Hukum Hoaks dalam Islam

Di dalam Islam, hoaks alias berita bohong tidak bisa dibenarkan

 

Di dalam Islam, hoaks alias berita bohong tidak bisa dibenarkan. Karena itu, kaum Muslimin diperintahkan untuk mengklarifikasi dan berhati-hati ketika berita datang kepadanya.

Seperti apa yang tertera dalam QS al-Hujuraat:6. Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ditinjau dari segi bahasa, Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan, kata fasiq diambil dari kata fasaqa. Kata itu biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya.

Ini menjadi kias dari seorang yang durhaka karena keluar dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil. Quraish Shihab menjelaskan, ayat ini merupakan salah satu ketetapan agama dalam kehidupan sosial.

Kehidupan manusia dan interaksinya harus didasarkan pada hal-hal yang diketahui dan jelas.

Karena itu, dia membutuhkan pihak lain yang jujur dan ber integritas untuk menyampaikan hal-hal yang benar. Berita yang sampai pun harus disaring. Jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat di atas, yakni bijahalah alias tidak tahu.

Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: Nabi Muhammad SAW bersabda: Perhatikanlah aku akan memberitahukan kepada kalian apa itu al `Adhu? Al Adhu adalah menggunjing dengan menyebarluaskan isu di tengah masyarakat.

Rasulullah SAW juga bersabda: Sesungguhnya orang yang selalu berkata jujur akan dicatat sebagai seorang jujur dan orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta. (HR Muslim).

Pendapat Imam Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim, juz I halaman 75 memberikan penjelasan hadis tentang penyebaran berita. Menurut Imam Nawawi, peringatan setiap informasi yang didengar seseorang karena biasanya ia mendengar kabar benar dan dusta maka jika ia menyampaikan setiap yang ia dengar, berarti dia telah berdusta karena menyampaikan sesuatu yang tidak terjadi.

Sebagai Muslim, kita diperintahkan untuk tabayun atau klarifikasi setiap informasi yang diterima. Kisah tentang Tabayun atau verifikasi ada dalam Shahih al-Bukhari.

Diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surah al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan, Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu.

Mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan, Alquran memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan.

Faqra’uu maa tayassara minhu, sabda Rasulullah SAW, maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya. Apa yang dilakukan Umar dan Hisyam mendatangi Rasulullah untuk menanyakan langsung kepada sumber pertama disebut juga dengan tabayun alias klarifikasi.

Di sisi lain, Nabi SAW pun melarang kita untuk berprasangka kepada orang lain, apalagi menghinanya. Rasulullah juga mengingatkan kita untuk tidak bermusuhan. Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: Rasulullah SAW ber sabda: Jauhilah berprasangka karena sesungguhnya prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta.

Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, jangan saling menyombongkan diri (dalam hal duniawi), jangan saling iri, saling membenci satu dengan yang lain dan saling berpaling muka satu dengan yang lain. Jadilah kalian para hamba Allah yang bersaudara. (HR al-Bukhari).

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 24/2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial menjelaskan, setiap Muslim yang melakukan muamalah lewat media sosial diharamkan untuk ghibah, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan.

Muslim pun haram untuk melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan.

Bukan cuma penyebar, melainkan juga pihak-pihak yang mencari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain, atau kelompok hukumnya pun haram kecuali untuk kepentingan syar’i.

Menyebarkan konten yang bersifat pribadi kepada khalayak, padahal tidak patut disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.

MUI juga mengharamkan aktivitas buzzer di media sosial sebagai penyedia informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, hingga aib dan gosip sebagai profesi untuk mendapat keuntungan ekonomi dan nonekonomi. Begitu pula orang yang menyuruh dan memanfaatkan jasa para buzzer tersebut. Wallahua’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA