Tempat Minum Rasulullah ﷺ

RASULULLAH ﷺ tipe orang yang sangat sederhana. Dalam segala hal. Kesederhanaan beliau tercermin dalam pemakaian barang-barang keseharian. Contohnya tempat minum atau gelas. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadis yang menggambarkan kesederhanaan itu.

Suatu ketika, kutip Tirmidzi, Anas bin Malik menunjukkan sebuah gelas kayu tebal yang dilingkari dengan besi dan berkata, “Ini adalah gelas Rasulullah SAW.”

Pada hadits di atas tergambar dengan jelas gelas yang digunakan oleh Nabi. Gelas itu terbuat dari kayu tebal dan dililit dengan besi. Gunanya besi itu untuk mempererat sambungan atau menutup celah sehingga tidak ada cairan yang merembes keluar. Anas bin Malik adalah pembantu yang sehari-hari melayani Rasulullah . Dia tahu betul keadaan gelas itu.

Syaik Abdurazaq bin Abdil Muhsin Al Badr, pensyarah kitabnya Imam Tirmidzi memberi catatan kaki: dalam sanad hadis di atas terdapat Husain bin Aswad Al-Baghdadi, seorang perawi yang shaduq.

Imam Bakhari dalam Ash-Shahih juga memberi gambaran betapa sederhananya tempat minum yang dipakai Nabi. Dari Ashim Al-Ahwal, ia berkata, “Aku pernah melihat mangkuk Nabi (yang) ada pada Anas bin Malik. Mangkuk tersebut sudah retak. Kemudian ia menyambungnya dengan perak.” Anas berkata, “Mangkuk ini sangat bagus terbuat dari kayu pilihan. Sungguh aku telah menuangkan minuman kepada Rasulullah  dengan mangkuk tersebut hingga sekian kali.”* Bambang S.

HIDAYATULLAH

Target Pasca Ramadhan

Munajat dan doa agar amalan diterima mesti terus dipanjatkan pasca Ramadhan

Ramadhan telah berlalu. Beragam kebaikan telah terlaksana di dalamnya. Hanya saja, kita tidak bisa memastikan diterima tidaknya amalan itu. Karena itu, munajat dan doa agar amalan diterima mesti terus dipanjatkan.

Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Jadikanlah terkabulnya amalan lebih kalian prioritaskan dari beramal itu sendiri.” (Al-Ikhlas Wanniyah, Ibnu Abi Dunya, Atsar No 7).

Berdoa agar amalan dikabulkan adalah sunah para anbiya. Dalam Alquran dikisahkan tentang Nabi Ibrahim Alaihissalam. Pasca-menyelesaikan pembangunan Ka’bah bersama putranya, Ismail, ia segera berdoa, “Rabbanan taqabbal minna innaka antassamiul alim (wahai Tuhan kami, kabulkanlah dari kami amalan kami, sesungguhnya engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).” (Al-Baqarah: 127).

Doa pada ayat di atas sangat besar manfaatnya. Selain menjadi sebab terkabulnya amalan, doa ini juga bisa mengikis benih-benih ujub yang kerap muncul disebabkan prestasi kebaikan yang kita lakukan. Ujub karena torehan kebaikan adalah sumber keburukan. Jika ini terjadi, tentu sangat fatal dan berbahaya. Bukankah iblis dijangkiti oleh keangkuhan hingga meremehkan Adam dan enggan bersujud kepadanya hanya karena merasa lebih hebat dan senior dalam kebaikan.

Selain berdoa (agar amalan terkabul) kita juga diperintahkan memperbanyak istighfar setelah menuntaskan kebaikan. Istighfar tidak saja berkaitan dengan dosa dan keburukan. Setelah melakukan kebaikan, kita juga diperintahkan istighfar.

Dalam shahih Muslim, Tsauban Radhiallahuanhu berkata, “Nabi Shallallahualaihi wasallam setelah shalat mengucapkan istighfar tiga kali.”

Hikmah dari istighfar ini adalah untuk menutupi kekurangan dalam amalan yang kita lakukan. Saat shalat, misalnya, secara lahiriah kita memang sedang melakukan kebaikan. Tapi, kekhusyukan yang merupakan ruh shalat terkadang tidak hadir secara maksimal.

Inilah bentuk kekurangan yang membutuhkan istighfar. Demikian pula dalam puasa dan ibadah yang lain, tidak luput dari kekurangan. Diterimanya amalan adalah target lanjutan setelah menuntaskan kebaikan. Target ini mesti dicapai. Sebab, hanya amalan yang dikabulkan yang akan menambah perolehan pahala.

Selain menambah pahala, amalan yang dikabulkan akan melahirkan efek positif dalam keseharian. Efek paling mencolok tentunya adalah akitivitas kebaikan yang terus berlanjut. Baik amalan berkaitan ibadah mahdhah, seperti puasa, membaca Alquran, shalat malam, atau ibadah ghaira mahdhah semisal sedekah, membantu sesama, dan lainnya.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang belum berlalu, tingkat kebutuhan kita akan eksisnya nilai kebaikan warisan Ramadhan sangat-sangat tinggi. Karena eksisnya kebaikan adalah sumber solusi dan sebab turunnya pertolongan Allah.

Ramadhan boleh berakhir, tapi kebaikan pantang berhenti. Bulan Syawal dan bulan-bulan setelahnya adalah momen pembuktian berhasil tidaknya kita di bulan Ramadhan. Karena itu, mari kuatkan azam kita untuk mempertahan kan kebaikan pasca-Ramadhan.

Semoga Allah menganugrahi kita keistiqamahan. Amin ya Rabbal Alamin.

Oleh Ahmad Rifai

KHAZANAH REPUBLIKA

Istiqamah Setelah Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )1.

Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini:

Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.

Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala  yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala  yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}

Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut”6.

Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh7.

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah8.

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala  adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit9.

Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.

Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.

{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}

Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433 H

 —

1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.

2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).

3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).

4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).

5 Ibid.

6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).

7 HSR Muslim (no. 1164).

8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).

9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

10 HSR Muslim (no. 746).

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthani, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10042-istiqamah-setelah-ramadhan.html

Apakah Rasulullah Membatalkan Perjanjian Damai dengan Yahudi?

Di awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah langsung mengikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi. Di antara perjanjian tersebut tertuang dalam Watsiqotul Madinah atau Piagam Madinah. Namun tidak sampai dua tahun beliau tinggal di Madinah, beliau memerangi dan mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dari kota tersebut. Kemudian diikuti Bani Nadhir dan Bani Quraizah. Apakah Nabi membatalkan perjanjian damai dan suka berperang seperti yang banyak dituduhkan pembenci Islam? Ataukah justru orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai tersebut?

Di antara alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan orang Yahudi karena sifat mereka yang culas. Perjanjian menjadi ikatan untuk mereka. Agar tidak terlalu berani membuat makar dan konspirasi. Namun ternyata perjanjian itu tak terlalu berpengaruh bagi mereka. Mereka berperan sebagai tetangga buruk. Berusaha menyakiti dan memberikan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran yang mereka yakini. Rasulullah menyikapi gangguan mereka dengan sabar. Hingga mereka melakukan kesalahan yang tak bisa lagi disikapi dengan diam. Rasulullah pun mengambil sikap tegas dengan memerangi mereka.

Yahudi Bani Qainuqa’

Kabilah Bani Qainuqa adalah kabilah pertama dari orang-orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak lama setelah mengikat perjanjian, pada bulan Syawwal tahun ke-2 H, mereka batalkan perjanjian itu. artinya tidak sampai dua tahun. Dada mereka begitu sempit untuk menampung kebencian yang mereka pendam terhadap kaum muslimin.

Mereka batalkan perjanjian damai dengan mengganggu kehormatan seorang wanita muslimah di Pasar Bani Qainuqa’. Lalu mereka keroyok seorang laki-laki muslim yang membelanya hingga muslim tersebut terbunuh. Tentu saja ini bukan masalah ringan. Rasulullah pun membuat perhitungan dengan mereka.

Bukannya merasa bersalah, orang-orang Yahudi malah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, janganlah kamu terpedaya oleh dirimu karena telah membunuh orang-orang Quraisy (di Badar). Mereka tidak berpengalaman dan tidak mengetahui taktik perang. Sungguh jika engkau memerangi kami. Kau akan tahu bahwa kami adalah ksatria. Dan engkau tidak pantas menandingi kami.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka di benteng mereka selama 15 malam. Akhirnya mereka ketakutan. Dan berhasil ditaklukkan tanpa peperangan. Mereka pun diusir dari Kota Madinah. Mereka pergi menuju Syam.

Yahudi Bani Nadhir

Setelah pengkhianatan Bani Qainuqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebarkan masalah. Beliau tidak menghukum orang-orang Yahudi dari kabilah lainnya. Padahal potensi pengkhianatannya sama. Inilah keadilan Islam dan kaum muslimin.

Namun, kebaikan Rasulullah ini tak berarti di mata para Yahudi. Setelah kekalahan di Perang Uhud dan terbunuhnya para sahabat Nabi di peristiwa Ar-Rjai’ dan Bi’ru Ma’unah, orang-orang Yahudi yang awalnya takut membuat makar, kembali muncul nyalinya. Pada tahun ke-4 H bulan Rabiul Awal, Yahudi Bani Nadhir membatalkan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Mereka mencoba melakukan pembunuhan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. namun beliau mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Sehingga bocorlah konspirasi busuk yang mereka buat.

Pencobaan pembunuhan ini artinya upaya membatalkan perjanjian damai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu kepada Bani Nadhir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Pergilah menemui Yahudi Bani Nadhir dan katakana kepada mereka, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku menemui kalian untuk menyampaikan pesan: Kalian harus keluar dari negeriku (Madinah). Kalian telah melanggar perjanjian yang telah aku buat bersama kalian. Karena kalian bertekan untuk mengkhianatiku. Aku beri tempo waktu kepada kalian selama sepuluh hari. Siapapun yang masih terlihat setelah itu, akan aku penggal lehernya’.”

Kemudian tokoh munafik, Abdullah bin Ubay Ibnu Salul, menggembosi orang Yahudi Bani Nadhir. Ia menjanjikan ada 2000 pasukan yang siap menolong Yahudi. Naiklah percaya diri orang-orang Yahudi. Mereka tak lagi takut dengan tenggat waktu yang diberikan Rasulullah.

Rasulullah mengepung mereka selama 15 malam. Dan bantuan dari orang-orang munafik tak kunjung datang. Mereka menyerah dan meminta jaminan keselamatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun sudah melebihi batas waktu dan menantang perang, Nabi tetap kabulkan permintaan mereka. Akhirnya, mereka pun pergi dari Kota Madinah menuju Khaibar.

Yahudi Bani Quraizhah

Dua kabilah besar Yahudi telah terbukti berkhianat dengan pelanggaran berat. Namun Rasulullah tetap tidak memperlebar masalah. Beliau tetap izinkan satu kabilah besar tersisa, Bani Quraizhah, untuk tetap tinggal di Madinah.

Ternyata, Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan yang jauh lebih besar dari dua kabilah Yahudi sebelumnya. Sebelumnya Bani Qainuqa’ membunuh seorang muslim. Bani Nadhir mencoba membunuh Nabi. Dan Bani Quraizhah jauh lebih mengerikan.

Ketika Kota Madinah dikepung 10.000 pasukan sekutu, orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di dalam kota membatalkan perjanjian. Mereka bersekutu memerangi kaum muslimin dari dalam. Artinya, bukan hanya mengancam nyawa satu orang. Atau hanya mengancam nyawa Nabi. Tapi mereka bisa menyebabkan penduduk Madinah terbantai semuanya. Padahal menurut perjanjian, jika kota Madinah diserang musuh, penduduk kota bahu-membahu melindungi negeri mereka. Ternyata mereka malah melakukan kebalikannya. Mereka bersekutu dengan musuh yang jumlahnya besar, yang sedang mengepung di luar.

Ini adalah pengkhianatan besar. Karena itu, setelah selesai menghadapi Pasukan Ahzab, Rasulullah langsung menyerang mereka. Berbeda dengan Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang mendapat maaf dari Nabi, semua laki-laki Bani Quraizhah yang telah balig dihukum mati oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara perempuan dan anak-anaknya diusir.

Yahudi Khaibar

Yahudi Khaibar bersekutu dengan tokoh-tokoh Bani Nadhir seperti: Huyai bin Akhtab, Kinanah bin Abi al-Haqiq, dan Hawdzah bin Qais. Merekalah tokoh-tokoh Yahudi yang melobi Quraisy. Bersekutu menyerang Madinah di Perang Ahzab. Mereka juga berangkat menuju Ghatafan, menjanjikan setengah dari panen mereka kalau mau bersektu di Perang Ahzab. Padahal orang-orang Ghatafan tidak ada masalah dengan Madinah.

Karena alasan inilah Nabi dan para sahabat menyerang Khaibar.

Penutup

Dari tulisan singkat ini, terbantahlah syubhat dari para pembenci Islam yang menuduh Nabi Muhammad itu penyulut peperangan. Pembatal perjanjian. Haus darah. Dll. Padahal apa yang beliau lakukan adalah sebagai respon dari kezaliman. Peperangan beliau lakukan setelah toleransi, maaf, dan belas kasihan tak berarti lagi bagi orang-orang jahat itu.

Sumber:
– Ghazawat ar-Rasul Durus wa ‘ibar wa fawaid oleh Ali Muhammad ash-Shalabi

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6475-apakah-rasulullah-membatalkan-perjanjian-damai-dengan-yahudi.html

Apakah Tinta Hitam Cumi Haram?

Beredar viral di sosial media bahwa hukum makan tinta cumi adalah haram, karena cairan tersebut dianggap darah. Hal ini dengan membawa pendapat salah satu ulama. Tentu ini membuah heboh, terutama pecinta cumi dan restoran seafood, mengingat tinta cumi tidak bisa dipisahkan secara total dari cumi. Apakah benar haram?

Jawabannya: Tentu tidak, daging cumi dan tintanya halal

Dengan alasan:

Pertama:

Cumi termasuk hewan laut dan jelas dalam hadits bahwa hewan laut itu halal, bahkan bangkainya juga halal

Dalam hadis,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no. 480]
Apabila bangkainya saja halal, maka apa yang terkandung di dalam bangkai tersebut juga halal. Jadi tinta hitam cumi yang berada di dalam cumi juga halal

Kedua:

Ada dalil lainnya, yaitu cumi termasuk hewan buruan laut. Hewan buruan laut itu hukum asalnya halal.

Allah berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ

dihalalkan bagimu buruan laut dan makanan yang ada di laut” (QS. Al Maidah: 96)

Hukum asal hewan buruan laut adalah halal, termasuk tinta hitam cumi, apabila ingin mengatakan “itu” haram, maka harus membawakan dalil yang membuatnya keluar dari hukum asalnya yaitu halal

Ketiga:

Apabila beralasan bahwa tinta cumi itu adalah asalnya darah. Ini juga tidak tepat, karena darah hewan laut halal. Ikan memiliki darah, apakah darah ikan haram? Tentu tidak.

Keempat:

Apabila ada pendapat ulama, maka kita perlu menimbang dengan dalil dan pendapat ulama yang lainnya, serta kita perlu mencari pendapat yang rajih dan lebih kuat. Dalilnya jelas mengatakan bahwa cumi itu halal karena hewan laut, bahkan telah menjadi bangkai saja tetap halal.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Catatan: berikut nukilan pendapat ulama yang menyatakan bahwa tinta hitam cumi haram. Dalam Bughyah al-Mustarsyidin:

الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة

“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ) hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau serupa (dengan darah).”  (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 15).

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56762-apakah-tinta-hitam-cumi-haram.html

Benarkah Rasulullah Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami?

Poligami itu dibolehkan dalam Islam. Seseorang yang tidak mau berpoligami atau wanita yang tidak mau dipoligami, itu tidak mengapa namun jangan sampai ia menolak syariat poligami atau menganggap poligami itu tidak disyariatkan. 

Sebagian orang yang menolak syariat poligami seringkali berdalih dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu yang tidak melakukan poligami.

Bahkan mereka mengatakan bahwa dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebenarnya melarang poligami sebagaimana beliau melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami.

Poligami disyariatkan dalam Islam

Dalam suatu kesempatan Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman ditanya, “apakah benar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang Ali untuk menikah lagi setelah memiliki istri yaitu Fathimah (putri Rasulullah). Dan apakah itu berarti Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang poligami?”.

Beliau menjawab,

Kisah yang dimaksud oleh penanya tersebut adalah kisah yang shahih diriwayatkan dalam Shahihain. Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar:

إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم علي بن أبي طالب فلا آذن لهم، ثم لا آذن لهم ثم لا آذن لهم، إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم. فإنما ابنتي بضعة مني، يريبني ما أرابها، ويؤذيني ما آذاها

Sesungguhnya Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali jika ia menginginkan Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku baru menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya, itu membuatku terganggu

Dalam riwayat lain:

وإني لست أحرم حلالاُ، ولكن والله لا تجتمع بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، وبنت عدو الله مكاناُ واحد أبداً

Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya

Maka poligami itu dibolehkan, bahkan dianjurkan. Bagaimana tidak? Sedangkan Rabb kita berfirman:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

Nikahilah yang baik bagi kalian dari para wanita, dua atau tiga atau empat” (QS. An Nisa: 3).

Dan firman Allah Ta’ala “Nikahilah yang baik bagi kalian dari para wanita, dua atau tiga atau empat” ini mengisyaratkan bahwa poligami itu wajib, namun lafadz “Nikahilah yang baik bagi kalian” menunjukkan bahwa menikahi istri kedua itu terkadang baik dan terkadang tidak.

Dan hukum asal dari pernikahan adalah poligami, karena Allah Ta’ala memulainya dengan al matsna (dua)Dan terdapat hadits shahih dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, bahwa beliau bersabda:

خير الناس أكثرهم أزواجاً

sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak istrinya

Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas di sini adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena beliau menikahi 13 wanita namun yang pernah berjimak dengannya hanya 11 orang. Dan beliau ketika wafat meninggalkan 9 orang istri. Maka poligami itu disyariatkan dalam agama kita. Adapun klaim bahwa hadits ini menghilangkan syariat poligami, maka ini adalah kedustaan kepalsuan dan kebatilan. Dan hadits ini perlu dipahami dengan benar.

Syaikh Masyhur juga mengatakan,

Sungguh disesalkan, di sebagian negeri kaum Muslimin saat ini, mereka melarang poligami. Ini adalah kejahatan yang dibuat oleh undang-undang (buatan manusia)! Sebagian dari mereka mengatakan bahwa poligami ini perkara mubah dan waliyul amr boleh membuat undang-undang yang mengatur perkara mubah! Ini adalah sebuah kedustaan! Dan tidak boleh bagi waliyul amr untuk berbuat melebihi batas terhadap perkara yang Allah halalkan dalam syariat. Padahal berselingkuh mereka anggap boleh dalam undang-undang! Sedangkan “selingkuhan” yang berupa istri (selain istri pertama), justru dilarang dan beri hukuman dalam undang-undang! Laa haula walaa quwwata illa billaah! Dan ini merupakan bentuk pemerkosaan dan perlawanan terhadap moral, kemanusiaan dan agama.

Penjelasan kisah Ali bin Abi Thalib

Syaikh Masyhur Hasan menjelaskan kerancuan pendalilan dengan kisah Ali bin Abi Thalib tersebut. Beliau mengatakan,

Adapun kisah Ali dan Fathimah radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melarangnya untuk berpoligami. Keputusan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang poligami bagi Ali tersebut adalah karena beliau sebagai wali bagi Ali, bukan karena hal tersebut disyariatkan. Oleh karena itu Nabi bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya“”.

Beliau juga melanjutkan, “dan dalam kisah ini juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan bahwa yang halal adalah apa yang Allah halalkan dan yang haram adalah apa yang Allah haramkan. Dan bahwasanya poligami itu halal. Namun beliau melarang Ali memilih putrinya Abu Jahal (sebagai istri keduanya).

Sebagaimana diketahui, Abu Jahal Amr bin Hisyam adalah tokoh Quraisy yang sangat keras dan keji perlawanannya terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Syaikh Masyhur menambahkan,

Jawaban lainnya, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut khusus bagi putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat ini kurang tepat, pendapat pertama lebih kuat. Para ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan sabda Nabi: “Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya, itu membuatku terganggu“. Dan kata mereka, ini dijadikan oleh Nabi oleh melarang Ali berpoligami. Selain itu dikuatkan lagi dengan fakta bahwa Ali tidak pernah menikah lagi semasa hidupnya setelah menikah dengan Fathimah. Namun sekali lagi, pendapat yang pertama lebih rajih, karena syariat itu berlaku umum. Wallahu a’lam.

Sehingga jelaslah bahwa kisah di atas tidak bisa menjadi dalil untuk menolak syariat poligami. Demikian semoga yang sedikit ini bermanfaat.

***

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/30974

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27264-benarkah-rasulullah-melarang-ali-bin-abi-thalib-poligami.html

Kewajiban Seorang Ayah dalam Menasihati Sang Anak

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Sebagian ayah yang istiqamah (dalam menjalankan syariat, pent.) … anak-anaknya yang tidak berpegang dengan hukum-hukum Islam secara sempurna. Misalnya, sang ayah melihat bahwa sang anak menjaga shalat wajib dan pokok-pokok Islam yang lain, akan tetapi  anak mereka tersebut terjerumus dalam sebagian maksiat. Seperti menonton film, memakan riba, tidak menghadiri shalat berjamaah -terkadang-, memangkas jenggot, dan kemungkaran yang lain. Lalu, bagaimanakah sikap seorang ayah yang istiqamah tersebut dalam menghadapi anak-anak mereka tersebut? Apakah mereka harus bersikap keras ataukah bersikap lembek kepada anak-anak mereka?

Jawaban:

Yang menjadi pendapatku adalah hendaknya sang ayah mendakwahi (menasihati) anaknya sedikit demi sedikit. Jika sang anak terjerumus ke dalam banyak maksiat, maka dia lihat manakah maksiat yang paling parah. Dari situ, dia mulai menasihati, terus-menerus berbicara (berdialog) dengan sang anak dalam maksiat (yang paling parah) tersebut. Sampai Allah Ta’ala memudahkan usahanya dan sang anak pun akhirnya bisa meninggalkan maksiat tersebut. 

Namun jika sang anak tidak mau menerima nasihat sang ayah, maka perlu diketahui bahwa maksiat itu bervariasi. Sebagian maksiat tidak dapat ditolerir, tidak mungkin Engkau menyetujui anakmu masih berbuat maksiat tersebut, sementara dia masih bersamamu. Dan sebagian maksiat yang lain, levelnya di bawah itu. Kaidahnya, jika seseorang menghadapi dua mafsadah (dalam hal ini maksiat yang dilakukan sang anak), dan dua-duanya terjadi, atau terjadi salah satunya, maka dia boleh mengambil salah satu mafsadah yang lebih ringan. Inilah keadilan dan hal itu pun dibenarkan. 

Akan tetapi, juga terdapat musykilah (kejanggalan) yang lain, sebagai kebalikan dari pertanyaan tersebut. Yaitu, sebagian pemuda tidak melakukan penyimpangan yang dilakukan oleh sang ayah. Maksudnya, pemuda tersebut (sang anak) adalah istiqamah di atas syariat, sedangkan ayahnya adalah kebalikannya. Dia pun menjumpai ayahnya bertentangan dengannya dalam banyak permasalahan. 

Nasihatku kepada sang ayah adalah hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala, berkaitan dengan diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Hendaklah mereka berpandangan bahwa keshalihan dan keistiqamahan anak-anak mereka sebagai nikmat Allah Ta’ala yang harus disyukuri. Hal ini karena keshalihan anak-anak mereka tersebut akan bermanfaat untuk mereka, baik ketika masih hidup maupun ketika sang ayah tersebut meninggal dunia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kemudian aku juga menujukan nasihatku kepada anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, bahwa ayah dan ibu mereka, jika memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh ditaati. (Perintah mereka) tidak wajib ditaati. Melawan (menyelisihi) perintah mereka -meskipun mereka menjadi marah- bukanlah termasuk dalam perbuatan durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan, hal itu termasuk dalam berbuat baik kepada kedua orang tua, karena dosa dan kedzaliman orang tua tidak menjadi bertambah ketika kalian mematuhi perintah maksiat yang berasal dari orang tua. Oleh karena itu, jika kalian menolak berbuat maksiat yang diperintahkan kepada kalian, maka kalian pada hakikatnya telah berbuat baik kepada mereka. Hal ini karena kalian telah mencegah bertambahnya dosa atas mereka, maka janganlah taat dalam berbuat maksiat sama sekali. 

