Benarkah Ghibah Membatalkan Puasa?

Assalamualaikum, izin bertanya ustadz.
Tadi dijelaskan bahwasanya dalam berpuasa kita harus meninggalkan hal-hal yang diharamkan seperti ghibah, namimah, dsb. Nah disitu dikatakan “diharamkan”, tetapi apabila dilanggar mengapa perbuatan tsb tidak termasuk dalam perbuatan membatalkan puasa?
Terimakasih

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Pertama, untuk menetapkan ghibah serta dosa lainnya sebagai pembatal puasa, harus berdasar dalil. Dalam hal ini, tidak ada dalil dalam Al-Qur’an maupun hadis, yang tegas menjelaskan bahwa maksiat dapat membatalkan puasa. Sementara hukum asal status sebuah ibadah adalah sah, sampai ada dalil yang menjelaskan kebatalannya. Kaidah fikih mengatakan,

الأصل بقاء ما كان على ما كان

Hukum asal sesuatu itu tetap berlaku sebagaimana keadaannya semula

Kedua, kaidah khusus yang berkaitan perkara ibadah :

والمحرم إذا كان محرماً في ذات العبادة أفسدها، وإن كان تحريمه عاماً لم يفسدها

Perbuatan haram jika berkaitan secara khusus dengan suatu ibadah, maka dapat membatalkan ibadah tersebut. Namun jika kaitannya dengan suatu ibadah, sifatnya umum, maka tidak membatalkan ibadah. (Sumber: Tarjihat Al-Hanabilah 1/522)

Kaidah yang sama juga disebutkan oleh Imam Ibnu Rojab al Hambali, dalam buku beliau; Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (jilid 1, hal.180),

أن المحرم إذا كان محرما لمعنى يختص بالعبادة يفسدها، وإن كان تحريمه عاما لم يفسدها

“Perbuatan haram yang berhubungan khusus dengan suatu ibadah, maka bila dilakukan larangan tersebut dapat membatalkan ibadah yang bersangkutan. Adapun perbuatan haram yang sifatnya umum (tidak ada hubungan khusus dengan suatu ibadah), maka bila dilakukan tidak membatalkan ibadah.”

Misal:

Makan dan minum berkaitan khusus dengan ibadah puasa. Sehingga dapat membatalkan puasa. Kita tahu berkaitan khusus, karena makan dan minum diharamkan hanya saat puasa saja.

Adapun ghibah serta maksiat lainnya, sifat keterakitannya dengan ibadah puasa, bersifat umum. Kita tahu umum karena dosa ini tidak hanya diharamkan di saat puasa saja. Namun diharamkan di setiap saat. Meskipun di saat puasa, lebih besar dosanya. Inilah sebabnya ghibah dan maksiat tidak membatalkan puasa.

Ketiga, Imam Ahmad saat ditanya apakah ghibah bisa membatalkan puasa?

Beliau menjawab:

لو كانت تفطر ما بقي لنا صيام

“Kalau saja ghibah membatalkan puasa, tak ada yang tersisa dari puasa kita.”
(Sumber: Tarjihat Al-Hanabilah 1/522)

Keempat, meskipun maksiat tidak membatalkan puasa, namun bisa merusak bahkan membatalkan pahala puasa. Sehingga bisa jadi puasa hanya berfungsi menggugurkan kewajiban saja. Tidak menghasilkan sedikitpun pahala. Na’dzubillah min dzalik.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (perkataan dusta), mengamalkannya, atau tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga” (HR. Bukhori)

Beliau juga bersabda,

Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam dalam sabda beliau,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan buah dari puasanya selain rasa lapar. Dan berapa banyak orang yang bangun beribadah di malam hari, namun tidak mendapatkan melainkan sekedar begadang.” (HR. Ibnu Majah).

Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta dan Pengasuh Situs thehumairo.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36354-benarkah-ghibah-membatalkan-puasa.html

Kaji Islam, Mualaf Ku Khie Fung: Agama Paling Rasional

Mualaf Ku Khie Fung mendapat Islam agama paling masuk akal.

Ku Khie Fung masih mengingat betul masa ketika dia merasa terpuruk dan berada di titik nadir hidup. Suka cita masa remajanya seakan sirna begitu saja, begitu sang ayah meninggal dunia apda 1987. 

“Sejak papa meninggal, perekonomian kami seluruhnya dibantu keluarga besar,“ ujar lelaki keturunan Tionghoa itu saat menuturkan kisah hidupnya, sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika.   

A Fung demikian sapaan akrabnya, seakan-akan tak lagi memiliki tujuan hidup. Satu hal yang pasti. Dia, saudara-saudara kandungnya, serta ibunya sendiri tak mungkin terus bergantung pada keluarga besar ataupun jamaat kelenteng dan gereja terdekat.  

Anak kedua dari tiga bersaudara itu nyaris frustrasi dalam menghadapi tantangan hidup. A Fung waktu merasa, keluarga besar dan teman-temannya tak cukup menguatkannya secara psikis. Kebimbangan itu terus menghantuinya hingga beberapa bulan setelah meninggalnya sang ayah.

 Untuk menghormati ayahnya, lanjut A Fung, banyak keluarga yang berdatangan ke rumahnya. Di antara mereka adalah adik ibunya yang saat itu telah menjadi Muslim. Peringatan itu terjadi pada Desember 1987. A Fung mengaku, masih ingat betul pamannya dengan sengaja menduduki meja sesajen untuk ayahnya.  

“Saya marah besar kepada paman saya saat itu karena, bagi saya, ayah merupakan orang yang paling dihormati kami sekeluarga. Menduduki meja tersebut sama seperti menghina ayah saya,” ujar dia. 

Pamannya kemudian memperdebatkan masalah ini. Dia menyarankan A Fung untuk berpikir dengan kepala dingin. Apalagi, pemuda itu sudah dianggap sebagai orang yang berpendidikan. 

Hingga acara peringatan itu usai, wajah kekesalan belum mereda. Pamannya itu pun lantas memberikan kepada A Fung sebuah buku tentang perbandingan agama. Barulah kemudian ida pamit pulang. 

Awalnya, A Fung sekadar melihat-lihat sampul buku tersebut. Namun, lama-kelamaan, timbul minatnya untuk membaca pemberian sang paman. Akhirnya, dia menemukan suatu pemikiran yang membuka kesadarannya.  

A Fung lantas bertanya kepada seorang pendeta yang selama ini membimbingnya. Namun, jawaban yang dia terima tidak dapat memuaskan rasa penasarannya. Justru, dia semakin tertarik dengan Islam, yakni agama yang dipeluk pamannya itu. Kebetulan, rumahnya di bilangan Pagarasih, Bandung, dekat dengan sebuah masjid. 

“Saya kemudian dipertemukan dengan seorang ustadz, namanya Ustaz Ahmad Ilyas Arifin atau Ustadz Asep saya biasa menyapanya. Dia merupakan seorang pegawai Departemen Agama dan sarjana perbandingan agama. Dari dialah saya mendapatkan penjelasan tentang keyakinan dan agama. Ini begitu masuk akal,” tutur dia. 

Sejak akrab dengan Ustadz Asep, A Fung kian mempelajari Islam. Tak jarang, dia melontarkan banyak pertanyaan kepada guru agama tersebut. Bagaimanapun, tak sekalipun A Fung menemukan titik kelemahan dalam ajaran Islam. 

Pada 12 Januari 1988 A Fung telah meyakini dirinya siap memeluk Islam. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid binaan organisasi Persatuan Islam (Persis) di daerah Penjagalan, Bandung, Jawa Barat. Setelah resmi menjadi seorang Muslim, A Fung mendapatkan nama baru Islam yakni Muhammad Syarief Abdurrahman. 

A Fung menuturkan, waktu itu, dirinya belum berani untuk menyatakan secara terbuka keislamannya kepada keluarga besarnya. Sebab, dia masih khawatir mereka akan menghentikan sokongan ekonomi yang selama ini diterimanya secara rutin jika kabar itu diketahui. Apalagi, dia dan saudara- saudaranya memerlukan biaya untuk hidup sehari-hari dan sekolah.

Namun, kebimbangan itu tak lama dibiarkan. A Fung dan keluarganya yang sudah memeluk Islam akhirnya memutuskan untuk mengmumkan keyakinan barunya itu kepada mereka. 

“Sekitar 1991-1992, saya dan keluarga sempat mengalami kegelisahan. Saat itu, ibu dan adik perempuan saya juga sudah Muslim. Kami bermusyawarah untuk terbuka mengenai agama kami,” ujar dia. 

photo
Ustadz Ku Khie Fung menjalani keislamannya sekarang bersama keluarganya. – (Dok Istimewa)

A Fung menguatkan diri dan keluarganya sesama Muslim. Baginya, kebenaran seharusnya tidak dibiarkan sembunyi-sembunyi seperti halnya menjalani sebuah kebatilan. Dia ingat, pertama kali keluarga besar mengetahuinya sebagai Muslim adalah ketika dirinya membelikan sebuah jilbab untuk ibunya.

Semua terang-benderang setelah ibunya mengenakan jilbab saat bertemu dengan mereka. A Fung ingat, yang pertama kali ibu dan saudarasaudaranya terima dari mereka adalah ujaran intimidatif. Bagaimanapun, A Fung, ibu, dan adik perempuannya tetap bertahan. Sebab, ketiganya sudah bersungguh-sungguh sebagai Muslim.

Sejak saat itu, A Fung dan saudaranya terus bertungkus-lumus untuk mencari nafkah. Dia mulai berjualan apa pun asalkan itu halal, termasuk menjajakan roti sobek dan buah-buahan. A”lhamdulillah, Allah Mahamenolong. Perekonomian keluarga kami kembali bangkit,” kenang dia.

A Fung kemudian meneruskan kuliah di Universitas Bandung. Dia mengambil jurusan Perbandingan Agama. Pada 1997 dia memutuskan menikah. Hingga kini, dia dan istri telah dikaruniai dua orang anak. 

Kehidupannya sebagai Muslim kerap dilalui dengan ujian. Suatu ketika, A Fung memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. 

Dia memilih fokus berdakwah. Suatu hari, anaknya membutuhkan susu. Namun, uang yang dimilikinya hanya tersisa Rp 20 ribu, padahal harga susu saat itu mencapai Rp 47 ribu. 

Kebetulan, kenangnya, saat itu menjelang sholat Jumat. Namanya sudah banyak dikenal sebagai pengisi berbagai kajian keislaman. A Fung pada hari itu kemudian dihubungi pihak masjid untuk mengisi khutbah Jumat. 

Dalam hati, berpikir akan mendapat balasan dari khutbah Jumat. Ternyata, setelah sampai di masjid tersebut bukan aku yang dipanggil. “Ini bukan salah panitia, tetapi aku yang salah lokasi. Jadi, bukannya uang Rp 20 ribu bertambah, justru berkurang,” kata A Fung.

Sampai di rumah, dia pun bercerita kepada istrinya. Tersadarlah dirinya. Dia merasa, peristiwa itu adalah teguran dari Allah SWT. Sebab, niat dakwahnya sudah berbeda, tak lagi lillahi Ta’ala. Dia menyadari, berdakwah tidak boleh dijadikan sebagai sumber penghasilan.

A Fung memiliki filosofi tersendiri dalam dunia dakwah. Menurut dia, seorang dai bagaikan melihat laut yang indah, tetapi hanya dari pinggir pantai. Dai belum sampai menikmati keindahan laut di kedalamannya. Untuk yang sudah mampu menyelam, mereka pasti dapat memegang mutiara yang indah di dasar lautan. Seperti itulah kira-kira dalam mempelajari Islam, simpul A Fung.

Kini, namanya dikenal sebagai pemuka Masjid Lao Tse Kota Bandung, Jawa Barat. Sudah tujuh tahun aktif memimpin takmir masjid tersebut. Sekitar 40 orang sudah dibimbingnya selama ini untuk menjadi mualaf. Sebagian besar mereka adalah orang keturunan Tionghoa.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Meringankan Beban Seorang Muslim

Oleh Ustadz Abdullah Taslim, Lc, MA

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ » رواه مسلم

Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membantu seorang muslim (dalam) suatu kesusahan di dunia maka Allah akan menolongnya dalam kesusahan pada hari kiamat, dan barangsiapa yang meringankan (beban) seorang muslim yang sedang kesulitan maka Allah akan meringankan (bebannya) di dunia dan akhirat”[1].

Hadits yang agung menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang membantu meringankan beban saudaranya sesama muslim, baik dengan bantuan harta, tenaga maupun pikiran atau nasehat untuk kebaikan.

Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat keutamaan menunaikan/membantu kebutuhan dan memberi manfaat kepada sesama muslim sesuai kemampuan, (baik itu) dengan ilmu, harta, pertolongan, pertimbangan tentang suatu kebaikan, nasehat dan lain-lain”[2].

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

– Hadits ini menunjukkan makna sebuah kaidah besar dalam Islam, yaitu ‘al-jaza-u min jinsil ‘amal (balasan yang didapat seorang hamba adalah sesuai dengan jenis perbuatannya)[3], karena meringankan beban seorang muslim berarti berbuat kebaikan kepadanya, dan balasan kebaikan adalah kebaikan yang semisalnya. Allah berfirman:

{هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ}

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS ar-Rahmaan: 60)4.

– Melakukan perbuatan yang menyebabkan bahagianya hati seorang muslim adalah suatu kebaikan dan bernilai pahala5, meskipun perbuatan tersebut dianggap sepele, Rasulullah bersabda: “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria”[6].

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda: “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu”[7].

– Kesusahan dan penderitaan yang dialami manusia dalam kehidupan dunia sangat kecil, bahkan tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan dasyatnya kesusahan pada hari kiamat, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, oleh karena itu, barangsiapa yang diringankan baginya kesulitan di hari kiamat maka sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar8.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

1 HSR Muslim (no. 2699).
2 Syarhu shahiihi Muslim (17/21).
3 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi walhikam” (hal. 338).
4 Lihat kitab “tuhfatul ahwadzi” (4/574).
5 Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (5/458).
6 HSR Muslim (no. 2626).
7 HR at-Tirmidzi (no. 1956), Ibnu Hibban (no. 474 dan 529) dll, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “ash-Shahihah” (no. 572).
8 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi walhikam” (hal. 338-339).

Read more https://konsultasisyariah.com/36364-keutamaan-meringankan-beban-seorang-muslim.html

Hukum Menimbun Barang untuk Menjualnya Lebih Mahal

Apa hukum menimbun barang untuk menjual lebih mahal? Misal saat-saat ini dengan menimbun masker padahal khalayak ramai sangat membutuhkan.

Apa itu ihtikar?

Ihtikar adalah membeli barang melebihi kebutuhan dengan tujuan menimbunnya, menguasai pasar dan dijual dengan harga tinggi sekehendaknya pada saat khalayak ramai membutuhkannya. (Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 190)

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ihtikar (menimbun barang) berarti:

  1. Membeli barang melebihi kebutuhan.
  2. Tujuannya menimbun.
  3. Tujuannya menguasai pasar.
  4. Ingin dijual dengan harga tinggi semaunya.
  5. Khalayak ramai membutuhkan.

Menimbun barang di sini termasuk menzalimi orang banyak.

Dosa ihtikar

Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن دَخَلَ في شَيءٍ من أسعارِ المُسلِمينَ لِيُغلِيَه عليهم، فإنَّ حَقًّا على اللهِ تَبارك وتَعالى أنْ يُقعِدَه بعُظْمٍ من النَّارِ يَومَ القيامَةِ.

Siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di hari kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).

Hikmah terlarangnya menimbun barang

Imam Nawawi  rahimahullah berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudarat bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11:43).

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah untuk menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan umat Islam wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, wajib untuk dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah ‘menghindarkan segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang.” (Ikmalul Mu’lim, 5: 161).

Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang banyak (Shahih Fiqh As-Sunnah, 4:395).

Masalah: Menyimpan makanan untuk kebutuhan setahun atau menabung untuk kebutuhan hari esok, apakah termasuk ihtikar?

Pertama: Jika kurang nishab zakat, yakni 20 dinar (85 gram emas) dan 300 sha’ (sekitar 7 kuintal) makanan pokok, dianggap sedikit dan hukumnya boleh untuk menyimpan.

Kedua: Jika sudah mencapai nishab, wajib bayar zakat. Kalau sudah dibayarkan zakat, boleh disimpan dengan syarat: (1) tidak merusak harga pasar, (2) tidak berniat cari keuntungan ketika barang ini langka, (3) diterapkan pada masa normal.

Dalil poin kedua adalah keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah menyisakan kurma untuk kebutuhan setahun.

Jika enggan membayar zakat, terkena ancaman ayat,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 34-35).

Masalah: Membeli barang saat murah lalu dijual saat harga naik

Jika seorang pedagang membeli barang pada saat murah, lalu disimpan hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, aksi ini tidak termasuk ihtikar dengan catatan: (1) tidak merugikan orang banyak, (2) tidak merusak harga pasar, (3) barang masih dijual pedagang lain.

Dalam Takmilat Al-Majmu’ dijelaskan, “Ihtikar yang diharamkan, yaitu: membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi lagi. Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, tidaklah diharamkan.”

Mengenai harga jual yang lebih tinggi daripada harga saat dibeli adalah logis karena ada biaya operasional penyimpanan barang hingga saat barang dijual. Ini juga merupakan salah satu siasat dagang yang dibolehkan.

Masalah: Barang yang dilarang ihtikar

Yang tepat, objek ihtikar mutlak apapun jenis barangnya, bukan terbatas pada makanan pokok saja. Objek ihtikar mencakup bahan bakar, bahan makanan, bahan bangunan, dan mata uang negara tertentu.

Masalah: Sanksi pelaku ihtikar

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Terkadang kenaikan harga barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh para pedagang. Pada saat itu, pihak berwenang wajib mematok harga dan memaksa para penimbun menjual barangnya dengan harga normal ditambah laba yang masuk akal, agar mereka tidak dianiaya dan orang banyak pun tidak teraniaya.” (Hasyiyah Ar-Raudhu Al-Murbi’, hlm. 318)

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Muhammad Abduh Tuasikal

Referensi:

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit Berkat Mulia Insasi.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24328-hukum-menimbun-barang-untuk-menjualnya-lebih-mahal.html

Tiga Alasan Sebaiknya Anda Lebih Dermawan di Bulan Ramadhan

Imam Asy-Syafi’i mengatakan:

وَأُحِبُّ لِلرَّجُلِ الزِّيَادَةَ بِالْجُوْدِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ اِقْتِدَاءً بِهِ وَلِحَاجَةِ النَّاسِ فِيْهِ إِلَى مَصَالِحِهِمْ وَلِتَشَاغُلِ كَثِيْرٍ مِنْهُمْ بِالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ عَنْ مَكَاسِبِهِمْ

“Kusukai agar seorang muslim itu makin dermawan di bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang yang memerlukan bantuan di bulan Ramadhan untuk memenuhi kebutuhannya dan banyak orang sibuk puasa dan sholat sehingga harus libur kerja.” (Mukhtasar Kitab al-Umm karya al-Muzani hlm 89, Dar al-Ma’rifah Beirut)

Semestinya seorang muslim itu sudah menjadi seorang yang dermawan di luar bulan Ramadhan dan di bulan Ramadhan dianjurkan agar makin dermawan.

Imam Asy-Syafi’i menyebutkan ada tiga alasan mengapa seorang muslim semestinya lebih dermawan di bulan Ramadhan:

Pertama:
Meneladani Sang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih dermawan kepada seorang tanpa pilah pilih di bulan Ramadhan melebihi angin yang bertiup sepoi-sepoi.

Kedua:
Adanya orang-orang miskin yang memerlukan bantuan.

Ketiga:
Untuk bisa bisa berpuasa sebagian orang harus terpaksa libur kerja. Orang ini tentu sangat layak untuk dibantu.

Jika menambah kedermawanan kepada orang lain saja dianjurkan apalagi untuk anak dan isteri sendiri.

Selayaknya ada tambahan uang belanja untuk isteri di bulan Ramadhan agar semua anggota keluarga lebih semangat menjalankan ibadah puasa.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

Read more https://konsultasisyariah.com/36357-tiga-alasan-sebaiknya-anda-lebih-dermawan-di-bulan-ramadhan.html

Manusia Lalai dari Makna Alquran

IMAM Al Ghazali menerangkan adanya musibah besar. Bahkan, musibah ini lebih besar dibandingkan musibah-musibah lain yang umumnya ditangisi manusia. Musibah paling besar tersebut adalah lalainya manusia dari makna Alquran.

Membaca Alquran, namun sekadar mengeja huruf-hurufnya. Membaca Alquran, namun sekadar membunyikan kalimat demi kalimatnya. Sekadar suara yang keluar dari lisan, tidak masuk ke hati, bahkan tidak melewati kerongkongan. Tidak mengerti artinya, sehingga tidak ada perbedaan perasaan ketika membaca satu ayat dengan ayat lainnya. Tidak mengetahui maknanya, sehingga tidak ada perubahan suasana jiwa ketika membaca ayat-ayat yang menerangkan nikmat dan ayat-ayat yang menerangkan azab.

Tentu, membaca Alquran lebih baik daripada sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Orang yang membaca Alquran lebih baik daripada orang yang lisannya tak pernah basah dengan ayat-ayatNya. Namun membaca Alquran sekadar membaca, belumlah cukup bagi hambaNya. Sebab hanya membaca tanpa memahami tak ubahnya seperti abai.

“Berkatalah Rasul, Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Alquran itu sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al Furqon : 30).

Bagaimana mungkin kita akan mengacuhkan Alquran jika kita tidak mengerti artinya. Sebagaimana kita tidak bisa mentaati rambu-rambu jika tidak mengetahui maksudnya.

Bagaimana mungkin kita akan mengacuhkan Alquran jika kita tidak memahami apa isinya. “Mereka tak mengacuhkannya serta tak menjadikannya sebagai pedoman kehidupan,” terang Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Quran, “Padahal Alquran itu datang agar menjadi manhaj kehidupan yang menuntun mereka ke jalan yang paling lurus.”

Para sahabat Nabi mencontohkan bagaimana mereka menjadikan Alquran laksana instruksi panglima militer kepada prajuritnya. Mereka memahami instruksi itu dengan baik dan segera mematuhinya. Saat membaca Alquran, nuansa hati mereka juga terbawa dalam setiap makna. Maka tak heran jika mereka menangis saat membaca dan mentadabburinya.

“Disukai menangis ketika membaca Alquran,” simpul Al Ghazali, “Caranya adalah memenuhi hati dengan rasa sedih dan takut dengan menghayati kandungannya baik berupa ancaman atau janji-janji. Kemudian memperhatikan kelalaian atas semua itu. Jika hatinya tak mampu mendatangkan rasa sedih, hendaklah ia menangis karena kehilangan hal itu dan menyadari bahwa itu merupakan musibah yang paling besar.” [Bersamadakwah]

INILAH MOZAIK

Sunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa

Waktu berbuka adalah waktu yang istimewa. Oleh karena itu ada beberapa adab yang disunnahkan ketika berbuka puasa. Agar momen berbuka puasa semakin memberikan keberkahan dan kebahagiaan.

Waktu berbuka adalah waktu berbahagia

Waktu berbuka puasa adalah waktu berbahagia. Setelah seharian menahan lapar dan haus demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Di waktu berbuka, para hamba berbahagia karena telah menyempurnakan puasa di hari itu. Dan berbahagia karena dihalalkan kembali apa-apa yang tidak diperbolehkan ketika puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

والذي نفسُ محمدٍ بيدهِ لَخَلوفِ فمِ الصائمِ أطيبُ عندَ اللهِ من ريحِِ المسكِ ,للصائمِ فَرْحتانِ يفرَحْهُما إذا أَفطرَ فَرِحَ ، وإذا لقي ربَّه فَرِحَ بصومِهِ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah itu lebih wangi daripada misik. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu Rabb-Nya” (HR. Bukhari no. 1904, Muslim no. 1151).

Maka waktu berbuka adalah waktu yang istimewa. Oleh karena itu ada beberapa adab yang disunnahkan ketika berbuka puasa. Agar momen berbuka puasa semakin memberikan keberkahan dan kebahagiaan. Diantara adab-adab dalam berbuka puasa adalah:

a) Disunnahkan menyegerakan berbuka

Dianjurkan untuk bersegera berbuka puasa ketika matahari terbenam. Dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا أقْبَلَ اللَّيْلُ مِن هَا هُنَا، وأَدْبَرَ النَّهَارُ مِن هَا هُنَا، وغَرَبَتِ الشَّمْسُ فقَدْ أفْطَرَ الصَّائِمُ

“jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” (HR. Bukhari no.1954, Muslim no.1100).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يزالُ النَّاسُ بخَيرٍ ما عجَّلوا الفِطرَ عجِّلوا الفطرَ

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

b) Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar)

Pilihan pertama untuk berbuka puasa adalah ruthab (kurma segar). Jika tidak ada maka dengan beberapa butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih. Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كان رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبًات قبل أن يصلي فإن لم تكن رطبًات فعلى تمرات فإن لم تكن حسا حسوات من ماء

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma segar) sebelum shalat. Jika beliau tidak punya ruthab, maka dengan tamr (kurma kering), jika beliau tidak punya tamr, maka dengan beberapa teguk air” (HR. Abu Daud no.2356, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Maka kurang tepat mendahulukan makanan atau minuman lain sebelum kurma atau air putih. Bukan berarti tidak boleh, namun perbuatan demikian kurang meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka. 

Dan perlu diketahui, sama sekali tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis” atau yang semakna dengannya.

c) Adab memakan kurma

Dianjurkan ketika memakan kurma, hendaknya mengeluarkan bijinya di punggung dari dua jari yaitu jari tengah dan jari telunjuk. Dari Abdullah bin Busr radhiallahu’anhu ia berkata:

ثُمَّ أُتِيَ بتَمْرٍ فَكانَ يَأْكُلُهُ وَيُلْقِي النَّوَى بيْنَ إصْبَعَيْهِ، وَيَجْمَعُ السَّبَّابَةَ وَالْوُسْطَى

“Kemudian dibawakan kurma kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan beliau memakannya, kemudian mengeluarkan bijinya di antara kedua jarinya, yaitu beliau menggabungkan antara jari telunjuk dan jari tengah” (HR. Muslim no. 2042).

Tujuannya agar tangan bersih dari kotoran dan bekas mulut ketika mengambil kurma selanjutnya.

d) Membaca doa berbuka puasa

Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ibnu Umar radhiallahu’anhu berkata: 

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika berbuka beliau berdoa: dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah (telah hilang rasa haus, telah basah kerongkongan, dan telah diraih pahala insya Allah)” (HR. Abu Daud no.2357, An Nasa-i no.3315, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Adapun doa “Allahumma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika afthartu birahmatika yaa arhamar rahimin” dengan lafadz seperti ini tidak ada asalnya dari hadits. Sedangkan doa “Allahumma laka shumtu” memang terdapat dalam beberapa hadits, namun seluruhnya terdapat kelemahan.

e) Memperbanyak berdoa ketika berbuka puasa.

Karena waktu berbuka puasa adalah waktu mustajab berdoa. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثلاثٌ لا تُرَدُّ دعوتُهُم الصَّائمُ حتَّى يُفطرَ والإمامُ العادلُ ودعْوةُ المظلومِ

”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa hingga ia berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.3598, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi).

Boleh berdoa sebelum berbuka. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

الدعاء يكون قبل الإفطار عند الغروب ؛ لأنه يجتمع فيه انكسار النفس والذل وأنه صائم ، وكل هذه أسباب للإجابة وأما بعد الفطر فإن النفس قد استراحت وفرحت وربما حصلت غفلة

“Doa ketika berbuka puasa dilakukan sebeluketika m berbuka, ketika matahari hampir tenggelam. Karena ketika itu tergabung perendahan jiwa, penuh ketundukan, dan itu ia masih sedang berpuasa. Dan semua ini merupakan sebab dikabulkannya doa. Adapun jika setelah berbuka, maka jiwa merasa santai dan senang, bahkan terkadang menjadi lalai” (Liqa Asy Syahri, no.8).

Boleh juga setelah berbuka. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika menjelaskan hadits:

إنَّ للصائمِ عند فِطره دعوةً لا تُردُّ

“Orang yang berpuasa, ketika berbuka puasa ia memiliki doa yang tidak tertolak”.

