Doa Ketika Mengambil Al-Qur’an

Ketika kita hendak menyentuh atau mengambil Al-Quran, tentunya selain harus suci dari hadas besar dan kecil, kita juga dianjurkan untuk membaca doa. Tidak ada yang lebih mulia dan agung sebagai imamnya orang Islam selain kitab suci (Al-Qur’an). Posisi Al-Qur’an menjadi rujukan pertama dan utama dalam setiap pergulatan hukum dan tindakan sosial.

Al-Qur’an akan menjadi syafaat tersendiri bagi pembacanya manakala pembaca tersebut mampu mengimplementasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai dan ajaran yang terkandung di dalamnya dan memiliki niat yang baik. Namun, bukan sesuatu yang tidak mungkin Al-Qur’an akan mendatangkan laknat kepada pembacanya manakala Al-Qur’an menjadi bahan komoditas.

Adapun lafadz doa mengambil Al-Quran, sebagaimana disebutkan dalam kitab Majmu’ah Ahzab wa Awrad Al-Syaikh Al-Akbar Ibnu Arabi, adalah sebagai berikut;

رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ بِسْمِ اللهِ سُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَﭐللهُ أَكْبَرْ وَلاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ عَدَدَ كُلِّ حَرْفٍ كُتِبَ أَوْ يُكْتَبُ أَبَدَ الأَبِدِيْنَ وَدَهْرَ الدَّاهِرِيْنَ يَا رَبَّ العالَمِيْنَ

Robbanaa aamannaa bimaa anzalta wattaba’nar rosuula faktubnaa ma’asy syaahidiin. Bismillaahi, subhaanallaahi walhamdu lillaahi wallaahu akbaru wa laa hawla wa laa quwaata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi ‘adada kulli harfin kutiba aw yuktabu abadal aabidiin wa dahrod daahiriina yaa robbal ‘aalamiin.

Artinya:

Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi. Dengan menyebut nama Allah.

Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah. Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar. Tiadalah daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar, sebanyak setiap huruf yang telah ditulis (oleh manusia) atau yang akan ditulis, terus menerus selama berkekalan kurun dan berterusan masa, wahai Tuhan semesta alam.

Hukum Mencium Al-Qur’an Setelah Membacanya

Ketika kita membaca dan mengambil Al-Quran secara bersama-sama atau tadarus di masjid, sering kita menjumpai seseorang mencium Al-Qur’an setelah dia selesai membacanya. Bahkan para kiai sering kita juga lihat mencium Al-Qur’an setelah membacanya. Sebenarnya, bagaimana hukum mencium Al-Qur’an setelah membacanya, apakah boleh?

Mencium Al-Qur’an merupakan pemandangan yang sering kita jumpai di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Setelah membaca Al-Qur’an, mereka biasanya menciumnya terlebih dahulu sebelum ditutup dan diletakkan. Bahkan di kalangan masyarakat pesantren, bukan hanya Al-Qur’an yang dicium, namun kitab-kitab kuning juga mereka cium setelah mereka membaca dan mempelajarinya.

Pada dasarnya, seseorang mencium Al-Qur’an karena didorong oleh kecintaan dan sikap mengagungkan Al-Qur’an. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ikrimah bin Abu Jahl. Ia mencium Al-Qur’an karena didorong oleh sikap mengagungkan pada Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Darimi dari Abi Mulaikah, dia berkata;

أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ، كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ وَيَقُولُ: كِتَابُ رَبِّي، كِتَابُ رَبِّي

“Sesungguhnya Ikrimah bin Abi Jahl biasanya meletakkan mushaf di wajahnya lalu berkata, ‘Kitab Tuhanku, kitab Tuhanku.’”

Melalui riwayat ini, maka Imam al-Suyuthi mengatakan bahwa mencium Al-Qur’an adalah sunah. Dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Quran, beliau berkata sebagai berikut;

يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَفْعُلُهُ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الاَسْوَدِ ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ وَلِأَنَّهُ هَدْيُهُ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَشِرعَ تَقْبِيلُهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ

“Disunahkan mencium mushaf karena Ikrimah bin Abu Jahl melakukaknnya, dan (dalil lain) adalah dengan dikiaskan dengan mencium Hajar Aswad sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama, dan karena mushaf Al-Qur’an merupakan anugerah dari Allah swt. Karenanya disyariatkan menciumnya seperti disunahkannya mencium anak kecil.”

Dengan demikian, mencium Al-Qur’an setelah membacanya, atau karena  hal lain, hukumnya adalah sunah. Di dalam Islam, kita disunahkan untuk senantiasa mencintai dan mengagungkan syiar-syiar Islam, seperti Al-Qur’an dan Hajar Aswad. Dan salah satu bentuk mencintai dan mengagungkan syiar-syiar tersebut adalah dengan menciumnya.

BINCANG SYARIAH

Tuhanmu Mengenal Hakikat Dirimu!

Allah Swt Berfirman :

رَّبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمۡۚ إِن تَكُونُواْ صَٰلِحِينَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّٰبِينَ غَفُورٗا

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang yang baik, maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat.” (QS.Al-Isra’:25)

Prasangka orang lain tidak akan merugikanmu dan pendapat mereka tidak berpengaruh terhadap dirimu. Perbaiki hubunganmu dengan Allah karena Dia lah yang mengetahui semua tentang dirimu.

Jangan bangga dengan pujian manusia kepadamu. Dan jangan membanggakan diri dengan tampilan suci dan baik, tapi fokuskan hidupmu untuk mencari keridoan Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Lalu jangan pernah peduli apakah orang akan memujimu atau mencelamu.

Allah mengenalmu melebihi dirimu sendiri. Bukankah Allah Swt berfirman :

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS.An-Najm:32)

Maka kembalilah kepada Allah dengan dirimu apa adanya. Akui segala kesalahan dan kekuranganmu. Karena Allah Swt berfirman :

فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّٰبِينَ غَفُورٗا

“Maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat.” (QS.Al-Isra’:25)

Al-awwab adalah orang yang selalu kembali kepada Allah. Dan sebagian ahli tafsir menyebut kata “awwabiin” disini adalah orang yang berbuat dosa kemudian bertaubat, lalu berbuat dosa lagi kemudian bertaubat.

Allah sangat menanti mereka yang kembali walau sebanyak apapun dosa yang pernah ia lakukan. Allah Swt Berfirman melalui lisan Nabi Nuh as.

فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا

Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun.” (QS.Nuh:10)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Saran Imam Al-Ghazali untuk Jamaah Setelah Jalankan Haji

 Setelah melaksanakan rukun dan wajib haji, jamaah disarankan mengunjungi pemakaman Syuhada, masjid dan sumur yang pernah digunakan Rasulullah. Pemakaman, Syuhada, Masjid dan Sumur yang disarankan dikunjungi itu lokasinya ada di Madinah.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Asrar al-Haj mengatakan, bahwa jumlah pemakaman Syuhada dan masjid di Madinah berjumlah 30, semuanya dikenal oleh penduduk setempat. Masjid yang sering dikunjungi Rasulullah di aantaranya Masjid Qiblatain, Masjid Ibnu Abd al-Asyhal, Masjid Bani Ashifah, Masjid Bani Muawiyah dan Masjid Bani Jhafar yang di dalamnya terdapat batu yang pernah diduduki oleh Rasulullah SAW

“Maka dianjurkan mengunjungi tempat-tempat tersebut semampunya,” katanya.

Selain itu juga Imam Ghazali menyarankan agar jamaah haji dan umrah mengunjungi tujuh sumur yang airnya pernah digunakan Rasulullah untuk wudhu, minum dan mandi. Sumur-sumur itu di antaranya sumur Aris, sumur Ha, sumur Rauqah, sumur Aras, sumur Bidha’ah, sumur Bashshah.

“Ketika mengunjungi sumur itu niatkan untuk mengharap keberkahan dari nabi dan meminta kesembuhan kepada Allah,” katanya.

Imam Ghazali mengatakan, jika dia mampu menetap di Madinah dengan tetap megindahkan status keihramannya, maka dia mendapatkan anugerah yang besar. Rasulullah SAW bersabda.

“Tidaklah seseorang bersabar menahan kesusahan dan kesulitan yang dideritanya di kota ini melainkan aku akan menjadi penolongnya kelak pada hari kiamat. “HR Muslim).

Nabi SAW juga bersabda. “Barangsiapa bisa meninggal di Madinah, hendaklah dia meninggal di sana karena tidak akan meninggal seseorang di Madinah melainkan aku (Rasulullah) akan menjadi penolong dan saksi baginya pada hari kiamat. “HR. Tirmidzi).

Setelah itu kata Imam Ghazali ketika kita sudah selesai mengerjakan semua amalan dan urusan agama lain berniat keluar dari Madinah, maka disunahkan mendatangi Makam kembali untuk berziarah dan berpamitan kepada Rasulullah. Saat berziarah juga dianjurkan membaca doa-doa masyhur.

“Memohon kepada Allah agar berkenan memberi kesempatan kembali ke Madinah serta meminta keselamatan selama perjalanan pulang ke kampung halaman,” katanya.

Kemudian salat dua rakaat di Raudhah tempat Rasulullah berdoa dan bermunajat sebelum dibangun bilik kecil di dalam masjid. Ketika keluar seyogianya keluar dengan melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu kemudian kaki kanan sambil membaca doa.

“Ya Allah berikanlah rahmag Agung kepada Nabi Muhammad dan keluarga Muhammad dan janganlah engkau jadikan ini sebagai saat terakhirku dengan Nabi-Mu. Gugurkan semua dosaku dengan menziarahinya. Sertakanlah keselamatan dalam kepulanganku, mudahkanlah aku kembali pada keluarga dan kampung halaman dengan selamat wahai Dzat Yang Paling Menyayangi di antara segala yang menyayangi.”

“Sebelum pergi hendak mengeluarkan sedekah untuk para tetangga Rasulullah sesuai kemampuan. Hendaklah pula mengunjungi setiap masjid yang berada di antara Madinah dan Makkah, Lalu Salat di sana yang masjidnya kurang lebih berjumlah 20 masjid,” kata Imam Ghazali.

IHRAM

Tiga Ketentuan Prokes Haji dan Umroh yang Harus Dipatuhi

Tiga Ketentuan Prokes yang Mesti Selalu Diperhatikan Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (SAPUHI) mengingatkan ada tiga ketentuan protokol kesehatan (prokes) yang mesti ditaati. Untuk itu semua pihak yang memiliki kepentingan dengan umrah dapat memperhatikan ketentuan prokes yang sudah ditetapkan.

Sekjen SAPUHI Ihsan Fauzi Rahman menyampaokan, tiga ketentuan prokes di masa umroh new normal yang mesti diperhatikan jamaah dan peyelenggara di antaranya pertama hotel karantina WNI saat kedatangan minimal Hotel bintang tiga. Kedua, PCR saat kedatangan di Indonesia dua kali saat kedatangan dan saat keluar dari hotel Karantina.

“Ketiga biaya karantina ditanggung oleh jamaah umroh sendiri,” kata Ihsan kepada Republika, Jumat (15/1).

Selain itu Ihsan juga mengingatkan, bahwa Kemenag telah menetapkan harga umrah di masa pandemi sebesar Rp 26 juta. Jika menjual paket umrah di bawah Rp 26 maka penyelenggara melanggar KMA no 777 tahun 2020 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Umroh Referensi di Masa Pandemi

“Jika menjual dibawah BPIU referensi di atas maka wajib melakukan laporan secara tertulis ke Dirjen PHU Kemenag RI,” katanya.

Ihsan mengatakan, pada Rabu (13/1) telah diberangkatkan jamaah umroh sebanyak 106 orang dari Surabaya menggunakan maskapai Lion Air. Penerbangan ini merupakan perdana jamaah Indonesia pasca ditutupnya 21 Desember 2020 yang lalu.

“Alhamdulillah. Kabar baik, telah terbang ke Jeddah sebanyak 106 jamaah dari Surabaya,” ujarnya.

Suksenya pendaratan 106 jamaah umrah asal Indonesia terpantau sosial media Kementrian Haji Saudia :https://twitter.com/HajMinistry/status/1348042527551729665

Ihsan menuturkan, pada Kamis  (14/1) ada sejumlah jamaah umroh diberangkatkan di Bandara Soekarno Hatta menyusul 106 jamaah umrah. Mereka terbang menggunakan maskapai Saudia Airline.

“Insya Allah pada Jumat (15/1) menyusul penerbangan umroh dari Indonesia menggunakan Garuda Indonesia,” katanya.

IHRAM

Berhias dengan Ghadhul Bashar

Ghadhul bashar artinya menundukkan pandangan atau menjaga pandangan. Menundukkan dan menjaga pandangan dari perkara-perkara yang dilarang syariat akan melahirkan ketentraman jiwa. Hati lebih tenang karena dengan membiarkan pandangan mata, kebersihan hati ternoda bahkan bisa membuat jiwanya tertawan cinta. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :

قل للمؤمنين يغضوا من ابصرهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن اله خبير بمايصنعون

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. An Nur: 30).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Allah menjadikan menahan pandangan dan menjaga kemaluan sebagai penyebab terkuat untuk mensucikan jiwa. Dan konsekuensi dari menjaga kesucian jiwa ialah dengan menghilangkan segala bentuk kejahatan perbuatan keji, kezaliman, syirik” (Al-Ubudiyah, hal. 100-101).

Ibnul Jauzi rahimahullah juga mengatakan: “Wajib bagi orang yang tak sengaja melihat kecantikan wajah yang dipandangnya, kemudian dia merasa nikmat di dalam hatinya untuk memalingkan pandangannya. Namun ketika dia terus menerus memandang atau kembali memandang, maka ketika itulah dia dicela oleh syariat dan akal.

Jika ada yang bertanya: Jika seseorang terlambat hatinya walaupun hanya sekilas memandang, kenapa orang yang memandang tersebut harus dicela?. Maka jawabannya, bahwa sekilas memandang jarang sekali dapat membuat seseorang jatuh hati adalah karena terus menerus memandang orang yang dikaguminya. Andai saja ada yang jatuh kasmaran walau hanya pandangan yang sekejap, maka efek dari pandangan tersebut mudah menghapuskannya.” (Dzammul Hawa, hal. 439).

Seorang penyair hikmah berkata: “Mata yang beradu mata dalam pandangan adalah jalan kerusakan hati beberapa saat. Terjadi peperangan hingga berlumuran darah dan mati”.

Dalam syair hikmah lainnya disebutkan: “Wahai kedua mata, kau nikmati pandangan lalu kau susupkan kepahitan ke dalam hati. Jangan lagi kau ganggu hati ini berbuat lalim dengan sekali tebasan”.

Pandangan ibarat anak panah yang melesat menembus hati, ketika dibiarkan ia bisa membelah hati, ketika iman mulai pudar dan keinginan syahwat menguat maka bisa mengantarkan pada pintu-pintu maksiat, seperti, bersetubuh, berkhalwat, pacaran bahkan perzinaan.

Al-Qurthubi rahimahullah memberikan nasehat: “Mata adalah gerbang terbesar menuju hati dan panca indera yang paling berpengaruh terhadapnya, karena itu banyak terjadi kebinasaan (karenanya) dan wajib diwaspadai. Menjaganya dari yang haram hukumnya wajib, dan juga (harus menjaganya) dari setiap yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/148).

Adapun dalam menafsirkan surat An-Nur: 30, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Karena awalnya disebabkan oleh pandangan, maka perintah menjaga pandangan lebih dikedepankan dari pada tekanan untuk menjaga kemaluan.

Pasalnya, kasus-kasus yang terjadi bermula dari pandangan, kronologisnya (dimulainya dengan) pandangan, angan-angan, langkah dan kemudian terjadi dosa. Ada ungkapan: Barangsiapa bisa menjaga empat hal ini, niscaya akan dapat membentengi agamanya, (yaitu) detik-detik waktunya, angan-angan, tutur kata, dan langkah-langkah” (Ad-Da’ wa Ad Dawa, hal. 232).

Demikianlah indah dan mulianya Islam yang begitu perhatiannya dalam masalah menjaga pandangan, agar manusia terhindar dari dosa dan maksiat.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:
Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun IX/ 1426 H
Majalah As-Sunnah, edisi 05/ Tahun VIII/ 1425 H
Tanda-Tanda Orang-Orang Jatuh Cinta Dan Memendam Rindu (terjemah) Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, darul Falah, Jakarta. 1423 H

Artikel Muslimah.or.id

Ketika Dokter Gagal Menangani Pasien, Apakah Wajib Bertanggung Jawab?

Tak jarang kita dengar bahwa seorang dokter gagal mengoperasi pasien sehingga mengakibatkan kematian pasien tersebut. Kadang keluarga pasien minta tanggung jawab pada dokter dan pihak rumah sakit terkait atas kegagalan dan kematian pasien tersebut. Dalam Islam, ketika dokter gagal menangani pasien, apakah wajib bertanggung jawab?

Dalam masalah ini, para ulama membaginya dalam dua bagian hukum terkait apakah dokter wajib bertanggung jawab atau tidak ketika gagal menangani pasien.

Pertama, jika seorang dokter belum ahli di bidang kedokteran dan pengobatan dan kemudian salah menangani pasien sehingga mengakibatkan penyakit pasien makin parah atau malah mengakibatkan kematian, maka dia wajib bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya. Jika pasien sampai meninggal, maka dia wajib diqishas (dipenjara) atau membayar diyat (ganti rugi) pada keluarga pasien.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Daud dan Nasai, bahwa Nabi Saw bersabda;

من طبب ولم يعلم منه طب فهو ضامن

“Barangsiapa yang mengobati sedangkan dia tidak mengerti tentang pengobatan, maka dia wajib dhamin atau bertanggung jawab.”

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin disebutkan sebagai berikut;

فلو قال غير العارف للمريض: ابلع هذا الدواء فبلعه، فإن كان مميزاً وجبت الدية، وإلا فالقصاص بشرطه

“Jika orang yang tidak tahu (dokter yang belum ahli) mengatakan kepada orang yang sakit, ‘Telanlah obat ini dan kemudian dia menelannya, jika dokter tersebut bisa membedakan antara obat yang bermanfaat dan tidak, maka dia wajib membayar diyat, dan jika tidak bisa membedakan, maka dia wajib diqishas sesuai dengan syarat-syarat qishas.”

Kedua, jika dokter tersebut sudah ahli di bidang kedokteran dan pengobatan, jujur, adil, memiliki kemahiran dan sudah terbukti banyak berhasil mengobati pasien, maka dia tidak wajib bertanggung jawab atas kegagalan menangani pasien. Bahkan jika pasien mati sekalipun, dia tetap tidak bisa dituntut untuk bertanggung jawab.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut;

أما العارف بالطب فلا ضمان عليه إن كان صدوقاً عدلاً صاحب ذكاء وحذق ومهارة،

“Adapun orang yang tahu (dokter ahli) tentang pengobatan, maka dia tidak wajib bertanggung jawab jika dia jujur, adil, memiliki kecerdasan dan kemahiran.”

BINCANG SYARIAH

Mengapa Bencana Terus Melanda?

Bencana demi bencana menimpa negeri ini secara bertubi-tubi; tanah longsor, tsunami, kebakaran, gunung meletus, dan yang sedang marak sekarang ini adalah bencana banjir.

Tentu saja, sebagai seorang muslim kita harus yakin bahwa di balik bencana tersebut terkandung hikmah bagi kita semuanya, di antaranya agar kita semua berintrospeksi dan berbenah diri, bertaubat dan bersimpuh di hadapan Allah.

Sungguh, termasuk kesalahan yang amat fatal jika kita hanya meyakini seperti kebanyakan orang bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah sekadar bencana alam murni tanpa ada sebab dan hikmah di dalamnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata dalam khutbahnya yang berjudul Atsaril Ma’ashi:

“Sesungguhnya kebanyakan manusia sekarang menganggap bahwa musibah yang menimpa mereka baik dalam bidang perekonomian, keamanan, atau politik disebabkan karena faktor-faktor dunia semata.

Tidak ragu lagi bahwa semua ini merupakan kedangkalan pemahaman mereka dan lemahnya iman mereka serta kelalaian mereka dari merenungi al-Qur‘an dan sunnah Nabi.

Sesungguhnya di balik musibah ini terdapat faktor penyebab syar’i yang lebih besar dari faktor-faktor duniawi. Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41)”.

Semoga Allah merahmati para ulama salaf yang selalu melakukan introspeksi atas segala musibah yang menimpa mereka, lalu segera sadar dan memperbaiki diri.

Ibnu Sirin berkata, “Saya tahu dosa apa yang menyebabkan aku sekarang ini memikul hutang, karena dahulu empat puluh tahun silam saya pernah mengatakan kepada seorang: ‘Wahai muflis (orang yang bangkrut)’”.

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Dahulu aku diberi pemahaman tentang al-Qur‘an, namun tatkala aku menerima kantong uang maka pemahaman itu hilang dariku”.

Demikianlah orang-orang yang cerdas, mereka selalu melakukan introspeksi dan mengakui kesalahan dan dosa yang menyebabkan musibah yang terjadi pada dirinya.

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah As Sidawi

Artikel Muslim.or.id

Ini Wirid Harian dari Imam Al-Ghazali Agar Hidup Berkah

Dalam kitab Mujarrabat Al-Dairabi disebutkan bahwa Imam Al-Ghazali memiliki wirid harian yang beliau anjurkan untuk diamalkan. Menurut beliau, siapa saja yang mengamalkan wirid harian ini, maka hidupnya akan mendapatkan keberkahan dan dimudahkan untuk memperoleh ilmu.

Amalan wirid harian dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, hari Jumat membacat dzikir berikut sebanyak seribu kali;

يَا اللهُ

Yaa alloh.

Kedua, hari Sabtu membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

لَااِلَهَ اِلاّ الله

Laa ilaaha illallooh.

Ketiga, hari Ahad membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

يَاحَيُّ يَا قَيُّوْمُ

Yaa hayyu yaa qoyyuum.

Keempat, hari Senin membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ

Laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.

Kelima, hari Selama membaca shalawat kepada Nabi Saw sebanyak seribu kali.

Keenam, hari Rabu membaca istighfar berikut sebanyak seribu kali;

اَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ

Astaghfirulloohal ‘azhiim.

Ketujuh, hari Kamis membaca tasbih berikut sebanyak seribu kali;

سُبْحَانَ اللهَ اْلعَظِيْمَ وَبِحَمْدِهِ

Subhaanalloohal ‘azhiima wa bihamdih.

Disebutkan dalam kitab Mujarrabat Al-Dairabi sebagai berikut;

فائدة: قال الغزالي رحمه الله تعالى ما حصل لي الفتوح والبركة الا بهذه الاوراد وهي ان تقول في يوم الجمعة يا الله الف مرة وفي يوم السبت لا اله الا الله الف مرة وفي يوم الاحد يا حي يا قيوم وفي يوم الاثنين لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم وفي يوم الثلاثاء تصلى على النبي الف مرة وفي يوم الاربعاء استغفر الله العظيم الف مرة وفي يوم الخميس سبحان الله وبحمده الف مرة

Faidah; Imam Al-Ghazali berkata; Aku tidak mendapatkan futuh dan keberkahan kecuali dengan wirid-wirid ini. Yaitu di hari Jumat membaca; Yaa alloh, seribu kali, hari Sabtu membaca; Laa ilaaha illalloh, seribu kali, hari Ahad membaca; Yaa hayyu yaa qoyyuum, seribu kali, hari Senin membaca; Laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim, seribu kali, hari Selasa membaca shalawat kepada Nabi Saw seribu kali, hari Rabu membaca; Astagfirullaahal ‘azhiim, seribu kali, hari Kamis membaca; Subhaanallaah wa bihamdih, seribu kali.

BINCANG SYARIAH

Katanya Allah Dekat, Mengapa Tidak Terlihat?

Dalam benak seorang Muslim, mungkin pernah terlintas sekali-dua kali atau bahkan berkali-kali pertanyaan tentang keberadaan dan wujud Allah Swt. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: katanya Allah dekat, lalu mengapa tidak terlihat?

Kita merasa Allah Swt. begitu dekat, bahkan sangat dekat, melebihi urat nadi kita sendiri. Tapi, sebagai manusia yang hanya memiliki lima indera yang sangat terbatas, perasaan dekat dengan Allah Swt. Tersebut kembali dipertanyakan mengingat wujud-Nya tak bisa dilihat dengan kasat mata.

Dalam sebuah video ceramahnya di Wamimma TV, Buya Syakur Yasin pernah memaparkan sebuah analogi: “Siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan.”

Melalui analogi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa ada kesinambungan antara memahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an dengan baik sesuai kaidah tafsir dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya yakni Allah Swt.

Melihat Tuhan Perspektif Qur’an dan Hadits

Saat surat An-Nasr turun, diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali, Umar, dan Abu Bakar menangis. Turunnya ayat tersebut menandakan bahwa sebentar lagi mereka semua akan ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. Para sahabat pun paham makna ayat-ayat yang telah turun tersebut sebab merekalah yang paling dekat dengan Rasulullah Saw.

Dari peristiwa tersebut, muncul pertanyaan: apakah kedekatan dengan Allah Swt. juga berarti harus dekat dengan Nabi Muhammad Saw.? Lantas bagaimana dengan umat lslam yang hidup setelah Rasulullah Saw. wafat?

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, tercatat hanya ada dua ayat saja yang berkaitan dengan melihat atau bertemu dengan Allah Swt. Sebagai berikut:

Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 22

 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

Wujụhuy yauma`iżin nāḍirah

Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.”

Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 23

 إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Ilā rabbihā nāẓirah

Artinya: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”

Makna kalimat “dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri” berasal dari kata an-nadhaarah yang artinya rupawan, menawan, cemerlang lagi penuh kebahagiaan.

Sementara itu, makna “kepada Rabb-nyalah mereka melihat” adalah melihat dengan kasat mata.

Dalam riwayat al-Bukhari r.a., dalam Shahih-nya disebutkan: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan kasat mata.”

Dalam ayat tersebut ditegaskan tentang penglihatan orang-orang Mukmin terhadap Allah Swt. di akhirat kelak.

Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra., yang keduanya terdapat di dalam Kitab ash-Shahihain (Al-Mustadrak alaa al-Sahihain) tercantum bahwasanya ada beberapa orang bertanya:

“Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari Kiamat kelak?”

Beliau menjawab, “Apakah kalian merasa sakit saat melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?”

Mereka menjawab, “Tidak.”

Beliaupun bersabda, “Sesungguhnya seperti itulah kalian akan melihat Rabb kalian.”

Masih dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa dari Jarir ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. pernah melihat bulan pada malam purnama, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan ini. Jika kalian mampu untuk tidak dikalahkan (oleh perasaan lelah/ngantuk) dari mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelamnya, maka kerjakanlah.’”

Waktu matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelam dalam hadits tersebut yaitu waktu shalat Subuh di pagi hari dan shalat ‘Ashar di sore hari.

Dalam Kitab ash-Shahihain juga tercantum: dari Abu Musa, ia berkata: “Rasulullah Saw. telah bersabda: ‘Ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari emas, dan ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari perak. Tidaklah terdapat tirai antara suatu kaum dengan penglihatan mereka kepada Allah Swt. melainkan terdapat selendang kebesaran pada wajah-Nya di Surga ‘Adn.’”

Melihat Tuhan Perspektif Filsafat Islam

Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang eksistensi Tuhan dipaparkan dalam sebuah kalimat sebagai berikut: “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”

Perlu digarisbawahi di sini bahwa frasa “mengetahui Tuhannya” di sini bukan bermakna mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tapi lebih kepada kehadiran rasa ihsan dalam diri manusia saat menjalani kehidupan sehari-hari.

Ihsan di sini berarti bahwa di mana pun seorang Muslim berada, maka ia akan merasa melihat Tuhannya. Atau, di mana pun ia berada, ia selalu merasa dilihat oleh Tuhannya. Dua perasaan tersebut mengukuhkan bahwa Allah dekat dan mengetahui segalanya.

Dalam buku Filsafat Islam (1957), Hasyimsyah Nasution menuliskan bahwa terkait wujud atau zat Allah Swt., Imam Al-Ghazali menjelaskan dengan metodologi filsafat yang menitikberatkan “tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang mengadakan” Al-Ghazali juga tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu wujudnya sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.

Dari dua pijakan pemikiran tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali berpikir Tuhan adalah wajibul Wujud di mana akan dapat dirasakan kehadirannya jika benar-benar dapat mengetahui sebenarnya hakikat dari diri kita sendiri. Merasakan bahwa Allah dekat adalah karena seorang manusia telah memahami hakikatnya.

Kesekatan tersebut bukan berarti bahwa Tuhan dan hambaNya menjadi satu, tapi lebih pada praktik dalam menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan kedalam diri seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.

Sebagai misal, menerapkan sifar Ar-Rohman dan Ar-Rohiim yang berarti seorang Muslim mesti berusaha menjadi penyayang. Cara yang dipaparkan Al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Sang Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada dalam diri manusia.

Bisakah Manusia Melihat Wujud Allah?

Dalam buku Etika Al-Ghazali, Etika Majemuk di Dalam Islam(1988), Kamil, Ph.D dan M.Abul Quasem, M.A. menyatakan bahwa untuk bisa mencapai wujud Allah Swt., Al-Ghazali tidak mengartikannya sebagai penyamaan dengan Allah Swt. atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran hakikat kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut).

Bagi Al-Ghazali, dekat dengan Allah dan melihat Allah bisa diwujudkan dalam konsep yang bernama Wahdatusy Syuhud yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Kesatuan Penyaksian. Sebab bagi Al-Ghazali, apa yang manunggal adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.

Melalui konsep tersebut, seorang Muslim yang mencapai Allah Swt. akan mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam  Asmaulhusna dan diterapkan dalam dirinya, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari selama ia hidup di dunia.

Al-Ghazali menambahkan bahwa Allah Swt. diketahui eksistensinya dengan akal. Allah Swt. terlihat zat-Nya dengan mata hati sebagai kenikmatan dari-Nya dan kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik dan sebagai penyempuurnaan dari-Nya bagi kenikmatan yang memandangNya yang Mulia.

Analogi Buya Syakur Yasin tentang “siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan” bisa kita pahami dengan pemikiran Al-Ghazali mengenai Tuhan lewat konsep Wahdatul Syuhud.

Perasaan dekat dengan Allah bisa jadi muncul karena seorang Muslim telah berusaha menerapkan sifat-sifat Allah Swt. dengan baik dalam hidupnya. Ia telah berlaku ihsan. Meski merasa dekat, seorang manusia tidak akan bisa melihat Tuhannya dengan kasat mata sebab Allah Swt. hanya bisa diketahui dengan akal dan dilihat dengan mata hati.[]

BINCANG SYARIAH

Hukum Suami Memakai Uang Istri

Dalam Islam, suami yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban menafkahi dan memenuhi kebutuhan istri. Sementara istri hanya berkewajiban taat pada suami. Namun dalam realitasnya, banyak istri yang bekerja untuk membantu suami dan keluarga, sehingga tidak jarang suami memakai uang istri. Sebenarnya, bagaimana hukum suami memakai uang istri?

Menurut para ulama, uang atau harta istri adalah penuh milik pribadinya. Karena itu, suami tidak boleh memakai atau memanfaatkan uang atau harta istrinya kecuali dengan seizin dan keridaan istrinya. Jika istrinya mengizinkan, maka suami boleh memakainya. Namun jika tidak mengizinkan, maka suami tidak boleh memakainya.

Hal ini disebutkan oleh Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushulul Fiqih berikut;

وأعطى الإسلام المرأة حقوقها كاملة وجعل ماليتها في الأسرة مفصولة عن مالية الزوج

Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga.

Meski uang atau harta istri adalah penuh milik pribadinya dan suami tidak boleh memakai kecuali mendapat izin darinya, namun Islam sangat menganjurkan agar istri membantu suami dan keluarganya jika mereka sedang membutuhkan bantuan. Bahkan suami termasuk orang yang paling berhak mendapat bantuan pertama kali oleh istri. Bila sudah berkecupan, suami wajib mengganti uang istri yang dipinjamnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Abu Sa’id, dia berkata;

جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

Zainab, istri Ibnu Mas’ud, datang meminta izin untuk bertemu Rasulullah. Ada yang memberitahu; Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab. Beliau bertanya; Zainab yang mana? Maka ada yang menjawab; istri Ibnu Mas’ud.

Beliau menjawab; Baiklah, izinkanlah dirinya. Maka kemudian Zainab berkata; Wahai, Nabiyullah, hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku. Lalu Nabi Saw menjawab; Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.

BINCANG SYARIAH