Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (2)

Bila Kesengsaraan Menyerang

Kesengsaraan dapat diartikan sebagai kehidupan yang sulit dan pahit, serba kekurangan, serba memprihatinkan, dan menimpa dalam tempo yang relatif tidak sebentar. Karena kita datang dengan satu sikap, hadir dengan satu pendirian, membawa prinsip yang tidak bisa ditawar, adalah sangat wajar bilamana langsung disambut dengan benturan sikap di sana-sini.

Permusuhan dan kebencian segolongan manusia yang tak senilai seringkali membawa jatuhnya korban. Lewat berbagai usaha mungkin sekali kita sengaja dikucilkan, diisolir dari pergaulan umum.

Dengan segala macam cara dan upaya tak akan berhenti mereka membuat makar untuk mecelakakan dan merugikan bahkan sampai kepada menghancurkan dan memusnahkan kita. Bentuknya, bisa lewat sabotase dan blokade ekonomi, issu dan fitnah politik, serta gangguan yang beraneka ragam.

Target mereka hanya satu, yaitu agar supaya orang-orang yang berusaha menjaga dan memelihara syahadatnya hidup dalam kesengsaraan, yang pada akhirnya kembali berbalik mengikuti dien dan ajaran mereka.

“Dan tiada akan rela orang Yahudi dan Nasrani kepadamu, hingga engkau mengikuti ajaran mereka.” (Q.S. Al-Baqarah : 120).

Sebenarnya sengsara di sini tidak seseram yang dibayangkan sebagian orang. Tidak berarti habislah segalanya seperti dugaan sekelompok orang. Memang jelas hidup sengsara itu tidak enak, tidak menyenangkan. Yang pasti, dengan sengsara ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup banyak yang bisa kita lakukan. Masih tetap terbuka peluang yang mungkin untuk dimanfaatkan.

Kesengsaraan bisa jadi akan melahirkan satu motivasi yang cukup tinggi yang pada akhirnya berubah bentuk menjadi energi. Bila energi-energi itu dihimpun dalam satu wadah, maka akan berubah menjadi sinergi. Dari sana akan lahir sebuah revolusi.

Nampaknya hidup sengsara ini sangat perlu pada awal-awal perlangkahan. Ada instrumen ruhaniah kita yang dapat diaktifkan secara efektif hanya dengan melalui hidup yang serba tidak menyenangkan itu. Kesengsaraan dan kemelaratan dapat menciptakan irama serta ritme kerja keras, militansi dan daya juang.

Inilah target sampingan yang hanya bisa diperoleh melalui hidup sengsara. Asal kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk terciptanya efek sampingan yang positif tadi, bergunalah hidup sengsara itu, sebagai jembatan penyeberangan untuk tiba di pelabuhan surga.

Yang disayangkan kalau hidup sengsara itu justru dijadikan keasyikan atau hobby. Lebih parah lagi kalau kemiskinan dan kemelaratan dijadikan kebanggaan. Sungguh merupakan tindak kebodohan. Seharusnya dengan kemelaratan akan timbul motivasi yang kuat untuk mengadakan perubahan. Dengan kemiskinan dapatlah aktif instrumen yang sangat potensial dalam diri untuk melahiran karya sejarah. Kemiskinan dan kemelaratan sama sekali bukan untuk dipamerkan dan dibanggakan.

Kesengsaraan, kemiskinan dan kemelaratan adalah jembatan penyeberangan yang tentu saja segera akan ditinggalkan bila kita sudah tiba di tempat tujuan. Kita akan menyesal nantinya bila tetap asyik berdiam diri di jembatan penyeberangan saja. Tak kunjung tiba di seberang, pada kehidupan yang lebih baik, untuk kemudian meneruskan perjalanan lagi menuju seberang yang jauh lebih baik lagi. Begitulah seterusnya.

Hidup Sengsara dan Karya Monumental

Hidup sengsara adalah pabrik yang paling produktif untuk melahirkan ide-ide brilian, yang akan menciptakan karya monumental, buah sejarah yang dinikmati oleh sekian banyak generasi belakangan.

Akan tetapi kalau energi yang tersimpan dalam diri hanya digunakan untuk melawan derita, sekedar berjuang mempertahankan hidupsetiap hari, dengan sikap-sikap yang hypokrit, sungguh menjadi bencana dunia akhirat yang patut diratapi.

Menyia-nyiakan kesempatan hidup menderita tanpa melahirkan ide-ide besar yang berbobot tinggi dengan karya-karya sejarah yang monumental sepanjang masa, dapat diibaratkan orang yang sedang menyeberangi jembatan yang sangat indah, tetapi ia sendiri terlupa kalau ini hanya jembatan penyeberangan darurat menuju surga di seberang sana. Karena lupa, maka berhentilah ia di atas jembatan itu karena merasa sudah tiba.

Kini tinggal menunggu kendaraan lewat yang akan menggilasnya atau menunggu runtuhnya jembatan tersebut, sebelum sempat membangun rumahnya di seberang sana. Sungguh sangat luar biasa cara Allah mengantar kita untuk tiba di surga, baik surga dunia ataupun surga di akhirat.

Dengan melalui malapetaka yang beraneka ragam serta hidup sengsara, betu-betul dapat dimengerti betapa effektifnya kondisi tersebut untuk melahirkan kemampuan yang memungkinkan kita bisa membangun surga tersebut, di dunia dan juga di akhirat.

Dengan malapetaka dan sengsara, di samping efek positif yang merupakan nilai tambah, sesungguhnya yang lebih penting lagi adalah mantapnya kesadaran akan kekuasaan Allah di samping keterbatasan diri.

Selain itu, dengan hidup sengsara kita dapat menghargai arti dan nilai setiap karunia Allah SWT. Kita dapat bersyukur sebagaimana mestinya. Dengan begitu akan terundang karunia dan tambahan nikmat yang lebih banyak lagi.

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim : 7).

Hidup sengsara dan malapetaka itu termasuk fasilitas yang diperlukan untuk menciptakan surga dunia akhirat. Tahapan tersebut sangat diperlukan agar supaya nantinya pada saat karunia yang banyak itu datang, sudah ada persiapan serta kemampuan untuk memanfaatkan sebagaimana mestinya. Tercapailah target utama bahwa semua yang ada dapat digunakan untuk menyusun dan memantapkan kekuatan dalam rangka memberikan kesejahteraan yang lebih baik lagi bagi kehidupan ummat manusia, bukan lantas digunakan berfoya-foya, mabuk dan lupa diri.

Alangkah sederhananya Allah mengungkapkan liku-liku perjalanan menuju surga dalam proses yang sangat menarik itu. Dengan memperhatikan konteksnya, jelas hidup sengsara dan malapetaka yang ada dalam perjalanan bukanlah siksaan dan penganiayaan yang harus diterima dengan pasrah sebagai hukuman. Tidak sama sekali, sebab tetap terbuka peluang untuk berbuat banyak.

Nampak betul kalau itu semua semata-mata upaya dan cara Allah menciptakan suatu kondisi guna memancing respons atau reaksi, agar melahirkan arus atau badai dalam satu sistem dan mekanisme kerja yang menjamin tercapainya kemenangan yang diperjuangkan.

Dengan dukungan rahman rahim Allah SWT, sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk menikmati hidup yang nyaman dan mengasyikkan. Walaupun dalam kondisi menderita dan sengsara. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak punya kepedulian pada orang lain, tak punya tanggung jawab untuk mensejahterakan orang lain.

Sangat dikhawatirkan kalau ummat Islam juga terjebak oleh perasaan asyik dan nikmat dalam kesengsaraan, sebab memang tidak melihat dan kurang bergairah mencapai hidup yang lebih baik. Mereka bisa berpendirian hidup seperti itu sudah cukup. Adapun orang di sekitarnya memerlukan pertolongannya, bukan urusannya. Akibatnya peluang serta kesempatan yang selalu terbuka untuk disergap, dibiarkan saja berlalu. Padahal ummat manusia sangat menantikan peran dan jasa ummat Islam.

Untuk merangsang dan menggali potensi raksasa yang ada dalam diri manusia, khususnya ummat Islam yang harus tampil menyelamatkan keadaan, rasanya baru kita mengerti kalau sangat besar gunanya fase kehidupan derita dan sengsara serta sentakan-sentakan malapetaka tersebut. Asal saja dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup sengsara dan malapetaka itu termasuk fasilitas yang diperlukan untuk menciptakan surga dunia akhirat. Dengan kata lain, kesengsaraan adalah jembatan penyeberangan.

Sebagimana layaknya jembatan, kemelaratan adalah sarana penghubung mencapai suatu kehidupan yang lebih layak, yang memungkinkan ummat Islam bisa berbuat lebih banyak lagi untuk kepentingan kesejahteraan ummat manusia, yang ditandai dengan tegaknya daulah kekuasaan Allah SWT di muka bumi ini.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di atas bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nuur : 55).

Sulit diterima kalau hidup sengsara itu menjadi permanen, menjadi ‘mabniyun’ terus-menerus. Yang benar, hidup sengsara hanya diperlukan untuk menggali potensi guna menciptakan hidup yang lebih manusiawi atau lebih layak. * (bersambung)

(alm) KH. Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah

HIDAYATULLAH