Hukum dan Tata Cara Iktikaf

Fatwa Ulama: Hukum dan Tata Cara Iktikaf

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan

Apakah hukum iktikaf? Apakah diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang melaksanakan iktikaf) untuk buang air, makan, dan sejenisnya, atau keluar untuk berobat? Dan apa sunah-sunah iktikaf? Bagaimana tata cara iktikaf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam?

Jawaban

Iktikaf adalah menetap di masjid untuk menyendiri mendirikan ibadah (ketaatan) kepada Allah Ta’ala. Iktikaf disunahkan dalam rangka mencari Lailatulqadar. Allah Ta’ala mengisyaratkan hal itu dalam Al-Qur’an di dalam firman-Nya,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah: 187).

Terdapat dalil sahih di Ash-Shahihain dan selain kedua kitab hadis tersebut bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum beriktikaf bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Bukhari no. 2036). Sehingga iktikaf tetap disyariatkan (sepeninggal beliau), dan tidak dihapus hukumnya (tidak di-naskh, pent.).

Dalam Ash-Shahihain, dari ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beriktikaf setelah kepergian beliau” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).

Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam iktikaf di sepuluh malam pertama bulan Ramadan, kemudian iktikaf di sepuluh malam pertengahan Ramadan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ، أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ، ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ، ثُمَّ أُتِيتُ، فَقِيلَ لِي: إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ

Aku telah iktikaf sejak sepuluh awal bulan untuk mendapatkan Lailatulqadar, kemudian sepuluh yang pertengahan. Kemudian dikatakan kepadaku bahwa Lailatulqadar itu terdapat pada sepuluh akhir Ramadan. Karena itu, siapa yang ingin iktikaf, iktikaflah.’

Maka para sahabat pun ikut iktikaf bersama-sama dengan beliau” (HR. Muslim no. 1167).

Sehingga para sahabat pun iktikaf bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun dari para ulama yang berbeda pendapat bahwa hukum iktikaf adalah sunah.”

Berdasarkan perkataan beliau Rahimahullah ini, maka hukum iktikaf adalah sunah, dan ini berdasarkan dalil nash (Al-Qur’an dan As-Sunah) dan ijmak.

Adapun tempat iktikaf adalah di masjid, yaitu yang di dalamnya didirikan salat berjemaah di negeri mana pun. Hal ini berdasarkan cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“ … sedang kamu beriktikaf di dalam masjid.

Yang lebih utama adalah di masjid yang di dalamnya didirikan salat Jumat, supaya tidak perlu keluar masjid ketika waktu salat Jumat tiba. Akan tetapi, jika iktikaf di masjid yang tidak didirikan salat Jumat, tidak mengapa datang lebih awal untuk salat Jumat (di masjid lain, pent.).

Hendaknya seorang mu’takif menyibukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, berupa salat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir kepada Allah Ta’ala karena inilah yang menjadi tujuan dari iktikaf. Diperbolehkan untuk sesekali bercakap-cakap dengan temannya yang lain, terlebih lagi jika ada faedah di dalamnya. Diharamkan bagi mu’takif untuk jimak (berhubungan badan, pent.) dan awalan dari jimak.

Adapun keluar dari masjid, maka para ulama fikih membagi dalam tiga jenis:

Pertama, diperbolehkan keluar karena perkara-perkara yang harus dikerjakan, baik secara syar’i maupun tabiat (sebagai manusia). Misalnya, keluar menuju salat Jumat (jika dia iktikaf di masjid yang tidak didirikan salat Jumat, pent.), makan, minum (jika tidak ada yang membawakan makan minum untuknya), keluar masjid untuk berwudu, mandi wajib, atau buang hajat, baik buang air kecil atau buang air besar.

Kedua, keluar masjid untuk melakukan ketaatan yang tidak wajib baginya. Misalnya, menjenguk orang sakit atau menyaksikan pemakaman jenazah. Jika dia mensyaratkan hal itu ketika memulai iktikaf, maka diperbolehkan. Jika tidak, maka tidak boleh.

Ketiga, keluar untuk perkara yang bertentangan dengan tujuan iktikaf. Misalnya, pulang ke rumah, jual beli, jimak dengan istri, dan semacamnya. Hal itu tidak diperbolehkan, baik dengan syarat atau tanpa syarat.

Wallahul muwaffiq.

***

@Rumah Kasongan, 21 Ramadan 1443/ 23 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/74858-fatwa-ulama-hukum-dan-tatacara-iktikaf.html