Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 1)

Sungguh merupakan suatu kebahagiaan apabila kelak kita dapat tinggal di surga dan merasakan segala kemewahan yang ada di dalamnya. Merasakan berbagai kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga atau bahkan tidak pernah terbetik dalam hati setiap manusia. Merasakan nikmatnya sungai dari susu dan madu, mendapatkan isteri yang cantik jelita, diberi umur muda dan hidup kekal, abadi selama-selamanya. Dan kenikmatan yang lebih dari itu semua, kita dapat memandang wajah Allah Ta’ala, pandangan yang menyejukkan mata-mata kita dan dapat membuat kita lupa dengan berbagai kenikmatan lainnya yang telah kita rasakan. Duhai … siapakah yang tidak ingin merasakannya? Lalu bagaimana kita dapat meraihnya?

Janji Surga bagi Ahli Tauhid

Di antara keistimewaan tauhid adalah bahwa Allah Ta’ala telah menjanjikan surga dengan segala kemewahan di dalamnya bagi para ahlinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Misykatul Mashabih no. 1621)

Dari hadits ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa barangsiapa yang konsekuen dengan syahadat laa ilaaha illallah, baik secara ilmu dan amal, maka dia adalah ahli tauhid yang mendapatkan jaminan kepastian untuk masuk surga.

Rasulullah juga telah menjanjikan bahwa ahli tauhid akan terbebas dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ 

”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang berkata, ’laa ilaaha illallah’, dengan mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah.” (HR. Bukhari no. 425, 1186, 5401 dan Muslim no. 1528)

Namun, yang penting untuk menjadi catatan adalah bahwa yang dimaksud dengan “perkataan” dalam hadits di atas bukanlah sekedar perkataan belaka, yang sangat ringan dan mudah untuk diucapkan. Tetapi yang dimaksud adalah perkataan yang memenuhi syarat dan rukunnya, melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, serta tidak melakukan pembatal-pembatalnya. 

Masuknya seseorang ke dalam surga ini bisa jadi setelah Allah Ta’ala meng-hisab amal-amal kita terlebih dahulu, kemudian Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita kemudian langsung memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Namun bisa jadi Allah Ta’ala tidak mengampuni dosa-dosa kita tersebut, sehingga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam neraka terlebih dahulu sebelum akhirnya Allah membebaskan kita kemudian memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Oleh karena itu, terdapat keistimewaan yang lebih dari itu semua, yaitu bahwa Allah Ta’ala akan langsung memasukkan kita  ke dalam surga tanpa harus dihisab atau bahkan diadzab terlebih dahulu. Lalu bagaimana meraihnya?

Membersihkan Tauhid

Puncak keistimewaan bagi orang-orang yang bertauhid adalah Allah Ta’ala akan memasukkannya ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Hal ini hanya Allah Ta’ala janjikan bagi orang-orang yang benar-benar membersihkan dan memurnikan tauhidnya. Yang dimaksud dengan membersihkan tauhid (baca: men-tahqiq tauhid) adalah seseorang mewujudkan dua kalimat syahadat dengan meninggalkan segala macam syirik, baik syirik akbar, syirik ashghar, atau pun syirik khofi (syirik yang samar/tersembunyi) sebagai konsekuensi dari syahadat “laa ilaaha illallah”. Dia juga harus meninggalkan bid’ah dan maksiat dengan segala jenisnya sebagai konsekuensi dari syahadat “Muhammad rasulullah”.

Membersihkan dan memurnikan tauhid ini memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan yang wajib dan tingkatan yang sunnah. Tingkatan wajib adalah meninggalkan segala sesuatu yang wajib untuk ditinggalkan, yaitu syirik, bid’ah, dan maksiat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Inilah tingkatan minimal untuk mendapatkan predikat sebagai orang yang bersih tauhidnya. Namun ada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih utama lagi dari itu. Yaitu tingkatan sunnah, di mana hati seseorang seluruhnya hanya menghadap kepada Allah Ta’ala dan tidak pernah condong atau berpaling kepada selain Allah Ta’ala. Maka perkataannya adalah semata-mata karena Allah, perbuatan dan amalnya hanya untuk Allah, dan bahkan setiap gerak-gerik hatinya hanya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata. Dia juga meninggalkan sesuatu yang sebenarnya pada asalnya bukan perbuatan dosa, namun hanya semata-semata karena takut bahwa perbuatan tersebut akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan nikmat yang akan dia peroleh di akhirat. (Lihat At-Tamhiidhal. 33)

Namun, orang yang sempurna bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah dan dosa. Orang yang sempurna adalah orang yang apabila berbuat salah dan dosa dia segera menyesal, berhenti, dan bertaubat dari dosa-dosanya. Allah Ta’ala berfirman, 

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 135)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ 

”Setiap manusia pasti berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 4521)

Bagaimana Jalan untuk Membersihkan Tauhid?

Untuk membersihkan dan memurnikan tauhid kita, harus terpenuhi tiga hal. Pertama, memiliki ilmu yang sempurna tentang tauhid. Karena tidak mungkin seseorang membersihkan sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui dan memahami sesuatu tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah saja.” (QS. Muhammad [47]: 19) 

Maka dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan untuk meng-ilmui terlebih dahulu, sebelum mengucapkan kalimat tauhid.

Ke dua, meyakini kebenaran tauhid yang telah diilmuinya. Apabila seseorang hanya mengilmui (mengetahui) saja, akan tetapi tidak meyakininya dan bahkan mengingkarinya, maka dia tidaklah membersihkan tauhidnya. Allah Ta’ala berfirman tentang kesombongan orang-orang kafir yang tidak meyakini keesaan Allah sebagai satu-satunya sesembahan –padahal mereka telah memahami makna laa ilaaha illallah-,

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

”Mengapa ia (Muhammad) menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sungguh ini adalah suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5) 

Ke tiga, mengamalkan tauhid tersebut dengan penuh ketundukan. Jika kita telah mengilmui dan meyakini akan tetapi kita tidak mau mengamalkannya dengan penuh ketundukan, maka kita belum bersih tauhidnya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ

”Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ’laa ilaaha illallah’, mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 35)

Apabila ketiga hal ini telah terpenuhi dan seseorang benar-benar membersihkan serta memurnikan tauhidnya, maka jaminan surga tersedia menjadi miliknya tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam hal ini, kita tidak perlu mengatakan”Insya Allah” karena hal tersebut adalah hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at. (Lihat Al-Qoulul Mufiid1: 91)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51862-marah-ketika-melihat-kesyirikan-1.html