Doa Seorang Calon Ayah: Rabbi Habli Minash Sholihin…

Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?

“Allahu Akbar… Allahu Akbar..” Suara adzan menggema di seantero jagad raya saat masuk waktu Zhuhur di hari Jum’at itu. Sepasang suami istri masih berada di motornya. Mereka gelisah saat harus mencari masjid di daerah itu. Akhirnya ditemukanlah sebuah masjid di pinggir jalan meski harus memutar arah.

“Alhamdulillah, Allah sayang kita karena dipertemukan masjid saat adzan berkumandang. Ini menjawab doa dari harap cemas sedari tadi apakah bisa ketemu masjid di sepanjang jalan ini,” jelas sang istri ingin menenangkan sang suami yang sudah gusar tidak bertemu masjid sejak 30 menit sebelum adzan berkumandang tadi.

Setelah motor diparkirkan di halaman masjid yang cukup luas. Sang istri menunggu di luar masjid, dan suaminya pun bergegas masuk ke dalam masjid. Hari itu hari libur maka terlihat lengang seisi masjid. Hanya terlihat beberapa orang saja, mungkin tak lebih dari 50 orang yang sudah duduk di dalam masjid itu. Ruang utama masjid yang besar seakan mengecilkan jumlah jamaah yang hadir di majelis jumat itu.

Selesai shalat Jum’at, sang suami langsung menghampiri istrinya agar bisa bergantian shalat dan menjaga barang-barang yang kami bawa. Sekilas terlihat awan hitam menggumpal tebal di atas langit masjid, pertanda akan turun hujan lebat. Air yang jatuh pun tak ayal turun dari langit sebagai karunia dari Allah Ta’ala untuk seluruh alam. Meski hanya rintik hujan, tapi sudah mampu membuat sejuk udara kota yang panas dan terik di siang itu.

“Astaghfirullah…” gumam sang suami tatkala hadir seorang bapak tua yang menggunakan baju koko lusuh, celana mengatung, dan peci putih kusam, mengucapkan salam padanya. “Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh,” tukas lelaki itu bermaksud menjawab salam dari bapak tua itu.

“Boleh saya duduk di sini. Sambil nunggu hujan..,” terang sang bapak.

“Silakan pak duduk di sini, tidak basah kok, karena terlindungi dari air hujan,” jawab sang suami sambil mempersilakan duduk bapak tua itu.

Terlibatlah mereka dalam satu pembicaraan santai. Sampai bapak tua itu mengutarakan kisah tentang dirinya bisa sampai di masjid itu. “Saya mencari anak saya ke Beji Depok pakai kereta karena saya cuma punya uang 20 ribu buat bolak balik. Rumah saya di Mauk Tangerang. Saya cari anak saya cuma pengin dia pulang, ibunya sakit-sakitan tambah parah. 3 bulan lalu anak saya pamit mau kerja kuli bangunan di Beji Depok. Bulan pertama, bulan kedua masih ngirim uang buat berobat. Cuma kok sekarang dah bulan keempat gak ada kabar juga dari dia. Makanya saya beranikan diri cari dia ke Beji Depok walaupun hanya berbekal alamat dari surat yang pernah dia kirim ke rumah,” jelas bapak tua itu mengisahkan.

Tak tahan jua bapak tua itu menahan air mata, akhirnya jatuh jua. Namun cepat-cepat ia seka agar tak terlihat lawan bicaranya. Lalu dia bertanya balik, hendak ke mana, dari mana, bersama siapa, dan naik apa. Satu harapannya, dia berharap ada orang yang mau menolong untuk pulang ke Mauk dengan kendaraan karena ia sudah letih berjalan dari Beji Depok hingga masjid ini karena kehabisan uang.

“Bapak sudah makan?” tanya sang lelaki itu, yang tak lain adalah suami dari wanita tadi yang sedang shalat Zhuhur, memecah kebisuan suasana yang terbangun seraya mengeluarkan nasi kotak dan satu botol air mineral yang baru saja ia dapat dari mengisi pengajian di jumat pagi itu. “Ini untuk bapak, silakan dimakan. Saya punya dua kotak lagi kok…” jelas lelaki itu agar bapak tua tak bermaksud menolak makanan yang diberikannya.

Langsung saja, dia pergi ke tempat wudhu untuk mencuci tangan lalu memakan nasi dalam kotak itu dengan lahap. Tak sampai 10 menit, nasi kotak itu sudah habis.
“Luar biasa laparnya bapak ini…” lirihnya dalam hati.

“Mas sudah punya istri?” tanya bapak tua itu.

“Alhamdulillah, sudah Pak. Sekarang sedang shalat Zhuhur di dalam,” jawab lelaki itu.

“Sudah berapa putranya?” tanya bapak tua itu lagi menimpali jawabanku.

“Saya belum punya Pak. Masih muda umur pernikahannya, belum satu tahun. Mohon doanya agar bisa segera diberi keturunan,” jawabnya dengan penuh harapan dan mata berbinar.

“Anak yang sedang saya cari ini juga dikasih Allah setelah 5 tahun menikah. Saat itu saya sudah putus asa, sampai-sampai keluarga istri menganggap saya mandul. Akhirnya kita periksa ke dokter, ternyata kita berdua baik-baik saja. Saya coba buat datang ke masjid terus. Ikut pengajian tiap malam kamis. Nah di situ saya dapat ilmu buat dapatin anak. Saya diminta untuk shalat taubat dan shalat tahajjud yang rutin. Baru 5 bulan saya jalanin, alhamdulillah istri saya hamil. Baru lahiran anak pertama, ga sampai 1 tahun sudah hamil lagi. Sekarang anak saya tiga,” terang bapak tua itu dengan sangat menggugah hati.

“Rabbi, terima kasih kau kirimkan hamba bapak tua ini yang telah memberikan ilmu pada hamba. Engkau sungguh adil dan lebih tahu tentang kebutuhan hamba…” doa lelaki itu dalam hati. Doanya terhenti ketika terdengar ucapan salam dari suara wanita yang tak lain adalah istri dari lelaki itu yang telah kembali dari shalat Zhuhur. Mereka pun bergegas berpamitan pada bapak tua itu untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tak lupa mereka menitipkan sedikit rezeki untuk istrinya yang sakit dan cukup untuk perjalanan pulang bapak tua itu dengan kendaraan umum atau kereta api.

Di motor, sang suami mengisahkan seluruh pelajaran yang didapatkan dari bapak tua tadi. Tak terelakkan sang istri pun menitikkan air mata di pundak suaminya. Meski tak terdengar tangis, tetapi basah di pundak menjadi tanda bahwa sang istri begitu merindukan buah hati. Bahkan sudah menyiapkan nama untuknya, kelak ia lahir nanti.

Beberapa hari setelah kejadian itu, sebelum sampai rumah, pelajaran itu pun datang kembali. Saat keduanya naik motor dan sang istri berkeinginan membeli segelas es pisang hijau. Penjualnya yang seorang ibu paruh baya bertanya pada sang istri, “Ibu lagi hamil ya? Ibu enak, saya aja baru setelah 10 tahun nikah dikasih anak sama Allah, dijaga bu ya. Hamil pertama ya bu?” tanya ibu itu dengan rentetan fakta yang membuat suami istri terdiam sejenak.

Padahal baru 3 bulan lalu, sang istri keguguran. Sang suami mencoba menenangkan istrinya, dengan mengelus punggungnya dan mencoba menghibur dengan senda gurau yang mengundang tawa. “Alhamdulillah kalau hamil. Semoga ibu ga salah liat karena perut saya juga seperti orang hamil…hehehe…” canda sang suami ke ibu penjual itu agar suasana renyah dan tak menimbulkan sedih di hati istrinya.

Sesampainya di rumah, pelajaran itu pun masih datang dari Allah. Ibu mertua mereka entah mengapa tiba-tiba membicarakan hal yang sama. “Ibu dulu waktu hamil kamu itu juga lama. Ibu nunggu 4 tahun baru kamu ada di perut ibu. 4 tahun itu ibu ga putus minta sama Allah pas tahajjud. Ibu minta biar dikasih anak biar jadi ibu yang sempurna,” jelas sang ibu mertua kepada mereka hingga membuat mereka terdiam seribu bahasa tak mampu berkata apa-apa.

***

Ikhwatil iman…

Setiap orang yang telah berumah tangga pasti menginginkan si buah hati. Buah hati yang menjadi titipan Allah Ta’ala kepada suami istri yang telah mengikatkan jalinan suci di hadapan Allah untuk menyeberangi samudera kehidupan dengan kapal keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Buah hati yang mampu menjadi pelipur lara orang tuanya kala duka itu hadir. Buah hati yang memberikan semangat kerja keras pantang menyerah kepada seluruh ayah di muka bumi ini. Mereka senantiasa berjuang agar keluarganya bisa menjadi keluarga yang tercukupi dan menjadi anak-anak yang berprestasi dan shalih-shalihah.

Saudaraku, ikhwatil iman rahimakumulloh…

Ujian ini telah dialami pula oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Zakaria AS. Beliau berdua mendapatkan ujian yang sama, yaitu di masa tua belum memiliki keturunan yang menjadi penerus risalah kenabian dan menjaga keberlanjutan nasab. Hingga Nabi Zakaria AS berdoa, “Rabbi hablii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka sami’ud du’aa’.” (Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa). Allah pun mengabulkan doa Nabi Zakaria melalui malaikat Jibril AS.

Begitu pula dengan Nabi Ibrahim AS. Beliau pun berdoa kepada Allah, “Rabbi habli minash sholihiin (Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih).” Lalu Allah mengabulkan doa beliau dengan memberi kabar kehamilan dari istrinya, Sarah.

Ikhwatil iman…

Berpuluh-puluh tahun dua orang nabi kecintaan Allah diberikan ujian itu. Berpuluh-puluh tahun pula pastinya mereka berdoa kepada Allah agar diberikan keturunan. Hingga akhirnya di masa tua mereka barulah diberikan kebahagiaan dengan kabar adanya keturunan. Di masa sekarang, saya juga pernah jaulah dengan seorang ustadz di salah satu daerah di jawa barat yang sudah menikah 21 tahun belum juga dikaruniai anak. Mereka terus berusaha dan berdoa hingga Allah mengabulkan doa mereka nanti. Mereka adalah orang-orang beriman dan shalih yang Allah berikan ujian dan mereka bersabar dengan ujian itu.

Ikhwatil iman…

Saudara-saudaraku yang Allah rahmati karena kecintaan kita kepada-Nya, usahlah kita gusar dan gelisah bila Allah belum menitipkan buah hati di tahun ini. Teruslah berusaha dan tawakal agar Allah melihat setiap amalan shalih yang kita perbuat. Hingga Allah Ta’ala ridha atas segala yang kita usahakan dan doa kita dikabulkan Allah Ta’ala. Entah kapan, mungkin sama seperti Nabi Ibrahim AS dan Nabi Zakaria AS di hari tua, mungkin juga lebih cepat.

Saudaraku, dari kisah di atas ada ibrah yang bisa diambil sebagai salah satu usaha untuk mempercepat datangnya buah hati. Pertama, dari bapak tua yang memberikan pelajaran bahwa beliau mendapatkan anak pertamanya setelah 5 tahun dengan cara shalat taubat dan shalat tahajjud. Kedua, pelajaran dari ibu mertua yang mengisahkan kehamilan pertamanya baru pada tahun keempat pernikahan setelah membiasakan diri shalat tahajjud meminta karunia buah hati yang shalih shalihah. Ketiga, bersabar dengan berusaha dan tawakal kepada Allah adalah pelajaran terbaik dari orang-orang beriman, bertaqwa, dan dicintai umat ini.

Semoga tulisan ini menjadi pelipur lara hati yang gundah atas datangnya sang buah hati selama bertahun-tahun. Saat buah hati itu hadir, ujian itu lebih real kita rasakan untuk bisa menjadikan mereka anak-anak yang berprestasi, shalih, dan berakhlaq. Kesabaran dengan berusaha dan tawakal tetap menjadi kunci dalam mendidik buah hati. Betapa banyak hari ini orangtua yang mendidik anaknya tanpa hati. Mereka hanya mengandalkan fisik dan otak belaka hingga anak-anak berubah seperti robot dan mesin hitung, tanpa memiliki keshalihan dan akhlaqul karimah.

Sungguh, kehadiran buah hati yang dipercepat atau diperlambat oleh Allah Ta’ala tetap memiliki persamaan. Allah telah mengaturnya terkait hal itu. Kedekatan kepada Allah Ta’ala sebagai Pencipta dan Pemilik Hati menjadi kunci utama. Semoga Allah berikan kebahagiaan pada kita semua di akhir masa nanti, melihat anak-anak kita tumbuh menjadi pemimpin umat yang shalih, adil, dan menyejahterakan umat.

 

sumber: Dakwatuna