Elisabath Janiita Ruru Berjuang Temukan Kebenaran Islam

Tak pernah terbesit dibenaknya untuk menjadi seorang Muslimah. Sejak kecil, Elisabeth Janita Ruru menjalani kehidupan apa adanya: Mengikuti arahan dan bimbingan orang tua, menjalani pendidikan, dan bersosialisasi.

Keluarganya adalah penganut Nasrani yang taat. Mengunjungi gereja sudah menjadi rutinitas akhir pekan. Keluarga pasti berkumpul di saat hari raya keagamaan, seperti Natal. Dia memiliki album rohani dan menjadi pengurus gereja. “Saya kristen taat dan saya tahu sekali apa yang dipelajari di Kristen, Alkitab saya sudah paham sekali isinya. Sehingga semua orang heran ketika saya bisa masuk Islam,” kata dia.

Selain itu, Elizabeth dan keluarganya memiliki pengalaman yang buruk seputar Muslim. Dahulu, anggota keluarganya tewas di tangan seorang Muslim. Sejak itu ke bencian terhadap Muslim muncul.

“Opa saya dulu meninggal dibunuh orang yang kebetulan beragama Islam, memang silsilah keluarga tidak ada yang ingin memeluk Islam bahkan jika sampai ada yang memeluk Islam maka mereka akan dibuang, dihina, dan dijauhi,” ujar dia.

Islamfobia yang berkembang belakangan ini juga menjadi dasar baginya untuk memperkuat kebencian terhadap Islam. Kasus terorisme di berbagai belahan dunia semakin menyempitkan persepsinya tentang Islam serta penganutnya.

Mengenal Islam

Elisabeth pertama kali tertarik dengan Islam ketika melihat sahabatnya di media sosial Path. Dia merupakan sahabat lama SMA yang setelah lama tidak berjumpa ternyata banyak unggahannya yang positif. Terutama pesan-pesan yang Islami. Menurut ibu empat anak ini, teman itu sudah berubah luar biasa.

Dahulu, dia memiliki perilaku yang buruk. Namun, sekarang bisa menjadi lebih baik. Media sosial dia manfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan bermanfaat.

Bagaimana bisa dia berubah? Seperti apa ceritanya? Apa yang membuatnya menjadi insan yang lebih baik? Berbagai pertanyaan tersebut muncul di benaknya.

Setelah ditelusuri, ternyata teman sekolah nya ini berteman baik dengan Umi Pipik, istri almarhum Jeffri Bukhori. “Saya kemudian me-repath ulang unggahan teman saya dan berteman dengan Umik Pipik, Qadarullah pertemanan saya diterima tanpa bertanya saya Kristen atau apa, dia juga senang menjawab pertanyaan saya,” kata dia.

Suatu hari, teman SMA-nya Yosi bersama Umi Pipik dan lainnya mengadakan kegiatan amal. Elisabeth sangat senang dengan kegiatan amal tersebut. Dia mengajak teman-teman kantornya ketika itu untuk ikut serta.

Ketika kegiatan berlangsung, temannya tidak bisa hadir. Elisabeth terpaksa mengantar uang santunan. Sampai lokasi dia terkejut karena ternyata acara amal ini acara Muslim karena hampir semuanya berpakaian menutup aurat.

“Karena saya langsung dari kantor, jadi saya masih mengenakan pakaian kantor dengan rok pendek ketika itu, tetapi perhatian yang saya dapatkan dari mereka justru berbeda,” kata dia.

Elisa merasa minder, tetapi justru dia diperlakukan dengan baik. Mereka tidak melecehkan dengan pandangan mereka karena pakaiannya.

Malah dia diajak duduk, berfoto, dan berkenalan. “Dari situ lunturlah pemikiran saya tentang Islam itu jahat, ternyata tidak, Islam itu baik kok, mereka memperlakukan saya dengan baik, meski sebelumnya mereka tidak mengenal saya,” ujar dia.

Islam bukanlah yang selama ini dia pahami. Sejak itu dia memutuskan untuk mempelajari Islam. Dari acara tersebut, Elisa mulai mencari tahu mengenai Islam lebih banyak. Karena Yosi sangat sibuk, Elisa menghubungi temannya yang lain Dita.

Dita kemudian menjelaskan kepadanya tentang konsep Tuhan dalam Islam. Elisa masih mempertanyakan apakah konsep Tuhan dalam Kristen dan Islam sama.

Dita kemudian menegaskan bahwa Tuhan umat Islam adalah Allah SWT, tidak beranak dan diperanakkan. “Dari situlah saya mendapatkan pemahaman baru ten tang Islam,” tutur dia. Lalu dia semakin mendalami Islam dengan bertanya kepada Yosi yang membenarkan pernyataan Dita.

Bersyahadat

Sebelum memeluk Islam empat tahun lalu, Elisabeth merupakan orang tua tunggal selama 10 tahun. Dia memiliki dua orang anak. Setelah mengenal Islam, dia berkenalan dengan seorang pria yang kini menjadi suaminya, Rio Angga. Lelaki itu bekerja di sebuah klub malam terbesar di Jakarta. Saat itu masuk Ramadhan hari pertama, anehnya meski pria ini bekerja di klub malam dia tetap menjalankan puasa. Ah, mungkin hanya sehari dia berpuasa, setelah itu pasti akan makan dan minum pada siang hari. Begitu keyakinan Elisabeth.

Ternyata Rio berkata bahwa setelah 11 bulan dikasih keleluasaan untuk berbuat maksiat, harusnya satu bulan bisa dijalankan sebaik-baiknya sebagai hamba Allah. Dari situ, Elisa sema kin ingin mencari tahu Islam lebih dalam. Namun, dia tidak ingin belajar Islam dari pria ini karena memiliki hubungan dekat, khawatir tidak netral.

Maka, dia belajar Islam dari orang lain terutama sahabatnya Dita. Setelah Idul Fitri, Elisa menghubungi Dita untuk me minta penjelasan lebih dalam mengenai Allah dan Nabi Muhammad.

Pada malam itu Elisa memutuskan un tuk bersyahadat. Kemudian setelah mualaf, dia masih tinggal dengan dua anak nya yang masih Kristen. Kedua anak nya pun merasa kecewa, karena mereka yang ke gereja selalu bersama ternyata kini berbeda pandangan.

“Mereka berpikir maminya gila, saya dimusuhin, pintu dibanting di hadapan saya, mereka nangis, pasti mereka hancur karena saya masuk Islam.”

Elisa bersyukur ketika hijrah dia di dukung oleh seorang ustaz. Pendakwah itu mengajarkannya bahwa ajaran agama harus diwujudkan dalam akhlak. Lakukata yang berdasarkan agama akan meng hadirkan ketenangan dan kesejukan.

Meski berbeda agama dengan kedua anaknya. Elisa tetap memperlakukan ke duanya dengan baik. Dia tetap mengantarkan kedua anaknya sampai pintu gereja, kemudian pulang dan menjemput kembali.

Dari sana, mereka mempelajari Islam dari perlakuannya. Elisa tidak langsung mengajarkan shalat, memerintahkan membaca buku-buku Islam. Dia hanya memperlihatkan Islam dengan ilmu yang masih minim dengan perlakuan baik.

Suatu ketika, anak pertamanya Safira (16 tahun) yang lama menderita skoliosis masuk ICU dan harus dioperasi. Ketika itu dia bingung untuk menuntun anaknya berdoa karena agama yang berbeda.

Elisa berdoa dan berzikir, dia hanya mengatakan untuk berdoa masing-masing karena tidak sama. Namun, atas hidayah Allah, Safira mengatakan ingin berdoa yang sama dengan ibunya.

Disaksikan dokter dan suster, Safira mengucapkan dua kalimat syahadat. Berbeda dengan anaknya yang kedua, Hasiani (14), anaknya yang lahir prematur ini sangat dekat dengan ibunya, sehingga dia paling memusuhi Elisa saat memilih Islam.

Elisa pun tidak pernah menanyakannya. Karena khawatir dihina anaknya dan merasa saki hati dia tidak pernah memaksa anak keduanya memeluk Islam. Suatu hari dia bertanya kepada ayah nya, yang kini menjadi suami kedua Elisa alasan tidak pernah ditanya untuk memeluk Islam.

Padahal, Hasiani berharap ditanya. Setelah itu anak keduanya bersyahadat dan memeluk Islam atas permintaan sendiri. Ini merupakan tahun ketiga kedua anak nya memeluk Islam dan mereka bersyahadat ulang disaksikan Imam masjid di daerah rumahnya di Rempoa.

Dukungan Suami

Tidak lama setelah menjadi mualaf, Elisa dan Rio menikah. Awalnya setelah merasa gagal berumah tangga, dia tidak ingin menikah lagi. Namun, Islam memiliki sudut pandang lain. Dia melihat dengan berumah tangga maka dapat menjalani Islam lebih sempurna. Dia ingin memiliki keluarga yang utuh dan bisa ibadah bersama.

Namun, saat itu kondisinya suami bekerja di kelab malam sudah 14 tahun lamanya. Pernikahan kedua ini tak mudah dilalui. Dia tidak ingin menyerah dengan kondisi suami. Dia tidak memaksa suami berhenti bekerja atau berhenti minum minuman keras. Agar menjadi rem suami, Elisa selalu menemani suaminya bekerja, mengantar atau menjemputnya.

Bahkan ketika berjilbab dia masih kediskotek menemani suaminya. Pernah sempat berputus asa, akhirnya dia bercerita dengan Umi Pipik karena memiliki latar belakang sama.

Dia mendapat nasihat bahwa meminta kepada manusia, baik suami atau anak untuk berubah itu tidak mudah. Cukup minta kepada Allah dengan shalat. Elisa bersyukur Allah memberi jalan, beberapa hari sebelum Aksi Bela Islam 212, suaminya di PHK. Meski kelab malam lain menawari pekerjaan yang sama, dia menolaknya.

Suaminya memutuskan untuk hijrah. “Alhamdulillah, suami saya bisa meninggalkan dunia, dan dua anaknya dari suami saya masuk Islam,” ujar dia.

 

REPUBLIKA