Haji dan Transendensi Makna Hidup (1)

oleh Komaruddin Hidayat

Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji lalu membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku – Engkau”, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transendental secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.

Ketika mengenakan pakaian ihram, seseorang tak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh bercermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya berbagai nafsu egoistik ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mikraj, mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, sebuah pribadi yang darinya terpancar sifat-sifat Ilahi.

Upaya mendekati, bahkan memeluk Tuhan ini lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengelilingi Ka’bah. Batu Hitam (Hajar Aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah) untuk melakukan audiensi.

Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”, kampung akhirat. Dengan menjabat tangan Tuhan seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

 

sumber: Republika Online