Empat Tipe Manusia

Antara hati dan pikiran sejatinya seiring dan seirama di dalam bertindak dan beribadah. Jika hati mengatakan A, tindakan juga harus A, tidak boleh menjadi B atau C. Namun, jika harus jujur dengan diri sendiri, keseragaman antara hati dan tindakan kita memang tidak terjadi. Di satu sisi, kita mengajak kepada orang lain untuk berbuat baik, tetapi kita sendiri jarang, bahkan tidak mau melaksanakan kebaikan itu.

Apakah manusia itu seutuhnya demikian? Ataukah ada manusia lain yang antara hati dan tindakan selalu seiring dan seirama dalam kehidupannya? Di manakah posisi kita saat ini? Dalam Syarah Nashaihul ‘Ibâd-nya Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata bahwa manusia itu terbagi atas empat tipe/jenis:

Pertama, seorang yang tidak mempunyai lidah dan tidak mempunyai hati, yaitu orang-orang yang durhaka. Kita jangan bergaul dengan mereka agar bisa terhindar dari sifat jeleknya.

Sesungguhnya baik dan buruknya akhlak seseorang sering kali dipengaruhi dengan siapa ia bergaul dan berinteraksi. Jika sekiranya dengan terlalu banyak bergaul kita takut terbawa buruk, maka lebih baik menghindari orang-orang tipe pertama ini. Menghindari mereka merupakan pilihan terbaik daripada memaksakan sering-sering duduk bersama mereka.

Kedua, seseorang yang mempunyai lidah, tetapi tidak mempunyai hati, yaitu orang-orang yang pandai berbicara hikmah, tetapi ia sendiri tidak mengenalnya. Ia mengajak orang ke jalan Allah, tetapi ia menjauhi-Nya. Jauhilah mereka agar engkau tidak terpengaruh keindahan bahasanya sehingga engkau hangus dengan kemaksiatannya.

Sering kali kita dibuat silau sekaligus kagum dengan orasi-orasi dan hikmah dari lisan seseorang hanya karena ia pandai membuat kata-kata menjadi indah. Perintah Tuhan dan nabi-Nya ia uraikan dengan baik kepada semua orang. Ia tuturkan juga bagaimana untaian dan kalimat hikmah para ulama. Namun, itu sebatas di lisan, dalam praktiknya jauh dari semua yang ia ucapkan.

Ketiga, seorang yang mempunyai hati, tetapi tidak mempunyai lidah. Dialah orang mukmin yang Allah tutup pandangan matanya dengan aibnya sendiri. Hatinya terang dan paham akan manusia di mana ia berada. Orang semacam ini mungkin termasuk wali-wali Allah.

Satu di antara cara untuk meningkatkan keimanan dan memompa semangat beribadah kepada Allah dengan banyak bergaul dengan orang-orang shaleh. Ia tidak pernah tergoda untuk membicarakan, apalagi sampai menyebarkan aib orang lain. Ia sibuk dengan aibnya sendiri, waktunya habis untuk taat dalam keterasingan kepada Allah.

Keempat, seorang yang mengerti dan beramal menurut apa ia mengerti. Dialah orang-orang alim yang Allah memberikan kepadanya pengertian tentang tanda-tanda kebesaran Allah dengan ilmunya. Upayakan agar engkau selalu dengannya dan menerima semua nasihat-nasihatnya.

Sekeras-kerasnya batu, jika terkena tetesan air yang terus-menerus menetes ke atasnya, lama-kelamaan batu itu akan berlubang juga. Begitu juga dengan hati manusia, sekeras dan sesusah apa pun hati tersebut, jika dibasuh dengan air nasihat dari orang-orang saleh, maka akan luluh juga untuk menerima sebuah hikmah dan kebenaran.

Kita wajib mendekati orang-orang tipe nomor empat ini. Karena ia mengerti mengapa ia beribadah, paham akan kebesaran-kebesaran Allah, dan menjadi hamba-Nya yang paling taat dan takut kepada-Nya. Ia bagaikan cahaya lampu di tengah kegelapan yang menyinari.

Di posisi manakah kita berada saat ini? Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang saleh dan patut untuk menjadi calon penghuni surga. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Feri Anugrah

REPUBLIKA