Hukum Ganja untuk Kepentingan Medis

Hukum Ganja untuk Kepentingan Medis

Bagaimana hukum ganja untuk medis? Atau hukum ganja atau marijuana untuk kepentingan medis? Pasalnya, belakangan ini publik digegerkan oleh wanita berhijab yang hendak mencari ganja untuk keperluan medis anaknya, bagaimana pandangan fikih atas fenomena ini?

Perlu diketahui, bahwa ganja termasuk dari sesuatu yang bisa memabukkan. Maka dari itu, ia akan terdampak beberapa hukum fikih.

Bahan Obat dalam tinjauan hadits Nabi

Sebelum membahasnya, ada baiknya kita mendengarkan sabda Rasulullah Saw berikut:

 إنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

Artinya: sesungguhnya Allah tidak membuat suatu obat dari perkara yang diharamkan untuk kalian.

Abu Darda’ juga meriwayatkan:

 إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Artinya: sesungguhnya Allah menurunkan obat dan penyakit, dan di setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka kalian berobatlah, namun jangan berobat dengan perkara yang haram.

Secara tegas, Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis. Beliau mengatakan:

 نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

Yang artinya: Rasulullah SAW melarang untuk berobat dengan sesuatu yang “buruk”.

Dari sekian hadis di atas, secara leksikal kita mendapat pemahaman berarti kita tidak diperbolehkan untuk berobat dengan perkara yang haram atau memabukkan.

Takwil Hadist Bahan Obat Harus Halal

Namun, hadis ini ditakwil oleh seorang ulama. Beliau mengatakan:

وَقَالَ الْبَيْهَقِيُّ هَذَانِ الْحَدِيثَانِ إنْ صَحَّا حُمِلَا عَلَى النَّهْيِ عَنْ التَّدَاوِي بِالْمُسْكِرِ وَعَلَى التَّدَاوِي بِالْحَرَامِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ حَدِيثِ الْعُرَنِيِّينَ وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

Menurut Imam Al-Baihaqi, jika kedua hadis tersebut merupakan hadis yang sahih, maka maknanya akan diarahkan pada pelarangan berobat dengan sesuatu yang bisa memabukkan dan sesuatu yang haram, dengan tanpa adanya darurat.

Konsep ini merupakan hasil kompromi di antara dua hadis tersebut dan hadisnya uraniyyin, wallahu a’lam. (Imam Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Juz 9 hal. 53).

Pandangan Imam Nawawi Bahan Obat dari Khamar

Salah seorang elit ulama Syafi’iyyah, Imam al-Nawawi, mengatakan:

     وَأَمَّا التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَاتِ غَيْرِ الْخَمْرِ فَهُوَ جَائِزٌ سَوَاءٌ فِيهِ جَمِيعُ النَّجَاسَاتِ غَيْرُ الْمُسْكِرِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوصُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِ وَجْهٌ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِحَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ الْمَذْكُورِ فِي الْكِتَابِ (وَوَجْهٌ ثَالِثٌ) أَنَّهُ يَجُوزُ بِأَبْوَالِ الْإِبِلِ خَاصَّةً لِوُرُودِ النَّصِّ فِيهَا وَلَا يَجُوزُ بِغَيْرِهَا حَكَاهُمَا الرَّافِعِيُّ وَهُمَا شَاذَّانِ وَالصَّوَابُ الْجَوَازُ مُطْلَقًا لِحَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ … إلى أن قال… قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنَّمَا يَجُوزُ التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَةِ إذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا يَقُومُ مَقَامَهَا فَإِنْ وَجَدَهُ حَرُمَتْ النَّجَاسَاتُ بِلَا خِلَافٍ وعليه يُحْمَلُ حَدِيثُ (إنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ) فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ وُجُودِ غَيْرِهِ وَلَيْسَ حَرَامًا إذَا لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ

Berobat dengan sesuatu yang najis (selain khamr), hukumnya adalah boleh. Baik semua najis, kecuali khamr saja. Ini merupakan nash madzhab, dan pendapat inilah yang menjadi pedoman oleh mayoritas ulama.

Hanya saja ada salah satu wajah yang tidak memperbolehkannya, dengan berpedoman pada hadis riwayat bersumber dari Ummu Salamah. Wajah yang ketiga berpendapat bahwa boleh berobat dengan mengkonsumsi air seninya Unta secara khusus, sebab ada nash hadits yang menjelaskan demikian, sehingga dengan selainnya tetap tidak boleh hukumnya.

Kedua pendapat berasal dari Imam Al-Rafii, namun keduanya merupakan pendapat yang syadz. Jadi yang benar adalah boleh secara mutlak berobat dengan sesuatu yang najis, dengan berpedoman pada hadis riwaya oleh Anas bin Malik RA.

Ashab kami juga berpendapat bahwa boleh berobat dengan sesuatu yang najis, jika tidak dapat ditemukan obat suci yang efektifitasnya sama dengan obat najis tadi. Sehingga jika dia menemukannya, maka haram baginya untuk berobat dengannya. Ulama tidak berbeda pendapat dalam konteks ini.

Adapun hadis yang berbunyi “sesungguhnya Allah tidaklah membuat suatu obat dari sesuatu yang telah haram bagi kalian” Oleh para ulama telah mengarahkan pada konsep tersebut. Yakni jika masih menemukan obat  suci lain yang efektifitasnya sama, maka haram untuk mengkonsumsi obat najis. Dan sebaliknya. (Imam Al-Nawawi, Al-majmu’ syarh al-Muhadzzab, Juz 9 hal. 51).

Hukum Ganja untuk Kepentingan Medis

Demikian menurut penuturan ulama Syafi’iyyah. Guru besar Al-Azhar bidang Syariah dan Qanun, Syekh Abdul Fattah Mahmud Idris menjelaskan permasalahan ini dalam ranah lintas madzhab.

Ringkasnya beliau mengatakan sebagaimana dalam redaksi berikut: ulama konsensus bahwa haram berobat dengan sesuatu yang haram (termasuk yang memabukkan, semisal dalam bahasan ini adalah Ganja), jika tidak ada kebutuhan yang mendesak dan masih ada obat lain yang tidak haram untuk dikonsumsi.

Hanya saja, jika sudah taraf kebutuhan mendesak, atau dalam istilah fikihnya, populer dengan  nomenklatur darurat, maka Ulama berbeda pendapat. (Baca:Hand Sanitizer Beralkohol, Sucikah Untuk Shalat?).

Golongan pertama membolehkannya, yakni sebagian Hanafiyyah memperbolehkan jika tiada lagi obat mubah yang seefektif dengan obat yang haram, juga sependapat dan ada dukungan oleh Ulama Syafi’iyyah, hanya saja mereka mengecualikan berobat dengan sesuatu yang berpotensi memabukkan.

Adapun golongan yang kedua, mereka tetap tidak memperbolehkan. Yaitu sebagian Hanafiyyah yang lain, Salah satu wajah (pendapat) di madzhab Syafi’i, Malikiyyah dan Hanabilah. (Majallah al-Bayan, hal. 4)

Keterangan Syekh ini merujuk pada beberapa kitab indukan masing-masing madzhab. Penulisannya dalam catatan kaki, bahwa beliau dalam menukil pendapat golongan pertama, beliau mengutip kitab radd al-muhtar (Juz 4 hal. 215) sebagai representasi madzhab Hanafi, dan beliau mengutip  kitab Majmu’ (Juz 4 hal. 330), Raudh al-thalibin (Juz 3 hal. 285) dan Mughni al-muhtaj (Juz 4 hal. 188) sebagai representasi Madzhab Syafi’i.

Adapun mengenai pendapat kelompok yang terakhir, beliau juga mengutip radd al-muhtar (Juz 4 hal. 215) sebagai representasi madzhab Hanafi, lalu beliau mengutip Al-Kafi fi fikh ahl al-madinah (hal.188) dari madzhab Maliki.

Kemudian beliau menukil salah satu wajah madzhab Syafi’i yang lain dalam kitab yang serupa, sedangkan dalam madzhab Hambali beliau mengutip Al-mughni (Juz 8 hal. 605) dan Kasyyaf al-qinna’ (Juz 6 hal. 200).

Kesimpulan Hukum Ganja untuk Kepentingan Medis

Demikianlah penjelasan ulama’ fikih, karena ini berkaitan dengan kedokteran, maka ilmuwan dokter juga berperan penting dalam pemberlakuan hukum ini. Yakni jika dalam pandangan mereka belum ada obat yang bisa mengobati anaknya, maka boleh memakai ganja.

Namun, jika ada obat yang mubah untuk dikonsumsi, dan sifat efektivitasnya sama dengan ganja, maka ia harus memakai obat tersebut terlebih dahulu. Namun jika sifatnya hanya sebatas efektifitas saja, tentunya ganja tidak masuk pada konteks darurat dalam fikih.

Dengan demikian, penggunaan hukum ganja hanya untuk kepentingan dalam kondisi-kondisi tertentu, termasuk medis sebagaimana yang telah jelas di atas.  Sebagai kesimpulan, ganja untuk medis hukumnya boleh, dengan beberap persyaratan tertentu. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH