Hikmah Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawal

AMALAN yang identik dengan bulan Syawal salah satunya adalah puasa sunnah 6 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa 6 (enam) hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti puasa satu tahun penuh.” (HR. Muslim)

Penyariatan puasa Syawal ini memiliki banyak hikmah. Setidaknya ada lima hikmah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam buku “Lathaa`ifu al-Ma’aarif fiima li al-Mawaasim min Lathaa`if” (1999 : 393):

Pertama, puasa 6 hari di bulan Syawal pasca Ramadhan bisa menyempurnakan pahala puasa menjadi setahun penuh. Ini sesuai dengan hadits yang disebut di awal.

Kedua, puasa di bulan Syawal dan Sya’ban laksana sunnah Rawatib dalam shalat wajib yang berfungsi menyempurnakan kekurangan dan kekeliruan yang terjadi dalam shalat wajib. Tidak berlebihan jika Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah pernah berkata, “Barangsiapa yang tidak bisa mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan, maka hendaknya ia puasa (sunnah setelahnya)!”  Karena puasa -dalam hal menebus kejelekan – menempati posisi memberi makan (zakat fitrah).

Ketiga, membiasakan puasa setelah Ramadhan adalah tanda diterimanya puasa Ramadhan.  Jika Allah Subhanahu Wata’ala hendak menerima amalah seorang hamba, maka dia diberi taufik untuk melakukan amal saleh setelahnya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Pahala kebaikan adalah kebaikan (yang dilakukan) setelahnya.” Maka kalau ada yang berbuat kebaikan lalu berkesinambungan, maka itu sebagai tanda diterimanya kebaikan yang pertama. Demikian juga sebaliknya jika melakukan keburukan (itu sebagai tanda bahwa amalan pertama tidak diterima).

Keempat, membiasakan puasa setelah Ramadhan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah yang menganugerahkan ampunan di bulan Ramadhan; karena tidak ada nikmat yang lebih besar daripada ampunan-Nya. Suatu saat nabi shalat malam hingga kakinya bengkak. Ketika ditanya, beliau menjawab bahwa itu sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini salah satu contoh rasa syukur yang dicontohkan nabi.

Ketika Ibnu Al-Warad ditanya orang mengenai pahala beberapa amal seperti thawaf dan semacamnya, beliau menjawab, “Jangan bertanya tentang pahalanya, tapi tanyalah kepada dirimu sudahkan kamu bersyukur kepada Allah yang telah memberi taufik dan pertolongan untuk melakukan kebaikan tersebut!”

Kelima, amalan yang dilakukan seseorang di bulan Ramadhan sejatinya tidak berhenti hanya di bulan Ramadhan;tapi terus berlangsung selama dia masih hidup. Ada riwayat, “Orang yang berpuasa setelah Ramadhan itu seperti orang baru selesai dari gelanggang pertempuran di jalan Allah kemudian kembali lagi bertempur.”

Dalam hadits disebutkan, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah adalah yang ‘al-Haal al-Murtahil’ (tiap kali singgah, dia berangkat lagi)  sebagaimana orang yang mengkatamkan al-Qur`an dari awal sampai akhir, kemudian dilanjut bacaannya secara berkesinambungan sampai khatam lagi.” (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, amalnya terus berkesinambungan tidak tergantung pada mood dan moment tertentu.

Bisyr -salah seorang salaf- saat ditanya mengenai kaum yang hanya beribadah dan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, beliau menjawab, “sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal hak-hak allah melainkan pada bulan ramadhan saja. Orang saleh adalah yang beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”

Ketika Asy-Syibli Rahimahullah ditanya, “Manakah yang lebih utama antara Sya’ban dan Ramadhan?” Beliau menjawab, “Jadilah hamba rabbani dan jangan jadi hamba sya’bani.” Jadi, di dalam maupun luar Ramadhan tidak dibeda-bedakan karena yang menjadi acuan adalah Allah Subhanahu wata’ala. Selama itu diperintahkan Allah, maka akan dijaga secara kontinu.

Nabi sendiri amalannya selalu istikamah dan kontinu. Ketika Aisyah ditanya apakah nabi mengkhususkan hari tertentu untuk beramal, beliau menjawab, “Amalan beliau itu berkesinambungan (kontinu)” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan ketika nabi pernah dalam satu Ramadhan tak bisa menjalankan iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau ganti di bulan Syawal.

Lebih dari itu, Hasan Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat ajal untuk amalan mukmin, melainkan kematian.”  Artinya, kapanpun dan dimanapun selama masih hidup, maka amalan harus tetap kontinu.

Jadi, hikmah disyariatkannya puasa Syawwal –wallahu a’lam- adalah: untuk menyempurnakan pahala puasa, menyempurnakan kekurangan puasa, sebagai tanda diterimanya puasa, sebagai rasa syukur, supaya terus berkesinambungan di bulan-bulan lainnya.

Sebagai penutup, pernyataan Ibnu Rajab Rahimahullah berikut patut untuk dijadikan bahan renungan, “Barangsiapa mengamalkan ketaatan kemudian selesai menjalankannya, maka tanda amalnya diterima adalah dengan menyambungnya dengan ketaatan yang lain, sedangkan tanda tertolaknya adalah ketika ketaatan disambung dengan kemaksiatan yang lain.” */Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULAH