Hati-Hati dengan Hatimu!

Allah Swt Berfirman :

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِ

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS.Al-Anfal:24)

Ya Allah …

Ayat ini ingin mengingatkan kepada kita tentang suatu hal yang sangat penting.

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.”

Engkau bukanlah pemilik hatimu. Maka jangan pernah kau bersandar pada dirimu sendiri. Karena manusia tak pernah tau bagaimana akhir nasib dari hidupnya. Apakah hatinya tetap lurus atau sudah berpaling dari kebenaran.

Karenanya :

Jangan pernah sombong dengan amal-amalmu…

Jangan pernah mengandalkan kehebatan dan kekuatanmu…

Jangan pernah merasa bangga dengan prestasi-prestasimu…

Karena keselamatanmu bergantung pada hatimu.

يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ – إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ

“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS.Asy-Syu’ara:88-89)

Maka perbanyaklah berdoa kepada Allah agar menjaga hati kita untuk berada dalam kebenaran hingga akhir hayat. Lazimkan doa ini setiap hari :

اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ القُلُوب ثَبِّتْ قَلبِي عَلَى دِينِك، اللَّهُمَّ يَا مُصَرِّفَ القُلُوب اِصرِف قَلبي إِلَى طَاعَتِك.

Ya Allah… Duhai yang membolak-balikkan hati, kokohkan hatiku di atas agamamu. Duhai yang merubah hati, tetapkan hatiku dalam ketaatan kepada-Mu.”

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Syahadat Ketika Sakaratul Maut, Apakah Masuk Islam?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang syahadat ketika sakaratul maut, apakah masuk islam?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz mau bertanya, apakah sudah bisa dikatakan masuk Islam bila ada seorang non islam bersyahadat saat sakaratul maut namun hanya dibimbing oleh anaknya dan hanya disaksikan 1 anak lainnya?

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Kita bagi masalah ini ke dalam 3 bagian;

Masalah Pertama

Jika seorang non muslim yang sakaratul maut itu tahu bahwa yang diikrarkan dan diucapkan dalam akhir hidupnya adalah syahadatain, persaksian syahadat dengan mengucapkan kalimat,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

ASYHADU ALLAAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH…

“Aku bersaksi bahwa Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”

Dan dia ingin menjadi seorang muslim, masuk kepada agama Islam, maka dia telah masuk Islam menurut syariat agama Allah Ta’ala, walaupun kenyataannya dia dikuburkan oleh keluarganya dalam agama selain Islam.

Dahulu ada raja Najasyi, dia adalah seorang muslim pada zaman Nabi, walaupun dikuburkan bukan dengan tata cara Islami. Maka Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam menyelenggarakan shalat ghaib kepada raja Najasyi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah menjelaskan,

الصواب أن الغائب إن مات ببلدٍ لم يصلَّ عليه فيه، صلي عليه صلاة الغائب، كما صلى النبي صلى الله عليه وسلم على النجاشي

“Pendapat yang benar adalah shalat ghaib dilakukan bagi mayit berada di daerah yang tidak ada yang menshalatkannya, maka kita shalat ghaib baginya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam shalat ghaib untuk raja Najasyi.”
(lihat Zadul Ma’ad, 1/301).

Masalah Kedua

Dan Jika kasusnya, orang yang sakaratul maut hilang akal secara zhahir (koma), dan kita tidak tahu pasti, dia sadar atau tidak, tatkala mau mengikuti ucapan talqin syahadat, maka yang tampak dia dihukumi belum masuk Islam (Wallahu Ta’ala A’lam), karena sesuatu yang ragu tidak bisa mengangkat yang yakin, bahwa dia masih berada pada agama yang lama. Perkara pastinya, kita serahkan kepada Allah Ta’ala.

Kasus di atas berbeda dengan keadaan paman Nabi Abu Thalib, yang pada saat menjelang ajalnya masih sadar dengan apa yang diucapkan keponakannya Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam ketika itu,

عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ فَقَالَ « أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالاَ يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ آخِرَ شَىْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ » . فَنَزَلَتْ ( مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ) وَنَزَلَتْ ( إِنَّكَ لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ)

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata,
“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muththalib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muththalib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan :
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”

Kemudian turunlah ayat,
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.”
(lihat QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (lihat QS. Al-Qashshash: 56).
(HR. Bukhari, no. 3884 dan Muslim, no. 24).

Masalah Ketiga

Berkenaan dengan saksi, maka minimal ada 2 orang muslim baik-baik yang mumayyiz (bisa membedakan, usia paham perintah dan larangan). Tujuan dari 2 saksi ini (termasuk boleh dari saksi anak sendiri) adalah agar muallaf ini diakui telah pindah agama oleh masyarakat muslim lainnya. Sehingga selanjutnya, dia disikapi sebagaimana layaknya seorang muslim.

Misalkan ada orang yang mentalqin syahadat dan saksi satu orang lainnya, maka dianggap 2 orang saksi, Jika saksinya dari non muslim, atau dari anak yang belum sampai usia paham (mumayyiz), maka tidak dianggap sebagai saksi.

Semoga Allah Ta’ala Memberikan Taufiq kepada semuanya.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Senin, 17 Shafar 1442 H / 05 oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Apakah Lebih Utama Berdoa dengan Suara Keras atau Pelan?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Soal :

Manakah yang lebih utama dalam berdoa? Dengan suara yang pelan (sirr) ataukah keras (jahr)? Dan apakah maksud dari firman Allah ta’ala:

{وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ} 

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah” (QS. Al Mulk: 13).

Jawab :

Apabila seseorang berdoa untuk dirinya sendiri dan orang lain, maka doa tersebut dibaca jahr (keras). Seperti doa imam saat qunut dibaca dengan jahr karena doa tersebut untuk dirinya dan orang lain. Dan doa tersebut dibaca dengan bentuk jamak seperti “Ya Allah berilah kami petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami keselamatan, sebagaimana orang yang telah Engkau beri keselamatan”. Tidak dibaca, “Ya Allah berilah saya petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk”. Karena apabila doa tersebut dimaksudkan untuk dirinya sendiri sedangkan orang lain mendengar dan mengamininya maka hal itu termasuk khianat karena doa tersebut jika untuk dirinya dan orang lain maka doa tersebut bersifat kolektif sedangkan mengkhususkan dirinya sendiri merupakan bentuk sifat khianat.

Oleh karena itu kami katakan, jika doa tersebut bersifat kolektif untuk orang yang berdoa dan selainnya, maka dibaca jahr (keras). Namun doa yang bersifat kolektif untuk orang yang berdoa dan selainnya, ini hanya sebatas pada doa-doa disebutkan syari’at saja (untuk dikerjakan secara berjama’ah). Tidak boleh mengada-adakan doa-doa berjamaah yang tidak didasari oleh dalil syar’i. Karena mengada-adakan amalan semisal itu merupakan bid’ah yang terlarang.

Adapun apabila seseorang berdoa untuk dirinya sendiri maka ada beberapa perincian : 

Apabila doa tersebut di dalam shalat maka tidak boleh mengeraskan doa tersebut, walaupun dalam shalat jama’ah maka tetap tidak boleh mengeraskannya. Karena hal tersebut dapat mengacaukan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu dijumpai sebagian makmum-makmum mengeraskan doanya kepada Allah ketika duduk diantara sujud, atau ketika sujud, atau ketika tasyahud. Hal ini tidak diperbolehkan sebagaimana telah datang penjelasan dari Nabi ﷺ kepada para sahabat. Pada suatu hari, mereka shalat dengan mengeraskan bacaan Al-Qur’an, maka Nabi ﷺ pun melarang mereka untuk mengeraskan bacaan antara satu sama lain.

Adapun jika seseorang berdoa untuk dirinya sendiri (di luar shalat) dan di sekitarnya tidak terdapat orang lain, dan dia bisa merasa lebih baik untuk hatinya, maka lebih utama dibaca dengan suara pelan. Sedangkan jika dia merasa lebih baik dibaca dengan suara keras maka dibaca dengan suara keras. Akan tetapi tidak diperbolehkan mengeraskan bacaan doa sampai menyulitkan dirinya sendiri. Karena Nabi ﷺ pernah mengingatkan kepada para sahabat yang mengeraskan suara mereka, 

أيها الناس، أربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائباً، فإنكم تدعون سميعاً قريباً، وهو معكم، إن الذي تدعونه أقرب إلى أحدكم من عنق راحلته. والله سبحانه وتعالى قريب مجيب

“Wahai manusia, rendahkan diri kalian. Karena sesungguhnya kamu semua tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak juga yang gaib. Akan tetapi anda berdoa kepada yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dan Dia bersama kalian. Sesungguhya yang kamu semua berdoa itu lebih dekat dari salah satu diantara kamu dari punuk kendaraannya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi, dekat dan mengabulkan doa” (HR. Bukhari no.6384, Muslim no.2704).

Sumber: http://iswy.co/e29ron 

Penerjemah: Rafif Zulfarihsan

Artikel: Muslim.or.id

Lukman Al-Hakim dan Firaun

LELAKI kurus kering berambut setengah keriting ini maju ke depan dalam acara pertemuan para pejabat dengan rakyat. Dalam acara sosialisasi program kerja ini, lelaki kurus bernama Emmad ini mewakili para pemuda di desanya. Semua kaget saat dia melangkah maju, karena semua tahu bahwa Emmad bukanlah siapa-siapa yang lulus dari lembaga pendidikan mana. Dia hanya alumni sebuah langgar yang sudah rapuh sementara pengasuh langgarnya sibuk mengurusi batuk menahun dan penyakit rematiknya.

Dua jam pertama pertemuan ini berisi pemaparan program kerja lengkap dengan visi misinya. Semuanya tersusun indah membuat sebagian hadirin terpukau dan beberapa tepuk tangan. Entah tepuk tangan itu bermakna kagum dan setuju, ataukah hanya ingin mengusir kantuk dan pemberitahuan bahwa tak ada suguhan yang bisa dipegang tangannya, tak ada yang paham.

Sejatinya semua sudah paham bahwa kenyataan riil masyarakat adalah penuh keresahan. Perputaran ekonomi hanya di antara mereka para pejabat, sementara rakyatnya hanya sebagai penonton dan pembaca berita. Kemapanan hanya milik mereka kaum elit, sementara kaum ekonomi sulit tak pernah lepas dari kesulitannya. Untung, para rakyat setiap malam diajari makna kesabaran di langgar atau surau masing-masing.

Semua hadirin penasaran apa yang akan disampaikan pemuda kurus itu. Tanpa pengeras suara, dia berbicara lantang. Matanya tajam melihat kepada para pejabat yang berjejer duduk di atas kursi khusus itu. Jemari telunjuknya jelas menuding lurus pada para pejabat itu. Suaranya menggelegar menghentikan semua suara yang ada di ruangan itu.

Tak panjang yang diucapkannya: “Bapak-bapak pejabat yang merasa terhormat. Kalimat-kalimat Bapak sungguh bijak dan indah sebijak dan seindah kalimat Lukman al-Hakim. Sayang, perilaku Bapak dalam memerintah dan mengatur kehidupan ekonomi serakus dan sejahat Fir’aun.” Lelaki itu lalu keluar ruangan. Beberapa orang ikut keluar mengikutinya. Saya tak mampu menafsirkannya. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Hidup Sederhana Teladani Rasulullah

SEMOGA Allah Swt Yang Maha Menatap, memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa meneladani akhlak mulia Rasulullah Saw. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad Saw, kekasih Allah, sang suri teladan.

Boros terhadap harta adalah kecenderungan manusia. Perilaku boros adalah salah satu tipu daya setan yang tiada henti menjebak kita. Sehingga membuat harta yang kita miliki justru berpotensi mencelakai diri kita sendiri jika tidak cermat mempergunakannya.

Hal ini dapat kita perhatikan dalam keseharian kita. Orang yang punya harta berlimpah, memiliki lebih besar peluang menjadi pecinta harta. Makin bagus, makin mahal, maka makin senang, dan makin cintalah ia kepada harta yang dimilikinya. Bahkan muncul keinginan untuk pamer. Ia ingin tampil lebih wah, lebih bermerek, atau lebih keren dari orang lain. Padahal, semua itu justru akan menyiksa dirinya.

Satu pengalaman ketika seseorang diberi sebuah ballpoint. Dari penampilannya ballpoint ini sangat bagus, mengkilat, dan ketika dipakai menulis pun enak. Tapi, ballpoint ini menjadi barang yang menyengsarakan ketika ada yang memberitahu bahwa ballpoint ini merek terkenal. Gara-gara tahu itu ballpoint mahal, sikap pun jadi berubah. Tiba-tiba jadi takut hilang, ketika dibawa takut jatuh, ketika dipinjam takut cepat habis tintanya, mau disimpan takut mubazir, ditambah lagi saat dipakai pun malu mungkin nanti ada yang komentar,”Wah, ballpoint-nya mahal!”Begitulah, sungguh tersiksa!

Karenanya, berhati-hatilah saudaraku. Kita harus benar-benar mengendalikan keinginan kita. Ingat, yang terpenting adalah kemanfaatannya. Buat skala prioritas, misalnya, haruskah membeli sepatu seharga 1 jutarupiah padahal keperluan kita hanya sepatu olahraga. Apalagi dihadapan kita ada aneka pilihan harga, mulai dari yang 700 ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 100 ribu rupiah.

Dalam posisi seperti ini, carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong ketika memakainya, yang paling tidak menyiksa diri dalam merawatnya, dan yang paling bisa bermanfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut.

Allah Swt berfirman,”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan-Nya” (QS. Al Israa [17] : 26-27).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman,”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula mereka kikir. Dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah yang demikian itu”. (QS. Al Furqan [25] : 67).

Jelaslah bahwa sikap boros lebih dekat kepada perilaku setan. Karenanya, hidup sederhana adalah nilai yang perlu kita tanamkan kuat-kuat dalam diri. Hidup sederhana bukan berarti tidak boleh membeli barang-barang yang bagus, mahal, dan bermerek. Silahkan saja, sepanjang proporsional dengan keperluan kita. Tapi ternyata kalau yang terjadi adalah pemborosan, apalagi diiringi riya, maka itu sama sekali tidak akan menjadi keberkahan bagi kita.

Tidak setiap keinginan harus dipenuhi. Karena jikalau kita ingin membeli sesuatu hanya karena alasan ingin, sesungguhnya keinginan itu cepat berubah. Kalau kita membeli sesuatu karena suka, maka ketika melihat yang lebih bagus, akan hilanglah selera kita pada barang yang awalnya lebih bagus tadi. Belilah sesuatu hanya karena perlu dan mampu saja.

Misalnya, ketika tersirat ingin membeli motorbaru, tanyakan, perlukah kita membeli motor baru? Sudah wajibkah kita membelinya? Nah, ketika jawaban pertanyaan tadi sudah dapat diterima akal sehat, maka kalaupun jadi membeli pilihlah yang skalanya sesuai dengan keperluan.

Tahanlah keinginan untuk berlaku boros dengan sekuat tenaga. Yakinlah, makin kita bisa mengendalikan keinginan kita, InsyaaAllah kita akan makin terpelihara dari sikap boros. Sebaliknya, jika tidak dapat kita kendalikan, maka pastilah kita akan disiksa oleh barang-barang kita sendiri. Kita akan disiksa oleh kendaraan kita dan disiksa oleh harta kita yang kita miliki. Rugi, sangat rugi orang yang memperturutkan hidupnya hanya karena sesuatu yang dianggap keren atau bermerek. Apalagi, keren menurut kita belum tentu keren menurut orang lain.

Hiduplah sederhana. Sesungguhnya Rasulullah Saw memilih hidup dengan kesederhanaan. Padahal bukan tidak bisa beliau hidup bergelimang kemewahan, bukan tidak bisa beliau tinggal di istana megah, apalagi kebesaran beliau jauh melampaui raja-raja Romawi dan Persia. Namun, sang kekasih Allah ini memilih kesederhanaan untuk menjadi nilai yang diteladani umatnya hingga akhir zaman.

Karenanya, hiduplah sederhana. Pastikan kita membeli barang karena keperluan dan kemampuan. Sungguh, barang yang kita miliki tidak menjadi penentu derajat kemuliaan kita. Kemuliaan akan terpancar dengan sendirinya dari pribadi yang senantiasa penuh syukur dalam setiap keadaan. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)

Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu“Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).

Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])

Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??

Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya

Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

  1. Golongan yang berlebih-lebihan.
  2. Golongan yang meremehkan.
  3. Golongan tengah.

Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:

a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).

b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).

e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)

f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.

g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])

h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).

Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.

Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).

Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.

Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!

Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…

Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,

dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”

(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).

La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.

Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.

Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:

  1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
  2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-‘Ibad (I/439).
  3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
  4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
  5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
  6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
  7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
  8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
  9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
  10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.

Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.

Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

  1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
  2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
  3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
  4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
  5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
  6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
  7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
  8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
  9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.

Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.

Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).

Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).

Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?

Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

***

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Tiada Yang Mampu Menghancurkanmu Melebihi Lisanmu Sendiri!