Adapun dalam perkara ketaatan yang apabila ditinggalkan bukanlah maksiat (yaitu, perkara sunnah, pent.), maka hendaknya seseorang melihat manakah yang lebih baik. Jika dia melihat bahwa yang lebih baik adalah menyelisihi (perintah orang tua), maka hendaknya dia menyelisihinya. Akan tetapi, dia bisa bersikap basa-basi. Yaitu apabila perintah orang tua itu masih memungkinkan untuk diingkari (tidak ditaati), namun dengan sembunyi-sembunyi, maka hendaknya tidak taat dan menyembunyikannya dari mereka berdua. Namun jika tidak mungkin disembunyikan dari mereka, maka hendaklah ditampakkan, dan hendaknya membuat mereka tenang (lega) dengan menjelaskan kepada orang tua bahwa perbuatan tersebut tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi mereka (kedua orang tua) dan juga bagi dirinya sendiri, atau kalimat-kalimat sejenis yang bisa menenangkan hati kedua orang tua. 

[Selesai]

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56717-kewajiban-seorang-ayah-dalam-menasihati-sang-anak.html

Mengapa Doa Ibu Mampu Menembus Langit?

BUKANLAH tidak mungkin jika sangatlah banyak orang orang sukses di seluruh dunia ini lantaran mempunyai hubungan yang baik dengan kedua orang tuanya terlebih kepada ibu. Kenapa? Karena ridha Allah ialah ridha orang tua, dan doa ibu itu sungguh tanpa hijab di hadapan Allah mudah menembus langit. Sehingga doa seorang ibu yang ia dipanjatkan untuk anaknya boleh jadi sangat mudah untuk Allah kabulkan.

Mungkin sebagian orang masih tidak sadar bahwa kemungkinan kesuksesan-kesuksesannya selama ini adalah buah dari doa seorang ibu kepada Allah tanpa ia ketahui. Dan seorang ibu itu tanpa disuruh pasti akan selalu mendoakan anaknya di tiap nafasnya kala bermunajat kepada Allah. Tapi seorang anak belum tentu selalu berdoa untuk orang tuanya.

Barangkali juga kita suka mengeluh tentang sifat buruk orang tua, entah karena ibu nya cerewet, suka ikut campur, suka nyuruh-nyuruh, tidak gaul dan lain sebagainya. Jika seperti ini maka tragis. Kenapa tragis? Karena terlalu fokus dengan secuil kekurangan orang tua dan melupakan segudang kebaikan yang telah diberikan kepada kita selama ini.

Di luar sana mungkin ada orang-orang di pinggir jalanan, di bawah kolong jembatan dan di tempat lainnya mereka juga suka mengeluh, tapi yang mereka keluhkan ialah bukan karena sifat orang tua atau ibu mereka, tapi mereka mengeluh karena mereka tidak punya lagi orang tua.

Bersyukurlah jika masih mempunyai orang tua. Jika ingin tahu rasanya tidak punya ibu, coba tanyakan kepada mereka yang ibu nya telah tiada. Mungkin perasaan mereka sangat sedih dan kekurangan motivasi dalam hidup.

Coba bayangkan jika kita tidak punya ibu, ketika kita akan pergi ke luar rumah untuk sekolah atau bekerja, tidak ada lagi tangan yang bias kita cium. Jika tidak punya ibu mungkin tidak ada lagi makanan yang tersedia di meja makan saat kita pulang. Jika kita tidak punya ibu lagi ketika hari lebaran rumah terasa sepi dan lebaran terasa tanpa makna. Jika kita tidak punya ibu barangkali kita hanya bisa membayangkan wajah tulusnya di pikiran kita dan melihat baju-bajunya di lemarinya.

