Covid-19 Menuntut Manusia Merenung & Perbaiki Diri

VIRUS Corona atau Covid-19 tengah mewabah dunia. Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia salan satu yang terdampak dengan jumlah korban cukup besar. Kehidupan sosial dan ekonomi luluh lantak akibat pandemi virus mematikan tersebut.

Menurut Profesor Quraish Shihab, bencana tersebut mengharuskan siapa pun untuk merenung.

“Bencana ini mengharuskan kita merenung, mengapa terjadi? Lalu kita berusaha untuk memperbaiki diri guna terhindar darinya,” kata Prof Quraish pada acara “Munajat Hamba”, Selasa (21/4/2020).

Menurut Prof Quraish, siapa pun harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT, tetapi harus disadari pula bahwa kehendak Allah terjadi tidak secara sewenang-wenang. “Kita masih diperintahkan untuk berusaha. Salah satu usaha itu adalah doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,” kata ulama tafsir yang dianugerahi Bintang Tanda Kehormatan Tingkat Pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni dari Pemerintah Mesir itu.

Perihal pentingnya doa, Allah telah menyatakan dalam Surat Al-Furqan ayat 77. Artinya, “Katakanlah (Muhammad kepada orang-orang musyrik), Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena doamu. (Tetapi bagaimana Dia mengindahkan kamu), padahal sungguh kamu telah mendustakan (rasul dan Al-Quran)? Karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu).

“Begitu juga hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa takdir tidak akan berubah kecuali dengan doa. “La yaruddul qadara illad du’a.” Artinya, “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.”

“Bencana jatuh dari langit. Doa naik membumbung ke atas. Doa bertemu dengan bencana, bisa jadi bencana dialihkannya sehingga tidak turun ke bumi. Bisa jadi juga diperlemah kejatuhnya sehingga dia jatuh bagaikan di atas tumpukan jerami. Oleh karena itu doa sangat dianjurkan,” terangnya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Allah menyatakan tidak akan menghukum hamba-Nya selama mereka beristighfar. Artinya, “Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Allah tidak akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun,” (Surat Al-Anfal ayat 33).

“Mari kita memanjatkan doa dengan beristighfar sambil berselawat kepada rasulullah SAW,” ajak penulis Tafsir Al-Misbah itu. Selain Prof Quraish, turut pula mengikuti acara ini, yaitu lama terkemuka Mesir Syekh Ali Jum’ah, Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon KH Husein Muhammad, Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand Prof Nadirsyah Hosen, dan Pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, KH Abdullah Kafabihi Mahrus. Selain itu, terdapat Pengasuh Pesantren Al-Munawwir Krapyak KH R Najib Abdul Qodir, Pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan KH Idris Hamid, Pengasuh Pondok Roudlotut Thohiriyyah Kajen KH Ahmad Muadz Thohir, Cendekiawan Muslim Ulil Absar Abdalla, dan Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen. [nuol]

INILAH MOZAIK

Pahala Menyimak Kajian Online

Ust, apakah ikut nyimak kajian online seperti skrg ust2 banyak yg mengisi kajiannya via streaming, apakah ttp dpt pahala hadir di majelis ilmu, sprti dikelilingi malaikat dst?

Jawaban:

Kesibukan paling baik adalah, sibuk anda bersama ilmu. Mengajar, membaca, mendengarkan ilmu, adalah agenda yang paling baik mengisi waktu Anda di rumah Anda. Imam Az-zuhri rahimahullah pernah mengatakan,

ما عُبِدَ اللَّهُ بمثل الفقه

Tak ada ibadah yang lebih agung dipersembahkan untuk Allah, melebihi ibadah fikih (memahami ilmu).

Semenjak wabah COVID-19 melanda negeri kita, banyak kajian para ustadz yang diliburkan. Namun alhamdulillah, Allah masih sayang kepada kita, sehingga masih bisa mendengarkan ilmu, melalui jejaring internet. Para ustadz mulai menggunakan nikmat ini sebagai sarana menyebarkan ilmu, via live streaming di YouTube, Instragram, Facebook, google duo, Zoom dll.

Apakah mengikuti kajian online seperti ini, mendapatkan pahala menghadiri majelis ilmu?

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda tentang pahala majelis ilmu,

لا يقعدُ قومٌ يذكرون اللهَ عز وجل إلا حفَّتْهم الملائكةُ ، وغشيتْهم الرحمةُ ، ونزلتْ عليهم السكينةُ ، وذكرهم اللهُ فيمن عنده

“Tidaklah suatu kaum duduk untuk mengingat Allah, kecuali para Malaikat (rahmah) mengelilinginya, rahmat Allah menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang berada di sisinya.” (HR. Muslim)

Jawabannya adalah, insyaallah orang yang mengikuti kajian live streaming, juga mendapatkan pahala majelis ilmu yang disebutkan pada hadis di atas. Ada dua alasan setidaknya yang mendasari jawaban ini :

Pertama, tidak hadir ke pengajian, karena uzur, tetap dapat pahala normal.

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا

Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana Ibadah yang dia lakukan ketika sehat atau ketika tidak safar.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjelaskan, bahwa seorang yang beruzur melakukan rutinitas ibadahnya saat ia masih sehat atau kondisi normal, ia tetap mendapatkan pahala sebagaimana kondisi normalnya. Walaupun ia tak mampu melakukan ibadah tersebut atau tidak maksimal melakukannya.

Syekh Kholid Al Muslih menerangkan,

وهو يشمل كل صاحب عذر في تركه لما كان عليه من الخير،

Hadis di atas berlaku pada semua yang beruzur (seperti kekhwatiran tertular wabah, pent) melakukan ibadah yang dia lakukan saat kondisi normal. (https://almosleh.com/ar/12665)

Para ulama telah menjelaskan, bahwa wabah Corona adalah uzur syar’i boleh tidak sholat Jumat dan sholat berjamaah, padahal kedua ibadah tersebut bersinggungan dengan rukun Islam, maka terlebih lagi menghadiri pengajian. Sehingga karena adanya penghalang berupa wabah ini, seorang tetap mendapatkan pahala menghadiri pengajian secara normal/ideal, walaupun ia hanya menyimak melalui kajian online atau live streaming.

Kedua, teknis kajian seperti itu, masuk dalam definisi bermajelis ilmu.

Dalam hadis yang lain, Nabi ﷺ menyebut perkumpulan pengajian dengan sebutan majelis dzikir. Dijelaskan oleh Imam Az-zuhri, majelis dzikir maksudnya majelis yang di dalamnya dijelaskan halal dan haram, atau sebutan ringkasnya, majelis ilmu. Ini menunjukkan, bahwa setiap orang yang ikut serta dalam majelis ilmu, ia mendapatkan pahala bermajelis ilmu.

Karena seorang untuk disebut bermajelis, tidak harus dengan hadir bertatap muka. Seperti transaksi online misalnya, para ulama menghukumi sebagai majelis jual beli yang sah. Sehingga ketentuan jual beli, seperti hak khiyar dan yang lainnya, juga berlaku pada model transaksi ini. Demikian pula dengan majelis ilmu, seorang yang menyimak secara online, juga masuk dalam definisi bermajelis ilmu.

Syekh Dr. Abdullah As-Sulmi menerangkan,

ولا شك أن مجالسَ العلم مجالسُ تحفها الملائكة، وتغشاها الرحمة، وتتنزل عليها السكينة. ولهذا فإن فقهاء الإسلام من علماء العصر، يرون أن المجلس إنما هو ما تعارف عليه الناس في المجلس، فمجلس البيع هو ما يتبايع فيه المتبايعان، أو ما يحصل فيه في وسائل الاتصال الحديثة، ولا شك أن هذا المجلس الذي -بإذن الله- تحفُّه الملائكة، وإن كان مع الإخوة معنا في هذا الاستديو، وكذلك فيمن خلف الشاشات، يستمعون ويترقبون، يأخذون أقلامهم، يُقيدون فوائد هذا الدرس، فإنهم -بإذن الله- سوف يكونون -بإذنه- ممن تحفهم الملائكة، فحيهلا جميعًا في هذا الصرح المبارك.

Tidaklah diragukan bahwa majelis ilmu adalah majelis yang dikerumuni oleh para malaikat, rahmat Allah melimpah ruah di sana dan ketenangan pun diturunkan di tempat tersebut.

Para pakar fikih kontemporer berpandangan bahwa pengertian majelis adalah segala sesuatu yang dinilai sebagai majelis oleh masyarakat. Majelis jual beli adalah tempat terjadinya transaksi jual beli baik secara langsung atau pun melalui berbagai sarana komunikasi modern.

Tidaklah diragukan bahwa majelis kajian ini dengan izin Allah, adalah majelis yang dikerumuni para malaikat. Baik yang hadir bersama kami di studio atau pun yang menyimak dan memperhatikan kajian di balik komputer, sambil memegang pena dan mencatat pelajaran yang disampaikan. Maka mereka ini dengan izin Allah termasuk orang orang yang dikerumuni malaikat. (Kami nukil dari situs guru kami ustadzaris.com)

Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak (anggota ulama Senior Saudi Arabia) saat ditanya apakah hadis yang menjelaskan keutamaan majelis ilmu yang dikelilingi malaikat, apakah orang yang menyimak melalui internet, ia berada tempat yang jauh dari majelis, apakah tetap mendapatkan pahala di atas?

Jawaban Syekh :

فضلُ الله واسعٌ، لا حجْرَ على فضلِ اللهِ، نرجو أنْ يشملَه، نرجُو، وهذا هو المُستطاعُ، فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، وهذا قد طلبَ العلمَ بما يستطيعُ، وشاركَ طُلَّابَ العلمِ والمُجتمعين على ذلك شاركَهم بالوسيلةِ التي تيسَّرَتْ له، واللهُ المُستعان .

Karunia Allah itu luas, tak boleh membatasi karunia Allah yang maha luas. Kami berharap, ganjaran tersebut juga mencakupi orang yang menyimak melalui internet. Bertakwalah kepada Allah semampu kalian. Orang tersebut telah menuntut ilmu sebatas kemampuan yang ia miliki. Ia ikut serta bersama penuntut ilmu lainnya dan para hadirin melalui sarana yang mudah ia upayakan. Allah yang memberi pertolongan. (https://sh-albarrak.com/article/10006)

Sebagai penutup, mohon digaris bawahi bahwa, jawaban ini hanya berlaku untuk orang yang mengikuti kajian secara live. Adapun yang tidak live, maka jawaban ini tidak berlaku. Meskipun tetap mendapatkan pahala menuntut ilmu lainnya, namun tidak untuk pahala menghadiri majelis ilmu yang ganjarannya berupa dikelilingi malaikat, diliputi rahmat dst.

Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36319-pahala-menyimak-kajian-online.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam. Berikut adalah penjelasan ayat tentang puasa

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 183

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَز.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Makna Ayat

Wahai orang-orang beriman, sungguh telah diwajibkan atasmu ibadah puasa, sebagaimana hal itu juga diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadikannya sebagai penghalang yang menjaga dirimu dari murka dan siksa Allah Ta’ala [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152-155; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Nazhm ad-Durar, 3: 44; Tafsir as’Sa’di, hlm. 86; Tafsir Ibnu Utsaimin al-Fatuhah wa al-Baqarah, 2: 316-317]. 

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25: 220].

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa” merupakan isyarat bahwa keimanan mengharuskan orang yang memiliki iman untuk berpuasa, karena sungguh ayat ini dibuka dengan panggilan bagi orang-orang beriman [Ar-Risalah at-Tabukiyah, hlm. 39].
  2. Ada hikmah ilahiyah dalam kewajiban berpuasa atas orang-orang beriman. Salah satu hikmah Allah adalah Dia mensyari’atkan berbagai jenis ibadah. Di antara ibadah tersebut ada yang murni ibadah harta seperti zakat. Ada yang murni ibadah fisik seperti shalat. Dan di antaranya ada ibadah yang merupakan kombinasi keduanya seperti haji. Ada juga ibadah yang berwujud meninggalkan sesuatu seperti puasa yang berupa aktivitas meninggalkan makan, minum, dan selain keduanya. Hal itu untuk menyempurnakan ujian pada diri hamba, karena sebagian orang terkadang mudah melaksanakan aktivitas ibadah fisik, namun berat melakukan ibadah harta. Demikian pula sebagian yang lain, mungkin sebaliknya, mudah menyedekahkan harta, tapi berat melakukan ibadah fisik [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 319]. 
  3. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” terdapat hiburan dan pelipur bagi hamba yang dibebani dengan suatu ibadah agar mudah menjalankannya. Di sini Allah Ta’ala menginformasikan bahwa Dia mewajibkan ibadah puasa atas umat Islam dan menjelaskan kepada mereka bahwa ibadah tersebut juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelumnya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai ibadah yang nampak berat, apabila memasyarakat dan banyak dilakukan orang, niscaya akan ringan dan mudah dijalankan [Tafsir ar-Razi, 5: 243; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah, 2: 318].
  4. Salah satu hikmah dari permisalan yang ada dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” adalah untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan bagi umat ini yang telah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya, sehingga kaum muslimin menjadi teladan dalam ibadah puasa, dan bersungguh-sungguh dalam menunaikannya dengan lebih sempurna; selain menegaskan hukum berpuasa dan memotivasi [Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Tafsir Abu as-Su’ud, 1:198; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah –, 2: 317]. 
  5. Hamba sepatutnya menjalani berbagai sebab yang bisa mengantarkan dirinya mewujudkan predikat takwa, karena Allah ta’ala mewajibkan ibadah puasa ini untuk tujuan tersebut seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 318].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Ayat ini dibuka dengan seruan Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman”, karena dalam Bahasa Arab bentuk seruan atau panggilan digunakan untuk menarik perhatian agar memperhatikan apa yang akan disampaikan setelahnya. Pengulangan seruan tersebut untuk menampakkan adanya perhatian lebih pada apa yang akan disampaikan dan untuk menjelaskan adanya hukum agama yang lain setelah perincian hukum qishash pada ayat-ayat sebelumnya [Tafsir Abu as-Su’ud, 1: 198; Tafsir Ibnu ‘Asyur, 2:154].
  2. Firman Allah ta’ala, “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, redaksi tersebut dinyatakan dengan kata kerja “كُتِبَ”, yaitu kata kerja pasif dimana fa’il (subyek) dihapus karena telah dimaklumi bahwa yang menetapkan kewajiban tersebut adalah Allah Ta’ala. 

Alasannya, karena ibadah puasa itu umumnya memberatkan diri hamba. Sehingga dalam hal ini, etikanya pembebanan suatu hal yang memberatkan tidak disebutkan secara langsung bahwa Allah Ta’ala yang menetapkannya, meski benar bahwa Dia-lah yang menetapkan. Itulah mengapa penetapan suatu perkara yang berwujud kelapangan dan kegembiraan yang dilakukan Allah Ta’ala, tetap dinyatakan dengan redaksi yang menggunakan kata kerja aktif, dimana fa’il tetap disebutkan. Hal ini seperti firman Allah ta’ala,

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ

“Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” [QS. al-An’am: 54] [Tafsir Abu Hayyan, 2: 177]

  1. Pada firman Allah ta’ala, “عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, terdapat taqdim dan takhir, maksudnya ada yang didahulukan dan diakhirkan, dimana kata “عَلَيْكُمُ” didahulukan atas kata “الصِّيَامُ”. Hal ini berfungsi sebagai penegasan, karena memulai dengan menyebutkan bentuk penetapan lebih tegas daripada langsung menyebutkan sesuatu yang ditetapkan [Ad-Dur al-Mashun, 2: 266].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55951-ayat-ayat-shiyam-bag-1.html

Jika Lockdown Berkelanjutan, Ini Petunjuk Al-Qur`an

Pendemi ini cara agar kita semakin mendekat kepada Allah. Selain itu,  pelajaran peduli kepada umat, agar tak suka mencari selamat 

SAAT ini, orang pada umumnya sedang resah, khawatir, takut dan dihinggapi perasaan tidak menentu karena virus corona. Tidak ada tahu sampai kapan akan berhenti dan tidak ada info valid dan pasti siapa gerangan di balik semua ini. Apa ini natural atau by design.

Sebagai Muslim, di tengah situasi seperti ini, penulis dengan bismillah mencoba melihatnya dari sudut pandang al-Qur`an. Mencoba mendaras, menelaah, mentadabburi berbagai macam kisah yang identik atau secara subtansi mirip dengan kondoisi lockdown dan bagaimana solusinya.

Penulis akan memulai dengan tingkatan paling rendah hingga level yang paling tinggi.

Pertama, kasus Nabi Yusuf yang ter-lockdown dalam sumur. Allah berfirman:

{فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (15) } [يوسف: 15]

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS: Yusuf [12]: 15).

Akibar iri hati, saudara-saudara Yusuf bersepakat untuk menjauhkan dia dari ayahnya (Ya’qub). Opsi paling ringan adalah diletakkan ke dalam sumur. Menurut data tafsir Ibnu Katsir, beliau terkurung dalam sumur ini selama tiga hari.

Kisah kedua, Nabi Yunus yang berada dalam perut ikan lantaran meninggalkan kaumnya. Al-Qur`an menggambarkan:

{فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ (142) فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ (143) لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (144)} [الصافات: 142 – 144]

“Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela . [142] Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, [143] niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS: Ash-Shaffat [37]: 142-144)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan perbedaan pendapat mengenai berapa lama Yunus di perut ikan. Ada yang mengatakan 3 hari, 7 hari dan paling maksimal 40 hari dan ini yang masyhur. Berada dalam perut ikan di kedalaman lautan yang sangat gelap.

Ketiga, kisah Ashabul Kahfi yang ditidurkan oleh Allah dalam gua selama 300 tahun lebih. Demikian penggambaran al-Qur`an:

{وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا } [الكهف: 25]

“Dan mereka (Ashabul Kahfi) tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi [18]: 25)

Ketiga kisah ini menggambarkan orang yang menghadapi ujian dari Allah. Berada di suatu tempat yang sebenarnya sangat dijauhi orang. Sepi, sunyi dan taka da komunikasi dengan pihak luar.

Saat Yusuf di dalam sumur, tidak ada kepastian bekal makan yang jelas. Demikian juga Yunus, mana ada makanan siap saji dalam perut ikan, apalagi Ashabul Kahfi yang harus diam di gua selama 3 abad. Benar-benar kondisi yang jauh lebih dahsyar daripada corona.

Dari semua kisah lockdown yang penulis dapat dari al-Qur`an ini, ada beberapa hal yang dilakukan mereka saat menghadapi situasi sulit ini. Pertama, semaki dekat dengan Allah. Yang mereka takutkan dan khawatirkan pertama kali bukan takut mati atau tak bisa makan. Tapi justru ketika tidak diperhatikan Tuhan.

Dalam kondisi seperti itu, mereka semakin memperkohoh iman, mengevaluasi diri, mendapatkan waktu maksimal untuk lebih intim bersama Allah. Dalam keadaan sesempit itu, mereka masih memiliki harapan. Di sinilah peran agama. Membuat orang selalu memiliki harapan di puncak keputus asaan.

Mengapa mereka tidak khawatir? Karena yakin punya Allah, dan pasti akan dijamin rezekinya dengan cara yang Allah kehendaki. Tugas hamba adalah berikhtiar sepuncak yang dimampu. Adapun qaha dan qadar murni prerogatifnya.

Yusuf menghadapai masalah kedengkian dari saudara-saudaranya? Apa Allah mencampakkannya? Tidak, itu hanya berlangsung minimal tiga hari setelah itu dia ditemukan oleh kafilah dagang hingga dijual ke penguasa Mesir hingga bertemu dengan takdirnya menjadi Bendaharawan Mesir.

Yunus, selama 40 hari tinggal di dalam perut ikan besar, kalau bukan karena dzikirnya, beliau akan tinggal di situ sampai hari kiamat. Menurut akal manusia biasa, pasti mati. Rupanya, Allah masih menyelamatkan beliau. Lebih dari itu, sekembalinya ke tempat kaumnya, mereka sudah beriman.

Demikian juga Ashabul Kahfi, mereka berjuang menegakkan nilai-nilai tauhid. Menjadi buronan kelas kakap penguasa tiran kala itu. Sampai akhirnya masuk dalam gua dan ditidurkan selama itu. Ketika bangun, negerinya sudah dipimpin oleh penguasa yang adil.

Dilihat dari sebentar dan lama lockdown yang mereka hadapi, semuanya mendapat akhir yang manis. Apa sebab? Pertama, iman yang kuat sehingga tidak larut pada rasa takut. Kedua, tujuan hidup yang jelas. Ketiga, tidak lepas dari zikir (selalu on dengan Allah). Keempat, berjuang untuk umat. Kelima, punya idealisme besar berupa: tidak mendapatkan dunia dengan berbagai perniknya tidak masalah, asal masih diperhatikan oleh Allah. Ketika Allah sang Pencipta yang menjadi muara harapan, maka segala cintaan-Nya akan tunduk pada iradah-Nya. Yusuf yang tadinya dibuang menjadi anak gedongan, segala kebutuhan Yunus dipenuhi bak sedang berada dalam kapal selam, Ashabul Kahfi tidur nyaman dan nyenyak. Waktu yang sudah tiga abad itu hanya terasa semalam.

Dari ketiga kisah itu, penulis mengambil hikmah:

Pertama, dalam situasi sesulit apapun jangan dikuasai oleh rasa takut berlebihan. Allahush Shamad (Allah tempat bergantung). Sebab, kalau hati sudah putus asa, maka tak ada jalan untuk bangkit.

Kedua, semakin mendekat kepada Allah. Boleh jadi, ini adalah satu momen rahmat yang disediakan oleh Allah, agar hamba-Nya semakin dekat kepada-Nya.

Ketiga, menebarkan optimisme, peduli kepada umat serta tak mencari selamat sendiri.

Demikianlah sudut pandang orang Muslim: yang ditakuti hanyalah Allah. Kalaupun setelah melakukan ikhtiar, tapi tetap meninggal dalam suasana ujian, maka itu bernilai syahid. Kalau masih diberi kesempatan hidup, berarti Allah masih memberi kesempatan untuk menyiapkan lebih banyak bekal menuju akhirat.*/ 

Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Sambut Ramadan: Ini Pesan Rasulullah untuk Kita

MENJELANG bulan suci Ramadan, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berpidato di hadapan para sahabatnya. Ceramah di penghujung bulan Syaban tersebut berisi tentang keistimewaan Ramadan, serta anjuran untuk meningkatkan penghambaan kepada Allah dan kepedulian sosial.

Yang menarik, Rasulullah menggunakan redaksi sapaan “ya ayyuhannas” (wahai manusia) saat mengawali pidatonya, yang menandakan bahwa pesan tersebut berlaku umum bagi seluruh umat, bukan kaum Muslimin semata. Berikut isi lengkap pidato tersebut:

“Wahai manusia, sungguh bulan agung dan penuh berkah telah menaungi kalian. Bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan itu, Allah menjadikan puasanya sebagai suatu kewajiban dan qiyam atau salat di malam harinya sebagai ibadah sunah. Siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebajikan, maka nilainya sama dengan mengerjakan kewajiban di bulan lain. Siapa yang mengerjakan suatu kewajiban dalam bulan Ramadan tersebut, maka sama dengan menjalankan tujuh puluh kewajiban di bulan lain.”

“Ramadan itu adalah bulan kesabaran; sedangkan ketabahan dan kesabaran, balasannya adalah surga. Ramadan adalah bulan pertolongan. Pada bulan itu rezeki orang-orang mukmin ditambah.”

“Siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa di bulan itu, maka ia akan diampuni dosanya, dibebaskan dari api neraka. Orang itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Sedangkan pahala puasa bagi orang yang melakukannya, tidak berkurang sedikit pun.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tak semua dari kami memiliki makanan untuk berbuka bagi orang lain.”

Rasulullah menjawab, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberikan sebutir kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu.” Nabi pun melanjutkan, “Dialah Ramadan, bulan yang permulaannya dipenuhi dengan rahmat, periode pertengahannya dipenuhi dengan ampunan, pada periode terakhirnya merupakan pembebasan manusia dari azab neraka.”

“Barangsiapa yang meringankan beban pekerjaan pembantu-pembantu rumah tangganya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka.”

“Oleh karena itu dalam bulan Ramadan ini, hendaklah kamu sekalian dapat meraih empat bagian. Dua bagian pertama untuk memperoleh rida Tuhanmu dan dua bagian lain adalah sesuatu yang kamu dambakan. (Untuk meraih) dua bagian yang pertama, hendaklah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. (Untuk meraih) dua bagian yang kedua hendaklah memohon (dimasukkan ke dalam) surga dan berlindung dari api neraka.”

“Siapa yang memberi minuman kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari telagaku, suatu minuman yang seseorang tidak akan merasa haus dan dahaga lagi sesudahnya, sehingga ia masuk ke dalam surga.” (Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah: 1780; al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman: 3455. Redaksi hadits di atas riwayat Ibn Khuzaimah).

Meskipun sebagian ahli menyebut hadits ini berstatus dhaif, kandungannya masih bisa diamalkan karena berkaitan dengan fadhailul amal (keutamaan amal). Beberapa keterangan yang disebutkan hadits ini, banyak persamaan yang disebutkan hadits yang lebih sahih. Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan pernyataan mengenai hadits dhaif:

“Hadits yang dhaif lebih aku cintai dari ra’yu (pendapat akal seseorang).” Dalam kalimat yang lain, beliau berpendapat:

“Beramal dengan hadits yang dhaif lebih utama dari menggunakan qiyas (analogi)”.

Hadits itu dimuat juga dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terkenal, antara lain: Muhammad Yusuf al-Kandahlawi dalam kitab Hayah al-Shahabah, III/400401, Imam al-Munzdiri dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib, I/1617, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz dalam kitab Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, XV/4445. Prof. Hasbi al-Shiddiqi dalam Pedoman Puasa. [nuol]

Covid19 Apakah Penyakit Menular dengan Sendirinya?

Corona Apakah Penyakit Menular dengan Sendirinya?

Tulisan ini adalah penjelasan bahwa penyakit itu menular dengan izin Allah.

Dunia sedang dihantui dengan penyebaran Corona, ekonomi dunia tumbang, wisata rontok, politik gonjang ganjing, kepanikan di mana mana.

Pernahkah Anda berpikir, benarkan Corona pantas untuk disikapi sedemikian rupa?

Perlukah kita panik seperti yang dilakukan oleh sebagian orang? Borong bahan makanan, takut Shalat Jum’at, takut berjabat tangan, takut bepergian, dan takut takut lainnya.

Semoga dengan membaca hadits berikut Anda bisa menjawab berbagai pertanyaan di atas:

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ

“Tidak ada penularan penyakit, tidak pula ada sial pada bulan Sofar, dan tidak pula ada arwah gentayangan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Spontan seorang arab badui berkata: “Wahai Rasulullah, lalu mengapa onta-ontaku yang semula ketika berada di tempat terbuka bagaikan rusa (berkulit indah nan bersih) kemudian ketika kedatangan onta kudisan di tengah mereka, tidak selang berapa lama onta ontaku terkena kudisan pula?

Menanggapi pertanyaan ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ أَعْدَى الأَوَّلَ

“Menurutmu, Siapakah yang menularkan penyakit kudis kepada onta pertama yang kudisan?” (Muttafaqun ‘alaih)

Ya, siapakah yang menyebabkan onta pertama terkena kudis? Tentu jawabannya: itu terjadi atas kuasa Allah, demikian pula dengan Corona, orang pertama pengidap Corona karena Allah menghendakinya, demikian pula orang kedua, ketiga dan seterusnya.

Karena itu sikapilah dengan wajar, tempuhlah hidup sehat, konsumsi makanan yang halal, jauhi perbuatan dosa, perbanyak meminta ampun kepada Allah Ta’ala dan selalu berlindunglah kepada-Nya dari berbagai penyakit dan wabah yang Anda khawatirkan:

اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ وَالأَدْوَاءِ

“Ya Allah, Jauhkanlah aku dari akhlak, amal perbuatan. hawa nafsu, dan penyakit buruk.” (HR. At-Tirmidzi)

Semoga Allah senantiasa menjauhkan kita semua dari wabah penyakit dan meneguhkan kita di atas iman hingga akhir ajal.

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

Read more https://konsultasisyariah.com/36306-covid19-apakah-penyakit-menular-dengan-sendirinya.html

Hukum Azan Saat Shalat Di Rumah Karena Corona

Hukum Azan Saat Shalat Di Rumah Karena Corona

Afwan Ustadz, para ulama dan pemerintah senada menghimbau sholat jama’ah demikian Jumat diganti Duhur di rumah. Apakah klo sholat di rumah juga tetap azan Ustadz?

Syukron atas jawabannya….

Jawaban :

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Berikut kami nukilkan penjelasan dari Syekh Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih (pakar fikih serta dosen di Universitas Qosim, Saudi Arabia)

هذا موضع خلاف بين أهل العلم…

Terjadi diskusi (khilaf) di kalangan para ulama tentang anjuran azan bagi yang sholat di rumah karena uzur atau berhalangan.

والأقرب والله أعلم، أنه يشرع أن يؤذن حتى أذن المسجد، فيشرع لرب البيت أو من كان مميزا، من أهل البيت من الذكور أن يؤذن عند الصلاة.

Namun pendapat yang tepat; wallahua’lam, adalah bagi yang sholat di rumah, tetap disunnahkan berazan. Sekalipun telah mendengar azan dari masjid. Kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki yang minimal telah mencapai usia mumayyiz (sekitar 7 tahun), diperintahkan oleh syari’at untuk mengumandangkan adzan saat tiba waktu shalat.

ويدل لهذا أنه ورد عن الصحابة رضي الله عنهم، بأسانيد صحيحة، الأذان عند عدم إدراك الصلاة، كما ورد عن جابر بن عبد الله و أنس بن مالك و سلمة بن الأكوع.

Dalilnya adalah riwayat dari para sahabat seperti Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik dan Salamah bin Al-Akwa’ dengan sanad yang shahih, bahwa mereka tetap mengumandangkan saat berhalangan mengikuti shalat berjama’ah di masjid.

ولو ترك المسلم الأذان مكتفيا بأذان المسجد، فجائز ولا بأس، ولكن لو أذن فهذا أحسن وأفضل لورود ذلك عن الصحابة.

Seandainya seorang mencukupkan dengan azan masjid, itupun boleh. Namun mengumandangkan azan saat shalat di rumah, lebih afdhol, karena adanya riwayat demikian dari para sahabat.

Kami nukil dan terjemahkan dari :

• Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh bi Virus Corona, halaman 11, karya: Syekh Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36314-hukum-azan-saat-shalat-di-rumah-karena-corona.html

Panduan Shalat Tarawih di Rumah Saat Wabah Corona

Berikut ini artikel penuh manfaat–insya-Allah–, yaitu panduan shalat tarawih di rumah saat wabah corona.

Shalat tarawih adalah jihad di malam hari

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin melakukan dua jihad pada bulan Ramadhan. Jihad pertama adalah jihad pada diri sendiri di siang hari dengan berpuasa. Sedangkan jihad kedua adalah jihad di malam hari dengan shalat malam. Siapa yang melakukan dua jihad dan menunaikan hak-hak berkaitan dengan keduanya, lalu terus bersabar melakukannya, maka ia akan diberi ganjaran di sisi Allah dengan pahala tanpa batas (tak terhingga).” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 306)

Keutamaan shalat tarawih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 37 dan Muslim, no. 759).

Hukum shalat tarawih

Dalam Matan Abu Syuja diterangkan bahwa shalat sunnah muakkad (selain rawatib yang mengiringi shalat wajib) ada tiga, yakni shalat malam, shalat Dhuha, dan shalat tarawih. Lihat Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar fii Syarh Ghayah Al-Ikhtishar, 1:112.

Kesimpulan, shalat tarawih berarti shalat sunnah muakkad (yang ditekankan).

Shalat tarawih itu bisa berjamaah, bisa sendirian

Imam Nawawi Asy-Syafii dalam Al-Majmu’ (3:363) menyatakan, “Shalat tarawih itu dihukumi sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Shalat tarawih itu dua puluh rakaat dalam madzhab kami. Shalat tersebut bisa dilukan sendirian (munfarid) atau berjamaah.”

Menurut madzhab Syafii, shalat tarawih itu lebih afdal berjamaah. Inilah pendapat yang sahih (ash-shahih). Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa shalat tarawih itu lebih afdal seorang diri (munfarid). Lihat Al-Majmu’ (3:363).

Dalil yang menunjukkan bahwa shalat tarawih masih bisa munfarid adalah hadits berikut.

Dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat ruangan kecil di masjid dari tikar di bulan Ramadhan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di situ beberapa malam hingga orang-orang pun berkumpul kepada beliau. Kemudian pada suatu malam mereka tidak mendengar suara beliau, maka mereka menyangka beliau telah tidur. Sebagian mereka berdehem agar beliau keluar kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا زَالَ بِكُمُ الَّذِى رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ ، حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ ، وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ

Kalian masih melakukan apa yang aku lihat dari sikap kalian. Aku khawatir shalat ini akan diwajibkan bagi kalian. Kalau shalat tarawih diwajibkan, kalian tidak bisa melaksanakan. Hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian karena sesungguhnya shalat seseorang yang terbaik adalah di rumahnya kecuali shalat fardhu.” (HR. Bukhari, no 7290)

Cara mengerjakan shalat tarawih

Menurut ulama Syafiiyah, jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam, dilakukan tiap malam Ramadhan, ada lima kali duduk istirahat. Setiap kali melakukan dua rakaat diniatkan untuk shalat sunnah tarawih atau qiyam Ramadhan.

Seandainya mau dikerjakan empat rakaat salam, empat rakaat salam juga sah. Waktu shalat tarawih adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar Shubuh.

Dalil yang menunjukkan shalat tarawih bisa dengan empat rakaat salam adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat empat rakaat, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang rakaatnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat empat rakaat lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang rakaatnya.” (HR. Bukhari, no. 3569 dan Muslim, no. 73)

Dalil yang menunjukkan shalat malam shalat malam itu dua rakaat salam adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى »

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalat malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk Shubuh, lakukanlah shalat satu rakaat berarti engkau jadikan witir pada shalat yang telah dilakukan.” (HR. Bukhari, no. 990 dan Muslim, no. 749)

Jumlah rakaat shalat tarawih itu tidak dibatasi

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah rakaat tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit rakaat atau dengan rakaat yang banyak.” (At-Tamhid, 21:70)

Shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sebelas rakaat. Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah rakaat dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738)

Yang dipilih menjadi imam

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:413-418), Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily membahas beberapa syarat seseorang jadi imam. Beberapa syarat dari beliau bisa dijadikan ketentuan untuk menjadi imam saat shalat di rumah sebagai berikut:

  1. Shalat imam harus sah dengan memenuhi rukun dan syarat sah shalat.
  2. Imam tidak boleh seorang ummi, sedangkan makmum adalah qari’. Yang dimaksud dengan ummi adalah tidak benar dalam membaca surah Al-Fatihah.
  3. Imam tidak boleh wanita dan makmumnya laki-laki. Yang dibolehkan adalah jika imamnya wanita untuk mengimami jamaah wanita, di mana imam wanita tadi berdiri di tengah jamaah wanita. Imam laki-laki yang bersendirian boleh juga mengimami banyak wnaita atau bersama jamaah laki-laki, posisi jamaah wanita berada di belakang jamaah laki-laki. Ada kisah bahwa Umar pernah mengimami jamaah wanita dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Catatan: Seorang wanita dimakruhkan berdiri di samping laki-laki dalam shalat. Jika itu terjadi, shalat laki-laki dan perempuan itu tidak batal. Begitu pula, seorang laki-laki dimakruhkan shalat dengan wanita non mahram. Makruh di sini adalah makruh tahrim. Namun shalat keduanya tetap sah. Adapun, kalau seorang laki-laki mengimami istri atau wanita yang masih mahram dengannya, tetap sah, tidak makruh.

Sifat mustahab (yang dianjurkan) untuk imam:

  1. Yang didahulukan adalah imam yang fakih (paham hukum shalat) dan yang paling bagus bacaannya.
  2. Jika keduanya sama-sama bagus bacaannya, yang didahulukan adalah yang paling fakih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abu Bakar untuk mengimami shalat, padahal masih ada yang lebih bagus bacaannya dari Abu Bakar dan mereka mengumpulkan Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, dan Abu Zaid.
  3. Hendaklah mendahulukan yang lebih tua. Yang dimaksud dengan lebih tua adalah lebih lama dalam berislam. Jika ada yang lebih tua usia, namun baru masuk Islam; lalu ada yang muda namun berislam sejak lama, yang lebih tua tidak didahulukan. Kecuali kalau keduanya masuk Islamnya bersamaan, yang didahulukan adalah yang lebih tua.

Kesimpulannya, yang dipilih jadi imam di rumah adalah:

  1. Yang betul dalam membaca surah Al-Fatihah.
  2. Imam yang lebih paham hukum shalat lebih didahulukan daripada yang bagus bacaannya. Anggota keluarga yang paham shalat bisa jadi ayahnya atau anaknya yang sekolah di pesantren.

Shalat wanita di rumah

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid mengatakan,

صَلاَةُ المَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي المَسْجِدِ ، سَوَاءٌ الفَرِيْضَةُ أَوْ النَّافِلَةُ ، وَمِنْ ذَلِكَ صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ .

“Shalat wanita di rumahnya lebih afdal daripada di masjid, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, termasuk pula shalat tarawih.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 222751)

Dalam Al-Liqa’ Asy-Syahri, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan,

صَلاَتُهَا التَّراَوِيْحُ فِي البَيْتِ أَفْضَلُ ، لَكِنْ إِذَا كَانَتْ صَلاَتُهَا فِي المَسْجِدِ أَنْشَطُ لَهَا وَأَخْشَعُ لَهَا ، وَتَخْشَى إِنْ صَلَّتْ فِي البَيْتِ أَنْ تُضِيْعَ صَلاَتُهَا ، فَقَدْ يَكُوْنُ المَسْجِدُ هُنَا أَفْضَلُ

“Shalat tarawih di rumah itu lebih afdal bagi muslimah. Namun jika ia shalat di masjid membuatnya lebih semangat dan lebih khusyuk, juga khawatir kalau shalat di rumah akan lalai dari shalat, dalam kondisi ini, shalat di masjid lebih afdal.”

Membaca Al-Qur’an dari mushaf atau dari gawai yang terdapat aplikasi Al-Qur’an saat shalat tarawih

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

إِذَا دَعَتِ الحَاجَةُ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ المُصْحَفِ ؛ لِكَوْنِهِ إِمَامًا ، أَوِ المَرْأَةُ وَهِيَ تَتَهَجَّدُ بِاللَّيْلِ ، أَوْ الرَّجُلُ وَهُوَ لاَ يَحْفَظُ : فَلَا حَرَجَ فِي ذَلِكَ

“Jika memang dibutuhkan membaca Al-Qur’an dengan mushaf (saat shalat) karena ia menjadi imam atau wanita yang sedang shalat tahajud pada malam hari atau ada yang tidak menghafalkan Al-Qur’an, tidaklah masalah ia membaca dari mushaf.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 8:246)

Imam Bukhari membawakan dalam kitab sahihnya,

وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ

“Aisyah pernah diimami oleh budaknya Dzakwan dan ketika itu ia membaca langsung dari mushaf.”

Ibnu Nashr mengeluarkan hadits-hadits tentang masalah qiyamul lail (shalat malam) dan Ibnu Abu Daud dalam Al-Mashahif dari Az-Zuhri rahimahullah, ia berkata ketika ditanya mengenai hukum shalat sambil membaca dari mushaf, “Kaum muslimin terus menerus melakukan seperti itu sejak zaman Islam dahulu.” Dalam perkataan lain disebutkan, “Orang-orang terbaik di antara kami biasa membaca Al-Qur’an dari mushaf saat shalat.”

Imam Ahmad berkata, “Tidak mengapa mengimami jamaah dan melihat mushaf langsung ketika itu.” Beliau ditanya, “Bagaimana dengan shalat wajib?” Jawab beliau, “Aku tidak pernah melihat untuk shalat wajib seperti itu.” Lihat Masail Shalah Al-Lail, hlm. 54-55.

Menutup shalat malam dengan shalat witir

Kita disunnahkan menutup shalat malam dengan shalat witir (rakaat ganjil) sebagaimana disebutkan dalam hadits,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.”  (HR. Bukhari, no. 998 dan Muslim, no. 751)

Jika memilih shalat witir tiga rakaat, bisa dilakukan dengan cara dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam, atau tiga rakaat sekaligus salam.

Dalilnya:

1- Mengerjakan tiga rakaat dengan pola 2 – 1 (dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara rakaat yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6: 83. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2- Mengerjakan tiga rakaat sekaligus lalu salam

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga rakaat sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat terakhir.” (HR. Al Baihaqi 3: 28)

Sudah tarawih, malamnya shalat tahajud lagi

Seorang muslim masih boleh menambah shalat malam setelah tarawih karena jumlah rakaat shalat malam tidak ada batasannya. Yang penting tidak ada dua witir dalam satu malam. Dari Thalq bin ‘Ali, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi, no. 470; Abu Daud, no. 1439, An-Nasa-i, no. 1679. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Masih bolehnya lagi menambah rakaat setelah shalat witir, dalilnya berikut ini.

‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 rakaat (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat delapan rakaat kemudian beliau berwitir (dengan satu rakaat). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua rakaat sambil duduk. Jika ingin melakukan rukuk, beliau berdiri dari rukuknya dan beliau membungkukkan badan untuk rukuk. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Muslim, no. 738)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Dua rakaat setelah witir itu tanda bahwa masih bolehnya dua rakaat setelah witir dan jika seseorang telah mengerjakan shalat witir bukan berarti tidak boleh lagi mengerjakan shalat sunnah sesudahnya. Adapun hadits di atas “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir”, yang dimaksud menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam hanyalah sunnah (bukan wajib). Artinya, dua rakaat sesudah witir masih boleh dikerjakan.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 322-323).

Ada qunut witir

Qunut witir disunnahkan ketika separuh kedua dari bulan Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari sebagian sahabat Muhammad—salah seorang perawi–, Ubay bin Ka’ab mengimami jamaah di bulan Ramadhan dan ia membaca qunut pada separuh akhir dari Ramadhan. (HR. Abu Daud, no. 1428, hadits ini didhaifkan Syaikh Al-Albani).

Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafiiyah dan ada perkataan dari Imam Ahmad mengenai hal ini. Ketika Abu Daud menanyakan pada Imam Ahmad, “Apakah qunut itu sepanjang?” “Jika engkau mau”, jawab Imam Ahmad. Abu Daud bertanya lagi, “Apa pendapat yang engkau pilih?” Jawab Imam Ahmad, “Adapun saya tidaklah berqunut kecuali setelah pertengahan Ramadhan. Namun jika aku bermakmum di belakang imam lain dan ia berqunut, maka aku pun mengikutinya.” (Masail Ahmad li Abi Daud, 66). Mereka pun berdalil tentang riwayat dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih (Al-Mushannaf, 2:98).

Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu

اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“ALLAHUMMAHDIINI FIIMAN HADAIT, WA’AAFINI FIIMAN ‘AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WABAARIK LII FIIMA A’THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA TAQDHI WALAA YUQDHO ‘ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA RABBANA WATA’AALAIT.” (Artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasai, no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Membaca doa setelah witir

Ada dua doa yang bisa diamalkan:

[1] Dari Ubay bin Ka’ab; ia berkata,

فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, beliau mengucapkan, ‘SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS’ sebanyak tiga kali; ketika bacaan yang ketiga, beliau memanjangkan suaranya, lalu beliau mengucapkan, ‘ROBBIL MALAA-IKATI WAR RUUH.’” HR. As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, 3:40 dan Sunan Ad-Daruquthni, 4: 371. Tambahan “Rabbil malaa-ikati war ruuh” adalah tambahan maqbulah yang diterima.

[2]

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BI RIDHOOKA MIN SAKHOTIK WA BI MU’AAFAATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A’UUDZU BIKA MINKA LAA UH-SHII TSANAA-AN ‘ALAIK, ANTA KAMAA ATSNAITA ‘ALAA NAFSIK.” (Dibaca 1 kali)

Artinya: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan untuk diri-Mu sendiri. (HR. Abu Daud, no. 1427; At-Tirmidzi, no. 3566; An-Nasa’i, no. 1748; dan Ibnu Majah, no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Berniat puasa pada malam hari

Niat berarti al-qashdu, keinginan. Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.

Muhammad Al-Khatib berkata,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلاَ تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا وَلاَ يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat.” (Al-Iqna’, 1:404).

Madzhab Syafii menganjurkan untuk melafazhkan niat di lisan bersama dengan niat dalam hati. Niat sudah dianggap sah dengan aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk berpuasa seperti bersahur untuk puasa atau menghalangi dirinya untuk makan, minum, dan jimak khawatir terbit fajar. Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:173.

Dalil niat harus ada pada malam hari adalah hadits dari Hafshah—Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha–, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no. 2454. Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini).

Shalat tarawih cukup di rumah saja saat pandemi corona karena resiko berkumpulnya orang banyak akan mudah terjangkiti virus

Hal ini menimbang kaedah fikih,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”

دَرْأُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ

“Menolak kerusakan didahulukan daripada mencari kemaslahatan.”

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ

“Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.”

Orang yang punya uzur tetap mendapat pahala seperti keadaannya tatkala tidak ada uzur

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Kesimpulannya, kalau kebiasannya adalah shalat tarawih di masjid saat tidak pandemi, pahala tersebut bisa diraih saat ini walau shalat tarawih di rumah saja.

Ringkasan panduan shalat tarawih saat pandemi corona

  1. Hukum shalat tarawih di bulan Ramadhan adalah sunnah muakkad. Shalat yang penuh keutamaan ini jangan sampai ditinggalkan walaupun saat ini melaksanakannya di rumah saja karena adanya mudarat jika kumpul bersama di masjid.
  2. Waktu shalat tarawih adalah antara waktu shalat Isya hingga terbit fajar Shubuh, bisa dilakukan pada awal malam, maupun akhir malam (sepertiga malam terakhir) yaitu menjelang sahur.
  3. Shalat tarawih bisa dilakukan dengan rakaat yang sedikit atau banyak. Yang tepat, jumlah rakaat shalat tarawih tidak dibatasi. Kalau biasa merutinkan sebelas rakaat, baiknya di rumah dijaga dengan sebelas rakaat.
  4. Shalat tarawih dilakukan dengan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Shalat tarawih bisa pula dilakukan dengan empat rakaat salam, empat rakaat salam sebagaimana pendukungnya dalam hadits Aisyah.
  5. Shalat tarawih bisa dilakukan berjamaah bersama keluarga, atau bisa seorang diri di rumah, tergantung mana yang dinilai maslahat.
  6. Yang menjadi imam adalah yang paham hukum shalat dan bagus bacaannya. Yang dipilih wajib adalah yang benar dalam membaca surah Al-Fatihah, walau dengan keterbatasan hafalan surah lainnya. Imam bisa dipilih ayah, kakek, atau anak laki-laki yang sudah pantas jadi imam shalat.
  7. Wanita muslimah tidak disyaratkan untuk berjamaah dalam tarawih, bisa shalat sendirian di dalam kamarnya. Kalau ia merasa kurang semangat, kurang khusyuk, atau lalai dari shalat, ia boleh shalat berjamaah bersama keluarga di rumah.
  8. Seorang imam boleh shalat tarawih sambil memegang mushaf, bisa pula dengan gawainya (gadget-nya) selama gerakannya tidak terlalu banyak dan demi kemaslahatan shalat.
  9. Shalat malam ditutup dengan shalat witir, bisa memilih tiga rakaat. Shalat witir tiga rakaat dapat dilakukan dengan dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam, atau bisa pula tiga rakaat sekaligus salam.
  10. Jika sudah shalat tarawih pada awal malam, bisa juga mengerjakan shalat tahajud setelah bangun tidur, asalkan tidak menjadikan dua witir dalam satu malam.
  11. Ada syariat qunut witir pada rakaat terakhir bakda rukuk. Dalam madzhab Syafii, qunut witir dibaca pada separuh kedua dari bulan Ramadhan. Bacaan qunut witir adalah: ALLAHUMMAHDIINI FIIMAN HADAIT, WA’AAFINI FIIMAN ‘AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WABAARIK LII FIIMA A’THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA TAQDHI WALAA YUQDHO ‘ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA RABBANA WATA’AALAIT. Kalau shalatnya berjamaah, bisa diubah dengan kata ganti jamak, contohnya: ALLAHUMMAHDINAA, dst.
  12. Tidak ada bacaan khusus antara duduk shalat tarawih, juga ketika beralih dari shalat tarawih ke shalat witir. Yang ada tuntunan adalah bacaan setelah shalat witir, yakni: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, ROBBIL MALAA-IKATI WAR RUUH, lalu dilanjutkan bacaan: ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BI RIDHOOKA MIN SAKHOTIK WA BI MU’AAFAATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A’UUDZU BIKA MINKA LAA UH-SHII TSANAA-AN ‘ALAIK, ANTA KAMAA ATSNAITA ‘ALAA NAFSIK.
  13. Yang mau berpuasa esok hari harus berniat pada malam hari sebelum Shubuh. Niat puasa dalam hati sudah teranggap berdasarkan kesepakatan para ulama. Arti niat adalah keinginan puasa. Niat ini harus ada tiap malam dan diniatkan berpuasa wajib Ramadhan.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

  1. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
  2. Hasyiyah Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar (Ibnu Qasim Al-Ghazi). Sa’aduddin bin Muhammad Al-Kubi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  3. Lathaif Al-Ma’arif fiimaa li Mawasim Al-‘Aami min Al-Wazhaif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
  4. Masail Shalah Al-Lail. Cetakan tahun 1432 H. Dr. Muhammad bin Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz Al Furaih. Taqdim: Syaikh Sholeh Al Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. https://islamqa.info/ar/answers/222751/كيف-تصلي-المراة-صلاة-التراويح-في-بيتها
  6. https://islamqa.info/ar/answers/38922/هل-يجوز-ان-يصلي-التراويح-في-البيت
  7. Beberapa tulisan Rumaysho.Com

Diselesaikan pada waktu Maghrib, 21 April 2020, 27 Syakban 1441 H di Darush Sholihin, pada Selasa sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24086-panduan-shalat-tarawih-di-rumah-saat-wabah-corona.html

Status Orang yang Meninggalkan Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang agung dan salah satu rukun Islam. Maka meninggalkan puasa tanpa udzur merupakan dosa besar dan berat konsekuensinya. Bahkan para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa udzur syar’i, apakah ia masih Muslim ataukah keluar dari Islam?

Pendapat Sebagian Ulama

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa udzur maka ia kafir keluar dari Islam. Disebutkan dalam kitab Shifatu Shalatin Nabi (hal. 18) karya Ath Tharifiy :

ذهب بعض العلماء – وهو مروي عن الحسن, و قال به نافع و الحاكم و ابن حبيب من المالكية, و قال به إسحاق بن راهويه, وهو رواية عن الإمام أحمد – إلى أن من ترك شيئا من أركان الإسلام, و إن كان زكاة أو صياما أو حجا, متعمدا كسلا أو تهاونا أو جحودا, فإنه كافر. والجمهور على عدم الكفر

“Sebagian ulama berpendapat, pendapat ini diriwayatkan dari Al Hasan (Al Bashri), juga merupakan pendapat Nafi’, Al Hakim, Ibnu Habib dari Malikiyyah, Ishaq bin Rahuwaih, dan salah satu pendapat Imam Ahmad, bahwa orang yang meninggalkan satu saja dari rukun Islam, baik itu zakat, puasa atau haji, dengan sengaja atau karena malas atau meremehkan atau karena mengingkari kewajibannya, maka ia kafir. Sedangkan jumhur ulama berpendapat tidak sampai kafir”.

Dalil ulama yang mengkafirkan, diantaranya hadits-hadits tentang rukun Islam. Bahwa Islam dibangun di atas 5 perkara, yaitu: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, maka konsekuensinya jika salah satu ditinggalkan, hancurlah Islam seseorang.

Mereka juga berdalil dengan riwayat dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata:

مَن أطاقَ الحجَّ، فلم يحُجَّ فسواءٌ عليه مات يهوديًّا أو نصرانيًّا

“Barangsiapa yang mampu berhaji namun tidak berangkat haji, maka sama saja ia mati apakah sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nashrani” (HR. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 1/387, dishahihkan Hafizh Al Hakami dalam Ma’arijul Qabul, 639/2).

Sedangkan haji adalah salah satu rukun Islam. Perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah.

Pendapat yang Rajih

Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa. Diantara dalilnya, hadits dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya, namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no. 2155).

Dalam hadits ini yang menjadi patokan kufur-tidaknya seorang pemimpin adalah meninggalkan shalat, bukan puasa, zakat atau haji. Dan ini adalah ijma‘ para sahabat Nabi, Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili rahimahullah mengatakan:

لم يكن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

“Dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memandang ada amalan yang bisa menyebabkan kekufuran jika meninggalkannya, kecuali shalat” (HR. At Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Berdasarkan riwayat ini, para sahabat Nabi tidak menganggap kufurnya orang yang meninggalkan puasa, zakat atau haji.

Maka orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa udzur, dia tidak sampai kafir namun telah melakukan dosa besar. Terlebih lagi terdapat ancaman mengerikan bagi orang yang meninggalkan puasa. Sebagaimana hadits dari Abu Umamah al-Bahili radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, 

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

“Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku. Keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku: “naiklah!”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, sehingga aku bertanya: “suara apa itu?”. Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa ke tempat lain, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang digantung terbalik dengan urat-urat kaki mereka sebagai ikatan. Ujung-ujung mulut mereka sobek dan mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya” (HR. Ibnu Hibban no.7491, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban).

Adanya hadits ini dan juga adanya sebagian ulama yang menganggap kafirnya orang yang meninggalkan puasa, ini membuat kita semakin takut dan waspada jangan sampai meninggalkan puasa tanpa udzur. Dan juga kita mesti peringatkan keluarga dan orang-orang terdekat kita jangan sampai meninggalkan puasa tanpa udzur.

Meninggalkan Puasa Bisa Murtad Jika Istihlal

Orang-orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja jika mereka menganggap halal (istihlal) hal tersebut atau mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, maka ia murtad keluar dari Islam. Para ulama menyebut hal ini sebagai kufur juhud, yaitu orang yang meyakini kebenaran ajaran Rasulullah namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya, menentang karena kesombongan. Ini seperti kufurnya iblis terhadap Allah ketika diperintahkan sujud kepada Adam ‘alaihissalam, padahal iblis mengakui Allah sebagai Rabb,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Seorang hamba jika ia melakukan dosa dengan keyakinan bahwa sebenarnya Allah mengharamkan perbuatan dosa tersebut, dan ia juga berkeyakinan bahwa wajib taat kepada Allah atas segala larangan dan perintah-Nya, maka ia tidak kafir”. Lalu beliau melanjutkan, “..barangsiapa yang melakukan perbuatan haram dengan keyakinan bahwa itu halal baginya maka ia kafir dengan kesepatakan para ulama” (Ash Sharimul Maslul, 1/521).

Al Lajnah Ad Daimah menjelaskan:

من ترك الصوم جحداً لوجوبه فهو كافر إجماعاً ، ومن تركه كسلاً وتهاوناً : فلا يكفر ، لكنه على خطر كبير بتركه ركناً من أركان الإسلام ، مجمعاً على وجوبه ، ويستحق العقوبة والتأديب من ولي الأمر ، بما يردعه وأمثاله ، بل ذهب بعض أهل العلم إلى تكفيره .

وعليه قضاء ما تركه ، مع التوبة إلى الله سبحانه

“Siapa yang meninggalkan puasa karena juhud (menentang) wajibnya puasa maka ia kafir berdasarkan sepakat ulama. Namun yang meninggalkan puasa karena malas dan meremehkan, maka ia tidak kafir. Namun ia berada pada bahaya yang besar karena meninggalkan salah satu rukun Islam yang disepakati wajibnya. Dia wajib dihukum dan dibina oleh pemerintah, agar ia dan orang yang semisal dia jera. Namun sebagian ulama ada yang berpendapat ia kafir dan wajib meng-qadha puasa yang ditinggalkan setelah ia bertaubat kepada Allah Subhaanahu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 10/143).

Jika Bertaubat, Apakah Wajib Meng-qadha Puasa yang Ditinggalkan?

Terdapat hadits:

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunan-nya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). 

Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Jumhur ulama berpendapat orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja wajib meng-qadha setelah bertaubat. Bahkan Ibnu ‘Abdil Barr mengklaim ijma atas hal ini, beliau mengatakan:

وأجمعت الأمة ، ونقلت الكافة ، فيمن لم يصم رمضان عامداً وهو مؤمن بفرضه، وإنما تركه أشراً وبطراً، تعمَّد ذلك ثم تاب عنه : أن عليه قضاءه

“Ulama sepakat dan dinukil dari banyak ulama bahwa orang yang tidak puasa Ramadhan dengan sengaja dengan masih meyakini kewajibannya, namun ia tidak puasa karena bermaksiat dan sombong, dan sengaja melakukannya, maka ia wajib diminta bertaubat dan wajib meng-qadha puasanya” (Al Istidzkar, 1/77).

Dan ini juga pendapat yang dikuatkan Al Lajnah Ad Daimah dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Namun klaim ijma ini kurang tepat, karena dinukil adanya pendapat lain dari sebagian ulama Syafi’iyyah dan juga zhahiriyyah, juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa tidak diwajibkan qadha atas mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ولا يقضي متعمد بلا عذر : صوماً ولا صلاة ، ولا تصح منه

“Orang yang sengaja meninggalkan ibadah tanpa udzur maka tidak ada qadha baginya, baik itu puasa maupun shalat, dan (andai qadha dilakukan) ia tidak sah” (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, 460).

Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan:

فالراجح أنه لا يلزمه القضاء ؛ لأنه لا يستفيد به شيئاً ؛ إذ إنه لن يقبل منه ، فإن القاعدة أن كل عبادة مؤقتة بوقت معين ، فإنها إذا أخرت عن ذلك الوقت المعين بلا عذر ، لم تقبل من صاحبها

“Yang rajih, ia tidak wajib meng-qadha. Karena andaikan meng-qadha pun tidak bermanfaat karena tidak diterima. Karena kaidahnya adalah: setiap ibadah yang waktunya tertentu, jika diakhirkan sehingga keluar dari waktu tersebut tanpa udzur maka tidak akan diterima ibadahnya” (Majmu’ Al Fatawa Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 19/89).

Wallahu a’lam, nampaknya pendapat yang pertama adalah pendapat yang lebih hati-hati, yaitu wajibnya meng-qadha bagi yang meninggalkan puasa dengan sengaja. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

عبادة ثبتت في ذمة العبد ، فلا تسقط عنه إلا بفعلها

“Ibadah yang sudah jatuh menjadi beban seseorang, tidak bisa gugur sampai ia mengerjakannya”.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55959-status-orang-yang-meninggalkan-puasa-ramadhan.html

Warnai Jiwamu dengan Warna Islam!

 Kali ini kita akan mengkaji salah satu ayat yang menunjukkan keunggulan agama Islam atas agama lainnya. Bahwa Islam dalam keyakinan kita adalah satu-satunya agama yang di ridhoi oleh Allah dan satu-satunya agama yang di restui oleh-Nya.

Allah swt berfirman :

صِبۡغَةَ ٱللَّهِ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ صِبۡغَةٗۖ وَنَحۡنُ لَهُۥ عَٰبِدُونَ

Sibgah Allah.” Siapa yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah. (QS.Al-Baqarah:138)

Kalimat صِبغَةَ اللَّه memang agak sulit di terjemahkan secara letterlek dalam bahasa Indonesia. Sibghoh secara bahasa artinya memberi warna kepada sesuatu dengan warna tertentu.

Sementara para Ahli Tafsir menyebutkan bahwa arti Sibghoh Allah ada dua, yaitu agama Islam dan Fitrah.

Islam disebut sebagai Sibghoh Allah secara kiasan, karena sejatinya Islam mewarnai setiap langkah dan perbuatan dari penganutnya.

Allah swt berfirman :

فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ

“Fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” (QS.Ar-Rum:30)

Makna dari ayat ini adalah hendaknya kita mengikuti “Fitrah Allah” atau dengan kata lain jalan keyakinan kepada Allah yang menciptakan manusia atas dasar tersebut. Makna ini juga menjurus pada agama Allah yang lurus.

Secara dhohir memang tidak ada beda antara kalimat “Sibghoh Allah” dan “Fitrah Allah”. Karena agama Islam adalah fitrah itu sendiri dan tentu tidak akan berseberangan dengan fitrah.

Namun dari dua kalimat di atas ada pelajaran dan makna yang dapat kita ambil, yaitu :

Peganglah agama Allah dan tegakkan agama itu dengan tekad yang kuat dan upaya yang maksimal. Lakukan amalan-amalan yang tampak secara dhohir ataupun batin dan jalankan keyakinan kita sepanjang waktu sehingga diri kita terwarnai dengan warna Islam.

Karena dengan berpegang teguh dan serius dalam menjalankan ajaran Islam maka warna Islam akan menyatu dengan sifat-sifat yang ada dalam diri kita. Sehingga kita menjalankan perintah Allah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan serta rasa cinta. Dan meninggalkan semua larangannya berdasarkan kesadaran dan keikhlasan pula.

Sehingga agama dalam diri kita seperti warna yang menyatu di baju. Bergabung menjadi satu dan tidak terpisahkan.

Ketika ada baju berwarna merah, kita akan menyebut “Baju Merah”. Karena kita tidak bisa memisahkan antara baju dengan warnanya. Begitupula ketika warna Islam telah menyatu dalam diri kita maka segala ucapan, perbuatan dan apapun yang keluar dari diri kita adalah keindahan akhlak dan keluhuran ajaran Islam. Sehingga ujungnya kita akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sedangkan firman Allah di akhir ayat itu menyebutkan :

وَنَحۡنُ لَهُۥ عَٰبِدُونَ

“Dan kepada-Nya kami menyembah.”

Adalah sebuah penjelasan bahwa sebagai seorang yang mengaitkan diri dengan agama Islam kita harus menjalankan dua pondasi penting, yaitu :

1. Keikhlasan.

Makna ini tersirat dari kalimat لَهُ (kepada-Nya). Dalam artian seorang hamba melakukan segala sesuatu karena Allah.

2. Kepatuhan dalam mengikuti semua seruan-Nya.

Makna ini tersirat dari kalimat عَابِدُون (kami menyembah). Dalam artian ibadah adalah melakukan segala yang di senangi dan di ridhoi oleh Allah. Apapun itu, baik perkataan, perbuatan dan yang tampak ataupun yang tersirat di hati.

Maka dengan dua pondasi ini, yaitu keikhlasan dan kepatuhan maka jiwa seseorang akan benar-benar terwarnai oleh warna Islam yang suci dan penuh keindahan.

Semoga bermanfaat…