Allah Swt Berfirman :

كَلَّاۚ سَنَكۡتُبُ مَا يَقُولُ وَنَمُدُّ لَهُۥ مِنَ ٱلۡعَذَابِ مَدّٗا

“Sama sekali tidak! Kami akan menulis apa yang dia katakan, dan Kami akan memperpanjang azab untuknya secara sempurna.” (QS.Maryam:79)

Di balik lisanmu ada kehancuran hidupmu. Ingatlah bahwa setiap huruf yang kau ucapkan selalu tercatat dan terekam.

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS.Qaf:18)

Maka berpikirlah sebelum berucap sesuatu !

Tidak ada yang lebih cepat mengantarmu pada kebinasaan melebihi lisanmu yang tak bisa kau kendalikan.

Berapa banyak kita menyaksikan satu kalimat yang menyebabkan kesengsaraan umat ?

Berapa banyak kita melihat satu kalimat yang membuat dunia ini seakan kiamat ?

Berapa banyak kita mendengar satu kalimat yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa ?

Berapa banyak pengalaman yang kita rasakan sendiri, bahwa satu kalimat yang salah bisa menyebabkan penyesalan yang panjang dan kerugian yang besar ?

Maka sebelum engkau ingin mengontrol segala sesuatu, kendalikan terlebih dahulu lisanmu. Karena dari sanalah penentu keselamatan atau kehancuran hidupmu.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Menjadi Kekasih Allah, Tak Pernah Sedih-Bingung

HARI ini saya bertemu dengan seorang kiai sepuh di desa dalam sebuah acara besar di ponpesnya, acara wisuda S1. Kiai Ilyas, nama beliau, 86 tahun usianya, tegap gaya berjalannya, jelas gaya bicaranya. Beliau bercerita bahwa beliau baru bermimpi dikabari masih akan panjang umur

Kata orang dalam mimpi itu, beliau akan meninggal usia 105 tahun. Obrolan sehabis acara itu berlangsung gayeng walau tak lama. Penasaran sekali akan rahasia sehat beliau. Jelas rahasianya istimewa karena beliau bukan orang yang mengerti gizi dan nutrisi. Rahasianya pasti selain itu.

Saat berbincang, kami membahas kembali beberapa bagian materi orasi (ceramah) yang saya sampaikan. Salah satunya adalah rahasia menjadi kekasih Allah yang tak pernah sedih dan bingung kini dan nanti. Saya kemukakan 5 syarat pokok sebagaimana disampaikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Syarat pertama adalah tidak memusingkan diri dengan rizki hari esok. Besok belum tiba, semuanya masih rahasia. Syukuri saja hari ini dengan mempersembahkan amln terbaik.

Begitu banyak orang yang sepanjang hidupnya dipenuhi dengan pikiran dan pekerjaan demi ekonomi besok, lusa, tahun depan dan seterusnya. Orang semacam ini biasanya banyak lupa akan Allah dan kehidupan pasca kematiannya kelak. Orang semacam ini biasanya terlalu kuat motivasi menumpuk dunia dan kurang termotivasi melepaskan sebagian dunianya untuk akhiratnya. Orang seperti ini biasanya bakhil kecuali untuk hal-hal yang akan menjadikannya dapat ganti untung lebih banyak. Tak ada keikhlasan, adanya adalah pamrih. Semoga Allah jauhkan kita dari tabiat jelek ini.

Teringatlah saya pada hadits qudsi yang menyuruh kita tenang dan tidak bercapek diri mengejar rizki karena telah ditakar dan dijatah Allah. Kita diperintah untuk serius mencapekkan diri beribadah kepada Allah karena untuk itulah kita diciptakan. Kemudian teringat juga pada hadits qudsi yang lain yang memperingatkan manusia untuk berderma, berinfak, agar anak cucunya dijaga oleh Allah SWT.

Siapa yang arogan mau menjamin sendiri rizki anak cucunya sendiri dengan berbakhil pada hamba-hamba Allah yang membutuhkan, lihat saja apa yang akan terjadi kelak. Bukankah rizki itu Allah yang mengatur?

Syarat kedua sampai kelima belum bisa saya sampaikan kali ini. Renungkan dulu yang pertama, baru kita lanjut pada yang kedua dan selanjutnya. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Kisah Menegangkan Cat Stevens Sebelum Jadi Mualaf

Cat Stevens menjadi mualaf pada 1977.

Penyanyi yang terkenal sebagai Cat Stevens, dan sekarang dikenal sebagai Yusuf  Islam, berterus terang tentang perpindahannya ke Islam dan dampak buruk yang terjadi. Titik balik keislamannya ia ceritakan dalam program radio BBC 4 Desert Islands Discs pada Ahad (27/9).

Musisi berusia 72 tahun ini lahir dengan nama lengkap Steven Demetre Georgiou dari seorang ibu Swedia dan ayah Yunani Siprus. Dia muncul untuk membahas hidupnya, termasuk pengalaman dekat kematian pada 1976 yang membuatnya berbalik menjadi seorang Muslim.

“Saya tidak tahu bahwa tidak bijaksana untuk pergi keluar pada waktu itu dan berenang, jadi saya melakukannya. Saya memutuskan untuk kembali dan menuju pantai dan, tentu saja, pada saat itu saya menyadari, ‘Saya berjuang di Pasifik’. Tidak mungkin saya menang. Hanya ada satu hal yang harus dilakukan dan itu adalah berdoa kepada Yang Mahakuasa untuk menyelamatkan saya. Dan saya melakukannya,” kata dia kepada pembawa acara radio Lauren Laverne tentang hampir tenggelam di Malibu, California, dilansir dari laman Finance Yahoo, pada Selasa (29/9).

“Saya berseru kepada Tuhan dan dia menyelamatkan saya. Gelombang kecil datang dari belakang. Itu tidak besar. Itu hanya mendorong saya ke depan. Air pasang entah bagaimana telah berubah dan saya bisa kembali ke darat. Jadi saya diselamatkan. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” lanjutnya.

Setelah kejadian tersebut, Stevens diberi salinan Alquran oleh saudaranya. Sebelumnya dia juga telah mendalami agama Buddha saat berjuang melawan TBC saat remaja.

“Saya tidak akan pernah mengambil Alquran. Tapi itu menjadi pintu gerbang. Setelah setahun saya tidak bisa menahan diri. Saya harus sujud,” kenang Yusuf.

Pelantun “Wild World” itu resmi masuk Islam pada akhir 1977, mengadopsi nama Yusuf Islam pada tahun berikutnya. Dia juga meninggalkan sebagian besar karir musiknya, meskipun dia melanjutkan ke dapur rekaman pada 2006.

“Itu adalah tarikan yang sulit. Saya merasakan tanggung jawab kepada penggemar saya, tetapi saya akan menjadi seorang munafik. Saya harus nyata. Jadi saya berhenti bernyanyi dan mulai mengambil tindakan dengan apa yang sekarang saya yakini,” kata Yusuf.

Dia melanjutkan, bahwa pertobatannya disambut dengan reaksi yang sangat berbeda; di Turki, dia mengaku dibesarkan di atas alas ini. Akan tetapi di sisi lain ada orang yang berkata, ‘Dia agak pengkhianat, bukan? Dia berubah menjadi Turki’.

“Itu sangat sulit karena pada satu titik saya adalah ikon mayoritas dan sekarang saya adalah bagian dari minoritas yang dipandang rendah dan tentu saja, sebagian besar, disalahpahami,” ucap Yusuf.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa yang Dimaksud dengan Tafarruq (Berpecah Belah)?

Persatuan yang dituntut oleh syariat adalah persatuan di atas agama yang benar, dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih, yaitu pemahaman para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan. Bukan sekedar persatuan badan!

Persatuan di atas al Qur’an dan as Sunnah

Dari Al Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Ihya Ulumiddin [3/284] Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”. Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi mengatakan: “hasan”).

Maka jelaslah dari hadits-hadits di atas, solusi dari perpecahan umat, juga solusi dari keterpurukan umat bukanlah menyatukan umat secara fisik sambil mentoleransi kesyirikan, kebid’ahan dan maksiat yang mereka lakukan. Bukan itu! solusi dari perpecahan umat, juga solusi dari keterpurukan umat adalah mengajak mereka untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih, menyebarkannya dan mengamalkannya.

Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: “Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan malah kita saling bertoleransi dan membiarkan tetap pada perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang salah maka kita tinggalkan. Itulah yang wajib bagi kita, bukan membiarkan umat tetap pada perselisihan” (Syarah Ushul As Sittah, 19).

