zakat fitrah

Esensi Zakat Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani

Salah satu poin penting dalam rukun Islam adalah menunaikan zakat. Mengeluarkan zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim. Berikut ini esensi zakat menurut Syekh Abdul Qadir Jailani.

Bulan puasa Ramadhan sudah memasuki hari yang ke 27. Itu artinya, lebaran hari raya idul fitri sudah di ujung mata. Tinggal menghitung jumlah hari saja untuk merayakannya. Bagi yang masih jomblo tentu merupakan sebuah kebahagiaan dicampur kegalauan, karena sehabis itu ia akan menjalankan tradisi uwwadh dalam keadaan seorang diri tanpa seorang pendamping hidup yang menemani. 

uwwadh adalah sebuah wahana bersilaturahmi ke antar sanak saudara sebagai ekspresi dari halal bihalal yang sudah terlembagakan, selanjutnya secara budaya kemudian menjadi semacam suatu kebiasaan (tradisi, adat atau ‘urf) yang disepakati.

 Menurut Prof. Muhammad Baharun (2012: 130), uwwadh adalah bertemu secara massal dari rumah ke rumah meskipun hanya sebentar karena jemaah yang ikut begitu banyak, sehingga secara merata rumah mereka harus dikunjungi semua. Artikel ini akan kita bahas secara khusus setelah hari raya. InsyaAllah. 

Dalam tulisan kali ini, penulis hanya ingin fokus pada fenomena zakat yang dalam hal ini menyiratkan nilai-nilai substansial yang penting–bahkan untuk tidak dikatakan wajib–diketahui oleh semua insan. Setelah ibadah ritual, lalu ibadah apa lagi yang mesti dikerjakan dan diketahui oleh setiap hamba Allah? 

Dalam waktu yang relatif singkat sepertinya bulan puasa sudah mau berakhir saja. Tidak terhitung, bahwa jumlah atau bilangan hari ibadah puasa sudah mencapai 27 hari. Itu artinya, kita sudah ada pada titik terakhir bulan Ramadhan. Ibadah puasa kita ternyata biasa-biasa saja selama ini.

 Bagi yang merasakan yang sama seperti saya semisal bersantai-santai selama ini dari kemarin, setidaknya semakin ditingkatkan di titik terakhir bulan Ramadhan tahun ini, karena kita juga tidak tahu kapan Lailatul Qadar itu akan turun (baca: Memburu Lailatul Qadar di Menit Terakhir Bulan Ramadhan, terbit kemarin Kamis, 28 April 2022). 

Terus apa yang mesti harus diperbuat untuk meraih keistimewaan di detik-detik terakhir bulan Ramadhan tersebut? Tentu saja banyak sekali amalan selain baca zikir untuk bermunajat kepada Allah SWT. Bacaan dzikir adalah perkara sunnah dalam agama Islam. Berbeda dengan zikir, zakat adalah perkara rukun. Karena itu harus dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya.

 Selanjutnya, bagaimana dengan perasaan orang-orang fakir dan miskin yang ingin sekali meraih pahala ibadah zakat sementara mereka tidak mampu mengeluarkan zakat? 

Banyak dari sekian orang yang sudah menunaikan ibadah zakat dari kemarin. Di daerah penulis, Desa Pakamban Daya Kecamatan Peragaan, Kabupaten Sumenep, Madura, telah banyak orang-orang menunaikan ibadah zakat fitrah baik diberikan kepada fakir dan miskin dan atau diberikan kepada salah satu tokoh di daerah tersebut. Namun demikian, ada pula yang biasa mengeluarkan zakat fitrah tersebut nanti di malam hari raya idul fitri.

Dalam Al-Qur’an, anjuran perintah menunaikan ibadah zakat merupakan perkara yang sangat dianjurkan, di samping hal tersebut merupakan bagian dari rukun Islam itu sendiri, lebih dari itu bahwa secuil dari kekayaan yang Allah titipkan terhadap mereka (orang yang kaya) merupakan karunia Allah. Alquran menyebutnya dengan istilah al-fadhl (karunia). Tetapi di samping itu juga sebagai ujian (fitnah). 

Harta tersebut sejatinya adalah harta kekayaan Allah (QS. Al-Baqarah, (2): 284) yang harus diberikan kepada hamba-Nya yang membutuhkan. Bila kekayaan yang dititipin Allah SWT tersebut tidak segera diberikan, maka itu akan menjadi ujian (QS. Al-Munafiqun, (63): 15) dan bencana (QS. Al-Isra, (17): 16). 

Dengan demikian, agar harta tersebut tidak membahayakan, untuk menghindari hal tersebut sekaligus agar bermanfaat, kekayaan tersebut harus digunakan dengan baik dan benar. Salah satu bentuk penggunaan yang baik dan benar adalah menyalurkannya kepada yang lebih membutuhkan: fakir dan miskin.

Bagi orang yang tergolong tidak mampu menunaikan ibadah zakat, Allah SWT ternyata juga memberikan keistimewaan tersendiri bagi para hamba-Nya. Dalam arti, bahwa Allah SWT tidak pernah membeda-bedakan hamba-Nya. Baik yang miskin maupun yang kaya, semuanya bagi Allah adalah sama. Yang membeda-bedakan adalah kualitas ketakwaannya. Bisa jadi, mereka yang miskin adalah jauh lebih baik dari yang kaya. Allahua’lam

Allah berfirman, yang artinya: “Janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima” (QS. Al-Baqarah, (2): 264). Dalam pemenuhan ibadah zakat ini adalah murni dilakukan dengan penuh ikhlas, bukan untuk mencari popularitas, sombong, dan beberapa jenis penyakit hati yang dapat mengugurkan pahala sedekah atau zakat, karena itu akan sia-sia belaka. 

Menurut Syekh Abdul Qodir Jailani, hakikat zakat adalah zakat batin, artinya ada tekad yang kuat untuk melabuhkan kebaikan dalam konteks kehidupan, dan mengajak kepada orang lain untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, seraya meninggalkan setiap keburukannya. 

Zakat ini dinamakan dengan zakat tarekat–yaitu memberikan pahala dari ibadah akhirat (yang kita kerjakan) kepada ahli maksiat untuk mendapat ridha Allah SWT. Ibadah akhirat yang dimaksud seperti shalat, zakat, puasa, Haji, bacaan tasbih, tahlil, bacaan Alquran, kedermawanan dan amalan-amalan baik lainnya (Syekh Abdul Qodir Jailani, 2018: 210-211).

Orang yang bangkrut karena kedermawanan lebih Allah cintai daripada kaya rapi pelit, sombong, takabur dan lain sebagainya. Sabda Nabi Muhammad: “Orang yang bangkrut (karena dermawan) akan berada dalam penjagaan Allah di dunia dan di akhirat“. Karena setiap sesuatu adalah milik Allah, dan kepada Allah lah kita kembali. 

Karena itu, Rabi’ah Al ‘Adawiyah berujar, “Ya Ilahi, semua jatah duniawiku, berikan kepada orang kafir, dan semua jatah pahal aku, berikan kepada orang mukmin. Karena tidak ada yang aku inginkan dari dunia ini kecuali zikir mengingat-Mu dan yang kuinginkan di akhirat hanyalah melihat-Mu“. Karena tidak sepatutnya kita membanggakan apapun yang kita punya, sementara itu semua adalah titipan semata. 

Baik orang miskin maupun kaya adalah sama. Yang membedakan adalah ketakwaannya. Esensi zakat menurut Syekh Abdul Qadir Jailani, sejatinya adalah pembersihan diri dari serangkaian nafsu dan angkatan murka yang selama ini bersarang di dalam diri kita.

Melalui ritual puasa dan kemudian dicuci dengan zakat salah satunya adalah agar kelak bisa bertemu Ar-Rahman. Karena itu semata harapan kita bersama.

BINCANG SYARIAH