Banyak di antara kita suka mengeluh tentang sifat negatif ibu kita, tapi kita tidak pernah berfikir mungkin hampir setiap malam ibu kita di keheningan sepertiga malam bangun untuk shalat tahajud mendoakan kita sampai bercucuran air mata agar sukses dunia dan akhirat.

Mungkin di suatu malam beliau pernah mendatangi kita saat tidur dan mengucap dengan bisik “nak, maafkan ibu ya… ibu belum bisa menjadi ibu yang baik bagimu” kita mungkin juga lupa di saat kondisi ekonomi rumah tangga kurang baik, ibu rela tidak makan agar jatah makannya bisa dimakan anaknya. Ketika kita masih kecil ibu kira rela tidur dan lantai dan tanpa selimut, agar kita bisa tidur nyaman di kasur dengan selimut yang hangat.

Setelah semua pengorbanan telah diberikan oleh ibu kita selama ini, lalu coba renungkan apa yang kita perbuat selama ini kepada ibu kita?

Kapan terakhir kita membuat dosa kepadanya? Kapan terakhir kita membentak-bentaknya? Pantaskah kita membentak ibu kita yang selama Sembilan bulan mengandung dengan penuh penderitaan?

Oleh karena itu, berusahalah untuk berbakti kepada orang tuamu khususnya kepada Ibumu, karena masa depan kita ada di desah doa-doanya setiap malam.

Dan ingat perilaku kita dengan orang tua kita saat ini akan mencerminkan perilaku anak kita kepada diri kita nanti.

Dan doa ibu itu mampu menembus langit, sangat mustajab di hadapan Allah. maka muliakanlah ibumu. 

ISLAMPOS

Jumlah Haji yang Dilakukan Rasulullah Setelah Hijrah

Berapa kali Nabi Muhammad SAW  berhaji dalam hidupnya? Diriwayatkan dari Abu Ishaq, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Berapa kali kamu berperang menyertai Rasulullah SAW?” Dia menjawab, “Tujuh belas kali.” Kata Abu Ishaq, “Kemudian Zaid bin Arqam bercerita kepadaku bahwa Rasulullah SAW
pernah berperang sembilan belas kali, dan beliau berhaji sekali setelah beliau berhijrah, yaitu haji wada’.” (Muslim bab Haji Nabi SAW).

Sementara itu Jabir bin Abdullah ra. meriwayatkan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah tinggal di Madinah selama sembilan tahun namun beliau belum berhaji.

Kemudian pada tahun kesepuluh beliau mengumumkan bahwa beliau akan berhaji, sehingga banyak orang yang hadir ke Madinah yang kesemuanya ingin turut serta bersama Rasulullah SAW dan melakukan amal ibadah seperti beliau.” (Muslim bab haji Nabi SAW)

IHRAM

Persiapan di Rumah Sebelum Jamaah Berangkat Pergi Haji

Sebelum berangkat ke asrama haji, calon jamaah haji disarankan untuk memperhatikan hal-hal ini di rumah. Hal tersebut bertujuan untuk kemantapan perjalanan ibadah haji para calon jamaah haji.

Sebelum berangkat ke Tanah Suci, setiap jamaah hendaknya:

a. Menjaga kondisi kesehatan dengan mengonsumsi  makanan bergizi

b. Merawat kebugaran/kesehatan fisik dengan berolahraga secara teratur;

c. Menyelesaikan urusan pribadi, dinas dan sosial kemasyarakatan;

d. Menyiapkan bekal untuk keluarga yang ditinggalkan;

e. Menyiapkan barang-barang bawaan, mulai dari dokumen (Surat Panggilan     Masuk Asrama/SPMA, bukti setor lunas Bipih berwarna biru, buku dan atau kartu kesehatan, perbekalan,  pakaian, sampai obat-obatan yang diperlukan;

f. Melaksanakan sholat sunat safar dua  rakaat dan berdoa untuk keselamatan  diri dan keluarga yang ditinggalkan

IHRAM

Sumber: Tuntunan Manasik Haji dan Umrah 2020 Kementerian Agama / Kemenag.go.id

IHRAM