Dalam Hal Apa Saja Kewajiban Sholat Jumat dan Berjamaah di Masjid Gugur?

Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa terkait pelaksanaan Sholat Jumat dan sholat berjamaah lain, dengan adanya wabah virus corona. Tujuan fatwa memudahkan muslim tetap menunaikan kewajiban pada Allah SWT, dengan menekan risiko tertular COVID-19 atau memperburuk kondisi yang sudah terinfeksi.

“Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya,” tulis MUI.

Dalam buku Fiqih Islam wa Adillatuhu karya Prof Dr Wahbah Az Zuhaili halaman 303 sampai 306, ada bagian yang menjelaskan alasan boleh meninggalkan sholat berjamaah di masjid dan Sholat Jumat. Berikut penjelasannya,

A. Sakit atau berada di situasi yang menyulitkan pergi sholat, misal hujan

Alasan ini juga berlaku bagi orang yang sedang merawat yang lain meski bukan kerabat atau sejenisnya. Pertimbangannya adalah jangan sampai menimbulkan kesulitan dan membantu yang sedang kesusahan. Namun kondisi ini bukan berarti menghilangkan kewajiban untuk sholat fardhu.

Tentunya, alasan tidak berlaku bagi seseorang dengan sakit ringan yang masih memungkinkannya pergi dan sholat di masjid. Allah SWT telah mengatakan dalam firmanNya dalam surat Al-Hajj ayat 78, tidak akan menyulitkan hamba yang hendak beribadah.

وَجَٰهِدُوا۟ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ ۚ هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِى هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ

Arab latin: Wa jāhidụ fillāhi ḥaqqa jihādih, huwajtabākum wa mā ja’ala ‘alaikum fid-dīni min ḥaraj, millata abīkum ibrāhīm, huwa sammākumul-muslimīna ming qablu wa fī hāżā liyakụnar-rasụlu syahīdan ‘alaikum wa takụnụ syuhadā`a ‘alan-nāsi fa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāta wa’taṣimụ billāh, huwa maulākum, fa ni’mal-maulā wa ni’man-naṣīr

Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

B. Merasa khawatir ada bahaya

Kewajiban Sholat Jumat dan sholat berjamaah gugur pada orang yang merasa khawatir ada bahaya terhadap diri, harta, harga diri, atau mengalami sakit seperti yang disebutkan sebelumnya. Alasan ini terdapat dalam hadist yang diriwayatkan Abu Daud.

مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ

Artinya: Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang bertanya,”Udzur itu apa saja?”. Beliau SAW menjawab,”Rasa takut atau sakit.” (HR Abu Daud).

Untuk orang sakit harus dipertimbangkan tidak berbahaya baginya jika harus ke masjid. Jika memang tidak berbahaya maka bisa ke masjid dengan transportasi atau bantuan yang tidak menyulitkan orang sekitar. Untuk mereka yang buta harus ada yang menuntun selama perjalanan ke masjid, sholat, dan setelahnya.

C. Pertimbangan cuaca

Hujan, tanah berair, cuaca sangat dingin, panas waktu dzuhur, angin kencang di malam bukan siang hari, dan suasana yang sangat gelap. Salju dan hujan es juga masuk dalam pertimbangan yang membolehkan tidak melaksanakan Sholat Jumat dan sholat berjamaah.

Pertimbangan ini tercantum dalam hadist yang dinarasikan Nafi’ dengan derjat shahih.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ‏.‏ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

Artinya: Seperti dinarasikan Nafi: “Di suatu malam yang dingin, Ibnu ‘Umar mengumandangkan adzan ketika hendak sholat di Dajnan dan mengatakan Salu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu). Dia mengatakan, Rasulullah SAW pernah menyuruh muadzin mengumandangkan Salu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu) saat adzan di malam yang hujan atau sangat dingin dalam perjalanan.” (HR Bukhari).

D. Sedang buang hajat

Alasan ini berlaku untuk buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) yang dikhawtirkan mengganggu pelaksanaan sholat. Karena itu, muslim sebaiknya menuntaskan BAB dan BAK terlebih dulu baru kemudian sholat. Kondisi ini memudahkan muslim untuk sholat dengan lebih baik dan sungguh-sungguh.

Ajakan untuk tidak buru-buru terdapat dalam hadits yang dinarasikan Abu Hurairah, dengan derajat shahih.

إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَلاَ تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا ‏”‏ ‏.‏

Artinya: Rasulullah SAW berkata, “Ketika tiba waktunya sholat jangan terburu-buru, berjalankan dengan perlahan dan penuh hormay. Apapun yang bisa kamu dapatkan maka doakanlah, dan apapun yang dapat diperbaiki maka perbaikilah.” (HR An-Nasa’i).

Rasa ngantuk dan lelah menjadi pertimbangan selanjutnya untuk meninggalkan Sholat Jumat dan sholat berjamaah. Namun Prof Wahbah mengatakan, mereka yang bisa melawan rasa lelah dan ngantuk untuk bisa Sholat Jumat dan sholat berjamaah akan lebih disukai.

E. Makan sesuatu yang beraroma tidak sedap

Alasan berikutnya untuk meninggalkan Sholat Jumat dan sholat berjamaah adalah makan sesuatu yang bau, menjijikkan, dan sulit dihilangkan bekasnya. Di zaman Nabi Muhammad SAW contoh makanan tersebut adalah bawang merah dan bawang putih, yang saking baunya hingga menjadi suatu hadist.

Hadist ini dinarasikan Mu’awiyah bin Qurrah dengan derajat shahih.

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ هَاتَيْنِ الشَّجَرَتَيْنِ وَقَالَ ‏”‏ مَنْ أَكَلَهُمَا فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا ‏”‏ ‏.‏ وَقَالَ ‏”‏ إِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ آكِلِيهِمَا فَأَمِيتُوهُمَا طَبْخًا ‏”‏ ‏.‏ قَالَ يَعْنِي الْبَصَلَ وَالثُّومَ

Artinya: Rasulullah SAW melarang dua tanaman yaitu bawang putih (garlic) dan bawang bombay (onion) dan dia berkata, “Siapa saja yang makan dua tanaman ini jangan mendekati masjid kami. Jika perlu mengkonsumsi keduanya pastikan termasak sempura. Keduanya adalah bawang putih dan bawang bombay.” (HR Abu Daud).

Konsumsi makanan beraroma tajam berisiko menimbulkan bau napas atau badan yang kurang sedap. Aroma inilah yang dikhawatirkan mengganggu jamaah lain yang sedang fokus beribadah. Karena itu selain memasak makanan berbau tajam dengan sempurna, pastikan sudah membersihkan diri sehingga tidak tersisa bau kurang sedap.

F. Tertahan di suatu tempat

Muslim tak perlu khawatir terhadap kewajibannya melaksanakan Sholat Jumat atau sholat berjamaah, jika tertahan di suatu tempat. Kewajiban tersebut gugur dengan pertimbangan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 286,

ا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

Arab latin: Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā, lahā mā kasabat wa ‘alaihā maktasabat, rabbanā lā tu`ākhiżnā in nasīnā au akhṭa`nā, rabbanā wa lā taḥmil ‘alainā iṣrang kamā ḥamaltahụ ‘alallażīna ming qablinā, rabbanā wa lā tuḥammilnā mā lā ṭāqata lanā bih, wa’fu ‘annā, wagfir lanā, war-ḥamnā, anta maulānā fanṣurnā ‘alal-qaumil-kāfirīn

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Pakar Ilmu Tafsir Al Quran, Profesor KH Quraish Shihab mengatakan, agama sesungguhnya hadir dengan lima tujuan. Yaitu: memelihara agama itu sendiri, jiwa, akal, harta benda, dan keturunan. Semua yang mengantar pada pemeliharaan hal tersebut merupakan anjuran bahkan kewajiban. Sebaliknya, segala yang menghambat dan mengabaikan tujuan tersebut maka dilarang dalam agama dengan berbagai tingkat larangan.

“Ketika Sholat Jumat berkumpul orang-orang yang bisa mengalami atau memberi penularan pada orang lain. Ulama lalu memberi fatwa tidak dianjurkan sholat berjamaah yang dikhawatirkan memberi dampak buruk bagi kesehatan. Karena itu tidak dianjurkan sholat berjamaah bahkan Sholat Jumat,” kata KH Quraish Shihab dalam rekaman video yang diterima detikcom.

DETIKCOM