Hamzah Yusuf Hakikat Kematian Menuntunnya Bersyahadat

Hamzah Yusuf mengalami kecelakaan hebat.

Yusuf terlahir dengan nama Mark Hanson dari dua orang tua yang merupakan akademisi di negara bagian Washington. Dia dibesarkan di California Utara. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini memiliki ayah yang bekerja sebagai profesor ilmu sosial. Sementara ibunya adalah lulusan Universitas California di Berkeley.

Dia dibesarkan dalam lingkungan Kristen Ortodoks. Pendidikannya ditem puh di sekolah pesisir timur dan barat negara Amerika Serikat. Saat usianya 12 tahun, kakek dari ibunya mengirim Yusuf dan saudarinya, Nabila, ke Kamp Ortodoks di Yunani untuk belajar agama Katolik. Sepertinya dia diarahkan agar menjadi pendeta pada masa mudanya.

Dilansir dari the guardian pada tahun 1977, setelah mengalami kecelakan mobil yang hampir mematikan, dia mulai mencari-cari makna kehidupan setelah mati. Ketika itu mulai membaca Alquran yang pada akhirnya ia memeluk agama Islam. Saudarinya Nabila juga ikut bersyahadat.

Yusuf mengalami kecelakaan hebat. Kepalanya terbentur keras yang hampir saja merenggut nyawanya. Dia tak pernah melupakan peristiwa itu. Dia merenung, yang pada akhirnya membawa dirinya tertambat pada satu pertanyaan krusial tentang kematian.

“Saya merasa mengalami konfrontasi de ngan kematian. Inilah yang membuat saya melakukan refleksi diri, introspeksi, dan menyelami lebih dalam tentang kematian. Apa dan bagaimana sesudah mati,” kata Syekh Hamza dalam laman pribadinya.

Pergulatan itu yang terjadi pada diri Yusuf. Introspeksinya lantas bersinggungan dengan unsur agama. Dari pengakuannya, hal itu tidak bisa terhindarkan ketika pernah mendalami agama di sekolah seminari. Dari situlah, ayah lima anak ini memulai pencariannya akan makna kematian.

Yusuf menggali berbagai hal mengenai kematian dan kehidupan setelah mati dari Injil dan literatur Nasrani. Cukup lama waktu yang dihabiskannya, namun belum juga merasa tercerahkan dan menemukan jawaban dari keingintahuannya. Dia pun memutuskan mempelajari dari sumber aga ma lain, termasuk Islam, sebagai perbandingan.

Ternyata, ajaran Islam membuatnya tak jub. “Tidak ada penjelasan lebih detil dan mendalam menyangkut hal-hal yang terjadi setelah kematian, seperti tercantum dalam literatur Islam. Ini sungguh menakjubkan, ujarnya.

Islam sangat jelas menguraikan berbagai hal mengenai kematian dan setelahnya. Misal, di alam kubur manusia harus menghadapi pertanyaan dari malaikat, adanya hukuman atau pahala bagi tiaptiap manusia sesuai amal perbuatan, hingga penghitungan di Mahsyar. Sulit menemukan yang terperinci ini dalam agama lain. Islam telah memberikan jawaban yang sangat mencerahkan,” papar dia.

Dari situ, dia baru memahami hakikat kematian. Kehidupan di dunia hanya sementara. Adapun manusia akan mengalami momen yang lebih kekal di akhirat kelak. Jadi, dari perspektifnya, apa yang di lakukan semasa di dunia harus lah ber orientasi pada pembekalan diri un tuk bersiap memasuki alam akhirat.

Ketertarikannya terhadap Islam semakin besar. Namun, semakin dia belajar tentang Islam, semakin dia mengetahui ada aspek tertentu dari agama ini yang membuatnya harus merenung. Saat itu, pada akhir tahun 70-an, sedang timbul ketegangan di Iran usai tumbangnya rezim Shah hingga menyeret Islam pada stereotipe negatif di kalangan Barat.

Yusuf merasa gundah. Untuk satu waktu, dia mengaku tidak ingin menjadi Muslim. Akan tetapi, dia tidak bisa menelikung batinnya untuk terus mendalami agama Islam. “Alhamdulillah, saya telah berulang kali menemukan kebenaran dalam hidup dan kini saya harus memilih, mening galkan atau menjadi seorang Muslim. Atas rahmat Allah, saya memilih Islam,” ujar dia.

Usianya ketika itu belum genap 18 tahun. Namun sudah berketetapan hati. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmilah menjadi seorang Muslim. Apa yang dilaku kannya setelah itu? dia langsung mengambil Alquran terjemahan dan membacanya terus-menerus. “Sebelumnya, saya tidak pernah membaca Alquran. Begitu membaca beberapa ayat, saya semakin mantap dengan keyakinan saya,” tegas Yusuf.

Hamza Yusuf menghabiskan waktunya belajar di luar Amerika Serikat selama 10 tahun. Tidak lama setelah pindah agama ke Islam, Yusuf pindah ke London di Inggris, ke Granada di Spanyol dan pada akhirnya Al Ain di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab untuk mengejar secara serius ilmu-ilmu keislaman.

Rasa hausnya akan ilmu agama semakin bertambah. Meski demikian, Mark merasa tidak akan banyak hal yang bisa diperoleh jika terus tinggal di Amerika. Oleh karena itu, dia memilih meneruskan studinya di Inggris.

Menimba ilmu Di negara Eropa tersebut, Mark bergabung dengan komunitas Muslim setempat dan menimba pengetahuan tentang ilmu dan tradisi Islam. Tapi, dia ingin memperoleh lebih. Kali ini keinginannya adalah belajar bahasa Arab. Itu harus didapatkannya dari sumbernya langsung, yaitu dunia Arab.

Kesempatan langka didapat saat bertemu Syekh Abdullah Ali Mahmoud, seorang fakih dan alim sekaligus tokoh spiritual dari Uni Emirat Arab. Melihat semangat Mark yang meletup-letup untuk belajar bahasa Arab dan agama, Syekh Abdullah ber sedia memfasilitasinya untuk belajar di UEA.

Sejumlah madrasah terkenal tercatat pernah menjadi tempatnya menekuni agama dan bahasa, seperti Ma’had al-Islami, Islamic Institute di al- Ain, dan lainnya. Di samping itu, sederet ulama berpengaruh pun pernah menjadi gurunya, misal Syekh Ahmad Badawi untuk ilmu hadis, Syekh Hamid untuk bahasa Arab, Syekh Abdullah Ould Siddiq untuk bidang ilmu fikih, serta masih banyak lagi.

Dia secara khusus belajar bahasa arab dan juga sekaligus menjadi muazzin di suatu masjid lokal selama empat tahun. Dia berkenalaan dengan sejumlah ulama asal Mauritania dan lalu mulai belajar secara serius ilmu-ilmu islam termasuk fiqih mazhab Maliki.

Pada akhirnya ini membawanya melaku kan perjalanan ke negeri Mauritania untuk belajar lebih serius kepada satu ulama paling terkenal di sana, Sidi Muham mad ould Fahfu al-Massumi, lebih dikenal sebagai Murabit al-Hajj.Selama masa ting galnya di sana, Yusuf tinggal dan belajar langsung kepada Murabit al-Hajj selama 3 tahun.

Selain gelar-gelar keislaman, ia pun berhasil menamatkan pendidikan dalam sastra Inggris dengan gelar Sarjana Muda (A.A) di Imperial Valley, California pada tahun 1990 dan Ilmu keperawatan (gelar A.S) dari kampus yang sama. Pada tahun 1991 ia dianugerahi gelar doktor Honoris Causa oleh Syekh Shadhili Naifer, dekan Universitas Zaytuna di Tunis. Dia menjadi doktor dalam program studi keislaman di Graduate Theological Union, Berkeley.

Setelah menyelesaikan pendidik an keperawatan, Yusuf bekerja di Unit Rawat Jantung di suatu rumah sakit di California. Pada masa ini pula yang membuatnya paham masalah kedokteran dan jantung.

Kemudian dia, Dr. Hesham Alalusi dan Zaid Shakir mendirikan Zaytuna Institute di Berkeley, California, Amerika Serikat, pada tahun 1996. Sekolah ini khusus didiri kan untuk membangkitkan kembali metode belajar secara tradisional ilmuilmu keislaman.

Mereka bersama kolega yang lain yang juga profesor di Universitas California di Berkeley, Hatem Bazian, pada musim gugur tahun 2010 berhasil membuka Zaytuna College, suatu perguruan tinggi ilmu sosial dengan pengkhususan keislaman dengan masa tempuh pendidikan 4 tahun, suatu perguruan tinggi Islam pertama di Amerika Serikat.

Tempat itu berhasil mewujudkan visi Hamza Yusuf yang ingin mengkom binasikan ilmu sosial-budaya dengan pelatihan intensif dalam disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional. Perguruan tinggi tersebut bertujuan untuk mendidik dan menyiapkan pe mimpin profesional, intelektual dan spiritual.

MUALAF REPUBLIKA