Haji Ibadah Berurai Air Mata: Nangis Mulu di Baitul Haram

Menangis itu nikmat dan dapat memupus gundah gulana. Seperti pengalaman haji bersama istri dan ibu di tahun 1994 disusul beberapa kali UMRAH sekeluarga sesudahnya yang semua biayanya dari hasil menulis dan melukis kaligrafi Alquran.

Sampai sehari sebelum berangkat dari kampung saya di Kuningan, saya berfikir, “Apaaaa ya yang belum?” Hingga tahu kalau saya belum pernah bisa menangis selama berdo’a. Saya pun berdo’a, “Ya Allah, biarkan hamba menangis terus mulai berangkat sampai hamba pulang.” Dan, itu benar-benar jadi kenyataan.

Dari mulai pemeriksaan imigrasi, tangis itu mulai meledak. Para penonton mungkin menyangka, “Kasihan deh, calon Haji ini belum berangkat sudah kecopetan,” padahal saya sedang membayangkan Nabi SAW sedang berkhutbah di Padang Arafah: “Ayyuhannaaaaaaaas….!”

 

Begitu melihat pucuk-pucuk menara Masjid Nabawi, raungan tangis mulai lagi, “Uuuu… uuu… uuu,” sampai-sampai menginspirasi istri untuk menohok dengan sikut kirinya dari bangku sebelah.

“Hei, nangis tuh kira-kira saja!”  tegurnya,

“Ini juga sudah dikira-kira,” jawab saya sambil menyetop tangis sejenak. “Uuu… Uuu…”

Di sana-sini menangis, sampai-sampai di pasar pun nangis, karena ingat peringatan Nabi bahwa pasar itu sarang setan.

Apalagi saat tawaf keliling Ka’bah, air mata terus tumpah sampai-sampai saya khawatir tak ada lagi cadangan air mata buat di Indonesia.

Di Masjidil Haram, seorang anak muda India yang belum juga bisa menangis, tertarik melihat sesenggukan saya.

“Kalau situh kapan mau nangisnya ya akhie?” tanya saya kepada si anak muda India itu. Dia pun menjawab,”Present in Arafah, insya Allah.”

Seorang anak muda dari Mesir, setelah lama saya ajak ngobrol, langsung merogoh koceknya dan … 
هل تسْمٙحُ لى ان اُعْطِيَك نقودا لولدِك لشراءِ الحٙلوِيّاتِ؟” /
“Hal tasmahu li an u’thiyaka nuqudan liwaladika lisyira’il halawiyat?” (Bolehkah saya kasih tuan fulus guna dibelikan permen untuk putra tuan?)

Ditanya seperti itu, maka tentu saja saya jawab dengan ‘Na’am’. Sekedar untuk kenangan, saya balas ngasih dia dengan selembar uang Rupiah 500 gambar monyet karena sudah tidak ada lagi uang Indonesia yang lain.

Dan sampai saat wassalam alias pulang haji, terutama saat menatap pucuk-pucuk menara Masjidil Haram, ledakan tangis itu kumat lagi. Tapi ya Allah, nikmatnyaaaaa tangisan ini. Terasa plong hati ini.

Nah, bagi jamaah yang masih tinggal di Makkah atau Madinah saya hanya memohon: Pak hai dan bu hajah, ayo kita menangis  haru sebelum keluarga pada nangis gembira menyambut di Indonesia!

Doa saya semoga mendapat haji yang mabrur. Amin.

Oleh: Didin Sirodjudin AR, Didin Sirodjudin AR, seniman kaligrafi dan pendiri Pesantren Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka).

FOTO: Didin Sirodjudin AR berhaji bersama keluarga pada tahun 1994. Ongkos hajinya didapat dari kemampuan dia menulis kaligrafi ayat Alquran.