraya berkata: “tulislah sebuah surat dan sampaikan salamku kepada Aḥmad bin Ḥanbal. Katakan kepadanya bahwa kamu (Aḥmad bin Ḥanbal) akan mengalami ujian berat. Kamu akan dipaksa agar mengakui pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Namun, kamu jangan sekali-kali melayani kemauan mereka, maka Allah akan mengangkat derajat ilmumu sampai hari kiamat (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 81).”

Imam asy-Syâfi‘î ra. pun menulis surat tersebut dan menyuruh ar-Rabî‘ mengantarkannya kepada Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. Setelah diterima, Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. menangis membaca isi surat tersebut. Bahagia atas kedatangan surat tersebut, akhirnya Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. melepaskan bajunya dan menyerahkannya kepada ar-Rabî‘ agar diberikan kepada Imam asy-Syâfi‘î ra. (hlm. 81).

Setelah diterima, maka Imam asy-Syâfi‘î ra. mencium dan mengusapkan baju tersebut kepada kedua matanya. Kemudian, beliau merendam baju tersebut dan memerasnya. Beliau menyimpan air perasan tersebut dalam sebuah botol. Hal ini dilakukan dalam rangka tabarrukan dengan Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra.

Oleh karena itu, Imam asy-Syâfi‘î ra. setiap hari membasuh wajahnya dengan air yang berada dalam botol tersebut. Dalam kesempatan lain, ketika ada sahabatnya yang sakit, maka Imam asy-Syâfi‘î ra. memberikan sebagian air tersebut kepada si sakit. Ketika si sakit mengusapkan air tersebut kepada tubuhnya, maka Allah menyembuhkannya seketika itu melalui air perasan baju Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. tersebut (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 569-570 dan at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 82). Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

BINCANG SYARIAH

Perbedaan antar Madzhab

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah perbedaan antar mazhab yang empat? Adakah mazhab yang lebih baik dari yang lain?

Jawaban:

Semua mazhab yang empat menginginkan kebenaran. Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi Rahimahumullah semuanya bertujuan mengikuti kebenaran sesuai petunjuk Alquran dan sunah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, sikap ta’ashub (fanatik terhadap mazhab tertentu -pent.) merupakan perbuatan yang tercela.

Adapun mazhab lain yang masyhur dikenal selain 4 mazhab ini adalah mazhab az-Dzahiri. Begitu pula dikenal mazhab yang lain seperti al-Jaririyyah, al-Laitsiyyah, al-Sauriyah (yang merupakan pengikut Sufyan at-Tsauri dan pengikut al-Laits ibn Jarir), juga mazhab ar-Rahawiyyah (namun saat ini tidak ada lagi) yang merupakan pengikut Ishaq bin Rahawiyyah.

Bagaimanapun, yang terpenting dalam bermazhab adalah mengikuti kebenaran. Mazhab yang empat, mazhab az-Zahiriyyah serta mazhab-mazhab sebelumnya (yang tidak lagi menjadi rujukan); semuanya bertujuan untuk mengikuti kebenaran. Kadangkala masing-masing mazhab berbeda pendapat tentang suatu perkara agama. Perbedaan yang alot namun sarat hikmah tersebut disebabkan karena semuanya merujuk pada dalil Alquran dan Assunah sehingga pada akhirnya mazhab-mazhab ini dikenal oleh umat di dunia. Bertambahlah pengikut masing-masing mazhab tersebut yang kemudian populer dalam beberapa perkara agama.

Pendapat satu mazhab terkadang berbeda pandangan dengan pendapat mazhab lainnya sebab kadangkala suatu dalil ada yang jelas bagi satu mazhab (maknanya -pent.), tetapi tersembunyi bagi mazhab lainnya.

Adapun perkara yang diperselisihkan merupakan perkara cabang (furu’) dan tidak ada perbedaan dalam permasalahan pokok (landasan agama atau ushul). Akan tetapi, sikap ta’ashub terhadap suatu pendapat mazhab yang tertentu tanpa keyakinan akan kebenaran yang terkandung di dalamnya merupakan perbuatan yang tercela. Karena telah umum diketahui bahwa semua mazhab bertujuan mengikuti  kebenaran yang berpedoman pada petunjuk Alqur’n dan Assunah serta konsisten di bawah manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat,  S.STP., MPA

Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/979

MUSLIM

Metode Beragama Empat Imam Madzhab

Imam Madzhab yang Empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, semuanya berusaha mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Itulah metode mereka beragama.

وقَولُ أَعلاَمِ الْهدى لاَ يُعمَلُ * بقَولنا بِدون نصٍّ يُقْبلُ

فيه دليلُ الأَخذ بِالْحديثِ * وذَاك في الْقَديمِ والْحديثِ

Dalam pendapat kami, perkataan para Tokoh Islam tidaklah boleh diamalkan,

bila tidak ada dasar dari nash yg diterima (ke-shohih-annya)

Ini merupakan dalil wajibnya mengambil hadits Nabi,

dari zaman dulu hingga sekarang ini

قَالَ أَبو حنيفَةَ الإِمامُ * لاَ ينبغي لمن له إسلاَمُ

أخذٌ بأَقْواليَ حتى تُعرضَا * علَى الْكتابِ والْحديثِ الْمرتضَى

Imam Abu Hanifah mengatakan:

Tidak sepantasnya bagi seorang muslim,

mengambil pendapat-pendapatku hingga ia cocokkan

dengan Alkitab dan hadits yg diridloi (ke-shohih-annya).

ومالكٌ إمام دارِ الْهِجرةِ * قَالَ وقَد أشار نحو الْحجرةِ

كُلُّ كَلاَمٍ منه ذُو قَبولِ * ومنه مردودٌ سوى الرسولِ

Sambil menunjuk ke arah kamar (makam Rasulullah)

Imam Malik mengatakan:

“Setiap perkataan bisa diterima dan bisa pula ditolak,

kecuali perkataan Rosul”.

والشافعيُّ قَالَ: ِإن رأيتمُ * قَولي مخالفًا لما رويتمُ

من الْحديثِ فَاضرِبوا الجدارَ * بقَوليَ الْمخالفِ الأَخبارَ

Sedang Imam Syafi’I mengatakan: “Jika kalian melihat perkataanku

menyelisihi hadits yang kalian riwayatkan,

maka campakkanlah ke dinding

perkataanku yang menyelisihi hadits itu”

وأحمدُ قَالَ لهم لاَ تكْتبوا * ما قُلْتُه، بلْ أَصلُ ذَلك اطْلُبوا

Adapun Imam Ahmad, beliau mengatakan: “Jangan kalian menulis perkataanku,

akan tetapi carilah sumber/dasar dari perkataan itu.

فَاسمعْ مقَالاَتِ الْهداةِ الأَربعة * واعملْ بها فإِنَّ فيها منفَعة

لقَمعِها لكُلِّ ذي تعصُّبِ * والْمنصفُونَ يكْتفُونَ بِالنِبي

Dengarkanlah perkataan para imam 4 pembawa petunjuk ini dan terapkanlah,

karena sesungguhnya di dalamnya terdapat faedah

Ia dapat membungkam setiap orang yang fanatik.

Adapun mereka yang obyektif, mereka akan mencukupkan diri dg Nabi.

(Madinah, 30 /04 / 1433 = 22 / 02/ 2012)

Penulis: Ustadz Musyaffa’ Addariny, MA

Muslim.Or.Id

Istri Menafkahi Suami yang Menganggur

Seseorang yang memasuki gerbang rumah tangga otomatis diikuti dengan hak dan kewajiban masing-masing. Di antara kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Kewajiban sang suami juga menjadi hak seorang istri.

tidak lagi wajib bagi seorang wanita. Seorang laki-laki mengambil tanggung jawab itu selepas akad nikah terucap.

Namun, karena situasi dan kondisi, seperti PHK, pendidikan rendah, atau bahkan faktor kemalasan, suami memilih tidak bekerja pada saat istri mapan dalam mencari nafkah. Bolehkah peran suami-istri tersebut ditukar?

Kewajiban suami dalam mencari nafkah tetap tidak berubah. Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka…”

Dalam ayat ini jelas disebutkan jika kewajiban memberi nafkah ada di pundak laki-laki. Seorang suami harus berusaha sekuat kemampuannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Meski kondisi sedang sulit, kewajiban ini tidak lantas gugur dengan sendirinya. Bahkan, jika ia sengaja tidak bekerja maka beberapa ulama menggolongkan perbuatannya masuk dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).

Di sisi lain baik seorang laki-laki itu bekerja atau tidak, ia tetap pemimpin dari istrinya. Artinya meski memiliki penghasilan, seorang wanita tidak boleh merendahkan atau menolak taat kepada suaminya. Sepanjang perintah sang suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.

Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya milik istri. Jika ia menggunakannya untuk menafkahi keluarga maka itu termasuk sedekah dan kemuliaan. “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)

Mengenai hukum wanita bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi memandang hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah atau wajib jika wanita tersebut membutuhkannya. Seperti dalam kondisi ia seorang janda, sedangkan tidak ada anggota keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan ekonomi.

Selain itu, dalam sebuah keluarga, kadang diperlukan seorang wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan, menghidupi anak-anak atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam surah al-Qashash ayat 23. “…kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.”

Juga kisah Asma’ binti Abu Bakar biasa membantu suaminya, Zubair bin Awwam, mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, kadang ia memanggulnya di atas kepala dari kebun yang jauh dari Madinah.

Meski diperbolehkan bekerja, ada beberapa syarat, menurut Syekh Qaradhawi, yang wajib dipenuhi. Pertama, pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat, seperti bekerja di bar-bar yang menghidangkan minuman keras, bekerja melayani lelaki bujang, atau pekerjaan yang mengharuskan ia berkhalwat dengan laki-laki.

Kedua, seorang wanita mestilah menaati adab-adab ketika keluar rumah jika pekerjaannya mengharuskan ia bepergian. Ia harus menahan pandangan dan tidak menampakkan perhiasaan (QS an-Nur [24]:31).

Terakhir, ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya untuk mengurus keluarga. Jangan sampai kesibukan bekerja menyebabkan suami dan anak-anaknya telantar.

Dr Abd al-Qadr Manshur mengatakan bahwa wanita yang bekerja mestilah memperhatikan faktor fisik. Wanita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan berat maupun yang berisiko.

Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan, menyusui, dan menjaga keluarga.

Bidang pekerjaan wanita akan menjadi haram jika mengandung tiga hal. Yakni, berduaan dengan laki-laki, terbukanya aurat, serta ada persentuhan anggota badan dengan laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

REPUBLIKA.co.id

Mengeluhlah Pada Al-Qur’an, Engkau Akan Mendapat Jawaban!

khazanahalquran.com – (1). Jika kau berkata, “Aku dalam kondisi yang sangat menyedihkan.”

Al-Qur’an menjawabmu :

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (QS.Al-Baqarah:45)

(2). Jika kau berkata, “Tidak ada yang mengerti betapa beratnya beban yang ada di hatiku.”

Al-Qur’an menjawabmu :

أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ

“sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS.l-Anfal:24)

(3). Jika kau berkata, “Aku tak memiliki siapa-siapa.”

Al-Qur’an menjawabmu :

وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS.Al-Hadid:4)

(4). Jika kau berkata, “Jangan lupakan aku Ya Allah.”

Al-Qur’an menjawabmu :

فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.” (QS.Al-Baqarah:152)

(5). Jika kau berkata, “Aku sudah tidak punya harapan lagi.”

Al-Qur’an menjawabmu :

يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ

“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS.Az-Zumar:53)

(6). Jika kau berkata, “Aku benar-benar dalam kesusahan yang sangat.”

Al-Qur’an menjawabmu,

إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا

“Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS.Al-Insyirah:6)

(7). Jika kau berkata, “Bagaimana cara agar cita-citaku terwujud?”

Al-Qur’an menjawabmu :

ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS.Ghafir:60)

(8). Jika kau berkata, “Aku berada dalam kesempitan dalam hidup sehingga membuatku tidak tentram.”

Al-Qur’an menjawabmu :

أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS.Ar-Ra’d:28)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAHALQURAN.com

Kegelapan dan Cahaya dalam Surat Ibrahim (Bag 2)

Pada bagian pertama kita telah menyebutkan wajah ataupun gambaran dari kelompok yang berada dalam kegelapan. Nah, sekarang kita akan menyebutkan wajah kelompok-kelompok yang berada dalam cahaya.

1). Kelompok yang hidup dalam cahaya, yang memiliki pandangan dan tujuan yang jelas, tidak mudah tertipu dan terpedaya. Pada ayat pertama disebutkan :

إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ

“(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.” (QS.Ibrahim:1)

2). Kelompok yang berada dalam cahaya selalu mengajak untuk mendirikan sholat sebagai kebaikan untuk diri sendiri dan memberi zakat serta infak sebagai kebaikan untuk orang lain.

قُل لِّعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ

Katakanlah (Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, “Hendaklah mereka melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan secara sembunyi atau terang-terangan.” (QS.Ibrahim:31)

3). Kelompok yang berada dalam cahaya selalu dalam keadaan takut kepada Allah dan sadar bahwa ia selalu di awasi oleh Allah. Ia selalu sadar tentanh kehidupan akhirat sehinggan setiap saat ia terdorong untuk berbuat kebaikan.

مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خِلَٰلٌ

“sebelum datang hari, ketika tidak ada lagi jual beli dan persahabatan.” (QS.Ibrahim:31)

4). Kelompok cahaya selalu memberikan informasi yang benar dan jujur, tutur katanya indah dan tidak memutarbalikkan fakta dalam berbicara. Ia bagaikan pohon yang selalu memberikan buah (manfaat) bagi orang lain.

أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ – تُؤۡتِيٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۭ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ

“Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. (QS.Ibrahim:24-25)

5). Kelompok cahaya selalu mengangkat bendera Tauhid dan menolak kesyirikan dengan segala bentuk dan macamnya. Karena bagi mereka keamanan tidak akan diraih tanpa keimanan.

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنٗا وَٱجۡنُبۡنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.” (QS.Ibrahim:35)

6). Kelompok cahaya menegakkan syiar-syiar ibadah tak terkecuali sholat. Karena ibadah akan menumbuhkan cahaya dalam diri kita. Hal ini tercermin dalam doa Nabi Ibrahim as untuk keturunannya.

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS.Ibrahim:40)

Dan doa Nabi Ibrahim as secara luas diperuntukkan untuk memohon ampunan dan rahmat bagi seluruh kaum mukminin.

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلۡحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).” (QS.Ibrahim:41)

Maka kesimpulan dari dua contoh kelompok ini adalah mengajak kita untuk mendekati kelompok cahaya dan menjauhi kelompok kegelapan.

Karena kelompok kegelapan akan membawamu pada kehancuran dan kesia-siaan dalam hidup.

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمۡۖ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَرَمَادٍ ٱشۡتَدَّتۡ بِهِ ٱلرِّيحُ فِي يَوۡمٍ عَاصِفٖۖ لَّا يَقۡدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَىٰ شَيۡءٖۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلضَّلَٰلُ ٱلۡبَعِيدُ

“Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS.Ibrahim:18)

Dan kita juga di ingatkan tentang akhir kisah mereka di akhirat.

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱللَّهَ غَٰفِلًا عَمَّا يَعۡمَلُ ٱلظَّٰلِمُونَۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمۡ لِيَوۡمٖ تَشۡخَصُ فِيهِ ٱلۡأَبۡصَٰرُ

Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zhalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS.Ibrahim:42)

Dan pada akhir Surat, Allah ingin menyampaikan pada seluruh manusia yang masih memiliki akal bahwa mereka diberi pilihan dan tanggung jawab antara bergabung pada kelompok cahaya atau kelompok kegelapan.

هَٰذَا بَلَٰغٞ لِّلنَّاسِ وَلِيُنذَرُواْ بِهِۦ وَلِيَعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ وَلِيَذَّكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Dan (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang yang berakal mengambil pelajaran. (QS.Ibrahim:52)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Ganjaran Bagi Mereka yang Sholat Tahajud

Allah memberikan balasan bagi siapa pun yang melakukan sholat malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allah memberikan balasan bagi siapa pun yang melakukan sholat malam. Syekh Ahmad bin Syekh Hijazi al-Fasyani dalam kitab al-Majalisus Saniyah fil Kalam alal’Arba’in Nawawiyah menceritakan pengalaman menarik yang dialami sahabat Rasulullah, Tsabit r.a.

Ayah Tsabit dahulu termasuk orang yang kuat mengamalkan tahajud di tengah keheningan malam. Suatu ketika, Tsabit bermimpi melihat wanita cantik yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Kemudian, Tsabit bertanya siapa kepada wanita, “Kamu siapa?” Wanita tersebut lalu menjawab, “Aku bidadari hamba Allah.”

Tsabit minta dinikahkan dengan wanita itu, tapi wanita itu menjawab, “Lamar aku lewat sisi Tuhanmu, tebuslah maharku.” Tsabit menjawab, “Apa maharmu?” Bidadari itu menjawab, “Lamakan tahajudmu.”

Terlepas dari itu, ada ganjaran lain yang Allah siapkan bagi hamba-Nya yang melaksanakan sholat malam. Sholat malam memiliki tempat istimewa di sisi Allah.

Bahkan, Rasulullah SAW sering melakukan sholat malam sampai telapak kakinya pecah-pecah. Dia mendorong umatnya agar menjalankan sholat malam.

Rasulullah bersabda, “Tuhan kita, Allah tabraka wa ta’ala, ‘turun’ setiap malam ke langit dunia di saat sepertiga malam akhir. Kemudian, Allah berfirman, barangsiapa berdoaa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta kepadaKu, akan Aku beri. Barangsiapa meminta ampun kepada-Ku, akan Aku beri ampunan. (Muttafaq ‘alaih).

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Wmottjf7B3c&t=135s

MOZAIK REPUBLIKA