Mereka mengatakan:

الحديث رواه ابن ماجه، قال في (الزوائد) : إسناده صحيح، والدعاء يكون قبل الإفطار وبعده؛ لأن كلمة: (عند) تشمل الحالتين

“Hadits ini riwayat Ibnu Majah. Penulis kitab Az Zawaid mengatakan: sanadnya shahih. Dan doa ini boleh sebelum atau setelah berbuka. Karena kata “inda” mencakup keduanya” (Fatawa Al Lajnah, 9/30).

f) Urutan berbuka puasa yang ideal

[1] Memperbanyak doa beberapa saat sebelum datang waktu Maghrib

[2] Ketika datang waktu Maghrib, baca basmalah, lalu makan kurma atau minum air putih

[3] Membaca doa “dzahabazh zhoma-u…”

[4] Lanjutkan makan atau minum yang lain

[5] Memperbanyak doa di antara adzan dan iqamah

[6] Shalat maghrib

g) Jeda adzan dan iqamah

Hendaknya imam dan muadzin memberi jeda antara adzan dan iqamah yang cukup bagi jama’ah untuk menyelesaikan makan tanpa terburu-buru. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اجعلْ بين أذانِك وإقامتِك نفَسًا ، قدرَ ما يقضي المعتصِرُ حاجتَه في مهَلٍ ، وقدْرَ ما يُفرِغُ الآكِلُ من طعامِه في مهَلٍ

“jadikanlah antara adzanmu dan iqamatmu jeda sejenak, yaitu sekadar waktu orang yang sedang ada kebutuhan menyelesaikan kebutuhannya dengan tenang, dan sekadar waktu orang yang sedang makan menyelesaikan makannya dengan tenang” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, Al Baihaqi, dll. dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 887).

Demikian beberapa sunnah ketika berbuka puasa. Semoga membawa keberkahan dalam ibadah puasa kita. Wallahul muwaffiq.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56520-sunnah-sunnah-ketika-berbuka-puasa.html

Nahi Munkar Ala Nabi Muhammad SAW

uatu ketika, seorang sahabat bernama Maiz mendatangi dan menemui Rasulullah SAW

“Kasihilah siapa pun yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian”. (Hadits Nabi saw. Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud)

Dalam Shahih Muslim sahabat Buraidah menceritakan, suatu ketika, seorang sahabat bernama Maiz mendatangi dan menemui Rasulullah lalu berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah”. Rasulullah langsung berkata, “Celakalah kau, pulanglah dan mohonlah ampunan kepada Allah”. Maiz terus memohon agar Rasulullah berkenan menyucikan dirinya.

Beberapa waktu kemudian setelah Maiz mengulangi permintaannya untuk yang keempat kalinya, Rasulullah bertanya kepadanya, “Dari dosa apa aku akan menyucikanmu?”. Maiz menjawab, “Dari zina, wahai Rasulullah”.

Maiz adalah seorang muhshon atau laki-laki yang sudah beristri. Hukuman atas seorang muhshon yang berzina adalah dirajam sampai mati. 

Rasulullah kemudian bertanya kepada para sahabat yang ada di sekelilingnya, “Apakah dia gila?”. Para sahabat menjawab bahwa Maiz tidak gila. Bahkan ada seorang sahabat yang menjawab, “Kami ketahui dia berotak waras dan termasuk orang shalih”.

Rasulullah bertanya lagi, “apakah dia minum khamar?”. Seorang sahabat langsung berdiri dan menghirup aroma mulut Maiz, ternyata tidak tercium bau arak dari mulutnya. 

Rasulullah bertanya kepada Maiz, “Apakah kau telah berzina?”.

“Ya”, jawab Maiz.

Lalu Rasulullahpun memerintahkan agar Maiz dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman.

Para sahabat waktu itu terbelah menjadi dua kelompok. Sebagian dari mereka berkata, “Maiz telah celaka karena dia harus menanggung dari perbuatan dosanya”. 

Sebagian sahabat yang lain menyatakan, “Tidak ada taubat yang lebih utama dari taubatnya Maiz. Karena dia datang kepada Rasulullah minta hukuman mati dengan rajam atas dosa yang telah ia perbuat”.

Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat itu berlangsung selama dua atau tiga hari. Setelah itu Rasulullah datang di tengah-tengah para sahabat yang sedang duduk-duduk. 

Beliau lalu mengucap salam, duduk, dan kemudian bersabda, “Mintakanlah ampunan untuk Maiz bin Malik”. Para sahabat kontan menyahut, “Semoga Allah mengampuni Maiz bin Malik”.

Rasulullah lalu bersabda, “Sungguh dia telah bertaubat dengan sebuah pertaubatan yang seandainya pertaubatan itu dibagikan kepada satu ummat pasti cukup”. (Shahih Muslim, kitab al-hudud, 5: 119).

Terhadap seorang yang telah mengaku berbuat dosa, Nabi tidak secara serta merta memberikan penilaian dan hukuman. Nabi menunggu keseriusan si pendosa ini. 

Setelah kedatangannya yang keempat, Nabi baru meresponsnya dengan memverifikasi kesadaran si pendosa tersebut dengan menanyakan kewarasan dan kesadaran otaknya.

Baru kemudian, pelaksanaan hukuman dilaksanakan. Setelah matipun, Nabi tidak menghinakan sang pendosa tersebut, tetapi sebaliknya memuji keseriusannya bertaubat dengan mengatakan “seandainya pertobatan itu dibagikan kepada satu ummat pasti cukup”.

(Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019, Kolaborasi Republika.co.id dan Suara Muhammadiyah)

Oleh Agung Danarto

KHAZANAH REPUBLIKA

Seni Memilih Kata untuk Memenangkan Hati

SIAPA yang tak ingin disayangi, dicintai dan dihormati orang lain? Namun faktanya ada banyak orang yang gagal disayangi, dicintai dan dihormati. Banyak orang memaksakan diri untuk menjadi orang yang berwibawa dengan bersikap keras menakutkan kepada orang lain. Mereka melupakan kata para tetua bahwa bukan petir yang menumbuhkan bunga-bunga, melainkan sapaan lembut rintik-rintik hujan. Iya, kelembutan adalah kata kunci memenangkan hati untuk sayang, cinta dan hormat.

Ada seorang guru yang dikenang baik dan didoakan baik para muridnya sampai saat ini. Beliau sudah lama sekali meninggal, namun kisahnya tetap hidup hingga kini. Yang selalu dikenang dari beliau adalah kelembutannya menganggap semua muridnya bagai anaknya sendiri. Sang guru ini tak pernah membodoh-bodohkan muridnya, apalagi membentak dan memukulnya. Kalau jawaban murid salah beliau berkata lembut: “Hampir benar. Ada jawaban lainnya?” Sang murid tak tersinggung walau tahu bahwa hampir benar itu adalah belu benar alias salah. Ini adalah seni memilih kata.

Lain lagi kisahnya dengan guru yang satu ini yang suara bunyi langkah sepatunya saja menjadikan semua muridnya takut, bagai kedatangan malaikat pencabut nyawa. Setiap murid menjawab salah, langsung lahir bentakan dan umpatan. Paling lembutnya adalah ucapan dengan nada tinggi: “Jawabanmu benar, tapi untuk pertanyaan yang lain.” Malulah sang murid dan terkenanglah dipermalukannya dia sampai dia tua. Tak ada kenangan baik dan doa kebaikan untuk sang guru.

Berpikirlah sebelum mengucapan kata. Pilihlah kata yang menyejukkan dan menentramkan. Semua orang memiliki hati dan kepekaan rasa. Jika hati terluka, sangat sulit untuk terobati. Pilihan kata menjadi penting. Namun ada yang lebih penting dari itu, yakni ketulusan hati yang menjadi dasar kelembutan kata.

Di manakah tempat belajar seni memilih kata dan tempat mentuluskan hati? Mari kita belajar bersama-sama. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke-16)

Allah Swt Berfirman :

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.” (QS.Al-Anfal:46)

Ayat ini adalah sebuah larangan yang tegas bagi kaum muslimin untuk tidak berselisih dan menciptakan konflik di tengah tubuh kaum muslimin sendiri.

Dalam ayat ini disebutkan ada dua akibat besar yang akan muncul bila kaum muslimin saling berselisih di antara mereka sendiri, yaitu :

Akibat pertama adalah (الفشل) yaitu perasaan gentar dan takut dalam menghadapi musuh.

Dan akibat kedua adalah hilangnya kekuatan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar.

Ayat di atas memberi kita gambaran yang tegas bahwa apabila kaum muslimin saling berselisih dan berkonflik, maka akan muncul perasaan “tidak percaya” kepada saudaranya sehingga kekuatan mereka akan melemah dalam menghadapi musuh. Rasa takut kita dihadapan kekuatan musuh adalah akibat dari perselisihan di tubuh kaum muslimin sendiri. Bayangkan apabila setiap kelompok dari kaum muslimin saling percaya dan bersatu, maka tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang bisa menandingi kekuatan Islam.

Maka tugas kita hari ini adalah membuang segala perselisihan dan mulai saling menghargai pendapat masing-masing. Perselisihan tidak akan pernah usai bila terus dijadikan pembahasan, namun apabila kita saling menghormati pilihan orang lain maka persatuan Islam akan bisa diwujudkan.

Perselisihan akan membawa kita pada rasa saling curiga kepada sesama saudara muslim dan efek yang lebih jauh adalah menumbuhkan rasa kebencian di tengah kaum muslimin. Sementara Islam di kepung dari segala arah oleh para musuh dan tiada jalan untuk melawan itu semua kecuali dengan persatuan dan saling percaya.

Musuh tidak akan mampu melawan kekuatan Islam tanpa memecah belah kaum muslimin dari dalam. Lalu apabila kita bertanya, darimana perselisihan itu berasal?

Bila kita perhatikan ayat di atas, kita akan mendapatkan jawaban bahwa perselisihan itu muncul karena kita tidak taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Dalam beragama kita masih sering mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga dari situlah banyak perselisihan yang akan muncul. Namun apabila kita berupaya untuk taat kepada aturan Allah dan Rasul-Nya maka perselisihan itu akan mudah diselesaikan, karena semuanya fokus untuk meraih satu tujuan bersama dan mengesampingkan kepentingan masing-masing. Dan apabila hal ini terwujud, maka sebab-sebab untuk datangnya kemenangan akan semakin dekat.

Maka berpeganglah selalu dengan Firman Allah swt :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS.Ali ‘Imran:103)

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN