Utang Puasa Selama 200 Hari

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya:

Seorang wanita berusia lima puluh tahun tengah menderita diabetes (penyakit gula), sementara puasa baginya adalah suatu hal yang sangat memberatkan karena kondisinya yang seperti itu. Kendati demikian ia tetap berpuasa pada bulan Ramadhan, hanya saja ia tidak tahu bahwa hari-hari haidhnya selama beberapa tahun lalu itu, maka ia harus meng-qadha puasa selama dua ratus hari, bagaimanakah hukumnya yang dua ratus hari ini, sebab kini ia sedang sakit? Apakah Allah mengampuni apa yang telah lalu itu, ataukah ia tetap harus berpuasa dan memberi makan orang yang berpuasa? Apakah mesti memberi makan kepada orang yang berpuasa, atau memberi makan kepada sembarang orang miskin?

Jawaban:

Jika keadaannya seperti yang digambarkan oleh penanya, yaitu puasa akan membahayakan dirinya karena usianya yang telah lanjut atau karena penyakit yang dideritanya, maka ia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak hari tersebut. Begitu juga dengan puasapuasa yang akan datang jika berpuasa itu menyulitkan baginya dan tidak ada harapan untuk keluar dari kesulitannya itu, yaitu harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya (Durus wa Fatawa al-Haram al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/64).

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI, 2010

Read more https://konsultasisyariah.com/2382-utang-puasa.html

Hukum Sholat Jama’ah di Wilayah Zona Hijau Saat Wabah Covid19

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan ustadz saya mau tanya lagi
Ini kan Alhamdulillah di tempat saya kota Tegal yg sebelum nya zona merah sudah menjadi zona hijau corona namun di daerah sekitar kota Tegal seperti kabupaten Tegal brebes pemalang masih zona merah seperti yg di katakan pak gubernur ganjar pranowo. Apakah dengan demikian saya yg tinggal di kota Tegal yg sudah zona hijau. Diwajibkan kembali untuk sholat berjamaah si masjid?

Sdr. Yusuf, di Tegal.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Pertama, kekhawatiran tertular penyakit, adalah uzur yang diakui oleh syari’at Islam.

Di dalam kitab Al-Inshof, Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,

وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Orang yang sakit, beruzur boleh tidak melaksanakan sholat Jumat dan sholat jama’ah di masjid. Tak ada perselisihan ulama tentang ini. Demikian pula bagi orang yang takut/khawatir tertular penyakit, juga diberi uzur tidak melaksanakan sholat Jum’at dan sholat jama’ah. (Lihat : Al-Inshof fi Ma’rifatir Rojih minal Khilaf, 2/300)

Oleh karenanya, selama di sebuah wilayah masih ada kekhawatiran tertular virus COVID-19, maka uzur tidak melaksanakan sholat Jum’at dan jama’ah di masjid, masih berlaku.

Meskipun wilayah tersebut telah berstatus zona hijau. Karena zona hijau saat ini, belum bisa dijadikan referensi meyakinkan amannya sebuah wilayah dari penularan virus ini. Hal ini karena:

– Banyaknya OTG (Orang Tanpa Gejala)
Besar kemungkinan banyak OTG yang tidak terdata.

– Ruang gerak masyarakat yang sulit dibatasi. Bahkan di wilayah yang diberlakukan PSBB pun masih banyak masyarakat membandel nekat keluyuran.

– Banyaknya masyarakat yang tidak komitmen dengan protokol pencegahan COVID-19.

– Keterbatasan alat kesehatan dan ketersediaan tenaga medis.

– Daya tampung RS di suatu wilayah juga menjadi pertimbangan.

Oleh karena itu, zona hijau tidak bisa semata-semata menjadi acuan gugurnya uzur tersebut, sampai benar-benar bisa dipastikan aman.

Kalau yang zona merah dan zona kuning, sudah jelas uzur tetap berlaku tanpa perlu pembahasan di sini.

Kedua, surat edaran Menteri Agama.

Alhamdulillah pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Agama, telah menerbitkan surat edaran panduan penyelenggaraan kegiatan keagamaan di rumah ibadah di masa Pandemi (*kami cantumkan di akhir tulisan). Ini bisa menjadi dasar pelaksanaan ibadah Jumat atau sholat jama’ah di masjid. Seraya tetap bertawakal kepada Allah.

Karena ketaatan kepada Ulil Amri, juga syariat yang diperintahkan Allah kepada umat Islam, selama keputusan tidak bertentangan dengan norma agama Islam. Dalilnya adalah firman Allah,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)

Dan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,

إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq.” (HR. Ahmad, shahih)

Dasar keputusan Menteri Agama, tidak lepas dari alasan di poin pertama, yaitu kekhawatiran tertular penyakit adalah uzur tidak jama’ah. Sehingga, wallahua’lam, keputusan tersebut tidak keluar dari norma agama, alhamdulillah.

Jika kita baca aturan yang pemerintah tetapkan sebagai panduan ibadah di masa Pandemi, menunjukkan adanya upaya menghilangkan kekhawatiran tersebut. Sementara kaidah fikih mengatakan,

الحكم يدور مع علته وجودا و عدما

“Ada dan tidaknya suatu hukum, bergantung pada ada dan tidaknya illat (alasan) hukum.”

Artinya, selama masih ada kekhawatiran, maka hukum berupa uzur tidak jama’ah di masjid masih berlaku. Selama kekhawatiran itu tidak ada, maka uzur tidak jama’ah di masjid berubah menjadi tidak berlaku.

Ketiga, taat Ulil Amri secara utuh.

Tidak cukup sekedar semata-mata mendengar judul berita, wacana “New Normal” atau warta “Pemerintah Sudah Membolehkan Pelaksanaan Ibadah di Rumah Ibadah”, kemudian dijadikan dasar membuka masjid untuk sholat jama’ah dan Jumat, tanpa membaca dan menerapkan detail aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah.

Jika dasarnya adalah taat kepada Ulil Amri, maka silahkan laksanakan taat itu secara utuh.

Kami yakin, pemerintah kita tidak akan mengizinkan masjid membuka sholat jama’ah atau Jumat, tanpa menjalankan protokol pencegahan COVID-19 untuk rumah ibadah. Sehingga membuka masjid untuk sholat jama’ah dan Jumat, tanpa menjalankan aturan yang berlaku, tidak disebut sebagai amal sholih taat Ulil Amri. Lebih tepat disebut melanggar daripada taat.

Bagi masyarakat yang ingin membuka kembali masjidnya, harus siap melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan Kemenag berikut ini:

1. Rumah ibadah yang dibenarkan untuk menyelenggarakan kegiatan berjamaah/kolektif adalah yang berdasarkan fakta lapangan serta angka R-Naught/RO dan angka Effective Reproduction Number/Rt, berada di kawasan/lingkungan yang aman dari COVID-19.

Hal itu ditunjukkan dengan Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman COVID-19 dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan sesuai tingkatan rumah ibadah dimaksud, setelah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat bersama Majelis-majelis Agama dan instansi terkait di daerah masing-masing. Surat Keterangan akan dicabut bila dalam perkembangannya timbul kasus penularan di lingkungan rumah ibadah tersebut atau ditemukan ketidaktaatan terhadap protokol yang telah ditetapkan.

2. Pengurus rumah ibadah mengajukan permohonan surat keterangan bahwa kawasan/lingkungan rumah ibadahnya aman dari COVID-19 secara berjenjang kepada Ketua Gugus Kecamatan/ Kabupaten/Kota/Provinsi sesuai tingkatan rumah ibadahnya.

3. Rumah ibadah yang berkapasitas daya tampung besar dan mayoritas jemaah atau penggunanya dari luar kawasan/lingkungannya, dapat
mengajukan surat keterangan aman COVID-19 langsung kepada pimpinan daerah sesuai tingkatan rumah ibadah tersebut.

4. Kewajiban pengurus atau penanggung jawab rumah ibadah:

  • a. Menyiapkan petugas untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di rumah ibadah.
  • b. Melakukan pembersihan dan desinfeksi berkala.
  • c. Membatasi jumlah pintu/jalur keluar masuk rumah ibadah untuk pengawasan protokol kesehatan.
  • d. Menyediakan fasilitas cuci tangan, sabun, atau hand sanitizer di pintu keluar masuk rumah ibadah.
  • e. Menyediakan alat pengecekan suhu di pintu dan tidak membolehkan jamaah dengan suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat Celcius masuk rumah ibadah.
  • f. Menerapkan pembatasan jarak minimal satu meter.
  • g. Melakukan pengaturan jumlah jemaah/pengguna rumah ibadah yang berkumpul dalam waktu bersamaan.
  • h. Mempersingkat waktu pelaksanaan tanpa mengurangi kesempurnaan beribadah.
  • i. Memasang himbauan penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah pada tempat-tempat yang mudah terlihat.
  • j. Membuat surat pernyataan kesiapan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan.
  • k. Memberlakukan penerapan protokol kesehatan secara khusus bagi jamaah dari luar lingkungan rumah ibadah.

5. Kewajiban masyarakat yang akan melaksanakan kegiatan di rumah ibadah:

  • a. Jamaah dalam kondisi sehat.
  • b. Meyakini rumah ibadah yang digunakan memiliki Surat Keterangan aman COVID-19 dari pihak yang berwenang.
  • c. Menggunakan masker/masker wajah sejak keluar rumah dan selama berada di area rumah ibadah.
  • d. Menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer.
  • e. Menghindari kontak fisik seperti bersalaman atau berpelukan.
  • f. Menjaga jarak antar jamaah minimal satu meter.
  • g. Menghindari berdiam lama di rumah ibadah atau berkumpul di area rumah ibadah selain untuk ibadah wajib.
  • h. Melarang beribadah di rumah ibadah bagi anak-anak dan warga lanjut usia yang rentan tertular penyakit, serta orang dengan sakit bawaan yang berisiko tinggi terhadap COVID-19.
  • i. Ikut peduli terhadap penerapan pelaksanaan protokol kesehatan di rumah ibadah sesuai dengan ketentuan.

6. Penerapan fungsi sosial rumah ibadah meliputi kegiatan pertemuan masyarakat, misal akad pernikahan/perkawinan, tetap mengacu pada ketentuan di atas dengan tambahan ketentuan sebagai berikut:

  • a. Memastikan semua peserta yang hadir dalam kondisi sehat dan negatif COVID-19.
  • b. Membatasi jumlah peserta yang hadir maksimal 2O% (dua puluh persen) dari kapasitas ruang dan tidak boleh lebih dari 30 orang.
  • c. Pertemuan dilaksanakan dengan waktu seefisien mungkin.

(Sumber : Surat Edaran Menteri Agama RI, Nomor : SE 15 Tahun 2020)

Jika siap melaksanakan aturan di atas, maka silahkan dibuka masjidnya dan berargumen dengan taat kepada Ulil Amri. Namun jika belum siap, mari berpindah pada argument taat Ulil Amri dalam judul yang berbeda. Tetap beribadah di rumah aja dulu.

Demikian. Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta dan Pengasuh Situs thehumairo.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36419-hukum-sholat-jamaah-di-wilayah-zona-hijau-saat-wabah-covid19.html

Bacaan Istighfar, Arti dan 10 Keutamaan yang Luar Biasa

Istighfar adalah memohon maghfirah (ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa saja keutamaan dan bagaimana bacaan serta artinya? Berikut ini pembahasannya.

Tiada manusia yang bebas dari dosa. Kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ma’shum, senantiasa dipelihara Allah dari dosa dan kesalahan. Allah mengajarkan kepada manusia untuk beristighfar sebagai salah satu bentuk taubat. Memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keutamaan Istighfar

Begitu banyak keutamaan istighfar yang bisa kita dapatkan dalam Al Quran dan hadits. Para ulama pun menyebutkannya dalam kitab-kitab fadhilah amal. Misalnya Imam Nawawi dalam Al Adzkar dan Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib.

1. Mendapat ampunan Allah

Siapa yang sungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah, dia akan mendapat ampunan-Nya. Maka ketika kita terpeleset dalam dosa, segeralah beristighfar, memohon ampun kepada-Nya.

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisa: 110)

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ وَعِزَّتِكَ يَا رَبِّ لاَ أَبْرَحُ أُغْوِى عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِى أَجْسَادِهِمْ. قَالَ الرَّبُّ وَعِزَّتِى وَجَلاَلِى لاَ أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِى

Sesungguhnya syetan berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku akan selalu menyesatkan hamba-hamba-Mu selama ruh mereka ada dalam jasad mereka.” Lalu Allah berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku akan selalu mengampuni mereka selama mereka memohon ampunan kepada-Ku.” (HR. Ahmad dan Hakim; hasan)

Dengan memperbanyak istighfar, sungguh-sungguh memohon ampun dan bertaubat kepada Allah, dosa sebanyak apa pun akan diampuni-Nya. Meskipun setinggi awan di langit maupun sebanyak buih di lautan.

قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى

Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu memohon dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu betapapun banyaknya (dosa) yang ada pada dirimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sekiranya dosa-dosamu mencapai awan di langit lalu kamu memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi; hasan lighairihi)

2. Mendapatkan rahmat Allah

Dengan banyak beristighfar, seseorang akan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan doa Nabi Salih ‘alaihis salam:

قَالَ يَاقَوْمِ لِمَ تَسْتَعْجِلُونَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ لَوْلَا تَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dia (Shalih) berkata, “Hai kaumku, mengapa kalian meminta disegerakan suatu keburukan sebelum kebaikan? Mengapakah kalian tidak memohon ampun kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat.” (QS An-Naml : 46)

3. Mendapat keberuntungan

Orang yang banyak beristighfar, ia akan mendapatkan keberuntungan. Terutama keberuntungan di akhirat. Begitu catatan amalnya banyak istighfar, yang didapatkan adalah keberuntungan demi keberuntungan di fase berikutnya hingga menuju surga.

طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِى صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

“Beruntunglah orang yang di dalam catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah; shahih)

4. Mendapat kebahagiaan

Pada yaumul hisab, ketika semua orang mendapatkan catatan amalnya, mereka ketakutan saat melihat keburukan demi keburukan yang telah dikerjakannya tercatat rapi dalam buku itu. Namun bagi orang yang banyak beristighfar, ia justru bergembira pada hari itu.

مَنْ أَحَبَّ أَنْ تَسُرَّهُ صَحِيْفَتُهُ فَلْيُكْثِرْ فِيْهَا مِنَ الْاِسْتِغْفَارِ

“Barangsiapa yang ingin catatan amalnya menyenangkannya, maka perbanyaklah istighfar.” (HR. Baihaqi; hasan)

5. Hujan dan keberkahan langit

Istighfar juga mendatangkan keberkahan langit, di antaranya dalam bentuk hujan. Sebagaimana Nabi Nuh ‘alaihi salam mengajarkan kepada umatnya.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. (QS. Nuh: 10-11)

Ibnu Katsir rahimahullan menjelaskan dalam tafsirnya, karena kandungan ayat ini, Surat Nuh disunnahkan dibaca saat Shalat Istisqa’.

6. Membuka pintu rezeki

Dengan banyak beristighfar, Allah membukakan pintu rezeki. Sehingga orang yang banyak beristighfar, mudah saja bagi Allah untuk membuatnya kaya.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh: 12)

“Nuh menghubungkan istighfar dengan rezeki-rezeki ini,” kata Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an. “Pada beberapa tempat dalam Al Qur’an juga disebutkan secara berulang-ulang kaitan kebaikan hati dan istiqamahnya pada petunjuk Allah dengan kemudahan rezeki dan kemakmuran.”

7. Mendapatkan keturunan

Dalam Surat Nuh ayat 12 tersebut, keutamaan istighfar bukan hanya Allah membanyakkan harta tetapi juga membanyakkan anak-anak. Maka orang yang banyak beristighfar, Allah mudahkan mendapatkan keturunan meskipun sudah bertahun-tahun seorang istri tidak hamil.

Keutamaan ini dipahami banyak ulama sehingga mereka menganjurkan orang yang ingin punya anak agar banyak beristighfar. Demikian pula ketika ada seseorang mengadu kepada Hasan Al Basri karena sudah lama menikah tapi belum punya anak. Lalu Hasan Al Basri menasehatkan, “Beristighfarlah kepada Allah”.

8. Keberkahan bumi

Selain keberkahan langit dengan diturunkannya hujan yang lebat dan bermanfaat, istighfar juga mendatangkan keberkahan bumi. Di antaranya dengan suburnya kebun-kebun dan mengalirnya air di sungai-sungai.

“Semuanya itu dengan syarat apabila kamu bertaubat kepada Allah dan memohon ampun serta taat kepada-Nya. Maka Dia akan memperbanyak rezeki kalian dan menyirami kalian dengan keberkahan dari langit dan menumbuhkan bagi kalian keberkahan bumi,” terang Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.

“Sehingga bumi menjadi subur menumbuhkan tetanamannya dan menyuburkan bagi kalian air susu ternak kalian dan memberimu banyak harta dan anak-anak dan menjadikan bagi kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan dan di tengah-tengahnya dibelahkan sungai-sungai yang mengalir.”

9. Ditambah kekuatannya

Orang yang banyak beristighfar, akan ditambah kekuatannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa,’” (QS. Hud: 52).

10. Dikabulkan doanya

Keutamaan istighfar berikutnya adalah, orang yang banyak beristighfar akan dikabulkan doanya. Bukankah yang menghalangi terkabulnya doa adalah dosa dan kemaksiatan? Sementara dosa-dosa itu terhapus dengan istighfar.

Banyak kisah para ulama mengenai terkabulnya doa orang yang banyak beristighfar ini. Bahkan kadang cara pengabulannya unik dan tak disangka-sangka. Seperti seorang laki-laki yang banyak beristighfar, semua doanya dikabulkan kecuali satu yakni bertemu Imam Ahmad.

Imam Ahmad yang mendengar langsung dari orang di depannya itu terperanjat. “Berarti aku kemalaman di desa ini, lalu diusir dari masjid dan menumpang di rumahmu merupakan cara Allah mengabulkan doamu. Akulah Ahmad bin Hanbal,” kata beliau kepada laki-laki tadi.

Baca juga: Ayat Kursi

Bacaan Istighfar dan Artinya

Banyak bacaan istighfar yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau sendiri beristighfar minimal 70 kali dalam sehari semalam, bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan minimal 100 kali. Padahal dosa-dosa beliau telah dijamin diampuni Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.

1. Istighfar singkat

Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah biasa membaca istighfar singkat ini tiga kali setelah sholat.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

(Astaghfirullah)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah.

Ada pula yang lebih panjang sedikit tapi tetap tergolong singkat.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ

(Astaghfirullahal ‘adhiim)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung.

2. Penghapus dosa sebanyak buih

Bacaan istighfar ini lebih panjang dengan keutamaan yang luar biasa. Yakni menghapus dosa meskipun dosanya sebanyak buih di lautan. Bahkan kalaupun pernah lari dari peperangan, sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

(Astaghfirullah alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa atuubu ilaih)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah. Yang tidak ada ilah kecuali Dia yang Maha Hidup lagi terus menerus Mengurus makhluknya. Dan aku bertaubat kepada-Nya.

bacaan istighfar

Dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan al adhiim sehingga menjadi:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

(Astaghfirullahal ‘adhiim alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa atuubu ilaih)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung. Yang tidak ada ilah kecuali Dia yang Maha Hidup lagi terus menerus Mengurus makhluknya. Dan aku bertaubat kepada-Nya.

3. Astaghfirullah wa atubu ilaih

Disebutkan Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, bacaan istighfar ini sering dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga membacanya pada saat Fathu Makkah.

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

(Subhaanallahi wabihamdih astaghfirullah wa atuubu ilaih)

Artinya: Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Istighfar astaghfirullah wa atuubu ilaihi inilah yang paling sering dibaca Rasulullah. Minimal 70 kali dalam sehari semalam.

4. Sayyidul istighfar

Sayyidul istighfar ini sangat istimewa. Memang lafadznya lebih panjang daripada bacaan lainnya, tetapi ia sangat ringan jika dibandingkan keutamannya yang luar biasa.

Rasulullah mensabdakan, siapa yang membacanya di siang hari dengan yakin kemudian ia meninggal di hari itu, maka ia termasuk penghuni surga. Siapa yang membacanya di malam hari dengan yakin kemudian ia meningga di malam itu, maka ia juga termasuk penghuni surga.

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّى ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِى ، اغْفِرْ لِى ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

Artinya: Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkau Yang telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berusaha semampuku untuk selalu berada dalam pemeliharaan dan janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari akibat buruk perbuatanku. Aku akui nikmat-Mu atas diriku dan aku juga mengakui betapa besarnya kesalahanku. Maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

sayyidul istighfar

Waktu Terbaik dan Berapa Banyak Membacanya

Kapan waktu terbaik membaca istighfar dan berapa banyak membacanya? Pada intinya, kita dianjurkan untuk banyak beristighfar.

Berapa banyak bilangannya? Rasulullah mencontohkan, beliau beristighfar minimal 70 kali dalam sehari semalam, bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan minimal 100 kali. Padahal dosa-dosa beliau telah dijamin diampuni Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.

Mestinya kita yang banyak dosa dan tidak ada jaminan diampuni, lebih banyak lagi beristighfar. Para ulama telah memberikan keteladanan yang baik. Mereka bisa beristighfar ribuan kali dalam sehari semalam.

Kapan waktu terbaik beristighfar? Pertama, setelah sholat. Khusus untuk dzikir dan doa setelah sholat, Rasulullah mencontohkan beristighfar tiga kali.

Kedua, pagi dan petang. Rasulullah mencontohkan untuk membaca sayyidul istighfar dalam dzikir pagi dan petang. Ini pula yang diamalkan banyak ulama, termasuk dalam Al Ma’tsurat yang disusun Hasan Al Banna.

Ketiga, waktu sahur. Sebagaimana firman Allah: “(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17)

Keempat, setelah menyadari telah berbuat dosa. Membaca istighfar di waktu ini harus lebih bersungguh-sungguh karena merupakan bentuk kesungguhan taubat.

Kelima, ketika menutup majelis. Yakni beristighfar dengan membaca doa kafaratul majlis.

Keenam, di waktu-waktu lainnya. Sebagaimana nasehat Hasan Al Basri: “Perbanyaklah istighfar di rumah kalian, di meja makan kalian, di jalan-jalan kalian, di pasar dan di majlis-majlis kalian. Sungguh kalian itu tidak tahu kapankah ampunan Allah turun.”

Demikian pembahasan tentang istighfar mulai dari keutamaan, bacaan hingga waktu terbaik. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkannya sehingga mendapat ampunan dari Allah dan keutamaan lainnya. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]






Tanda-tanda Cinta Allah kepada Kita

KALAU sudah mulai santai dan tak terlalu sibuk, mari kita evaluasi diri kita dengan bertanya kepada diri kita sendiri satu pertanyaan saja: “Apakah kita termasuk orang yang dicintai Allah?” Kira-kira apa jawaban kita dan apa ukurannya? Tak usah bingung dalam menjawabnya, saya sampaikan satu pedoman kecil sebagai jawaban dasarnya.

Abu Abdillah al-Saji menceritakan bahwa ada orang yang bekata kepadanya: “Ketahuilah bahwa salah satu tanda atau indikasi Anda adalah dicintai Allah adalah jika bertambahnya amal kebaikan untuk akhiratmu itu lebih membahagiakan hatimu ketimbang bertambahnya harta duniamu.”

Dua hal yang perlu ditanyakan pada diri kita: pertama, apakah amal kebaikan kita untuk akhirat kita bertambah atau bahkan mengurang jika dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya?; jika jawabannya iya, maka masuklah pada pertanyaan kedua yakni apakah kita bahagia atau merasa terpaksa dalam melakukan amal kebaikan untuk akhirat kita?

Ada banyak orang yang bersorak dan berpesta pora karena telah berhasil menduduki jabatan penting atau berhasil mendapatkan keuntungan duniawi yang luar biasa. Pernahkah Anda melihat ada kebahagiaan besar yang luar biasa karena telah bisa berpuasa dan shalat tarawih serta beramal baik lainnya di bulan Ramadlan? Sekedar renungan saja. Semoga kita dalam ampunan dan bimbingan Allah. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Apakah Boleh Shalat Merenggangkan Shaf Satu Meter di Musim Wabah?

Terkait hal ini ada perbedaan pendapat dan fatwa ulama kontemporer di zaman ini. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Dalam hal ini kita berlapang-lapang menerima perbedaan pendapat ini. Dasar perbedaan mereka yaitu

1. Apakah merapatkan shaf hukumnya sunnah atau wajib?

Apabila sunnah, maka hal yang disunnahkan boleh ditinggalkan. Terlebih ada hajat dan udzur

2. Apabila wajib, bolehkan yang wajib ini gugur dengannya udzur?

Ulama yang membolehkan menyatakan yang wajib bisa gugur apabila ada bahaya, sebagaimana shalat di masjidil haram dan masjid Nabawi karena sangat luas (dan ini udzur), terkadang shaf banyak yang tidak menyambung, tapi masih dianggap shalat berjamaah dan bagian dari shalat berjamaah

Terlebih udzurnya adalah bahaya, dalam hadits:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain. (HR. Ahmad)

Banyak mengambil faidah dari tulisan berikut ini!

Penyusun: Raehanul Bahraen

Muslim Afiyah

Inilah Daftar Kasus Jamaah Haji Gagal Berangkat di Indonesia

Pemerintah melalui Kementerian Agama pada Selasa (2/6), telah mengumumkan keputusan tidak memberangkatkan jamaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi pada musim haji 2020. Hal tersebut lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 dan Arab Saudi yang tak kunjung memutuskan apakah perhelatan haji tahun ini jadi atau tidak.

Namun ternyata, kasus jamaah haji gagal berangkat asal Indonesia tidak hanya terjadi di tahun ini. Meskipun, skalanya tidak sebesar jamaah haji gagal berangkat pada 2020 ini yang sifatnya nasional. Berikut ini adalah beberapa kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia.


*1456
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Manshur Shah. Gagal berangkat karena menunggu kapal yang tidak kunjung tiba

*1477
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Shah. Gagal berangkat jarena kapal tidak datang


*1940-1945
Tak ada pengiriman jamaah haji dari Hindia Belanda karena larangan penjajah Belanda dan Jepang akibat perang dunia kedua


*1945-1948

Tak ada pengiriman jamaah haji dari Indonesia secara resmi. Hal ini berdasarka fatwa KH Hasyim Asyari yang mengharamkan pergi haji karena kemerdekaan bangsa terancam direbut kembali oleh penjajah. Fatwa ini menjadi dasar pijakan Menag Fathurrahman Kafrawi untuk mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama No. 4/1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang.


*1967

a. Yayasan Dana Bantuan dan Tabungan Haji Indonesia (YDBTHI)  gagal memberangkatkan jamaah hajinya karena sistem yang dilakukan tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan yayasan.

b.  Yayasan Al-Ikhlas gagal memberangkatkan ratusan jamaah haji karena tidak berkoordinasi dengan pihak pelayaran ada tahun 1966.

*1970

Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Muallim) gagal berangkatkan 1.000 jamaah haji karena belum daftarkan jamaahnya pada PT Arafat sebagai penyelenggara perjalanan haji melalui kapal laut.

*1978

Banyak  jamaah haji yang telah mendaftar dan masuk dalam manifest keberangkatan PT Arafat, namun tak berangkat. Ini karena izin operasionalnya dicabut oleh Departemen Perhubungan.

*1995

Jumlah jamaah haji pada saat itu telah melebih kuota sebanyak 180.000 jamaah. Sehingga, terdapat ribuan jamaah yang terpaksa tidak bisa berangkat dan waktu itu menjadi keresahan nasional. Itulah yang kemudian menghilhami dibangunnya Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).

*2004

Hal serupa terjadi lagi pada 2004 ketika Pemerintah RI meminta tambahan kuota kepada Pemerintah Arab Saudi sebanyak 30 ribu jamaah. Sayangnya, pemerintah terlanjur mengumumkan dan mempersiapkan tambahan kuota tersebut. Padahal, Pemerintah Arab Saudi belum mengabulkan. Hal tersebut cukup menghebohkan, sehingga penyelenggaraan haji kala itu dikritik dan mendapat catatan dari masyarakat. Sebanyak 30 ribu jamaah haji tidak jadi berangkat dan diprioritaskan pada tahun berikutnya.

*2020

Kementerian Agama memutuskan tidak memberangkatkan 221 ribu jamaah haji yang siap berangkat. Ini lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 yang membuat Arab Saudi tak kunjung memutuskan nasib penyelenggaraan haji. Sehingga, persiapan yang dilakukan Kemenag RI untuk melayani jamaaj habi tak akan terkejar.

photo
infografis deretan kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia. – (Republika)



Sumber: Haji Dari Masa ke Masa (2012) / Kemenag

IHRAM

Niat Calon Jamaah Haji 2020 Sudah Dicatat Allah

Kesedihan meliputi calon jamaah haji Indonesia yang gagal berangkat pada tahun ini. Hal tersebut lantaran pemerintah memutuskan tidak mengirimkan jamaah haji akibat masih terjadinya pandemi covid-19 dan belum adanya kepastian dari Arab Saudi soal penyelenggaraan ibadah haji.

Namun, meski calon jamaah haji yang dinyatakan berhak berangkat pada tahun ini, insya Allah niat hajinya sudah dicatat Allah. Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitab Fadhilah Haji mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Disebutkan “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”

Maulana Zakariyya juga mengutip pernyataan, Sa’id bin Al Musayyib, seorang ulama yang termasuk golongan tabi’in berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umroh atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”

Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sumatra Barat, Shofwan Karim juga berpendapat, niatan dari calon haji untuk menunaikan rukun Islam keenam sudah dicatat oleh Allah SWT walaupun pelaksanaan haji harus tertunda dulu.

“Niat mereka (calon jamaah haji) sudah sampai. Allah akan memberikan ganjaran bagi mereka yang sudah berniat. Kondisi sekarang sudah di luar kemampuan kita sebagai manusia. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa naik haji,” kata Shofwan kepada Republika beberapa hari lalu.

IHRAM

Shalat Berjamaah dan Jumat Ketika Ada Wabah

[Rubrik: Sekedar Sharing]

Ada banyak pendapat ulama dan fatwa yang membolehkan untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah dan shalat jumat apabila ada wabah yang cepat menular di suatu tempat, bahkan sejarahnya disebutkan oleh Az-Zahabi bahwa dahulu masjid di Mesir dan Andulusia pernah ditutup dan dikosongkan karena wabah pada tahun 448 H.

Pemerintah Indonesia dan MUI mengeluarkan “himbaun” bukan suatu keharusan, sehingga keputusan shalat berjamaah atau tidak dikembalikan pada daerah masing-masing dan kebijakan masing-masing sesuai dengan pertimbangan kepala daerah setempat, para ustadz dan ahli medis setempat.

Kita hendaknya tidak saling mencela, Apabila shalat berjamaah dan jumat diputus tidak ada, kita hormati dan shalat di rumah masing-masing-masing. Apabila hendak shalat berjamaah, maka pastikan agar tidak kita mencegah penyebaran dan penularan. Misalnya, membawa sajadah sendiri, shalat dan khutbah ringkas, bersihkan lantai dan dinding dengan disinfektan, kalau bisa masjid menyediakan hand sanitizer, hindari bersalaman. Apabila sakit hendaknya shalat dirumah saja.

Semoga Allah segera mengangkat wabah dari Indonesia dan rumah

Penyusun: Raehanul Bahraen Artikel www.muslimafyah.com

Shalat Berjamaah di Fase New Normal Wabah

Sering muncul pertanyaan apakah kita tetap shalat berjamaah terkait dengan adanya penerapan konsep new normal wabah covid19. Jawabanya: untuk fatwa, kita kembalikan kepada ustadz setempat yang telah berkonsultasi atau berkoordinasi dengan pemerintah dan dinas kesehatan setempat. 

  1. Ada ustadz setempat yang berfatwa yang boleh shalat berjamaah
  2. Ada ustadz setempat yang berfatwa jangan shalat berjamaah sementara dahulu, bersabar sebentar setelah wabah berakhir kita shalat berjamaah kembali

Kami menekankan pada kata-kata “berkonsultasi”, karena ustadz setempat yang berfatwa perlu mengetahui gambaran kasus yang benar (tashawwur yang benar), sehingga dapat mengeluarkan fatwa yang benar pula. Apabila gambaran kasusnya (tashawwur) tidak tepat, maka fatwa juga tidak tepat. Dalam hal ini bukan ustadznya yang salah, tetapi salah informasi yang masuk atau salah memahami gambaran kasusnya. Inilah maksud dari kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

  1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
  2. tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Fatwanya bisa berbeda-beda setiap tempat, karena setiap tempat kondisinya berbeda-beda dan kebijakan pemerintah setempat berbeda-beda serta data di dinas kesehatan berbeda-beda.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa fatwa dan hukum berubah sesuai keadaan ‘urf (kebiasaan) dan mashalahat keadaan saat itu. Beliau berkata

فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد والأحوال

“Sesungguhnya fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat istiadat dan kondisi.” [I’lamul Muwaqqi’in 6/114]

CATATAN PENTING terhadap kaidah di atas, yang berubah adalah fatwa yang terkait dengan ‘urf dan mashlahat keadaan saat itu, BUKAN dengan hukum syariat yang telah pasti dan tidak berubah sepanjang masa misalnya hukum shalat lima waktu, apapun hukumnya tetap wajib ‘ain.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

التغير في الفتوى ، لا في الحكم الشرعي الثابت بدليله

“Yang berubah adalah fatwa, bukan hukum syariat yang telah tetap dengan dalil”

Sebagai contoh: Fatwa bolehnya makan babi karena darurat dan hanya ada daging babi saat itu, apabila tidak makan bisa mati.

Hukum makan babi adalah haram secara syariat dan tidak akan berubah, tetapi fatwa saat itu dan kondisi saat itu saja hukum makan babi menjadi boleh karena darurat.

Dalam kesempatan lain Ibnul Qayyim  menjelaskan bahwa hukum ada dua yaitu yang tidak berubah sepanjang masa dan hukum yang berubah sebagaima kami jelaskan di atas. Beliau berkata,

الأحكام نوعان:

النوع الأول: نوع لا يتغير عن حالة واحدة هو عليها، لا بحسب الأزمنة ولا الأمكنة، ولا اجتهاد الأئمة، كوجوب الواجبات، وتحريم المحرمات، والحدود المقدرة بالشرع على الجرائم ونحو ذلك، فهذه لا يتطرق إليه تغيير، ولا اجتهاد يخالف ما وضع له.

والنوع الثاني: ما يتغير حسب المصلحة له، زماناً ومكاناً وحالاً، كمقادير التعزيرات، وأجناسها، وصفاتها، فإن الشارع ينوع فيها بحسب المصلحة”. انتهى

“Hukum ada dua macam

  1. Hukum tidak berubah dari satu keadaan dan terus-menerus hukumnya seperti itu. Tidak berubah sesuai dengan waktu, tempat dan ijtihad para imama seperti kewajiban hukum yang wajib, keharaman hukum yang haram, hukuman hadd yang telah ditetapkan syariat pada beberapa kejahatan. Hukum ini tidak berubah dan tidak ada ijtihad yang dapat menyelisihi yang telah ditetapkan
  2. Hukum yang berubah sesuai dengan kemashalahatan terkait dengan waktu, tempat dan keadaan seperti kadar hukum ta’zir, jenis dan tata caranya sesuai dengan mashlahat.” [Ighatsatul Lahfan 1/330]

Hukum shalat berjamaah ini telah kami tulis di juga di awal-awal terjadinya wabah covid19 tanggal 20 maret dan penjelasannya masih sama. Silakan baca: Shalat Berjamaah dan Jumat Ketika Ada Wabah, di artikel selanjutnya!

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56875-shalat-berjamaah-di-fase-new-normal-wabah.html

Enam Nasihat Al-Ghazali

Al Ghazali memberikan enam nasihatnya.

Imam al-Gazali (wafat 1111 M) adalah ulama terkemuka dan termasyhur dalam dunia Islam memberi petuah lewat pertanyaan. Ia sangat mumpuni dalam bidang syariah (fikih, kalam, filsafat, dan tasawuf). Karya-karyanya begitu banyak dijadikan rujukan dan memberi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Imam al-Ghazali bertanya kepada murid-muridnya akan enam hal biasa, tapi kemudian dijawab dengan luar biasa sebagai sebuah petuah.

Pertama, “Apakah yang paling dekat dengan diri kita?” Murid-muridnya menjawab: “Orang tua, guru, teman dan kerabat.” Sang Imam menghargai jawaban itu meski tidak sesuai harapan. Lalu beliau berkata: “Yang paling dekat adalah kematian.” Sebab, setiap yang bernyawa pasti mati (QS [3]:185, [29]: 57, [21]: 35), tanpa diduga (QS [21]: 34), sudah pasti dan tak bisa dipercepat atau diperlambat (QS [10]: 49, [63]: 11), dan tak bisa dihindari (QS [4]: 78, [62]: 8).

Kedua, “Apakah yang paling jauh dari diri kita?” Murid-muridnya menjawab: “Negeri Cina, Bulan, Matahari, dan Bintang.” Sang Imam berkata: “Yang paling jauh adalah waktu yang telah berlalu.” Waktu tak pernah berhenti hingga akhir masa (kiamat). Jika berlalu, tak pernah kembali. Semenit yang berlalu, lebih jauh dari seribu tahun yang akan datang. Dalam Alquran sedikitnya ada 224 kali dijelaskan tentang waktu, termasuk Allah bersumpah atasnya.

Ketiga, “Apakah yang paling besar di dunia ini?” Ada yang menjawab dengan gunung, Matahari, Bumi, dan lainnya. Al-Ghazali menjawab: “Yang paling besar adalah hawa nafsu.” Manusia bisa bertindak seperti binatang atau bahkan lebih hina karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. (QS [7]: 179). Kita lihat, pejabat negara, politikus, birokrat, orang tua, guru dan siapa saja tertunduk malu karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, baik syahwat, kekuasaan, maupun harta benda (korupsi).

Keempat, “Apakah yang paling berat di muka bumi ini?” Muridnya menjawab: “Baja, gulungan besi, gajah, dan lain-lain. Beliau melanjutkan: “Yang paling berat adalah amanah.” Manusia diutus ke muka bumi ini untuk menjadi khalifah (QS [2]: 30) dan diberi amanah memakmurkan alam semesta (QS [11]:61).

Kelima, “Apakah yang paling ringan di dunia ini?” Ada yang menjawab, yang paling ringan adalah kapas, angin, debu dan dedaunan kering. Al-Ghazali menjawab: “Yang paling ringan adalah meninggalkan shalat.” Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikannya berarti menegakkan agama dan siapa meninggalkan sama dengan ia meruntuhkan agama. (HR Tabrani). Ringan dan mudah meninggalkannya, tapi tidak semudah menjalankannya.

Keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?” Dijawab oleh murid-muridnya dengan pedang. Al-Ghazai berkata: “Yang paling tajam adalah lidah.” Pepatah Arab menyebutkan, “Kalau pisau melukai badan, masih ada harapan sembuh. Tapi, jika lidah melukai hati, ke mana obat akan dicari.” Pepatah lain mengatakan: “Seorang bisa mati karena terpeleset lidahnya, tapi tidak akan mati karena terpeleset kakinya.” (Khuluqul Muslim, al-Ghazali, hlm 163). Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh Hasan Basri Tanjung

KHAZANAHREPUBLIKA