Menjalin Cinta Abadi dalam Rumah Tangga

Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Ta’ala berfirman,

{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS Ali ‘Imran:14).

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).

Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala[1].

Salah Menempatkan Arti Cinta dan Kasih Sayang

Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.

Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”[2].

Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”

Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka[3].

Cinta sejati yang abadi

Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[5].

Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[6].

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7].

Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…[8].

Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}

Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[9].

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba –dengan izin Allah Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,

{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}

Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).

Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala[10].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 25 Rabi’ul akhir 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/2448-menjalin-cinta-abadi-dalam-rumah-tangga.html

Sumbu Pendek dalam Rumah Tangga

Sabar itu bukan sekedar teori yang diucapkan di lisan atau ditulis di buku catatan. Namun harus dipraktikkan dalam kehidupan.

Banyak hal dalam kehidupan yang membutuhkan kesabaran. Di antara lapangan praktik nyata untuk mengasah kesabaran adalah saat menghadapi takdir yang tidak enak. Dan ini amat beragam contohnya. Salah satunya dalam kehidupan rumah tangga.

Pasangan Tak Sesuai Harapan

Siapapun yang berumah tangga tentu menginginkan keluarga yang harmonis. Faktor terpenting untuk mencapai impian tersebut adalah ketakwaan dari suami dan istri. Keduanya harus sama-sama bertakwa.

Namun ternyata realitanya tidak selalu sesuai harapan. Terkadang suami menjadi salih duluan, sedangkan istri belum. Atau sebaliknya. Kejadian ini semua tentu dengan takdir dari Allah ta’ala. 

Bila seseorang berpikir positif, seharusnya dia menyimpulkan bahwa ini adalah bagian dari peluang amal salih yang diberikan Allah Ta’ala. Maksudnya pintu berdakwah terbuka lebar di hadapan pasangan yang lebih dahulu kenal ngaji. Bukankah orang terdekat itulah yang paling berhak untuk memperoleh ajakan kebaikan kita?

Sumbu Pendek dalam Rumah Tangga

Tetapi ternyata kenyataannya tidak sedikit suami atau istri yang menginginkan jalan pintas. Sumbu pendek! Begitu ngaji dan melihat pasangannya belum mau diajak ngaji, dia langsung berpikir untuk cerai. Lalu mencari pasangan baru. Padahal mungkin dia belum maksimal untuk mendakwahi dan mendoakan pasangannya.

Ketahuilah, bisa jadi justru akan banyak sekali hikmah kebaikan di balik kondisi tersebut. Allah Ta’ala mengingatkan,

“وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا”

Artinya: “(Wahai para suami) perlakukanlah istri-istri kalian dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah). Karena boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal ternyata Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. QS. An-Nisa’ (4): 19.

Contoh kebaikan yang banyak itu antara lain: 

  • Mematuhi nasehat Allah yang mengajak untuk bersabar. Tentu kepatuhan tersebut akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  • Memaksa dan melatih diri berakhlak mulia, bersabar, berlemah lembut, bertutur kata halus dan lain sebagainya.
  • Mungkin perasaan benci yang sekarang ada akan berubah menjadi perasaan cinta kelak.
  • Bisa jadi akan lahir dari pasangan tersebut keturunan salih-salihah yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

Setelah berbagai upaya perbaikan dilakukan secara maksimal, kemudian situasi dan kondisi tidak memungkinkan rumah tangga dilanjutkan dan harus berpisah, itupun tidak masalah dalam agama kita. Yang penting tidak terburu-buru mengambil keputusan, sebelum berusaha maksimal melakukan perbaikan. Wallahu a’lam…

Penulis: Ustadz Abdullah Zarn, Lc.MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53014-sumbu-pendek-dalam-rumah-tangga.html

2020, Pemerintah Akan Tambah Kuota Haji Cadangan

Cisarua (Kemenag) — Pemerintah akan menambah kuota haji cadangan untuk masa haji 2020M/1441H menjadi sepuluh persen. Ini dilakukan untuk menyiasati agar kuota haji yang telah dimiliki negara Indonesia dapat terserap dengan lebih optimal. 

Hal ini dikemukakan Menteri Agama Fachrul Razi saat Rapat Kerja gabungan bersama Komisi VIII DPR, di Cisarua, Bogor. “Sebelumnya, kuota haji cadangan hanya sebesar 5%, atau sekitar 10.200 jemaah. Angka ini ternyata masih belum bisa memenuhi ketika ada jemaah haji batal berangkat. Jadi tahun depan dapat dinaikkan menjadi 10 persen,” ungkap Menag kepada anggota dan pimpinan Komisi VIII  DPR, Senin (25/11). 

Pada musim haji 2019M/1440H, Menag menjelaskan bahwa kuota jemaah haji Indonesia terserap 99,44 persen. “Dari 214 ribu kuota jemaah haji reguler, telah diberangkatkan sebanyak 212.732 jemaah. Ini terdiri dari 211.298 jemaah haji dan 1.434 Petugas Haji Daerah (PHD),” jelas Menag yang hadir didampingi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar Ali, serta jajaran Ditjen PHU Kemenag. 

Menag menerangkan, yang perlu menjadi perhatian adalah masih ada 1.189 jemaah dan 79 TPHD yang tidak berangkat pada musim haji 1440H/2019M. “Banyak dari mereka sebenarnya secara administrasi sebenarnya telah siap. BPIH telah lunas, bahkan visa sudah jadi,”kata Menag. 

“Namun, karena alasan pribadi, mereka banyak mengundurkan diri. Mulai dari alasan sakit, hamil, atau pun alasan pribadi lainnya. Hal ini yang kemudian perlu kita sikapi. Salah satunya kita menambah kuota haji cadangan menjadi 10 persen. Agar tentunya kemanfaatan kuota yang kita miliki dapat optimal,”imbuhnya. 

Rapat Kerja Gabungan yang dipimpin oleh Ketua Komisi VIII Yandri Susanto ini turut dihadiri perwakilan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan. “Rapat evaluasi ini sangat penting. Meskipun sudah banyak peningkatan dalam penyelenggaraan haji, kita perlu terus melakukan evaluasi, khususnya untuk menghimpun hambatan, tantangan, serta peluang untuk perbaikan haji 2020,” tutur Yandri saat membuka rapat.

KEMENAG RI

Melatih Diri Bekerja Tuntas

ALLAH SWT berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. al-Insyirah [94]: 7)

Saudaraku, janganlah kita seperti orang yang tidak jelas ketika mengerjakan sesuatu. Seperti orang yang berniat membereskan isi lemari baju, ketika sebagian baju dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian ia menemukan beberapa lembar foto masa lalu, akhirnya malah sibuk memilah-milah dan mengumpulkan foto itu, dan berpikir mencari foto lain yang mungkin masih terselip. Lalu, timbul pikiran menyusunnya dalam satu album foto. Ia pun mencari album yang masih kosong, kemudian sibuk dengan foto-foto itu. Sementara tumpukan baju dan lemarinya tidak beres ia rapikan.

Tidak sedikit orang, bahkan mungkin termasuk kita di antaranya, yang jika melakukan suatu pekerjaan, tidak fokus sehingga tidak selesai dengan baik. Target tidak tercapai, rencana meleset jauh, gara-gara tidak fokus dan banyak keinginan setiap kali menemukan sesuatu hal yang lebih menarik hati. Akhirnya, pekerjaan tidak ada yang tuntas. Alih-alih menuruti kesenangan hati, yang terjadi malah pekerjaan menjadi berantakan.

Tidak sedikit orang yang lebih mudah menuruti kesenangan, menuruti keinginan meraup untung banyak dari sana-sini, namun lupa untuk mengukur kapasitas dan kemampuan diri. Hasilnya, bukan keuntungan yang bertambah, malah kerugian yang semakin besar karena pikirannya terbagi, tenaganya terbatas, hingga tak ada satu pun yang mencapai target.

Sikap yang demikian bukanlah sikap yang diajarkan di dalam Islam. Rasulullah saw mencontohkan bekerja secara tertib dan tuntas sebelum beranjak kepada pekerjaan yang lainnya. Dalam salah satu hadis, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, maka ia bekerja dengan itqan (menuntaskan dengan sempurna.ed) pekerjaannya.” (HR. Thabrani)

Seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah pemimpin yang bekerja secara serius mengayomi kepentingan rakyatnya. Seorang karyawan yang dicintai atasannya adalah karyawan yang bekerja dengan penuh dedikasi dalam setiap tugasnya. Seorang pebisnis yang dicintai mitranya adalah pebisnis yang profesional dalam perniagaannya. Maka, beruntunglah orang yang senantiasa melatih dirinya untuk melakukan pekerjaan secara tuntas.

Pastikan setiap pekerjaan yang kita lakukan, tidak kita tinggalkan sebelum benar-benar selesai. Jangan menunda-nunda pekerjaan. Jika hari ini kita menunda pekerjaan karena merasa masih bisa dikerjakan besok, maka besok akan muncul hal baru untuk dikerjakan sehingga membuat pekerjaan malah bertumpuk dan semakin sulit diselesaikan.

Allah berfirman, “..Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (QS. al-Anbiyaa [21]: 90)

Umar bin Khaththab pernah menulis sepucuk surat yang beliau tujukan kepada Abu Musa al-Asyari. Beliau menulis, “Janganlah engkau menunda-nunda pekerjaan hari ini pada esok hari, karena pekerjaan engkau akan menumpuk (sehingga tidak akan sanggup lagi engkau kerjakan) dan akan hilanglah semuanya!”

Untuk mengerjakan sesuatu secara tuntas, buatlah perencanaan dan target. Satu pekerjaan boleh jadi tidak akan tuntas satu hari atau satu waktu, disebabkan volume pekerjaannya yang besar. Maksud dari bekerja tuntas itu memang bukan berarti harus selesai pada saat itu juga. Bekerja tuntas adalah bekerja efektif, efisien, dan terukur dengan target yang jelas.

Akan berbeda dengan pekerjaan yang tidak kita tentukan secara pasti selesai kapan, dan bagaimana proses pengerjaannya supaya selesai pada waktu yang telah ditargetkan. Lebih parah lagi kalau memulainya pun tidak direncanakan waktunya. Orang yang demikian akan bekerja seenaknya dan tanpa kemajuan.

Tokoh pergerakan Islam di Mesir, Hasan al-Banna, pernah mengungkapkan, “Al Waajibaatu aktsaru minal auqaat”, yang artinya “Kewajiban (yang harus kita kerjakan) lebih banyak dari waktu yang tersedia.”

Ungkapan Hasan al-Banna ini benar adanya. Sesungguhnya waktu yang kita miliki sangatlah terbatas jika dibandingkan dengan berbagai urusan, pekerjaan, tugas yang harus kita lakukan. Hanya orang-orang yang benar-benar disiplin dalam pekerjaannyalah, yang akan merasakan betapa waktu terasa sangat cepat dan singkat. Sedangkan orang-orang pemalas merasakan betapa waktu sangat panjang dan lama.

Oleh karena itu, pantang bagi kita berleha-leha dan menunda-nunda pekerjaan. Tuntaskan apa yang menjadi tanggung jawab kita, lakukan dengan fokus dan terukur sehingga tuntas dengan baik dan benar, tidak asal-asalan.

Jangan terlalu banyak keinginan, karena sesungguhnya kemampuan dan tenaga kita terbatas. Lakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita, dan keluarkan kemampuan terbaik saat mengerjakannya. Sehingga, meskipun pekerjaan yang kita lakukan nampak seperti urusan yang sederhana atau biasa, namun jika dilakukan secara tuntas, baik dan benar, niscaya memberikan manfaat yang besar dan berlimpah berkah. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Miliki Tujuan Hidup yang Jelas

SAUDARAKU, ketika seseorang beranggapan hidupnya terasa berat, salah satu sebabnya adalah tujuan hidupnya tidak jelas. Ia hidup tidak memiliki target yang jelas, sehingga hidupnya seperti tidak terarah. Hari demi hari hanya dilalui sekadarnya saja. Tidak terbayang olehnya apakah hari ini lebih baik dari hari kemarin ataukah lebih buruk. Ia tidak bisa mengukur dirinya sendiri.

Orang yang demikian hanya memenuhi hari-harinya dengan urusan dunia saja. Ia hanya memikirkan makanan, pakaian, rumah, dan kendaraannya. Ia sibuk menghitung uangnya padahal sebenarnya ia tidak bisa menikmatinya. Sungguh nelangsa hidup yang seperti ini. Semoga kita tidak tergolong orang yang demikian.

Kalau tujuan hidupnya bukan akhirat melainkan duniawi, maka pasti hidupnya terasa berat. Karena dunia ini sangatlah kecil dan sempit. Orang yang ingin dunia pasti akan saling berebutan dengan orang lain. Dan dunia ini seperti air laut, semakin diminum semakin membuat haus. Semakin dikejar semakin membuat tersiksa. Sedangkan yang ingin akhirat, sesungguhnya akhirat itu luas.

Bagi para pencari akhirat, semua urusan dunia bisa menjadi pahala. Dicaci orang lain, bisa menjadi jalan penggugur dosa. Sedangkan bagi para pencari dunia, itu sangat berat dan menyiksa. Banyak hal yang dianggap pahit oleh pencari dunia, malah dianggap manis oleh pencari akhirat.