Maka dakwah yang mengajak untuk membiarkan umat taqlid pada pendapat madzhab masing-masing, ormas masing-masing, partai masing-masing mempersilakan memilih pendapat mana saja, ini adalah dakwah yang keliru. Syaikh Shalih Al Fauzan melanjutkan lagi: “Adapun yang mengatakan: ‘biarkan mereka mengikuti pendapat madzhab masing-masing, biarkan mereka mengikuti akidah mereka masing-masing, setiap orang bebas berpendapat dan menuntut kebebasan berkeyakinan dan berpendapat’, ini adalah kekeliruan. Yang Allah larang dalam firman-Nya (yang artinya): ‘berpegang-teguhlah pada tali Allah kalian semuanya, dan janganlah berpecah-belah‘ (QS. Al Imran: 103). Maka wajib bagi kita untuk bersatu di atas Kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan di antara kita” (Syarah Ushul As Sittah, 18).

Makna tafarruq

Selain itu, perlu juga dipahami apa sebenarnya makna dari tafarruq (berpecah-belah) yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103).

Imam Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi menjelaskan ayat ini:

قوله تعالى : ولا تفرقوا يعني في دينكم كما افترقت اليهود والنصارى في أديانهم ; عن ابن مسعود وغيره . ويجوز أن يكون معناه ولا تفرقوا متابعين للهوى والأغراض المختلفة

“Firman Allah ta’ala (yang artinya): “jangan berpecah belah” maksudnya: jangan berpecah belah dalam beragama sebagaimana berpecah belahnya orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka. Tafsir yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dan juga yang lainnya, bahwa makna “jangan berpecah belah” di sini adalah jangan kalian mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan (duniawi) yang berbeda-beda”.

Imam Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari ketika menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan:

ولا تفرقوا “، ولا تتفرقوا عن دين الله وعهده الذي عهد إليكم في كتابه، من الائتلاف والاجتماع على طاعته وطاعة رسوله صلى الله عليه وسلم، والانتهاء إلى أمره

“(jangan berpecah belah) maksudnya janganlah kalian berpecah belah dari agama Allah dan hukum Allah yang ditetapkan untuk kalian di dalam Kitab-Nya. Dan janganlah menjauh dari bersatu dan berkumpul di atas ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengembalikan semua urusan kepada tuntuan beliau”.

Maka makna dari tafarruq adalah meninggalkan ajaran agama dan meninggalkan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta mengambil ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan lain yang tidak ada dasarnya dalam syariat.

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka” (QS. Al An’am: 159).

Syaikh Shalih bin Abdillah Al Ushaimi ketika menjelaskan ayat ini beliau mengatakan:

و المراد بتفريق الدين: تعظيم بعضه و اتخاذه شعارا و هجر غيره من الأحكام الإسلام و عدم الانتهاض إليه

“Yang dimaksud dengan memecah belah agama adalah mengagungkan sebagian ajaran agama dan menjadikannya sebagai syiar sambil meninggalkan ajaran agama dan hukum Islam yang lainnya, serta tidak menegakkannya” (Syarah Fadhlul Islam, 41).

Maka dari beberapa penjelasan di atas, jelaslah bahwa makna tafarruq (berpecah belah) adalah:

  1. Mengikuti hawa nafsu dalam beragama, yaitu dengan berbuat bid’ah
  2. Meninggalkan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
  3. Mengambil sebagian agama dan meninggalkan sebagian

Orang-orang yang melakukan hal-hal di atas maka ia telah memecah belah agama dan memecah belah umat.

Sedangkan orang-orang yang mengajak untuk kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah, mengajak untuk kembali pada tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak memisah-misahkan ajaran agama, maka mereka adalah orang-orang yang bersatu di atas kebenaran walaupun sedikit. Oleh karena itulah Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”

Dalam riwayat yang lain:

وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى

“Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70).

Kesimpulan

Tafarruq atau perpecahan itu dilarang dalam agama. Persatuan umat itu diperintahkan dalam agama. Namun persatuan yang benar adalah persatuan di atas akidah yang benar berdasarkan al Qur’an dan as Sunnah. Orang yang mengajak untuk memurnikan akidah yang benar berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, merekalah orang yang mempersatukan umat.

Dan tafarruq artinya adalah berbuat bid’ah dalam agama, meninggalkan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta mengambil sebagian agama dan meninggalkan sebagiannya. Inilah mereka yang memecah belah agama dan memecah belah umat.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id