Pencari dunia menyikapi musibah sebagai malapetaka dan kemalangan yang sangat berat. Diratapi seolah setiap babak dalam hidupnya adalah kemalangan. Dinasihati agar bersabar, malah terus mencari-cari alasan supaya dirinya pantas dikasihani. Sedangkan pencari akhirat akan menghadapi kesulitan hidup dengan bersabar, dan menyikapi kemudahan hidup dengan bersyukur. Baginya keadaan apapun adalah sama saja, yaitu sebagai ladang amal ibadah kepada Allah SWT.

Allah berfirman, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. al-Hadiid [57]: 20)

Allah pada banyak kesempatan mengingatkan kita bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya perantara, hanyalah sementara. Hanya persinggahan semata untuk menuju kehidupan yang sejati di akhirat nanti.

Segala kemegahan dan keindahan dunia pada satu sisi merupakan karunia dari Allah , dan pada saat bersamaan merupakan ujian bagi kita. Barangsiapa yang bisa mengelola dunia ini dengan baik, maka akan baik pula hidupnya kelak di akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak bisa mengelola dunia ini dengan baik, maka demikian pula hidup yang ia jalani di akhirat nanti.

Jadi, sangat keliru orang yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan. Siapa pun yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, maka akan tampak kekeliruan itu pada cara berpikir dan cara bertindaknya. Orang yang hanya berorientasi pada dunia, ia menghalalkan segala cara hanya demi hidupnya enak dan nyaman. Tidak mau tahu apakah satu urusan itu halal atau haram, yang ia mau hanyalah keuntungan dunia semata.

Ia lupa kehidupannya sendiri adalah pemberian dari Allah. Ia lalai untuk berpikir bahwa kesehatannya, kebugarannya sehingga bisa berjalan di muka bumi ini pun adalah pemberian dari Allah. Dan, ia pun lupa hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.

Kegelisahan, kecemasan, kegalauan berkepanjangan adalah tanda-tanda seseorang sudah terjebak pada cinta dunia, dan lupa pada akhirat sebagai tujuan hidupnya. Cemas besok tidak bisa makan, cemas tidak mampu menghidupi keluarga, gelisah uangnya tidak cukup untuk biaya ini dan itu, takut jabatannya turun, takut kedudukannya hilang dari pandangan manusia, dan berbagai rasa takut lainnya yang disebabkan urusan dunia.

Kegelisahan seperti ini hanya menyeret seseorang pada kegelapan yang semakin kelam. Karena sudah terseret-seret oleh dunia yang fana, ditambah lagi jauh dari Allah karena hati yang rapuh berpegang kepada-Nya. Padahal sudah pasti kepuasan yang dicari hawa nafsu tidak pernah ada habisnya. Seperti minum air laut saat kehausan, maka haus hanya akan makin menjadi-jadi, sedangkan semakin banyak air laut yang diminum akan semakin haus dan semakin rugi tubuh ini.

Padahal Allah SWT berfirman, “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (QS. Faathir [35]: 3)

Gelisah karena urusan dunia adalah bentuk jika kita tidak bersyukur atas segala nikmat yang selama ini diterima, sejak kita dalam kandungan hingga lahir di dunia. Mengapa khawatir tidak dapat rezeki, padahal selama ini rezeki yang kita terima tidak terhingga jumlahnya? Mengapa khawatir tidak bisa menghidupi keluarga, padahal setiap makhluk adalah ciptaan , milik Allah, dan Allah pula yang menjamin rezeki mereka.

Ada seseorang yang begitu cinta pada pekerjaannya. Ia begitu cinta hingga tidak mau jika sampai kehilangan posisi di tempat kerjanya. Selain gajinya besar, juga karena ia punya banyak bawahan. Posisi atau jabatan yang tinggi ini membuat ia terlena dengan enaknya kursi kedudukan di hadapan manusia. Ia terbuai dengan sanjungan dan penghormatan dari bawahannya.

Berbagai cara ia lakukan agar jabatannya itu tidak terlepas dari tangannya. Ia dekati atasannya, ia sampaikan laporan-laporan semu hanya demi membuat atasannya senang. Dan di saat yang bersamaan ia sikut orang lain yang mungkin bisa menjadi pesaingnya di hadapan penilaian atasan. Ia takut posisinya digantikan orang lain. Ia gelisah setiap kali ada rekan kerjanya yang berprestasi. Dan, ia dengki setiap kali ada rekan kerjanya yang mendapat pujian atau penghargaan dari atasan.

Padahal tiada yang didapatkan oleh seorang pendengki selain kerugian. Rasulullah saw bersabda, “Waspadalah kalian pada penyakit dengki, karena dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)

Bagaimana tidak rugi jika amalan kebaikan menjadi hangus nilainya disebabkan perbuatan diri sendiri yaitu dengki. Orang pendengki itu rumusnya sederhana, susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah. Mengapa Allah tidak suka kepada seorang pendengki? Karena pendengki adalah orang yang tidak menyukai perbuatan Allah SWT. Dengki itu ciri dari lemahnya iman. Dengki berarti buruk sangka kepada Allah. Dan, pendengki adalah orang yang tidak mengakui bahwa Allah Maha Baik dan Maha Adil.

Ketika Allah menakdirkan sesuatu keberuntungan kepada salah seorang dari hamba-Nya, maka pendengki tidak rela akan takdir tersebut. Artinya, dia tidak suka kepada Dzat yang menghendaki takdir itu terjadi, yaitu Allah SWT. Semoga Allah menyelamatkan kita dari penyakit hati ini.

Betapa berat rasanya hidup ini bagi orang yang diselimuti hatinya dengan kedengkian. Sekalipun ia dikaruniai harta kekayaan berlimah, pangkat jabatan mentereng, dan popularitas yang luas, namun hidupnya terasa sempit hanya karena tidak rela orang lain mendapatkan keberuntungan. Gambarannya seorang pendengki adalah dia memiliki 99 ekor domba, tapi gelisah, resah, tidak tenang hanya gara-gara ingin seekor domba yang dimiliki tetangganya. Ia lupa pada sekian banyak karunia yang sudah ia miliki, hanya karena dengki melihat sebuah keberuntungan yang dimiliki orang lain.

Inilah yang terjadi manakala seseorang tidak jelas tujuan hidupnya. Akhirnya ia hanya sibuk mencari penghargaan makhluk dan kemegahan dunia yang fana ini. Dunia sudah memenuhi hatinya, padahal semestinya dunia hanya ada di tangan saja. Hatinya sibuk dengan kerumitan-kerumitan, jauh dari rasa tenang dan bahagia.

Sedangkan bagi orang yang jelas tujuan hidupnya, yaitu kehidupan akhirat, maka dunia hanya berada di tangannya saja. Ia semangat untuk meraih sukses hidup di dunia agar semakin banyak jalan yang bisa ia tempuh demi kebahagiaan hidup di akhirat. Apapun yang ia jalani di dunia ini semata-mata adalah untuk ibadah kepada Allah SWT.

Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Kelapangan maupun kesempitan yang sedang dihadapi bisa disikapi sebagai sama-sama ladang ibadah kepada Allah. Syukur saat lapang, sabar saat sempit. Apapun keadaannya, hatinya senantiasa tenang, hidupnya terasa ringan karena Allah yang memenuhi hatinya. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Hartaku Untuk Surgaku

Allah ta’ala memberi tahu mengenai orang yang paling baiknya bicara. Dia berfirman:

(لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا)

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar” (QS. An-Nisa’ 114).

Inilah yang bermanfaat bagi manusia di dunia dan di akhirat.

Allah ta’ala memberi kita nikmat diantaranya adalah harta kita, yang mana tidak ada makhluk yang mendapatkan dan merasakan nikmat sebagaimana manusia, seperti; gajah dia tidak mampu untuk memproduksi sesuatu sebagaimana layaknya manusia. Hal itu dikarenakan Allah ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَق َلَكُم ماَ فِي الأَرضِ جَمِيعا ً

Artinya: “Dialah yang menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini untuk kalian (manusia)“. (QS. Al Baqarah: 29).

Namun dibalik itu semua apabila tidak mampu menginfaqkan harta kita yang itu merupakan nikmat Allah maka bahayanya melebihi bahaya hewan / bahaya makhluk lain. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِن َّلِكُل ِّأُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتٔنةُ أمَّتِي المَالُ

Artinya: “sesungguhnya setiap ummat itu memiliki fitnah ( ujian ) dan fitnah ummatku adalah harta“.

Banyak sekali orang yang hancur dikarenakan hartanya. Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُم لِيَصُدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Dan orang-orang kafir mereka menginfaqkan harta mereka untuk menghalang – halangi dan jalan Allah“.

Allah berfirman:

إِنَّمـَا أَمْوَالَكُم وَأَولَادُكُم فِتْنَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah ujian“.

Perlu diketahui bahwasannya apabila Allah memberi harta yang banyak kepada seseorang bukan berarti Allah telah memuliakannya dan bukan berarti dengan Allah menyempitkan rizqi seseorang berarti Allah telah menghinakannya. Namun sesungguhnya seseorang yang memiliki harta yang banyak dan sedikit dia mampu menjadi mulia apabila kita gunakan untuk infaq dijalan Allah.

Allah berfirman:

الذين ينفقون أموالهم با لليل والنهار سرا وعلانية فلهم أجرهم عند ربهم

Artinya: “Orang – orang yang menginfaqkan harta mereka pada malam hari dan siang hati dalam keadaan sembunyi – sembunyi dan terang – terangan maka baginyalah pahala disisi Rabb mereka” (QS. Al Baqoroh: 274).

Pada ayat diatas adalah isim maushul yang itu menunjukkan umum, yang berarti bukan hanya orang kaya saja. Inilah janjinya bagi orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah, dan inilah makna “hartaku untuk surgaku” .

Sesungguhnya harta yang Allah berikan kepada kita baik sedikit maupun banyak maka akan ditanya oleh Allah ta’ala, oleh karena itu mari kita siapkan jawaban kita. Allah ta’ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Artinya : “Dan kamu benar -benar akan ditanya tentang nikmat yang diberikan kepadamu” (QS. At-Takathur 8).

Harta adalah amanah yang dititipkan Allah kita oleh karena itu jangan sampai kita abaikan karena itu semuanya akan ditanya. Kenapa kita harus menginfaqkan harta kita di jalan Allah yang menuju ke Surga? Banyak sekali jawabannya, diantaranya:

Pertama: Karena perintah Allah ta’ala, Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ

Artinya: “Dan carilah dengan apa -apa yang Allah berikan kepadamu negeri akhirat” (QS. Al-Qasas 77).

Kedua: Harta yang kita nikmati di dunia ini sedikit sekali sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya : Berkata Bani adam “Ini hartaku, ini hartaku“. Lalu Rosululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kamu tidak memiliki harta apapun kecuali shodaqoh yang telah engkau keluarkan atau makanan yang telah engkau makan, atau pakaian yang telah engkau pakai yang telah usang, maka itulah milikmu”.

Ketiga: Orang yang meninggal tidak akan dikubur bersama hartanya, semuanya harus ditinggal. Namun yang dibawanya adalah amalnya.

Keempat: Surga itu dibeli dengan infaq. Allah ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya: “Dan itulah surga yang engkau warisi dengan sebab aoa yang telah engkau amalkan” (QS. Az-Zukhruf 72).

Yaitu amal sholih, termasuk kedalamnya adalah kedermawanan orang yang berinfaq. Lihatlah Abu Tholhah, saat beliau mendengar nabi membacakan ayat :

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya : “Kalian tidak akan mendapatkan surga sampai kalian menginfaqkan apa-apa yang kalian cintai” (Surat Ali-Imran 92).

Datanglah Abu Tholhah dan berkata: ” Wahai Nabi, aku mempunyai tanah di Buwairuhah, tanah yang paling bagus, berapun harganya dia takkan dijual, silahkan gunakan lebun ini untuk di jalan Allah”. Lalu apa yang dikatakan Nabi kepadanya? Beliau berkata: “Bagikanlah kepada keluargamu yang terdekat yang miskin“.

Kelima: Hidup kita di dunia ini sangatlah sebentar , sedangkan akherat adalah kekal. Allah berfirman :

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ

Artinya: “Katakanlah, kenikmatan dunia adalah sedikit dan akherat adalah lebih baik bagi orang yang bertaqwa” (Surat An-Nisa’ 77).

Dan solusi agar kita dapat berinfaq adalah, dengan hidup sederhana. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

انظر إلى من هو أسفل منكم ولا تنظر إلى من هو فوقكم

Artinya: “Lihatlah kepada yang dibawah kalian dan jangan lihat kepada yang di atas kalian (dalam urusan dunia)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda, pada hadits yang diriwayatkan oleh muslim dari sahabat Abu Hurairah:

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به وولد صالح يدعو له

Artinya: “Apabila anak Adam telah meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu *shodaqoh jariyah*, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendo’akannya“.

Syaikh Bin Baz mengatakan yang dimaksud shodaqoh jariyah adalah : Yang terus menerus bermanfaat seperti waqaf masjid, atau bangunan yang disewakan lalu hasilnya dishodaqohkan atau kebun / sawah yang disedekahkan.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصدقة لاتنقص المال

Artinya: “Shodaqoh itu tidak mengurangi harta“.

Dan sebaliknya apabila ada orang kaya atau pengusaha yang bangkrut maka sesungguhnya itu adalah karena akibat dosanya sendiri, sebagaimana Allah berfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Artinya: “Dan tidaklah musibah itu menimpamu kecuali karena perbuatan yang telah kalian perbuat, dan Allah telah banyak mengampuni kalian” (QS. Ash-Shura 30).

***

Penulis: Ust. Aunur Rofiq Ghufron, Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29468-hartaku-untuk-surgaku.html

Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan

Salah satu ciri orang yang beriman adalah gemar bersedekah. Sedangkan di antara ciri kemunafikan adalah enggan untuk bersedekah.

Sedekah Adalah Bukti Iman

Rasul shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda :

وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

“ Sedekah adalah burhan (bukti) “ (H.R Muslim)

Yang dimaksud burhan adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan. Tidaklah akan rela mengeluarkan harta yang ia cintai untuk disedekahkan, kecuali hanya orang yang memiliki keimanan dalam hatinya. Maka ketika seseorang mengedepankan ketaatan kepada Allah dengan bersedekah, ini merupakan bukti benarnya keimanan di dalam hatinya.

Orang Munafik Enggan Bersedekah

Adapun orang munafik, maka mereka enggan bersedekah. Bahkan mereka kikir dari bersedekah. Allah menyebutkan di antara sifat orang munafik di dalam Al Qur’an :

وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

“ … dan tidak pula menginfakkan harta mereka melainkan dengan rasa enggan karena terpaksa. ” (At Taubah : 54)

وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ

“ … dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). ” (At Taubah : 67)

Maka, sedekah adalah burhan keimanan, dan enggan bersedekah adalah ciri kemunafikan.

Allah Mencintai Sifat Dermawan

Sifat dermawan dan gemar bersedekah adalah merupakan akhlak baik dalam Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

إن الله تعالى جواد يحب الجود ويحب معالي الأخلاق ويكره سفسافها

“ Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi. Ia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia dan Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi,shahih)

Pahala yang berlipat ganda Allah janjikan bagi orang-orang yang bersedekah dengan hartanya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“ Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan balasan kebaikannya dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Al Hadid: 18)

Sedekah Sama Sekali Tidak Mengurangi Harta

Ini merupakan jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR. Muslim)

Anggapan orang bahwa bersedekah akan mengurangi harta tidaklah tepat. Bahkan dengan banyak bersedekah, harta semakin bertambah berkah dan akan mendapat ganti yang lebih baik. 

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang gemar bersedekah dan kita berharap senantiasa mendapat rezeki harta yang penuh dengan berkah.

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52996-enggan-sedekah-adalah-ciri-kemunafikan.html

Harun al-Rasyid, Khalifah Terbaik Dinasti Abbasiyah

Salah satu tokoh besar umat ini yang berhasil membuat Romawi menundukkan kepala karena wibawanya adalah al-Khalifah al-Mujahid Harun al-Rasyid rahimahullah. Seorang laki-laki mulia yang dikaburkan sejarahnya dan dibunuh karakternya oleh orang-orang yang membenci Islam dan kaum muslimin. Ia digambarkan sebagai seorang pemabuk yang gila. Laki-laki hidung belang dengan banyak selir. Pemimpin kejam dan zalim. Padahal dia adalah khalifah terbaik di Daulah Abbasiyah. Ia seorang mujahid. Pemimpin yang perhatian terhadap ilmu dan ulama. Dan keutamaan lainnya. Mungkin inilah yang menyebabkan fitnah itu dihembuskan. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang tak bertanggung jawab. Di sampingnya hanya ada khamr dan mabuk. Dibuatlah kisah-kisah palsu dan hikayat-hikayat dusta untuk mendukung fitnah itu.

Ibnu Khalkan berkata, “Harun al-Rasyid termasuk khalifah yang paling mulia dan raya yang paling melayani. Ia berhaji, berjihad, berperang, pemberani, dan cerdas.” (Siyar A’lam Nubala, Juz: 7 al-Rasyid).

Nasab dan Kelahirannya

Kun-yahnya adalah Abu Ja’far. Sedangkan nama dan nasabnya adalah Harun bin al-Mahdi Muhammad bin al-Manshur Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi al-Abbasi. Jadi, ia adalah seorang Quraisy satu kabilah dengan Nabi Muhammad ﷺ. Dan keturunan dari paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu.

Harun al-Rasyid dilahirkan pada tahun 148 H di Kota Ray. Kala itu, ayahnya menjadi pemimpin wilayah Ray dan Khurasan. Ibunya adalah al-Khayziran (Arab: الخيزران), kun-yahnya Ummul Hadi.

Sejak kecil, Harun al-Rasyid telah memiliki sifat istimewa seperti pemberani dan kuat. Sifat ini menjadikannya sangat layak sebagai suksesor ayahnya saat ia berusia 20-an tahun.

Menjabat Khalifah

Harun al-Rasyid menjabat khalifah Daulah Abbasiyah menggantikan ayahnya, al-Mahdi. Pengangkatannya terjadi pada malam sabtu tanggal 16 Rabiul Awal 170 H. Jabatan tertinggi di Daulah Abbasiyah itu ia duduki hingga bulan Jumadil Akhir 194 H.

Saat menjabat khalifah, umurnya baru menginjak 25 tahun. Ia berkun-yah dengan Abu Musa, namun orang-orang mengkun-yahinya dengan Abu Ja’far.

Khalifah Yang Shaleh

Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan dalam Tarikh Baghdad, “Sebagian sahabat Harun bercerita bahwa ia shalat setiap hari sebanyak 100 rakaat. Hal itu ia lakukan dengan istiqomah hingga wafat. Kecuali ada sebab yang menghalanginya. Ia bersedekah dengan mendermakan 1000 dirham setiap hari. Apabila ia menunaikan haji, turut serta bersamanya 100 ahli fikih (ulama) dan anak-anak mereka. Jika ia tidak berhaji, maka ia menghajikan 300 orang dengan bekal baju besi, kiswah, dan yang lainnya.” (Tarikh Baghdad Bab al-Ha-u)

Al-Mas’udi mencatat tahun-tahun dimana Harun al-Rasyid menunaikan ibadah haji. Dari catatannya Harun al-Rasyid berhaji pada tahun 170, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 181, 186, dan 188 H.

Adz-Dzahabi mengatakan dalam Tarikhnya, “Tahun 179, Harun al-Rasyid berumrah di bulan Ramadhan. Ia senantiasa dalam ihramnya hingga musim haji tiba. Ia berjalan dari rumahnya menuju Arafah.” (Siyar A’lam Nubala, Juz: 7 al-Rasyid).

Amalan Harun al-Rasyid ini membantah orang-orang yang tidak berhaji dengan alasan peduli sosial. Kedua ibadah ini bisa dilakukan tanpa mengorbankan salah satunya. Harun al-Rasyid berhaji dan juga memiliki perhatian besar dalam hubungan sosial kemasyarakatan.

Kehidupannya Adalah Teladan

Al-Manshur bin Ammar mengatakan, “Aku tidak melihat orang yang lebih mudah menitikkan air mata saat berdzikir melebihi tiga orang: al-Fudhail bin Iyad, (Harun) al-Rasyid, dan yang lain.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq, Juz: 27, Hal: 19).

Diriwayatkan, suatu hari Ibnu as-Samak menemui al-Rasyid. Saat itu Harun al-Rasyid meminta minum. Diberikanlah untuknya semangkok minuman. Ibnu as-Samak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya Anda terhalangi meminum minuman ini –maksudnya satu mangkuk air ini pun Anda tak punya-, dengan apa Anda akan membelinya?” “Dengan setengah kerajaanku,” jawab al-Rasyid. “Minumlah, semoga Allah memberimu ketenangan,” kata Ibnu as-Samak.

Setelah al-Rasyid selesai meminum air itu, Ibnu as-Samak kembali berkata, “Seandainya air ini dihalangi keluar dari badan Anda, dengan apa Anda akan menebusnya agar ia bisa keluar?” “Dengan seluruh wilayah kerajaanku,” jawab al-Rasyid. Ibnu as-Samak melanjutkan, “Sesungguhnya harga sebuah kerajaan hanya dengan seteguk air dan kencingnya. Sungguh tidak pantas seorang berlomba-lomba memperebutkannya.” Harun al-Rasyid pun menangis tersedu-sedu. (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).

Ibnul Jauzi mengisahkan, “al-Rasyid berkata kepada Syibyan, ‘Nashiatilah aku’. Syibyan mengatakan, “Bertemanlah dengan orang-orang yang membuatmu takut, tapi dengan itu engkau merasa aman. Hal ini lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang yang membuatmu merasa aman, tapi engkau menjadi ketakutan.”

“Jelaskan maksud ucapan itu padaku,” kata al-Rasyid.

“Orang yang mengatakan padamu, ‘Engkau bertanggung jawab terhadap rakyatmu, maka takutlah kepada Allah’. Orang yang demikian lebih baik untukmu. Daripada mereka yang mengatakan, ‘Engkau adalah ahlul bait (keluarga rasul). Dosa-dosamu diampuni. Anda adalah kerabatnya Nabi ﷺ’.” Harun al-Rasyid pun menangis, sampai-sampai orang di sekelilingnya merasa kasihan padanya (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).

Mencintai Sunnah dan Para Ulama

Al-Rasyid adalah seorang pemimpin yang cinta pada para ulama. Ia mengagungkan dan memuliakan agama. Membenci debat dan banyak bicara. Al-Qadhi al-Fadhil dalam sebagian suratnya mengatakan, “Aku tidak tahu ada seorang Raja yang tidak pernah beristirahat menuntut ilmu, kecuali al-Rasyid. Ia pergi bersama dua orang putranya, al-Amin dan al-Makmun, untuk mendengar al-Muwatha dibacakan oleh Imam Malik rahimahullah.” (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 217)

Saat sampai kabar padanya seorang tokoh tabiut tabi’in, Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah, wafat, Harun al-Rasyid duduk bersedih. Dan para tokoh pun berusaha menghiburnya.

Abu Muawiyah adh-Dharir mengatakan, “Tidaklah aku menyebut Nabi ﷺ di hadapan al-Rasyid kecuali ia mengatakan shallallahu ‘ala sayyidi (shalawat Allah atas tuanku). Kemudian kuriwayatkan kepadanya hadits beliau,

وددت أني أقاتل في سبيل الله فأقتل ثم أحيى ثم أقتل

“Andai saja aku berperang di jalan Allah, kemudian terbunuh. Setelah itu aku hidup kembali dan terbunuh kembali.” (HR. al-Bukhari 6799).

Ia menagis hingga terisak-isak.

Dari Khurzadz al-Abid, ia berkata, “Abu Muawiyah menyampaikan sebuah hadits –Nabi ﷺ- kepada al-Rasyid. Yakni hadits tentang kisah Nabi Adam mengalahkan hujjah Nabi Musa. Lalu ada seseorang yang bertanya, “Dimana keduanya bertemu?” al-Rasyid pun marah dan berkata, “Hamparkan kulit dan cabut pedang. Seorang zindiq telah menghina hadits”. Abu Muawiyah pun menenagkan Harun al-Rasyid hingga padam amarahnya. (al-Fawa-id adz-Dzahabiyah min Siyar A’lam Nubala, Juz: 1, Hal: 10)

Hadits tersebut adalah:

عَنْ طَاوُسٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى فَقَالَ مُوسَى يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنْ الْجَنَّةِ فَقَالَ لَهُ آدَمُ أَنْتَ مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى

Adam dan Musa ‘alaihimasslam saling berdebat. Musa berkata, “Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga karena dosamu.”

Adam menjawab, “Wahai Musa, Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya dan menulis Taurat untukmu dengan tangan-Nya. Apakah kau mencelaku atas perkara yang telah Allah tentukan terhadapku empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?”

Nabi ﷺ bersabda, “Argumentasi Adam mengalahkan Musa. Argumentasi Adam mengalahkan Musa.” (HR. Muslim No.4793).

Mendengar hadits ini, spontan salah seorang di majelis Harun al-Rasyid berseloroh, “Dimana keduanya bertemu?” Namun Harun al-Rasyid menangkap ucapan ini sebuah respon untuk membantah. Sehingga ia langsung merespon serius seseorang yang dianggapnya berani mendustakan hadits Nabi ﷺ. An-nuth’u wa as-saif (pedang), kata al-Rasyid. An-nuth’u adalah kulit yang dihamparkan untuk mengeksekusi seseorang agar darahnya tidak membasahi lantai.

Mendustakan hadits bukan perkara kecil di mata Harun al-Rasyid. Ia sampai menyebut orang tersebut dengan zindiq, yakni orang yang mendustakan dan membantah syariat. Sementara kaum muslimin pada hari ini dengan mudah menolak hadits, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Mereka mengatakan, “Hadits ini tidak lagi relevan dengan zaman sekarang”, “Hadits ini tafsirannya demikian dan demikian –bermaksud menolak hadits-”, dll.

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidak seorang pun meninggal, lebih berat terasa kematiannya dibandingkan Amirul Mukminin Harun. Aku berandai-andai sekiranya Allah menambahkan umurnya dari umurku.” Ia melanjutkan, “Berat terasa bagi kami. Saat Harun wafat, muncullah fitnah. Al-Makmun (putra Harun) menyeru masyarakat meyakini bahwa Alquran itu makhluk.” (at-Tafsir min Sunan Said bin Manshur, Hal: 25)

Harun al-Rasyid dan Kaisar Romawi Nikephoros I

Pada tahun 187 H, Harun al-Rasyid menerima surat dari Kaisar Romawi Nikephoros I. Surat tersebut berisi pembatalan perjanjian damai antara Romawi dan Abbasiyah yang telah disepakati oleh Kiasar Romawi sebelumnya. Isi surat Nikephoros adalah sebagai berikut:

Dari Nikephoros, Kaisar Romawi, kepada Harun, Raja Arab. Amma ba’du..

Sesungguhnya kaisar sebelumku memberimu posisi benteng (dalam permainan catur pen.). Dan dia memposisikan diri sebagai pion. Ia bawakan kepadamu harta-hartanya. Sebenarnya aku bisa memberikan jumlah berkali lipat darinya. Tapi itu karena kelemahannya dan kebodohannya sebagai seorang wanita. Jika engkau membaca suratku ini, kembalikan apa yang telah engkau dapatkan sebelumku! Jika tidak, maka pedang (yang berbicara) antara aku dan dirimu!

Ketika al-Rasyid membaca surat ini, ia pun marah besar. Tidak ada seorang pun yang berani mengarahkan pandangan ke arah wajahnya. Apalagi mengeluarkan sepatah kata padanya. Orang-orang yang duduk bersamanya menyingkir karena takut. Menteri pun membisu. Al-Rasyid menulis surat balasan:

Bismillahirrahmanirrahim.

Dari Harun Amirul Mukminin, kepada Nikephoros anjing Romawi. Aku telah membaca suratmu wahai anak perempuan kafir. Jawabannya adalah sesuatu yang akan engkau lihat sebelum kau dengar.

Hari itu juga Harun al-Rasyid memimpin sendiri pasukannya menuju Romawi. Sampai akhirnya al-Rasyid berhasil menaklukkan Kota Hercules –sebuah kota dekat Konstantinopel-, Nikephoros ketakutan. Ia kembali meminta perjanjian damai dan bersedia membayar upeti (Tarikh ath-Thabari bab Sanah Sab’u wa Tsamanin wa Mi-ah).

Kemakmuran di Era Pemerintahannya

Ada sepenggal kalimat yang diucapkan Harun al-Rasyid menggambarkan betapa luas dan makmur wilayah kekuasaannya. Suatu hari al-Rasyid melihat awan mendung, kemudia ia mengatakan,

أمطري حيث شئت؛ فسيأتيني خراجك

“Hujanlah dimanapun yang kau inginkan. Hasil bumi pun akan datang padaku.” (Mausu’ah Akhlak wa Zuhd wa Raqa-iq Juz 1 Hal: 198).

Hujan tersebut akan bermanfaat bagi kaum muslimin, baik turun di wilayah kekuasaan Islam Dintasti Abbasiyah atau di luar wilayah tersebut. Jika dia turun di wilayah Islam, kaum muslimin akan memanfaatkan airnya untuk minum dan mengairi ladang mereka. Dan jika turun di selain wilayah kaum muslimin, hasil buminya akan datang kepada umat Islam dalam bentuk jizyah.

Inilah gambaran kemuliaan, kemakmuran, dan kekuasaan kaum muslimin di era Harun al-Rasyid rahimahullah.

Wafatnya al-Rasyid

Harun al-Rasyid pernah bermimpi tentang kematiannya. Dalam mimpinya ia melihat dirinya menggenggam tanah berwarna merah. Di tempat itulah ia wafat.

Mimpi itu pun jadi kenyataan. Saat al-Rasyid menempuh perjalanan menuju Khurasan, setibanya di Kota Thous, ia jatuh sakit. Al-Rasyid memerintahkan pembantunya, “Datangkan padaku sewadah tanah dari tempat ini.” Kemudian diberikan padanya tanah merah di gengagamannya. Melihat itu, al-Rasyid mengatakan, “Demi Allah, inilah telapak tangan yang aku lihat. Dan tanah yang ada di genggamannya.”

Ia memerintahkan penggalian makamnya saat ia masih hidup. Kemudian ia minta dibacakan Alquran seutuhnya. Setelah itu, ia minta dibawa ke makamnya. “Menuju tempat inilah perjalanan (hidup ini) wahai anak Adam,” kata al-Rasyid. Ia pun menangis. Tiga hari kemudian, beliau rahimahullah wafat.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5656-harun-al-rasyid-khalifah-terbaik-dinasti-abbasiyah.html

Hukum Bermain Catur dalam Islam

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, belakangan persoalan main catur mengemuka karena seorang dai menyatakan keharamannya di publik. Pernyataan ini membuat masyarakat ramai karena main catur merupakan permainan pengisi waktu senggang bahkan telah ditetapkan sebagai bentuk cabang olahraga tersendiri. Bagaimana permainan catur dalam hukum Islam? Mohon keterangannya. terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdul Ghani/Depok)

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Permainan catur dibahas dari segi hukum Islam oleh para ulama terdahulu. Permainan catur bagi mereka memiliki pandangan hukum yang beragam.

Perihal permainan catur, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkannya. Sebagian lagi memakruhkannya. Ada juga ulama yang membolehkannya. 

قوله (وهو) أي لعب الشطرنج (وقوله حرام) عند الأئمة الثلاثة وهم أبو حنيفة ومالك وأحمد بن حنبل رضي الله عنهم وإنما قالوا بالحرمة للأحاديث الكثيرة التي جاءت في ذمه قال في التحفة لكن قال الحافظ لم يثبت منها حديث من طريق صحيح ولا حسن وقد لعبه جماعة من أكابر الصحابة ومن لا يحصى من التابعين ومن بعدهم وممن كان يلعبه غبا سعيد بن جبير رضي الله عنه  

Artinya, “(Permainan itu) main catur (haram) menurut tiga imam, yaitu Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menyatakan haram atas dasar sejumlah hadits yang mencela permainan catur. Tetapi penulis At-Tuhfah (Ibnu Hajar) dari Mazhab Syafi’I mengutip Imam Al-Hafiz Al-Asqalani mengatakan bahwa kualitas hadits yang mengecam permainan catur tidak diriwayatkan berdasarkan jalan yang sahih dan hasan. Bahkan sejumlah sahabat terkemuka Rasulullah dan banyak tabi’in sepeninggal mereka juga bermain catur. Salah seorang yang bermain catur adalah Sa’id bin Jubair,” (Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IV, halaman 286).

Adapun ulama yang membolehkannya mendasarkan pandangannya pada kaidah hukum Islam, yaitu segala sesuatu pada prinsipnya adalah mubah sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Abu Zakaria Al-Anshari berikut ini:

وَاحْتُجَّ لِإِبَاحَةِ اللَّعِبِ بِهِ بِأَنَّ الْأَصْلَ الْإِبَاحَةُ وَبِأَنَّ فِيهِ تَدْبِيرُ الْحُرُوبِ وَلِلْكَرَاهَةِ بِأَنَّ صَرْفَ الْعُمْرِ إلَى مَا لَا يُجْدِي وَبِأَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرَّ بِقَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِهِ فَقَالَ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

Artinya, “Hujjah atas kebolehan permainan catur ini didasarkan pada kaidah hukum Islam bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah; dan pada unsur maslahat permainan catur yang mengasah otak dalam bersiasat perang. Sedangkan hujjah atas kemakruhan permainan ini didasarkan pada unsur penyia-nyiaan umur pada hal yang tidak bermanfaat; dan pada ucapan sayyidina Ali saat melewati mereka yang sedang bermain catur, ‘Apakah ini patung-patung yang kalian sembah?’” (Syekh Abu Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun]).

Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa permainan catur pada prinsipnya mubah dalam Islam. Tetapi permainan ini dapat menjadi haram karena unsur lain atau dengan catatan, yaitu bila melalaikan para pemainnya dari kewajiban atau menyertainya dengan hal yang diharamkan (taruhan, judi, sambil minum khamr, dan lain sebagainya). Sedangkan main catur sesekali tidak masalah (Ibnu Hajar Al-Haitami: Tuhfatul Muhtaj).

Pada zamannya, permainan catur merupakan aib seperti permainan kartu, menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, sehingga kita dapat memainkannya di tempat sepi atau tertutup, bukan di tepi jalan (publik) yang dapat menjatuhkan muruah. Sementara Al-Bujairimi (Al-Bujairimi, At-Tajrid li Naf’il Abid) mengutip fatwa ulama yang membolehkan permainan catur yang mengandung unsur hiburan bagi saudara kita lainnya dengan catatan tidak membuat harta berkurang (kurang penghasilan) dan tidak melalaikan sembahyang lima waktu seperti pendapat Syekh Sahal bin Sulaiman.  

Syekh Ahmad Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj sebagaimana ulama Mazhab Syafi’I pada umumnya memandang permainan catur mengandung kemaslahatan. Permainan catur mengasah pikiran dan logika yang membantu dalam mengatur strategi perang dan perhitungan.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat perihal permainan catur. Jika mengacu pada pandangan mazhab Syafi’i yang juga tidak tunggal (karena sebagian menyatakan makruh dan yang lainnya menyatakan mubah), permainan catur pada dasarnya mubah. Kalau pun haram atau makruh, mesti ada faktor lain yang menyertainya, yaitu pelalaian atas kewajiban sembahyang lima waktu, pelalaian atas aktivitas ekonomi dan faktor lainnya.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.   (Alhafiz Kurniawan)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/113830/hukum-bermain-catur-dalam-islam
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Hukum Bermain Catur dalam Islam

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dalam beberapa waktu ini publik diramaikan dengan pernyataan seorang tokoh agama yang mengatakan bahwa bermain catur adalah haram. Apakah benar demikian? Mohon penjelasannya, terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

(Dimas, Tangerang Selatan)

______________________________

Admin- Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Catur adalah permainan klasik berbasis strategi yang dilegalkan dalam Islam, ada yang mengatakan mubah maupun makruh. Dalam beberapa literatur klasik pun sudah dijelaskan secara terperinci mengenai hukum bermain catur. Hal ini didasari karena catur memberi dampak baik yang berguna melatih kecerdasan otak bagi setiap pemainnya. Sebagaimana penjelasan Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya yang berjudul Hasyiyah al-Jamal berikut:

وَفَارَقَ النَّرْدُ الشِّطْرَنْجَ حَيْثُ يُكْرَهُ إنْ خَلَا عَنِ الْمَالِ بِأَنَّ مُعْتَمَدَهُ الْحِسَابُ الدَّقِيقُ وَالْفِكْرُ الصَّحِيحُ فَفِيهِ تَصْحِيحُ الْفِكْرِ وَنَوْعٌ مِنْ التَّدْبِيرِ وَمُعْتَمَدُ النَّرْدِ الْحَزْرُ وَالتَّخْمِينُ الْمُؤَدِّي إلَى غَايَةٍ مِنْ السَّفَاهَةِ وَالْحُمْقِ.

Perbedaan antara permainan dadu dan catur yang dihukumi makruh bila memang tidak menggunakan uang adalah bahwa permainan catur berdasarkan perhitungan cermat dan olah pikir yang benar. Dalam permainan catur terdapat unsur olah pikiran dan pengaturan strategi yang jitu. Sedangkan permainan dadu berdasarkan spekulasi yang menyebabkan kebodohan dan kedunguan.”[1]

Meskipun diperbolehkan dari sudut pandang hukum asalnya, tidak menutup kemungkinan hukumnya akan berubah dengan adanya pertimbangan lain. Seperti halnya bermain catur yang dilakukan terus-menerus maka bisa menimbulkan hukum haram ketika berdampak terbengkalainya kewajiban, tidak bermanfaat untuk agamanya, menjadikannya pemalas, dan efek negatif lainnya. Sebegaimana penjelasan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji demikian:

مِنْ هَذِهِ الْأَلْعَابِ الشَّطْرَنْجِ، فَهُوَ قَائِمٌ عَلَى تَشْغِيْلِ الذِّهْنِ وَتَحْرِيْكِ الْعَقْلِ وَالْفِكْرِ. وَلَا رَيْبَ أَنَّهُ لَا يَخْلُوْ عَنْ فَائِدَةٍ لِلذِّهْنِ وَالْعَقْلِ، فَإِنْ عُكِفَ عَلَيْهِ زِيَادَةً عَمَّا تَقْتَضِيْهِ هَذِهِ الْفَائِدَةُ، فَهُوَ مَكْرُوْهٌ، فَإِنْ زَادَ عُكُوْفُهُ حَتَّى فُوِتَ بِسَبَبِهِ بَعْضُ الْوَاجِبَاتِ عَادَ مُحَرَّماً.

Di antara permainan ini adalah catur yang selalu menyibukkan hati dan menggerakkan pikiran. Tidak diragukan lagi bahwa catur tak terlepas dari faedah bagi hati dan akal. Namun apabila seseorang tersibukkan dengannya sampai melebihi kadar faedah itu, maka makruh. Namun apabila terlalu tersibukkan sehingga berdampak menggugurkan sebagian kewajiban, maka hukumnya kembali menjadi haram.”[2]

Dengan demikian, andaikan ada yang mengatakan haram, maka itu merupakan konsekuensi lain dalam hukum (‘Aridhi), bukan hukum asal permainan catur yang semestinya. []WaAllahu a’lam


[1] Hasyiyah Al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, V/379

[2] Al-Fiqh al-Manhaji, VIII/166

LIRBOYONet